Share

Bab 22

last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-29 21:32:48

"Karma itu nyata, aku sudah membuktikannya." Suara Rey terdengar serak.

"Maksudmu apa?" Jelas aku penasaran dengan ucapan Rey, karena dia tiba-tiba diam dan justru terisak.

"Kamu tahu, keluargaku berantakan sejak Papa dan Mama bercerai. Sesuai kesepakatan mereka berdua, aku ikut Mama sementara Shela ikut Papa."

Ya, aku ingat Rey pernah cerita kalau orang tuanya sudah bercerai dan dia tinggal bersama mamanya. Itulah yang menjadi alasan kenapa Rey jadi anak bengal, bersikap seenaknya, suka bolos suka tawuran. Itu bentuk protes dia kepada kedua orang tuanya, karena memilih berpisah tanpa memikirkan nasib anak-anaknya. Rey lebih banyak di luar daripada pulang ke rumah. Dia bilang, "Pulang juga percuma, Mama nggak di rumah. Dia pasti sibuk kerja, mana sempat ngurusin anaknya ini."

"Setelah tahu aku menghamilimu, Mama kena serangan jantung dan meninggal. Mungkin Mama merasa sudah gagal menjadi Ibu, sudah gagal mendidikku. Papa sangat murka karena mempermalukan orang tua, dengan kelakuank
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 23

    "Apa harus berpindah keyakinan, demi bisa menikah denganmu?" Aku terhenyak mendengar ucapan, Rey. Dia rela pindah agama demi menikahiku? Atas dasar apa? Cinta yang begitu besar, atau ingin menebus rasa bersalah? Ucapan Rey memang terdengar indah, seolah aku adalah wanita yang sangat dia cintai hingga rela melakukan apa saja, bahkan kalau harus mengganti keyakinan. Sayangnya semua itu tak cukup membuatku luluh kemudian menerima tawaran Rey. Luka yang Rey tinggalkan, masih membekas hingga sekarang. "Nggak perlu, Rey. Kamu nggak perlu melakukan apapun, apalagi sampai pindah agama. Kita jalani hidup kita masing-masing, tak perlu menjadi suami istri kalau hanya untuk menjadi orang tua Dinda."Keputusanku sudah bulat, untuk meninggalkan kota ini dengan segala kehidupan yang sudah kujalani. Aku hidup dengan suasana baru, dengan orang-orang baru. Aku ingin melupakan semua masa lalu kelam yang pernah kulalui. Rey adalah bagian dari masa lalu, aku tidak ingin membawanya dalam rencanaku. Cuku

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-30
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 24

    "Pondok Pesantren Daruttauhid" Begitu yang tertulis di papan berukuran besar, di depan pintu gerbang sebuah bangunan tiga tingkat di depanku. Bangunan ini tak banyak berubah, dari terakhir aku berkunjung ke tempat ini bersama Umi dan Abah, menyambangi Abizar dua belas tahun yang lalu. Hanya ada sedikit perubahan di pintu gerbangnya, dan catnya yang terlihat baru saja diperbarui. Ya, aku sengaja datang ke tempat ini, tempat di mana Abizar dulu menuntut ilmu. Aku berharap bisa bertemu dengan adik kandungku itu, setelah delapan tahun terpisah. Semoga dia masih di sini, kalau pun tidak. Semoga aku bisa mendapat informasi tentang Abizar, semoga. Alasanku menjadikan Jombang sebagai tempat tinggal baru, selain bertemu Abizar, alku ingin mendalami ilmu agama. Aku ingin kembali ke jalan yang benar, aku ingin bertaubat. Dinda sudah semakin besar, aku tak mau dia menanggung malu, apalagi sampai membenciku karena profesiku. Jombang kota yang tepat, karena suasana religius terasa begitu kental d

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-30
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 25

    "Tidak merepotkan, tapi mungkin tak senyaman kamar kalian. Mbak Mey bawa koper sebesar ini kayak mau pindahan, aja." Abizar pasti bingung melihat koper besar, dan tas yang tak kalah besar yang kubawa. "Ceritanya panjang, Bi. Nanti aku akan cerita."Belum sempat Abizar menjawab, tiba-tiba ponselku berbunyi. Buru-buru aku merogoh tas, dan mengambil benda pintar itu dari sana. Nampak nama Rahman terpampang di layarnya. Mau apa dia? "Angkat aja, Mbak. Nggak usah sungkan sama aku." Abizar berkata setelah melihatku mengabaikan ponsel yang terus meraung minta diangkat. "Telfon nggak penting, Bi. Abaikan saja!" Abizar mengangguk. "Jadi bagaimana? Jadi nginep sini, kan? Mbak Mey hutang banyak penjelasan padaku. Kamu mau nginep di sini, kan, Din?" Abizar beralih menatap Dinda yang nampak anting di sampingnya. Dinda mengangguk yakin sambil menatap Om yang lama tidak dia temui itu. "Tuh, kan, Dinda mau nginep sini. Kalau begitu tunggu apalagi? Ayo kita ke belakang!" Abizar menarik koperku

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-31
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 26

    Belum sempat Abizar menjawab, ponselku kembali meraung-raung minta diangkat. Lagi-lagi nomor Rahman yang melakukan panggilan. Apa laki-laki ingin mengobral janji lagi? Memperjuangkan aku di depan orang tuanya, yang nyatanya gagal total itu. Atau Rahman sudah mendapat restu dari orang tuanya, atau bagaimana? Hingga berani menghubungiku? Kalau pun iya, agaknya dia sudah terlambat. Aku sudah terlanjur memutuskan pergi. Kalau pun dia berhasil mendapat restu, aku sudah males hidup di lingkungan itu. Mulut tetangga di sana julid semua. "Dari siapa sih, Mbak? Kok nggak diangkat?" Tanya Abizar penasaran. "Bukan siapa-siapa, Bi." Kami masih di lorong pesantren, jadi aku tidak berani cerita tentang Rahman pada Abizar. Butuh tempat khusus, nggak enak kalau ada yang dengar. "Bukannya mau ikut campur, Mbak. Tapi aku lihat dari tadi ada telfon masuk, dan Mbak Mey abaikan terus. Mungkin orang yang nelfon itu memang benar-benar ada hal penting yang mau disampaikan." Aku menghela nafas panjang. "

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-31
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 27

    Meski malas akhir kuambil benda pintar itu, dan membukanya. Ternyata ada beberapa pesan WA masuk dari nomor Rahman. Ternyata laki-laki itu tak menyerah begitu saja, meski berkali-kali ku abaikan. "Mey, ini Umi Farida.""Tolong angkat telfon, Mey.""Ini penting, Mey." Jantungku tiba-tiba berdetak tak menentu. Umi Farida menelfon ku, ada alamat apa ini?Mataku tak lepas dari ponsel dalam genggaman, menatap tak percaya pesan yang tertulis dalam benda pipih itu. Rahman kenapa? Kenapa Umi yang menelfon ku? Pertanyaan itu kini memenuhi kepalaku. "Dari siapa, Mbak?" "Eh, dari tetangga Mbak di sana," jawabku tergagap. "Kayaknya penting banget, Mbak. Dari tadi nelfon terus, lho." Aku terdiam mendengar ucapan Abizar, kalau tidak penting tentu Umi Farida tidak akan menelfon ku. "Nggak ditelfon balik aja, Mbak?" Aku menggeleng ragu. Dalam hatiku sebenarnya penasaran, kenapa Umi Farida menelpon? Tapi rasa takut menguasai hati, hingga aku mengabaikan rasa penasaran itu. Masih teringat jelas

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-01
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 28

    "Tadi pagi Rahman ditemukan pingsan di kamarnya, Mey. Kondisinya kritis sekarang, aku takut waktunya tidak panjang."Ucapan Umi Farida membuat lututku lemas seketika. Kenapa Rahman sampai pingsan? Pertanyaan itu kini memenuhi kepalaku. Apa yang terjadi dengan pemuda itu? Apa dia nekat ingin mengakhiri hidupnya, karena frustasi orang tuanya menentang hubungan kami? Tapi pemuda sekelas Rahman tidak akan melakukan hal sebodoh itu. Rahman itu tipe orang yang mengedepankan logika. Tapi cinta mana kenal dengan logika? "Rahman sakit apa, Umi?" tanyaku setelah berhasil menguasai diri. "Setelah pulang dari rumahmu waktu itu, kami bertengkar hebat, Mey. Sejak itu Rahman berubah jadi pendiam, banyak melamun dan lebih suka mengurung diri di kamar. Dia seperti kehilangan semangat hidup nya, bahkan makanan yang kami antar ke kamarnya jarang disentuh, makin hari badannya makin kurus. Kami tahu, itu karena dia kecewa kami menentang hubungan kalian, tapi kami sebagai orang tua ingin memberikan yang

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-01
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 29

    "Kok kamu semangat nyuruh aku kembali ke Semarang, Bi? Kamu ngusir aku? Keberatan kalau aku repotin?" Seketika wajah Abizar memucat. "Bu---bukan begitu, Mbak. Aku hanya ---"Aku dan Abizar memang kurang dekat sejak kecil, bukan hanya karena gender kami berbeda, tapi sejak lulus SD Abizar sudah masuk pesantren, jarang pulang otomatis jarang pula berinteraksi denganku. Jadi, wajar kalau misalnya dia agak keberatan aku tinggal di kota ini. Sedikit banyak aku pasti merepotkannya, menambah tanggung jawabnya. Karena kami hanya tinggal berdua, tak ada saudara kandung lainnya. "Ya nggak pa-pa, Bi. Kalau kamu merasa keberatan aku tinggal di sini," ucapku sendu. "Eh, bukan begitu, Mbak. Aku nggak keberatan Mbak Mey tinggal di kota ini, kok, seneng malah. Aku hanya ikut senang, kalau Mbak Mey akhirnya ada yang meminang, apalagi Mbak Mey bilang dia laki-laki yang baik, berasal dari keluarga baik-baik pula." Abizar menjeda ucapannya, diraihnya tanganku dalam genggamannya. "Mbak, tak mungkin se

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-02
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 30

    "Man." Umi Farida menepuk pelan lengan putranya, tapi laki-laki tak bereaksi. Padahal matanya terbuka, aku yakin dia tidak sedang tidur. "Ada Mey di sini, dia pengen ketemu kamu." Mendengar namaku disebut spontan Rahman menoleh. Diluar dugaanku, Rahman menatapku seperti tak pernah melihatku sebelumnya. "Me--- Mey?" Tanya Rahman dengan wajah ragu.Apakah sebulan tidak bertemu membuat Rahman melupakanku? Atau banyak yang berubah pada diriku, hingga dia tidak mengenaliku lagi? Berat badanku memang turun beberapa kilo, tapi tak berpengaruh banyak pada wajahku. "Iya, Man. Ini aku, Mey," jawabku berusaha meyakinkannya, bahwa ini benar-benar aku. Bukan hanya hanya hanya khayalan nya saja. Rahman menatapku lekat-lekat, seolah masih tak percaya kalau yang ada di depannya ini aku. Wanita yang katanya begitu dia cintai. "Nggak mungkin, ah. Umi pasti melarangmu datang ke sini." Rahman tertawa sumbang, membuatku hatiku mencelos seketika. Seputus asa itu kah, dia? "Umi yang meminta Mey datan

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-02

Bab terbaru

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 99

    "Gantengnya cucu Eyang ...." Umi berkata sambil menimang putraku, yang baru kulahirkan beberapa jam yang lalu itu. Cucu pertamanya, cucu yang sudah dia nanti bertahun-tahun lamanya. "Wes, diborong Rahman semua ini, Mey. Kamu nggak kebagian apa-apa. Plek ketiplek bapaknya waktu masih bayi," lanjut Umi, tanpa mengalihkan pandangannya pada bayiku. Meski ada iri menelusup di hati, karena wajah anakku yang ternyata sangat mirip bapaknya. Tapi juga bahagia sekaligus bangga, bisa memberi anak pada suami, dan cucu untuk mertuaku, dengan wajah yang identik dengan wajah mereka. "Kalian sudah siap nama, kan?""Sudah, Mi," jawabku singkat. Aku belum berani banyak bicara, luka bekas operasi masih begitu nyeri, kalau aku bergerak sedikit saja. Bahkan aku belum berani bicara banyak, karena takut. "Siapa?""Alfarisqi Rahman, Mi. Panggilannya Alfa." Umi baru datang setelah operasi selesai. Karena tak mau ambil resiko, karena kesehatan Umi sering bermasalah. Kami berangkat ke rumah sakit sendiri.

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 98

    Mas Rahman menautkan jemari kami dan sesekali meremasnya lembut, seolah berkata, "Jangan takut, ada aku disini." Namun begitu aku tetap tak bisa mengendalikan perasaanku, gugup dan takut menguasai. Apalagi saat melihat wajah-wajah kaku majelis hakim, membuatku gentar dan ingin mundur saja. Masih ditambah tatapan dingin dan membunuh dari Adi Guntoro, yang duduk di samping pengacaranyaIni pertama kalinya aku menghadiri persidangan, dan jadi saksi. Jadi wajar, kalau perasaanku tak karu-karuan. Apalagi saat tak sengaja mata ini sekali lagi berserobok dengan mata Adi Guntoro yang duduk di samping pengacaranya. tatapannya begitu dingin seolah ingin menghabisiku saat itu juga. Membuatku ingin balik arah, dan berlari meninggalkan ruang sidang. Seolah tak ihlas suamiku melepas genggaman tangannya, ketika namaku dipanggil untuk duduk di kursi saksi. "Jangan takut, Mey. Ada aku," bisik Mas Rahman di telingaku. Bibirku tak henti merapal doa agar diberi kelancaran saat bersaksi nanti. Ternyata

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 97

    Mas Rahman menautkan jemari kami dan sesekali meremasnya lembut, seolah berkata, "Jangan takut, ada aku disini." Namun begitu aku tetap tak bisa mengendalikan perasaanku, gugup dan takut menguasai. Apalagi saat melihat wajah-wajah kaku majelis hakim, membuatku gentar dan ingin mundur saja. Masih ditambah tatapan dingin dan membunuh dari Adi Guntoro, yang duduk di samping pengacaranyaIni pertama kalinya aku menghadiri persidangan, dan jadi saksi. Jadi wajar, kalau perasaanku tak karu-karuan. Apalagi saat tak sengaja mata ini sekali lagi berserobok dengan mata Adi Guntoro yang duduk di samping pengacaranya. tatapannya begitu dingin seolah ingin menghabisiku saat itu juga. Membuatku ingin balik arah, dan berlari meninggalkan ruang sidang. Seolah tak ihlas suamiku melepas genggaman tangannya, ketika namaku dipanggil untuk duduk di kursi saksi. "Jangan takut, Mey. Ada aku," bisik Mas Rahman di telingaku. Bibirku tak henti merapal doa agar diberi kelancaran saat bersaksi nanti. Ternyata

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 96

    Tiga bulan berlalu, perutku mulai terlihat membuncit. Meski tak separah di Tri semester pertama, aku masih merasakan mual di pagi hari. Sebenarnya aku ingin beraktivitas, biar kehamilan ini tidak terlalu manja ini kehamilan kedua, harusnya aku kuat dan lebih siap, kan. Lagi pula aku juga sudah bosan kalau harus bad rest terus. Tapi Mas Rahman melarang. Katanya, "aku tidak mau anakku kenapa-napa, jangan ambil resiko!" Kalau aku ngeyel. "Dengan beraktivitas janin akan lebih sehat, Mas. Aku juga nggak stress dikurung terus." Tapi apa jawabnya? "Dah, nurut aja! Nggak usah banyak protes! Ini semua demi anak kita. Berkorban sedikit apa susahnya, sih?" Ternyata, perlakuan manis Mas Rahman hamil bukan untukku, tapi untuk anaknya. Dasar laki-laki, mau enaknya sendiri! Untung sayang. "Mas, capek. Pijitin!" Kuletakkan kedua kakiku di atas pangkuan Mas Rahman, yang sedang sibuk dengan laptopnya, memeriksa laporan keuangan show room. Tanpa bicara, Mas Rahman menutup laptopnya dan meletakkan di

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 95

    "Dibilang males, ngeyel!" Mas Rahman terkekeh. "Mas Rahman menyembunyikan sesuatu, ya?" Todongku. Aku sudah nggak betah menahan rasa penasaran, dari tadi sikap Mas Rahman mencurigakan. "Mau tahu aja, apa mau tahu banget?" Selorohnya. Aku mencebik kesal, tawa Mas Rahman makin menjadi. "Sus, tadi sudah dikasih tahu belum?" Mas Rahman bertanya pada Suster Lusi. "Belum, Pak. Nggak berani saya." Sebenarnya rahasia apa yang mereka sembunyikan, sih? Aku benar-benar kepo! "Sekarang aja, Sus!" Usai Mas Rahman berkata, Suster Lusi berjalan ke arah pintu. Aku menatap bingung suamiku, tapi dia hanya senyum penuh arti, membuat rasa penasaran di hati makin menjadi. Kami masih saling tatap ketik dari terdengar suara riuh dari arah pintu. "Surprise....! Selamat ulang tahun ...." Sontak aku menoleh ke sumber suara. Di sana ada Umi dan Dinda, mereka datang membawa buket bunga. Sementara Suster Lusi membawa kue tart yang di atasnya terdapat lilin angka, yang sudah menyala. Speechless, itu ya

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 94

    Pertama kali membuka mata, ruangan serba putih menyapa indera penglihatanku. Tanpa perlu dijelaskan, aku tahu sedang berada di ruang perawatan. Bau obat dan selang infus yang menancap di punggung tanganku, jawabannya. Apa ada masalah dengan lukaku? Infeksi? Atau kenapa? Pertanyaan itu memenuhi kepalaku, tapi aku tidak merasakan apa-apa di area itu. Pertanyaan-pertanyaan itu masih berputar-putar di kepalaku, hingga pintu terbuka dan menampilkan sosok wanita berseragam serba hijau menghampiriku. "Alhamdulillah .... Bu Rahman sudah siuman. Apa yang dirasakan, Bu? Masih pusing?" Tanya wanita bertag name Lusi itu, ramah. "Sedikit, Sus. Suami saya mana, ya? Kok nggak keliahatan?" Aku tak menemukan Mas Rahman ketika sadar tadi, dan sampai sekarang pun laki-laki itu kunjung muncul. Tak biasanya dia meninggalkan aku sendiri kalau sedang sakit, apalagi ini di rumah sakit. "Pak Rahman ijin pulang sebentar, Bu. Mengambil baju ganti katanya, dan beliau menitipkan Ibu pada saya," jelas wanita

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 93

    Umi menyambut antusias kedatangan kami, tapi Dinda justru bersikap sebaliknya Dia menampakkan wajah cemberut, tak bersemangat dan malas-malasan membantu membawa barang-barangku. "Yang punya hajat itu suadaramu yang mana sih, Mey? Kok kamu nggak pernah cerita? Pakai ngelarang aku nyusul pula, kan nggak enak sebagai besan nggak ikut hadir di acara mereka," cerca Umi begitu aku masuk rumah. Saat aku mengabari tak bisa pulang, dengan alasan ada suadara umiku yang punya hajat, Umi memaksa datang. Katanya demi menjaga tali silaturahim, tapi aku melarangnya. Alasannya rumahnya jauh dan pelosok, nanti Umi nyasar. Padahal nggak ada saudaraku yang punya hajat, itu semua hanya kebohongan demi menutupi fakta yang sebenarnya terjadi. Mana ada saudara Umi yang ingat aku? Di mata mereka aku ini hanya aib. "Sepupu jauh Umi saya, Mi. Mereka tinggal di pelosok, Mi. Aku sudah memberi amplop mereka, dan mengatakan itu dari Umi, " bohongku. Pepatah yang mengatakan sekali orang berbohong, maka akan ter

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 92

    Setelah tiga hari di rawat di rumah sakit Solo, akhirnya kami diijinkan pulang. Meski melalui drama pulang paksa, karena menurut dokter lukaku belum pulih benar. Tapi kami memaksa pulang, toh ini hanya luka luar bukan luka dalam yang mengkhawatirkan. Aku tak mungkin berlama-lama di Solo, sementara di rumah Umi cemas menanti kami. Ada Dinda yang butuh kami. Juga kasihan Mas Rahman yang harus bolak-balik Solo-Semarang, Semarang- Solo. Mas Rahman tak mungkin meninggalkan pekerjaannya. Oh ya, kami terpaksa menyembunyikan keadaan yang sebenarnya dari Umi, karena tak mau wanita jelang enam puluh tahun itu khawatir dan kepikiran. Mas Rahman terpaksa berbohong, mengatakan ada keluargaku yang punya hajat dan memaksaku nginep di sana. Padahal keluargaku yang di Solo sudah lama tak menganggapku ada. Sementara pada Dinda, aku mengatakan kalau masih ada urusan di Solo. Selama dirawat di Solo, ibunya Bu Naya dua kali menjengukku. Beliau berkali-kali minta maaf atas kesalahan anaknya, tapi anehnya

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 91

    Rupanya kesabarannya sudah habis untuk menghadapiku, kini dia mulai main kasar. Tak ada lagi sikap anggun dan kemayu yang selama ini melekat dalam dirinya. Bu Naya sama sekali berubah. "Uang apa? Bu Naya bilang butuh uang untuk melunasi biaya pengobatan, kenapa sekarang malah menolak? Bahkan melarang saya ketemu Reza. Sekarang saya jadi curiga, jangan-jangan Bu Naya .... " Ucapanku terhenti, karena aku merasa ada benda runcing yang dingin menempel di pinggangku. Tubuhku kaku seketika, otakku memberi sinyal bahaya. Aku ingin teriak dan minta tolong, tapi sayangnya rasa perih dan nyeri luar biasa tiba-tiba menyergap, membuat otakku buntu seketika. "Mey!" Samar kudengar namaku diteriakkan, setelah itu semua menjadi gelap. * * * * * * * * *Bau obat menyengat menyapa indera penciuman, memaksaku membuka mata demi mengetahui dimana aku berada sekarang. Ruangan serba putih menjadi pemandangan pertamaku, hingga akhirnya mataku terbuka sempurna. Lamat-lamat kuingat kejadian sebelum akhirn

DMCA.com Protection Status