Beranda / Romansa / Upah Satu Liter Beras / Bab 1. Kepergian Bapak

Share

Upah Satu Liter Beras
Upah Satu Liter Beras
Penulis: Ananda Aisha

Bab 1. Kepergian Bapak

Tiara, begitu gadis yang memiliki nama lengkap Mutiara Pratiwi itu biasa dipanggil, terlihat masih menangisi kepergian bapaknya.

Ditinggal pergi untuk selamanya secara tiba-tiba, tidak hanya menyisakan kesedihan untuknya. Tapi juga kehilangan yang dalam akan sosok Bapak yang selama ini menjadi pelindung baginya, ibu, juga kedua adiknya.

“Sudahlah, Ra. Ikhlaskan kepergian bapakmu, tidak baik terus menangisinya.” ucap mak Iroh, tetangga dekat rumahnya yang selama ini selalu baik pada keluarganya.

Tiara bergeming. Ia masih enggan beranjak dari tempat peristirahatan terakhir bapaknya. Ia masih saja terdengar meratapi kepergiannya.

“Kasian ibumu, Ra. Dia pasti tengah kerepotan mempersiapkan untuk tahlilan bapakmu malam nanti.” lagi, mak Iroh membujuk Tiara agar segera meninggalkan pemakaman.

Tiara mengusap pipinya yang basah. Mak Iroh benar, selain dirinya, tidak akan ada keluarga yang bersedia membantu ibunya.

Bu Ratna, Nenek dari bapaknya, yang tinggal di kampung sebelah. Pasti tidak akan sudi menginjakkan kaki di rumah panggungnya.

Apa lagi Risna, adik bungsu dari bapaknya yang tinggal di kecamatan. Datang saja hanya sampai Masjid Desa, saat jenazah almarhum bapaknya dishalatkan.

Hanya ada satu yang mungkin masih mau bersedia membantu, Sukaesih – istri dari adik pertama bapaknya. Itu pun sudah pasti akan diungkit seumur hidupnya.

“Ayok, Ra. Kasian ibumu.” Mak Iroh, meraih tangan Tiara.

Tiara masih bergeming, menatap nisan yang bertuliskan nama bapaknya.

Sampai kemudian mang Sobri, tetangganya yang lain setengah berlari kembali ke pemakaman.”Cepat pulang, Ra. Ibumu pingsan!” serunya, sambil terengah-engah.

Sontak Tiara berdiri.”Apa yang terjadi dengan Ibu saya, Mang? Kenapa ia pingsan?” tanyanya, kemudian berjalan dengan cepat menyusuri jalan setapak menuju rumahnya.

“Saya tidak tahu, Ra. Sebelumnya ibumu sempat terlibat adu mulut dengan Esih. Terus histeris, lalu pingsan.” jawab mang Sobri mensejajarkan langkahnya dengan Tiara.

Kedua tangan Tiara mengepal. Bibinya yang memiliki nama lengkap Sukaesih itu, memang kerap membuat keonaran di rumahnya. Ada saja alasannya untuk mencerca kedua orang tuanya, dan merendahkan mereka.

Padahal, sepanjang yang ia tahu. Kedua orang tuanya tidak pernah satu kali pun membuat masalah dengannya.

Entahlah. Punya dendam apa sebenarnya Esih terhadap Nurma dan almarhum Muhammad, kedua orang tua Tiara. Sehingga ia tampak seperti tidak suka sekali dengan mereka.

***

Kurang lebih 15 menit, jarak tempuh dari pemakaman desa Tirtayasa, menuju rumah sederhana milik orang tua Tiara.

Hanya terdapat lima rumah, yang berdiri di sana. Terpisah dari pemukiman padat penduduk kampung Neglasari, yang terletak di salah satu kaki gunung di Jawa Barat.

“Ibu kenapa, Bi?” tanya Tiara pada Esih, yang berdiri tidak jauh dari tubuh ibunya yang tergeletak di atas karpet.

“Mungkin ibumu kecapekan, Ra. Tidak usah khawatir, nanti juga bangun sendiri.” jawab Esih, tidak tampak rasa iba sedikit pun di wajahnya.

“Mang Sobri bilang. Ibu sempat cekcok dengan Bibi, sebelum ia pingsan.” ujar Tiara, menatap tajam pada Esih.”Apa benar yang dikatakannya, Bi?” tanyanya, kemudian.

“Kamu lebih percaya orang lain dari pada bibimu sendiri?” Esih balik bertanya, menatap nyalang pada Tiara.

“Tapi. Teh Esih memang sempat adu mulut dengan teh Nurma, ‘kan? Banyak saksinya, bukan saya saja.” ujar mang Sobri, membela diri.

Dada Tiara naik turun, sebab amarah yang tertahan. Diusapnya wajah ibunya, yang menghitam karena terbakar matahari.

Ya. Pekerjaannya sebagai buruh tani, membuatnya harus terpapar sinar matahari setiap hari, dan menyebabkan kulit wajahnya berwarna kehitaman.

Tak lama kemudian, mak Iroh datang membawakan segelas teh manis hangat untuk Nurma.

Perlahan, dengan mengunakan sendok, Tiara meminumkannya pada ibunya.

Nurma terbatuk-batuk. Pelan, membuka kedua matanya yang tadi mengatup.

“Ibu sudah sadar!” seru Tiara, kemudian membantu Nurma duduk.

“Apa aku bilang, ibumu hanya kecapekan saja.” ujar Esih, sinis.

Nurma menoleh sejenak pada Esih, lalu menundukkan wajahnya. Menyembunyikan kedua matanya yang mengembun.

“Ya, sudah. Nanti sore aku kirim beras dan mie instan satu dus buat tahlilan kang Muh.” sambung Esih. “Tapi ingat ya, ini tidak gratis. Nanti aku catat di buku utang almarhum.”

Tiara menatap tajam pada Sukaesih. Ia benar-benar tidak habis pikir. Saat keluarganya sedang berduka pun, bibinya itu masih saja perhitungan.

Ingin rasanya membalas ucapan pedas bibinya itu, tapi Nurma memberi isyarat padanya untuk diam.

***

Satu Minggu berlalu. Nurma yang masih berduka, sesekali masih menitikkan airmata.

20 tahun membina rumah tangga dengan Muhammad, almarhum suaminya, tidak satu kali pun Nurma mengeluh atau pun khawatir akan masa depan anak-anaknya.

Tapi. Saat Muhammad pergi tanpa meninggalkan apa pun, bahkan hanya menyisakan utang. Nurma kebingungan. Ia tidak tahu bagaimana harus bertahan dengan ketiga anaknya.

Nurma tersadar dari lamunan. Saat seseorang mengetuk keras pintu depan rumahnya.

“Biar Tiara saja yang buka, Bu.” ujar Tiara, ke luar dari kamarnya.

Kemudian membuka pintu rumah yang terbuat dari anyaman bambu itu.

Tiara sempat mematung, saat mengetahui siapa yang pagi-pagi sekali sudah mendatangi rumahnya.”Bi, Esih? Ada apa, pagi-pagi sekali sudah datang ke rumah?” tanyanya, menatap tidak suka pada istri dari adik alamrhum bapaknya itu.

“Saya mau ketemu ibumu.” jawab Esih.”Cepat panggilkan ibumu!” titahnya, sinis.

“Baik, Bi. Silakan masuk saja dulu. Biar Tiara panggilkan ibu” ucap Tiara, masih berusaha untuk tetap bersikap ramah.

“Tidak usah. Saya tunggu di teras saja.” tolak Esih.

Tiara mendengus. Kemudian gegas kembali masuk ke dalam rumah untuk memanggilkan ibunya.

Tak lama kemudian, ia pun kembali bersama dengan Nurma.

“Ada apa, Sih?” tanya Nurma, begitu sudah duduk saling berhadapan dengan Esih.

“Begini, Teh. Aku tahu, setelah kang Muh tidak ada. Teteh pasti kebingungan bagaimana caranya mencari makan untuk Teteh dan anak-anak. Betul, ‘kan?” tanya Esih, mulai menyampaikan niatnya mendatangi Nurma.

Ibunya Tiara mengangguk, pelan.”Betul.” ucapnya, singkat.

“Kalau mau. Teh Nurma boleh bekerja di tokoku, nanti aku beri upah seperti orang lain yang berkerja pada umumnya.” ujar Esih.

Nurma terdiam. Lalu menoleh pada Tiara.

“Tidak perlu meminta persetujuan dari anak-anakmu, Teh. Mereka mana tahu bagaimana sulitnya mencari uang.” sambung Esih, menoleh tidak suka pada Tiara.

Anak sulung dari Nurma yang Esih anggap sok itu. Pasti keberatan jika ibunya bekerja di tempatnya. Karena menurut Tiara, selama ini Esih dan neneknya. Tidak benar-benar berniat membantu keluarganya. Melainkan hanya ingin merendahkan ibu dan bapaknya saja.

“Tiara terserah Ibu saja.” ujar Tiara, pasrah.

Ia tahu, bukan saatnya meninggikan egonya. Karena ia sadar, belum bisa banyak membantu ibunya.

Kendati berat hati membiarkan ibunya bekerja pada Sukaesih. Tiara tidak ada pilihan lain. Untuk menyambung kebutuhan hidupnya, ia harus mengikhlaskan Nurma bekerja pada bibinya itu.

“Baiklah, Sih. Saya mau.” jawab Nurma, menyetujui tawaran Esih.

“Ya, sudah. Kalau teh Nurma sudah setuju. Besok jam tujuh, sudah harus ada toko, ya!’ ujar Esih, sembari menyodorkan bungkusan plastik hitam.”Ini ada beras dan mie instan, cukup lah untuk makan hari ini.”

Nurma menganguk.”Terima kasih, Sih.” ucapnya, meraih plastik hitam dari tangan Sukaesih.

“Ya, sama-sama.” balas Sukaesih, kemudian gegas berpamitan.

***

Tiara baru saja menyelesaikan pekerjaannya, menggantikan tugas yang biasa dilakukan ibunya di kediaman Esih.

Sudah seminggu terakhir, Nurma mengeluh sakit pinggang. Dan puncaknya tadi pagi, ia tidak bisa bangun dari tempat tidurnya.

Akhirnya. Tiara, yang sudah satu bulan terakhir membantu mengajar TPA di desanya. Terpaksa mengambil libur, untuk menggantikan ibunya.

“Ambil upahmu, di atas meja!” titah Esih, mengarahkan telunjuknya pada kantong plastik hitam berisikan satu liter beras yang tergeletak di atas meja dapur. “Ingat. Besok jangan datang terlalu siang, ya!” sambungnya, ketus.

Mutiara mengangguk, lalu mendekat pada Meja yang dimaksud. Diraihnya bungkusan hitam yang tergeletak di atasnya.”Maaf, Bi. Ini beras untuk apa?” tanyanya, menoleh pada Esih.

Sejenak, Esih meletakkan ponsel di tangannya.”Maksud kamu bertanya seperti itu, apa?”

“Maaf, Bi. Tiara tidak bermaksud apa-apa. Hanya bingung, kenapa bi Esih memberi Tiara beras?”

Sukaesih membulatkan kedua matanya.”Beras itu, ya upahmu. Pake acara tanya segala!” ketus Esih, mendekati Tiara. “Memangnya ibumu tidak pernah bilang, setiap hari dapat beras dari mana?” tanyanya kemudian.

Mutiara menggeleng.”Jadi satu liter beras yang selalu Ibu bawa pulang itu, upahnya setelah seharian membantu pekerjaan di toko dan rumah Bibi?” tanyanya, dengan penekanan.

“Iya lah. Jaman sekarang, mana ada yang mau ngasih sesuatu secara cuma-cuma.” ujar Sukaesih, menatap sinis pada Tiara.

Seketika tangan Mutiara gemetar, menggenggam plastik hitam dengan erat. Ia tidak menyangka. Selama ini, tenaga ibunya hanya dihargai satu liter beras oleh seseorang yang seharusnya bisa memberinya berkali lipat lebih dari itu.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status