Beranda / Romansa / Upah Satu Liter Beras / Bab 4. Tiga Puluh Ribu Sehari

Share

Bab 4. Tiga Puluh Ribu Sehari

"Tiara!” sentak Nurma.”Apa yang kamu katakan, Nak? Tidak baik, bicara seperti itu pada orang yang sudah meninggal. Terlebih itu bapakmu sendiri.”

Tiara menatap nanar ibunya.”Maafkan Tiara, Bu. Tiara tidak bermaksud seperti itu.” ucapnya, berusaha menahan butiran bening yang sudah berdesakan di kelopak matanya. “Berapa sebenarnya hitungan upah yang bi Esih berikan pada Ibu?” tanyanya kemudian, tertuju pada Esih.

“Untuk apa kamu tanya-tanya soal upah ibumu? Aku tidak akan berbuat curang dengan tidak memberinya upah, atau tidak memotong cicilan utang almarhum bapakmu dari upah yang diterima ibumu.” ujar Esih, berang.

“Jika betul yang bi Esih katakan. Kenapa tidak satu rupiah pun ada pengurangan di utang Bapak? Seharusnya sejak Ibu memutuskan bekerja di toko bi Esih, utang Bapak sudah berkurang dari total satu bulan lalu?” tanya Tiara, menelisik.

Esih gelagapan.”Ee... Aku belum mencatatnya.” jawabnya, gugup.

“Ya, sudah. Bi Esih Katakan saja, berapa upah Ibu yang sebenarnya?” lagi, Tiara bertanya pada Sukaesih.

“Tiga puluh Ribu.” jawab Esih ketus. “Kenapa terus tanya upah ibumu? Memangnya kamu yang mau ganti mencicilnya?” tanya Esih, dengan nada mencemooh.

“Ya. Mulai besok aku yang akan mencicilnya, sesuai nominal upah yang sudah bi Esih sebutkan tadi.” jawab Tiara, yakin.

“Dari mana kamu mendapat uangnya? Memangnya berapa sih, gaji dari mengajar di TPA?” Esih, kembali bertanya. "Baru mengajar di TPA saja, sudah besar kepala!"

“Bi Esih tidak perlu tahu dari mana aku mendapatkan uangnya.” ujar Tiara. “Nanti aku minta nomor rekening Bibi atau dompet digital Jani. Mulai besok aku akan transfer cicilannya. Biar buktinya tidak hilang.” sambungnya.

Dada Esih terlihat kembang kempis. Ia tidak terima dikalahkan dan dibuat malu oleh Tiara.’Kurang a*Ar! Anak kang Muh yang satu ini, memang tidak bisa dianggap remeh.’ batinnya, menggerutu.

“Tidak ada lagi yang perlu bi Esih bicarakan lagi dengan Ibu, ‘kan?” tanya Tiara, mengejutkan Esih yang tengah mencari cara untuk menjatuhkannya.

“Jika tidak ada. Silakan, bi Esih ke luar dari sini!” sambung Tiara, mengusir bibinya.

Esih bangkit. Tanpa berkata-kata, ia pun bergegas meninggalkan Tiara dan ibunya.

***

Sejak perdebatannya dengan Esih, terkait utang almarhum bapaknya. Tiara mulai rutin melakukan transfer sebesar 30 ribu, untuk mencicil utang yang konon ditinggalkan bapaknya, melalui aplikasi dompet digital milik Anjani, anaknya Sukaesih.

Dan, untuk jaga-jaga dari kebutuhan keluarganya yang bisa saja datang di luar dugaan. Tiara terpaksa menjual handphone, satu-satunya barang berharga milikinya yang dibelikan Muhammad untuk keperluan daring dua tahun lalu.

“Kalau tidak ada ponsel, bagaimana kalau nanti ada info penting dari sekolah aku, Teh? Ke mana mereka harus menghubungi aku?” tanya Cahaya, menyesali keputusan Tiara yang menurutnya terlalu terburu-buru.

“Sementara kita pinjam nomor ponsel teh Tini saja dulu. Nanti Teteh yang bicara padanya.” jawab Tiara, memberi solusi.

Tini, yang memiliki nama lengkap Kartini. Anaknya mak Iroh, yang sehari-hari bekerja di sawah itu, sama baiknya seperti Mak’nya.

Di tengah keterbatasannya yang juga sudah tidak memiliki bapak. Tini, begitu ia biasa dipanggil, selalu berbagi dengan keluarga Tiara.

Kadang Tiara kasian juga dengannya. Di usianya yang sudah kepala tiga, di mana gadis seusianya sudah menikah dan memiliki anak. Tini masih melajang. Bahkan tidak satu kali pun ia melihat wanita yang sering diledek perawan tua itu, jalan dengan seorang laki-laki.

Cahaya mendengus.”Sebulan lalu teh Tiara sudah menjual sepeda Bapak. Terus kemarin, Teteh juga jual handphone. Setelah ini, apa lagi yang akan Teteh jual?” tanyanya, terlihat kesal.

“Kamu ini kenapa, Aya? Kenapa bicara seperti itu? Memangnya Teteh menjual semua itu untuk kepentingan teteh sendiri?” Tiara balik bertanya dengan nada tinggi.

Cahaya menundukkan wajahnya. Sungguh, ia tidak bermaksud menyudutkan kakak perempuannya. Ia hanya bingung, bagiamana caranya bisa berkomunikasi dengan teman-temannya. Terlebih, akhir-akhir ini banyak tugas sekolah yang dibagikan melalui aplikasi pesan pada ponsel.

“Secepatnya Teteh akan membeli gantinya.” ucap Tiara, meninggalkan Cahaya yang terlihat menyesal telah mengucapkan kalimat yang sudah menyinggung perasaannya.

Nurma yang mendengar percakapan di antara kedua anak perempuannya. Perlahan bangkit dari pembaringannya. Lalu mendekat pada Cahaya yang masih duduk sendirian di dapur.

“Ibu tahu, kamu perlu ponsel untuk keperluan sekolahmu, Ya. Bersabarlah, Ibu dan tetehmu akan cari cara agar bisa kembali membeli ponsel untukmu.” ujar Nurma, mengusap lembut bahu Cahaya.”Ibu sedang sakit, tetehmu juga tidak mungkin terus libur mengajar. Karena jika tidak ada uang 30 ribu untuk mencicil utang Bapak. Itu artinya tetehmu harus bekerja pada bibimu menggantikan Ibu.

Cahaya bergeming. Kian menundukkan wajahnya.

“Ibu harap, kamu mengerti situasi yang sedang kita hadapi saat ini, terutama tetehmu.”

Cahaya mengangguk.”Maafkan Aya, Bu.” ucapnya, seraya menyeka kedua matanya yang basah.

***

“Yu, kira-kira di kecamatan ada gak ya, orang tua yang mencari guru ngaji untuk anaknya?” tanya Tiara pada Rahayu, teman mengajar di TPA Daarul-Ikhlas.

“Memangnya kenapa, Ra?” Rahayu balik bertanya.

“Aku butuh uang saku tambahan, untuk ongkos adik-adikku ke sekolah, Yu. “jawab Tiara. “Belum lagi untuk keperluan rumah, aku bingung kalau hanya mengandalkan gaji dari mengajar di TPA.”

Ayu, begitu biasa Rahayu dipanggil. Terdiam sejenak.

“Kenapa tidak coba tanya sama ustadzah Imah saja, Ra?” tanyanya kemudian. “Pasti kenal dekat dengan banyak orang tua siswa. Siapa tahu, salah satu dari mereka perlu guru ngaji.”

“Kamu betul juga, Yu. Nanti aku coba tanya pada beliau.” ujar Tiara, seperti menemukan harapan baru.

“Ngapain nanti, Ra? Sekarang saja, mumpung lagi istrhat.”

"Kamu benar. Kenapa harus tunggu nanti." ucap Tiara.

Kemudian ia bangkit dari duduknya.

Ia memang tidak boleh mengulur-ulur waktu. Mengingat kebutuhannya yang kian mendesak.

***

“Assalamu’alaikum. Mohon maaf, izin minta waktunya sebentar, Ustadzah.” Tiara mengucap salam, dari ambang pintu ruangan guru.

“Masuk, Ra.” sambut ustadzah Rohimah, mempersilakan satu bangku kosong untuk Tiara. “Ada apa, Ra?” tanyanya kemudian.

Dengan hati-hati, Tiara pun menyampaikan tujuannya menemui Ustadzah Imah.

Wanita bersahaja, yang belum juga dikaruniai anak di usianya pernikahannya yang sudah berjalan hampir 20 tahun itu. Terlihat tengah berusaha mengingat sesuatu.

“Kebetulan sekali, Ra. Bu Lurah sedang mencari guru ngaji untuk cucunya, anaknya teh Lia.” ujar ustadzah Imah. “Mengingat rumahmu yang jauh dari Desa, tadinya saya mau menawarkannya pada Ayu. Tapi kalau kamu sanggup, saya rasa tidak ada salahnya untuk kamu coba.”

“Benarkah, Ustadzah?” tanya Tiara, sumringah.

“Iya, Ra. Kalau kamu bersedia. Mulai sore ini, kamu sudah bisa mulai menggantikan saya.” jawab ustadzah Imah dengan senyumnya yang khas.”Sepulang dari TPA nanti, kita ke rumah bu Lurah sama-sama.” sambunganya.

“Terima kasih banyak , Ustadzah.” ucap Tiara, seraya berdiri.

Kemudian gegas berpamitan, dan kembali menemui Rahayu.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status