Bu Ratna mematung di depan pintu saat mendapati pak Azhari dan Tiara berdiri tepat di depannya.”Kang Azhari?” gumamnya, nyaris tidak terdengar. “Ya, saya Azhari.” ucap pak Azhari, terdengar gugup. “Bagaimana kang Azhari bisa ada di sini? Lalu, Tiara? Bagaimana kalian berdua bisa bertemu?” tanya bu Ratna, masih berdiri di ambang pintu. “Izinkan saya dan Tiara, masuk. Kita bicara di dalam.” Bu Ratna bergeser, lalu mundur beberapa langkah.”Silakan.” ucapnya pelan. “Siapa, Bu?” Parman yang sejak tadi bersembunyi di kamar, turut menemui Tiara dan pak Azahari. Sebelumnya ia mengira Esih yang datang, makanya memilih mengunci diri di kamar bersama Fatma, istri barunya. Bu Ratna tidak menyahut. “Saya Azhari, kakeknya Tiara.” Pak Azhari memperkenalkan diri pada Parman. “Maksudnya?” Parman menautkan kedua alisnya, lalu mengambil posisi duduk di samping bu Ratna. “Saya papanya Ika Nurmala, ibunya Tiara.” jawab pak Azhari, menoleh pada Tiara. Keduanya bersegera duduk, bersisian. Parma
“Silakan diminum, Pak.” Ratih meletakkan dua gelas yang dibawanya di atas meja. “Terima kasih, bu Lurah.” balas pak Azhari, seraya meraih minuman yang disajikan untuknya. Tidak banyak berbasa-basi, pak Azhari pun kemudian mengutarakan maksud kedatangannya menemui Ratih.”Tiara sudah menceritakan semuanya pada saya. Dan saya sangat berterima kasih sekali, bu Lurah sudah berkenan membantu cucu saya dengan menerima sertifikat tanah miliknya untuk dijaminkan atas sejumlah uang yang dipinjamnya.” ucapanya, tertuju pada Ratih. “Sama-sama, Pak. Saya hanya melakukan apa yang semestinya saya lakukan.” balas Ratih, terlihat tulus. “Tunggu sebentar, saya ambilkan Sertifikatnya.” sambungnya. Kemudian bergegas menuju kamarnya, untuk mengambil sertifikat tanah milik Tiara yang dititipkan padanya. Tak lama, Ratih kembali menemui Tiara dan kakeknya di ruang tamu. “Ini sertifikatnya, Ra.” ucap Ratih, menyodorkan dokumen kepemilikan tanah milik Tiara. “Terima kasih banyak untuk kebaikan yang suda
“Baiklah, Bibi setuju menggadaikan tanah beserta tokonya sama kamu, Ra.” putus Esih. Untuk kebebasan Anjani, juga keamanan dirinya dari kejaran makelar tanah, Esih rela melepas hartanya. “Berapa yang Bibi butuhkan?” tanya Tiara, mengarah pada Esih. “Bibi butuh 200 juta, Ra.” jawab Esih. Tiara membuatkan kedua matanya.“Yang benar saja, Bi? Kalau 200 juta mah bukan digadaikan, tapi dijual.” protesnya. “Tapi bibi perlunya segutu, Ra.” Tiara menggelengkan kepala.”Maaf, Bi. Kalau 200 juta, aku dan Kakek tidak bisa.” “Lalu, berapa yang kamu bisa bantu untuk bibi, Ra?” tanya Esih, terpaksa mengalah. “100 juta. Aku rasa itu harga yang pantas.” jawab Tiara, memberikan penawaran. “Tlong melebihkan, Ra.” Esih masih berupaya mengubah keputusan Tiara. “Baiklah, aku akan minta Kakek untuk membantu Bibi 120 juta. Tidak ada lagi tawar menawar!” tegas Tiara, mengukuhkan keputusannya. Dengan terpaksa, Esih mengangguk setuju. Lalu kemudian, ia bergegas mengambil surat-surat kepemilikan tanah
Tiara, begitu gadis yang memiliki nama lengkap Mutiara Pratiwi itu biasa dipanggil, terlihat masih menangisi kepergian bapaknya.Ditinggal pergi untuk selamanya secara tiba-tiba, tidak hanya menyisakan kesedihan untuknya. Tapi juga kehilangan yang dalam akan sosok Bapak yang selama ini menjadi pelindung baginya, ibu, juga kedua adiknya.“Sudahlah, Ra. Ikhlaskan kepergian bapakmu, tidak baik terus menangisinya.” ucap mak Iroh, tetangga dekat rumahnya yang selama ini selalu baik pada keluarganya.Tiara bergeming. Ia masih enggan beranjak dari tempat peristirahatan terakhir bapaknya. Ia masih saja terdengar meratapi kepergiannya.“Kasian ibumu, Ra. Dia pasti tengah kerepotan mempersiapkan untuk tahlilan bapakmu malam nanti.” lagi, mak Iroh membujuk Tiara agar segera meninggalkan pemakaman.Tiara mengusap pipinya yang basah. Mak Iroh benar, selain dirinya, tidak akan ada keluarga yang bersedia membantu ibunya.Bu Ratna, Nenek dari bapaknya, yang tinggal di kampung sebelah. Pasti tidak aka
"Apa aku tidak salah dengar? Bibi hanya memberi Ibu satu liter beras, setelah begitu banyak pekerjaan yang dilakukannya?” Tiara kembali bertanya, kali ini dengan intonasi meninggi.“Memang kamu berharap, aku membayar ibumu dengan apa? Syukur aku masih berempati pada ibumu, dan bersedia memberinya upah.” jawab Esih, pongah. “Asal kamu tahu. Seharusnya aku tidak memberikan upah pada ibumu, karena ayahmu sudah berutang banyak padaku.” ujarnya, sambil berkacak pinggang.Tiara mengepal.”Sudah, cukup Bi! Ini hari terakhir Ibu kerja pada Bibi. Terima kasih sudah memberi Ibu pekerjaan. Aku tidak akan ambil upahnya. Anggap saja hari ini aku dengan suka rela membantu Bibi.” ucapnya, seraya meletakkan satu plastik beras di tangan Esih.Terang saja, apa yang dilakukan Tiara membuat Esih meradang.”Dasar anak tidak tahu diuntung. Sudah miskin, belagu pula!” umpatnya.Kemudian ia meneriaki Tiara, dan menyumpahi ibunya tidak mendapatkan pekerjaan di tempat lain.Tiara tidak peduli. Ia terus melangkah
"Ada apa, Ra? Jawab Ibu!” ulang Nurma.“Tadi sore saja sok bertingkah. Sekarang melempem!” ujar Esih.” Kalau kamu tidak berani bicara dengan ibumu, biar aku saja yang bicara padanya.” lanjut Esih, menatap rendah pada Tiara dan ibunya.“Katakan saja, Teh. Memangnya apa yang Tiara lakukan?” tanya Nurma, beralih pada Sukaesih.Esih mendengus kasar.”Tadi sore, anak perempuanmu yang sombong ini, menolak menerima upah dariku. Terus dia juga bilang, teh Nurma tidak akan lagi bekerja di tokoku.” ujarnya, menatap benci pada Tiara.Nurma tersentak. Tiara memang mirip dirinya waktu masih muda. Keras pendirian, pantang menyerah, dan tidak mudah menerima bantuan dari orang lain. Tapi, sepengetahuan dirinya. Anak sulungnya itu selalu bersikap hormat dengan orang yang lebih tua darinya. Terlebih bibinya sendiri. Lalu bagaimana mungkin, Tiara menyombongkan dirinya pada Esih.“Benar yang dikatakan bi Esih, Ra?” tanya Nurma, menatap lekat pada Tiara.Tiara mengangkat wajahnya. Ia tidak ingin terlihat l
"Tiara!” sentak Nurma.”Apa yang kamu katakan, Nak? Tidak baik, bicara seperti itu pada orang yang sudah meninggal. Terlebih itu bapakmu sendiri.”Tiara menatap nanar ibunya.”Maafkan Tiara, Bu. Tiara tidak bermaksud seperti itu.” ucapnya, berusaha menahan butiran bening yang sudah berdesakan di kelopak matanya. “Berapa sebenarnya hitungan upah yang bi Esih berikan pada Ibu?” tanyanya kemudian, tertuju pada Esih.“Untuk apa kamu tanya-tanya soal upah ibumu? Aku tidak akan berbuat curang dengan tidak memberinya upah, atau tidak memotong cicilan utang almarhum bapakmu dari upah yang diterima ibumu.” ujar Esih, berang.“Jika betul yang bi Esih katakan. Kenapa tidak satu rupiah pun ada pengurangan di utang Bapak? Seharusnya sejak Ibu memutuskan bekerja di toko bi Esih, utang Bapak sudah berkurang dari total satu bulan lalu?” tanya Tiara, menelisik.Esih gelagapan.”Ee... Aku belum mencatatnya.” jawabnya, gugup.“Ya, sudah. Bi Esih Katakan saja, berapa upah Ibu yang sebenarnya?” lagi, Tiara b
Lepas ashar. Tiara yang berboncengan dengan ustadzah Imah, terlihat menuju kediaman pak Lurah Saman.Seperti yang sudah direncanakan. ustadzah Imah, akan memperkenalkan Tiara pada bu Lurah, sebagai guru ngaji baru untuk cucunya.Tiba di sana, Tiara berpapasan dengan Anjani, adik sepupunya yang sudah bersiap dengan motor maticnya.Sepertinya, ia baru saja menemui Fahmi, anak kedua pak Lurah, yang berkuliah di kampus yang sama dengannya.“Kamu sedang apa ada di sini, Ra?” tanya Jani, setengah berbisik.“Aku mau bertemu dengan bu Lurah, Jan.” jawab Tiara, gegas mengikuti langkah ustadzah Imah yang berjalan di depannya.“Tunggu dulu!” cegah Anjani, menarik paksa lengan Tiara.”Aku belum selesai bicara denganmu.”“Ada apa, Jan?” tanya Tiara, seraya berusaha melepas pegangan tangan Anjani.“Ada perlu apa, kamu bertemu dengan bu Lurah?” Anjani menjawab dengan bertanya balik.“Ini tidak ada urusannya denganmu, Jan.” jawab Tiara. “Jadi tidak ada kewajibanku, untuk menjawab pertanyaanmu.”Anjani