Beranda / Romansa / Upah Satu Liter Beras / Bab 5. Menemui bu Lurah

Share

Bab 5. Menemui bu Lurah

Lepas ashar. Tiara yang berboncengan dengan ustadzah Imah, terlihat menuju kediaman pak Lurah Saman.

Seperti yang sudah direncanakan. ustadzah Imah, akan memperkenalkan Tiara pada bu Lurah, sebagai guru ngaji baru untuk cucunya.

Tiba di sana, Tiara berpapasan dengan Anjani, adik sepupunya yang sudah bersiap dengan motor maticnya.

Sepertinya, ia baru saja menemui Fahmi, anak kedua pak Lurah, yang berkuliah di kampus yang sama dengannya.

“Kamu sedang apa ada di sini, Ra?” tanya Jani, setengah berbisik.

“Aku mau bertemu dengan bu Lurah, Jan.” jawab Tiara, gegas mengikuti langkah ustadzah Imah yang berjalan di depannya.

“Tunggu dulu!” cegah Anjani, menarik paksa lengan Tiara.”Aku belum selesai bicara denganmu.”

“Ada apa, Jan?” tanya Tiara, seraya berusaha melepas pegangan tangan Anjani.

“Ada perlu apa, kamu bertemu dengan bu Lurah?” Anjani menjawab dengan bertanya balik.

“Ini tidak ada urusannya denganmu, Jan.” jawab Tiara. “Jadi tidak ada kewajibanku, untuk menjawab pertanyaanmu.”

Anjani baru saja hendak membalas kalimat Tiara. Tapi, dari arah pintu terlihat bu Lurah memanggil Tiara.

Terpaksa, Anjani pun melepas tangannya dari pergelangan tangan Tiara.

Dengan langkah cepat. Tiara mendekat ke arah pintu. Lalu memberi salam pada Ratih, istrinya Lurah Saman.

Sejenak, Anjani mengawasi Tiara. Sampai ia menghilang di balik pintu rumah laki-laki yang tengah di dekatinya itu.’Awas saja. Kalau sampai aku dengar, kamu mencoba menarik perhatian Aa Fahmi. Akan ku buat keluargamu semakin melarat.’ batin Jani, kemudian melajukan motor maticnya meninggalkan kediaman pak Lurah.

***

“Kamu bukannya anaknya Nurma, ya?” tanya Ratih, tertuju pada Tiara.

“Betul, Bu.” jawab Tiara, menganggukkan kepala.

“Jadi sekarang kamu mengajar di TPA bersama ustadzah Imah?” lagi, Ratih bertanya pada Tiara.

“Iya, Bu.” Tiara kembali menjawab, ramah.

“Tiara ini selain cerdas, anaknya baik. Dan mau terus belajar.” ujar ustadzah Imah, memberi pujian pada Tiara.

“Sama seperti ibunya. Nurma juga baik, kalau bekerja tidak banyak maunya seperti yang lain.” Ratih, menimpali.

Untuk beberapa saat. Mereka bertiga terlibat perbincangan.

Setelahnya, Ratih memperkenalkan anak kecil bernama Medina Putri. Cucu pertama, dari anak pertamanya.”Sini, Nak. Dekat Nenek dulu!” serunya, memanggil Putri yang tengah berada di belakang bersama pengasuhnya.

“Kenalkan. Ini, bu Tiara. Mulai hari ini, beliau yang akan menggantikan bu Ustadzah.” sambung Ratih, meraih tangan cucunya.

“Putri.” ucap anak kecil berusia lima tahu itu, mengulurkan tangannya.

Tiara menyambut uluran tangannya, sambil menyebutkan namanya.

Kemudian. Untuk perkenalan, Tiara pun mulai mengajarkan iqro pada Putri di ruang tengah.

Sementara ustadzah Imah, terlihat berpamitan pada Ratih. Karena sudah ditunggu beberapa siswa yang mengambil les privat di kediamannya.

Kurang lebih satu jam, Tiara mengajar Iqro pada Putri.

Ratih yang melihat cara Tiara mengajar cucunya, terlihat senang. Apa lagi saat melihat Putri yang juga tampak antusias.

Berbeda saat belajar dengan Ustadzah Imah. Seperti ada sungkan, yang membuat Putri terlihat cepat bosan.

“Kamu tidak ada kendaraan ya, Ra?” tanya Ratih, saat Tiara hendak berpamitan.

“Tidak ada, Bu.” jawab Tiara.

“Dari sini ke rumah kamu itu, lumayan jauh loh. Apa tidak takut kemaghriban di jalan?”

Tiara menggeleng.”In Syaa Allah tidak, Bu.”

Ratih tertegun sejenak. Kemudian ia manggil anak laki-lakinya.”Fah... Fahmi! Ke sini dulu, Fah.” panggilannya.

Fahmi yang sejak tadi memang tengah menguping pembicaraan ibunya dengan Tiara, gegas ke luar dari kamarnya.

“Ada apa, Bu?” tanya Fahmi, sambil mencuri pandang pada Tiara yang berdiri di samping ibunya.

“Kamu antarkan Tiara pulang, ya. Kasian sudah kesorean. Ibu khawatir nanti maghrib di jalan.” ujar Ratih, memberi perintah.

Gayung bersambut. Fahmi yang memang berharap bisa mengantar Tiara, malah mendapat kesempatan itu dari ibunya.

“Baik, Bu.” ucap Fahmi, kemudian mengeluarkan motornya dari garasi.

“Hari ini kamu diantar Fahmi dulu ya, Ra. Tadi kita kelamaan ngobrol. Jadinya kamu kesorean pulangnya.” ujar Ratih, seraya menyodorkan bingkisan pada Tiara.”Titip untuk ibu dan adikmu.”

“Apa ini, Bu?” tanya Tiara, mengerenyitkan dahinya.

“Itu kue, Ra.”jawab Ratih. “Tadi, pak Lurah mendapat berekat seserahan dari yang nikahan.”

“Duh, jadi merepotkan Ibu.” ujar Tiara, tampak sungkan.

“Tidak repot, Ra. Kebetulan dapatnya banyak. Sayang kalau sampai tidak kemakan, bisa basi.”

“Terima kasih, Bu.” ucap Tiara, kemudian mendekat pada Fahmi yang sudah menunggunya di atas motor.

“Fahmi berangkat dulu ya, Bu.” ucap Fahmi, kemudian melajukan motornya dengan perlahan.

***

Hampir lima menit dalam perjalanan. Nyaris tidak ada percakapan apa pun di antara Tiara dan Fahmi.

Tiara yang memang jarang sekali melihat Fahmi, dan tidak begitu kenal dengannya. Tampak terlihat tenang dan memilih diam.

Berbeda dengan Tiara. Fahmi justru terlihat grogi saat berada sangat dekat dengan Tiara, wanita yang diam-diam dikaguminya.

Ya. Laki-laki yang tengah kuliah di semester tujuh itu, tanpa Tiara ketahui. Sering memperhatikannya, jika kebetulan dirinya sedang melintas di TPA.

Dan tidak jarang, ia sering mengorek keterangan tentangnya dari Anjani. Walau pun hasilnya tidak pernah memuaskan.

“Tidak ada niat untuk kuliah, Ra?” tanya Fahmi, memberanikan diri memulai percakapan.

“Niat ada. Tapi mungkin tidak dalam waktu dekat ini, Aa.” jawab Tiara.

“Kenapa?” lagi, Fahmi mengajukan tanya.

Mendengar pertanyaan Fahmi, Tiara mengukir senyum getir.”Kuliah ‘kan tidak mudah, Aa. Memerlukan persiapan yang matang. Terutama biaya.” jawabnya.

“Kalau permasalahannya biaya. Saat ini ‘kan banyak program pemerintah untuk beasiswa anak berprestasi. Kenapa tidak mencobanya, Ra?”

“Minim informasi, Aa.”

Fahmi manggut-manggut. Di desanya, kesadaran warga akan pentingnya pendidikan bisa dikatakan memang masih sangat minim sekali.

Masih banyak warga yang menyekolahkan anak-anaknya hanya sampai tamat SD saja, setelah itu diminta membantu orangtuanya masing-masing di sawah.

Entahlah. Mungkin karena letak sekolah yang jauh. Atau memang tidak ada keinginan dari mereka untuk memperbaiki pendidikan anak-anaknya.

Setelah lumayan cukup banyak saling bertukar pengalaman. Motor yang dikendarai Fahmi pun, tiba di depan rumah sangat sederhana milik orang tua Tiara.

“Terima kasih, sudah mau mengantarkan saya, Aa.” ucap Tiara, merapatkan kedua telapak tangannya di udara.

“Sama-sama, Ra.” balas Fahmi. “Kalau perlu informasi seputar beasiswa, nanti saya bantu.” sambunganya.

Tiara mengangguk.”Baik, Terima kasih.” ucapanya.

Kemudian. Setelah memastikan Fahmi meninggalkan halaman rumahnya. Tiara pun berbalik badan, hendak memasuki rumah.

Namun langkahnya terhenti. Saat satu suara menghentikannya.

Sontak, Tiara kembali membalikkan badannya. Dan mendapati Anjani sudah berdiri tidak jauh di hadapannya.

“Jani! Kamu sedang apa di sini?” tanya Tiara, keheranan.

Anjani tidak menyahut.

Dengan tatapan penuh amarah. Ia mendekat pada Tiara. Lalu mencengkram kuat kedua bahunya.”Kamu sengaja ya, mendekati Fahmi?” tanyanya, tajam menatap pada Tiara.

“Kamu ini kesurupan demit, ya!” seru Tiara, seraya mendorong tubuh Anjani sekuat tenaga hingga membuatnya terjerembab di tanah.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status