Beranda / Romansa / Upah Satu Liter Beras / Bab 12. Pesan dari Ibu

Share

Bab 12. Pesan dari Ibu

Penulis: Ananda Aisha
last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-05 19:30:46

“Jadi, kita masih punya Kakek dan Nenek, Teh?” tanya Cahaya, setelah selesai membaca surat dari Nurma yang ditujukan untuk mereka bertiga.

Tiara mengangguk.”Sebelum Ibu menghembuskan napas terakhirnya, beliau sempat mengucapkan kalimat seperti sebuah pesan untuk kita.” ucapnya, menatap kedua adiknya bergantian.

“Apa itu, Teh?” tanya Cahaya dan Hasan, nyaris bersamaan.

“Pergi ke Kota. Itu yang Teteh dengar dari Ibu.” Jawab Tiara.”Tidak begitu jelas. Tapi Teteh yakin, kalimat itu yang Ibu katakan.”

“Itu berarti sama dengan isi pesan dalam surat ini, Teh?” tanya Cahaya.”

“Ya. Kemungkinan besar seperti itu.” Tiara kembali menjawab. “Tapi pertanyaannya, kota mana yang Ibu maksud? Ibu tidak menyebutkan nama kota yang harus kita tuju.”

“Berarti kita harus mencari fhoto yang disimpan bapak. Sesuai kalimat yang ibu katakan dalam surat ini, Teh.” ujar Cahaya. “Karena menurut petunjuk dalam surat Ibu, alamat itu ada di fhoto tersebut.”

“Kamu bener, Ya. Tapi ke mana kita harus mencari fjoto itu?
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 13. Kedatangan Maling

    Tiara terdiam. Ia sendiri tidak tahu apa yang akan dilakukannya, jika satu-satunya petunjuk yang diberikan ibunya mengenai keberadaan kekuarganya tidak mereka temukan."Kita harus yakin, foto itu akan segera kita temukan." ujar Tiara meyakinkan kedua adiknya. "Sekarang kita istirahat. Biar besok kalian bisa berangkat ke sekolah lebih pagi. Teteh juga mulai besok sudah harus kembali mengaja dii TPA, juga mengajar les di rumahnya pak lurah. Jadi, malam ini harus cukup istirahat. Biar besok tidak tumbang." sambungnya.Kedua adik Tiara mengangguk setuju.Kemudian, Hasan beranjak dari duduknya. Lalu bergegas memasuki kamarnya."Malam ini teteh tidurnya bareng lagi sama Aya, 'kan?" tanya Cahaya."Ya. " jawab Tiara. "Kamu masuklah dulu. Teteh mau periksa pintu dulu. "ujarnya, bergegas menuju pintu dapur.Setelahnya, menuju pintu depan, untuk memastikan pintu sudah terkunci.Sejenak. Tiara melongok suasana di luar, dari jendela kaca kecil dekat pintu. Sepi. Mungkin tetangganya kelelahan, kar

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-05
  • Upah Satu Liter Beras    Bab 14. Pencuri Sertifikat Tanah

    "Tapi kamu tidak apa-apa 'kan, Ra? Mereka tidak balik menyerangmu, bukan?" tanya mak Iroh, sembari meneliti tubuh Tiara.Wanita paruh baya itu terlihat khawatir, terlebih melihat kedua gadis itu masih tampak ketakutan.Tiara menggeleng."Kami tidak apa-apa, Mak. Mereka tidak sempat melakukan perlawanan." jawabnya, mulai bisa menenangkan dirinya.Mang Sobri dan dua tetangga lainnya yang memeriksa pintu belakang, terlihat kembali."Sepertinya memang ada maling masuk ke rumah ini, Mak. Tapi mereka sudah kabur lewat pintu belakang." ujarnya, melaporkan hasil temuannya pada mak Iroh."Astagfirullah. Apa yang mau mereka maling dari rumah ini. Aneh!" Mak Iroh menggerutu. "Tapi, kalian berdua benar tidak apa-apa, 'kan?"tanya mak Iroh, kembali tertuju pada Tiara dan Cahaya."Kami berdua tidak apa-apa Mak."jawab Tiara."Satu maling yang hendak masuk ke kamar kami, keburu saya tebas lengannya ." ujar Tiara, masih gemetaran."Alhamdulillaah. Untung kalian tidak apa-apa." ucap mak Iroh. "Biarkan saja

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-05
  • Upah Satu Liter Beras    Bab 15. Menemukan Petunjuk

    Teteh menyimpannya di loteng Rumah Kita" jawab Tiara, memelankan suaranya.Sejenak cahaya terdiam lalu kemudian ia berseru."Apa mungkin Bapak menyimpan foto itu di loteng ya, Teh?"Tiara mengerenyit."Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?" tanyanya, belum paham apa yang ada dalam pikiran Cahaya."Semua tempat di rumah ini, sudah kita geledah. Hasilnya, kita tidak menemukan fhoto itu." jawab Cahaya. "Dan satu-satunya tempat yang belum kita periksa, ya loteng.""Kenapa, loteng?" Tiara kembali bertanya."Simpel. Teh Tiara saja terpikir untuk menyimpan sertifikat tanah Ibu di sana. Itu artinya, Teteh menganggap tempat itu aman untuk menyimpan barang-barang penting, 'kan? Bisa jadi, Bapak juga punya pemikiran yang sama seperti Teteh."Tiara tertegun. Apa yang baru saja dikatakan Cahaya ada benarnya juga. Mungkin saja almarhum bapaknya menyimpan foto itu di atas loteng, seperti dirinya yang menyembunyikan sertifikat tanah dari jangkauan nenek dan bibinya di sana."Kalau begitu kita lihat ke

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-05
  • Upah Satu Liter Beras    Bab 16. Dihadang Dua Orang tak Dikenal

    Tapi mau bagaimana lagi, Bu. Bi Esih memiliki catatannya."Sejenak Tiara dan Ratih terdiam. "Saya sih suka dengan tanah itu. Letaknya strategis, cocok dibangun untuk tempat usaha." ujar Ratih. "Apa nanti kalian tidak akan menyesal kalau sekarang menjual tanah itu?""Insya Allah tidak, bu Lurah. Saya khawatir kalau tidak menjualnya sekarang. Nenek dan bi Esih akan lebih dulu menjualnya.""Tapi sertifikat tanahnya ada di kamu, 'kan?" lagi, Ratih bertanya. "Mereka tidak akan bisa menjualnya tanpa surat-surat lengkap.""Surat tanahnya ada pada saya, Bu. Tapi sepertinya mereka memegang surat sertifikat tanah yang palsu." jawab Tiara.Ratih mengerenyit."Dari mana kamu tahu mereka memiliki surat tanah palsu miliki ibumu?"Tiara terdiam sejenak. Kemudian menceritakan kejadian di rumahnya yang sempat disatroni maling. Juga mengenai sertifikat tanah yang ia duplikasi."Astaghfirullah. Jadi dua orang yang memasuki rumah kalian, mengincar sertifikat tanah ibumu?" Ratih terbelalak. Tiara mengan

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-06
  • Upah Satu Liter Beras    Bab 17. Menggadaikan Sertifikat Tanah

    Sementara itu, di tempat berbeda. Anjani terlihat tengah memarahi dua orang laki-laki di hadapannya. "Diminta ngerjain satu perempuan saja tidak becus!" sentaknya, murka."Maaf, Teh. Kalau tidak ada yang datang menolongnya, kami pasti sudah berhasil melaksanakan tugas dari teh Jani." ujar salah satu dari mereka, membela diri."Halaah. Buktinya, kalian berdua gagal." sambar Anjani, tidak mau menerima alasan."Beri kami satu kesempatan lagi, Teh." "Tidak ada kesempatan lagi. Yang ada kalian tertangkap, dan menyeretku!" tolak Anjani, kemudian mengusir dua orang yang telah gagal mencelakai Tiara. Awalnya dia pikir semua rencana sudah sesuai seperti yang diinginkannya. Tapi ternyata dua orang suruhannya gagal. Tidak berjalan sesuai dengan rencananya. Membuat Tiar tidak akan berani dekat dengan Ilham karena merasa dirinya kotor."Lebih baik sekarang kalian pergi, dan jangan perlihatkan wajah kalian lagi di hadapanku!" Anjani menyerahkan uang seratus ribuan. Lalu bergegas memasuki rumahny

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-06
  • Upah Satu Liter Beras    Bab 18. Mengembalikan Sertifikat Palsu

    Sepulang dari ATM untuk mengecek saldo di rekening tabungannya. Tiara dan Tini, Kembali pulang. Di tengah perjalanan. Mereka melihat Fahmi bersama Jaja, sopir yang bekerja di rumahnya. Seperti sengaja tengah menunggu Tiara di dekat arah jalan setapak menuju rumahnya."Aa Fahmi sedang apa di sini?" tanya Tiara, menghentikan langkahnya."Saya sengaja menunggu kalian berdua." jawab Fahmi.""Menunggu kami? Memangnya ada perlu apa, Aa?" Fahmi menghembuskan napas."Ibu sudah cerita mengenai kejadian yang menimpamu kemarin, Ra. Beliau meminta saya dan Jaja, untuk mengantar kalian berdua pulang." jawabnya, menatap wajah Tiara yang masih menyisakan lebam di sana."Tidak usah, Aa. Sekarang masih siang, masih banyak warga yang melewati jalan kecil." tolak Tiara."Ini permintaan Ibu. Beliau merasa bersalah, karena kemarin tidak sempat meminta Jaja mengantarkan kamu pulang." ujar Fahmi. "Selain itu juga, ada yang ingin saya bicarakan mengenai rencana kepindahanmu ke kota."Tiara terdiam sejenak me

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-06
  • Upah Satu Liter Beras    Bab 19. Pertikaian

    "Bibi jangan lupa. Maling itu sudah kubuat luka tangannya, tidak sulit untuk menemukannya. Tinggal aku buat laporan ke polisi, selesai!" serang Tiara, sepertinya tidak kehabisan akal untuk membuat Esih jera."Sudah, jangan berdebat! Surat sertifikat tanah itu sudah terbukti palsu. Sekarang, kamu berikan saja yang aslinya pada Nenek!"perintah bu Ratna pada Tiara."Tanah itu milik Ibu, kenapa nenek bersikeras meminta yang bukan hak Nenek?" tanya Tiara beralih pada Bu Ratna."Kalau kamu tidak mau menyerahkan sertifikat tanahnya. Ya, sudah. Tidak jadi masalah, asalkan kamu segera membayar utang bapakmu pada Esih." ujar bu Ratna. "Karena Esih juga harus membayar utang bekas modal tokonya pada Nenek." "Oh. Jadi bi Esih membangun tokonya, dimodali Nenek?" tanya Tiara, menatap lekat pada bu Ratna. "Selama Bapak masih hidup, aku sering mendengar beliau mengemis minta utangan pada Nenek untuk ongkos aku dan adik-adikku sekolah. Tapi tidak pernah satu kalipun Nenek kasih. Yang ada, beliau kemba

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-06
  • Upah Satu Liter Beras    Bab 20. Rencana Busuk

    Tidak tinggal diam, Esih pun merangsek maju."Apa-apaan kamu, Cahaya! Siapa yang mengajarimu berbuat tidak sopan pada Nenek, hah?" bentak Esih, mendorong tubuh Cahaya.Tak ayal. Cahaya terhempas, berbarengan dengan terlepasnya cengkraman tangan bu Ratna dari Tiara.Wanita di atas separuh abad itu, terjengkang ke belakang.Ia mengaduh kesakitan. Tulang punggungnya yang sudah tidak sekuat Cahaya, terdengar gemeretak membentur lantai kayu.Tiara bangkit, dengan wajah memerah karena amarah yang sejak tadi ditahannya."Pergi sekarang juga kalian berdua dari rumahku!" teriak Tiara, mengarah pada bu Ratna dan Esih.Rasa hormat pada bu Ratna sebagai neneknya, sepertinya sudah tidak lagi tersisa."Kalian berdua memang cucu yang durhaka!" desis bu Ratna, dengan emosi yang sudah naik di ubun-ubun.Kemudian ia bangkit, lalu mendekat pada tiara."Kamu sudah lancang pada padaku. Sebagai cucu, kamu dan adikmu, sama sekali tidak menghormatiku sebagai ibu dari bapakmu." ujar bu Ratna, terdengar pelan

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-06

Bab terbaru

  • Upah Satu Liter Beras    47. Selesai

    “Baiklah, Bibi setuju menggadaikan tanah beserta tokonya sama kamu, Ra.” putus Esih. Untuk kebebasan Anjani, juga keamanan dirinya dari kejaran makelar tanah, Esih rela melepas hartanya. “Berapa yang Bibi butuhkan?” tanya Tiara, mengarah pada Esih. “Bibi butuh 200 juta, Ra.” jawab Esih. Tiara membuatkan kedua matanya.“Yang benar saja, Bi? Kalau 200 juta mah bukan digadaikan, tapi dijual.” protesnya. “Tapi bibi perlunya segutu, Ra.” Tiara menggelengkan kepala.”Maaf, Bi. Kalau 200 juta, aku dan Kakek tidak bisa.” “Lalu, berapa yang kamu bisa bantu untuk bibi, Ra?” tanya Esih, terpaksa mengalah. “100 juta. Aku rasa itu harga yang pantas.” jawab Tiara, memberikan penawaran. “Tlong melebihkan, Ra.” Esih masih berupaya mengubah keputusan Tiara. “Baiklah, aku akan minta Kakek untuk membantu Bibi 120 juta. Tidak ada lagi tawar menawar!” tegas Tiara, mengukuhkan keputusannya. Dengan terpaksa, Esih mengangguk setuju. Lalu kemudian, ia bergegas mengambil surat-surat kepemilikan tanah

  • Upah Satu Liter Beras    46. Melepas Aset

    “Silakan diminum, Pak.” Ratih meletakkan dua gelas yang dibawanya di atas meja. “Terima kasih, bu Lurah.” balas pak Azhari, seraya meraih minuman yang disajikan untuknya. Tidak banyak berbasa-basi, pak Azhari pun kemudian mengutarakan maksud kedatangannya menemui Ratih.”Tiara sudah menceritakan semuanya pada saya. Dan saya sangat berterima kasih sekali, bu Lurah sudah berkenan membantu cucu saya dengan menerima sertifikat tanah miliknya untuk dijaminkan atas sejumlah uang yang dipinjamnya.” ucapanya, tertuju pada Ratih. “Sama-sama, Pak. Saya hanya melakukan apa yang semestinya saya lakukan.” balas Ratih, terlihat tulus. “Tunggu sebentar, saya ambilkan Sertifikatnya.” sambungnya. Kemudian bergegas menuju kamarnya, untuk mengambil sertifikat tanah milik Tiara yang dititipkan padanya. Tak lama, Ratih kembali menemui Tiara dan kakeknya di ruang tamu. “Ini sertifikatnya, Ra.” ucap Ratih, menyodorkan dokumen kepemilikan tanah milik Tiara. “Terima kasih banyak untuk kebaikan yang suda

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 45. Bertemu dengan Masa Lalu

    Bu Ratna mematung di depan pintu saat mendapati pak Azhari dan Tiara berdiri tepat di depannya.”Kang Azhari?” gumamnya, nyaris tidak terdengar. “Ya, saya Azhari.” ucap pak Azhari, terdengar gugup. “Bagaimana kang Azhari bisa ada di sini? Lalu, Tiara? Bagaimana kalian berdua bisa bertemu?” tanya bu Ratna, masih berdiri di ambang pintu. “Izinkan saya dan Tiara, masuk. Kita bicara di dalam.” Bu Ratna bergeser, lalu mundur beberapa langkah.”Silakan.” ucapnya pelan. “Siapa, Bu?” Parman yang sejak tadi bersembunyi di kamar, turut menemui Tiara dan pak Azahari. Sebelumnya ia mengira Esih yang datang, makanya memilih mengunci diri di kamar bersama Fatma, istri barunya. Bu Ratna tidak menyahut. “Saya Azhari, kakeknya Tiara.” Pak Azhari memperkenalkan diri pada Parman. “Maksudnya?” Parman menautkan kedua alisnya, lalu mengambil posisi duduk di samping bu Ratna. “Saya papanya Ika Nurmala, ibunya Tiara.” jawab pak Azhari, menoleh pada Tiara. Keduanya bersegera duduk, bersisian. Parma

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 44. Memelas

    "Maaf, selesaikan dulu urusan bu Esih dengan kami. Baru urus yang lain!” Sadim menyela pembicaraan. “Kalau boleh tahu, memangnya Bapak berdua ini ada urusan apa dengan bi Esih?” tanya Tiara, tertuju pada Sadim dan pak Usep. Sejenak, Dua pria dewasa di hadapan Tiara saling berpandangan.”Bu Esih sudah mengambil uang DP pembelian tanah dari kami, tapi dia tidak jadi menjual tanahnya.” ujar pak Usep, mewakili Sadim. “Kami sudah memberi waktu banyak pada bu Esih untuk segera mengembalikan uang yang sudah diterimanya, tapi sampai sekarang belum juga ia kembalikan!” sambung Sadim, kembali emosi. “Benar yang dikatakan mereka berdua, Bi?” tanya Tiara pada Esih. “Bukan hanya aku yang menerima uangnya, tapi Ibu juga.” sanggah Esih, tidak terima jika hanya ia yang ditagih dua makelar tanah itu. “Itu bukan urusan kami, yang kami tahu bu Esih yang menerima uangnya.” ucap Sadim, tidak peduli dengan sanggahan yang dilontarkannya Esih. “Apakah tanah yang dimaksud dua Bapak ini, tanah alamrhumah

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 43. Ditagih Utang

    Pak Agung mengembuskan napas.”Tenang, Teh. Saya tentu akan berupaya untuk kebebasan teh Anjani. Tapi semua yang saya ikhtiarkan tergantung fakta-fakta yang terungkap di persidangan nanti. Apakah akan meringankan atau malah memperberatkan dakwaan. Berdo’a saja, semoga fakta di persidangan nanti bisa membebaskan teh Anjani dari tuduhan.”“Tapi harus menunggu berapa lama lagi, Pak?”“Bersabarlah, Teh. Kita tinggal menunggu pelimpahan berkas perkara ke kejaksaan, lalu dinyatakan P21, yang artinya berkas perkara telah lengkap dan dinyatakan selesai dan siap dipersidangkan.”“Berapa lama prosesnya, Pak?” tanya Anjani, tampak sudah tidak sabar ingin kembali menghirup udara bebas.“In syaa Allah, paling lama dua sampai tiga Minggu, Teh.”“Apa?” Anjani meninggikan suaranya. “Itu lama sekali, Pak. Beberapa hari di sini saja saya sudah stress, apa lagi harus menunggu selama itu.”Pak Agung menghela napas panjang, melihat tingkah Anjani.“Bu, Tolong lakukan sesuatu. Aku tidak mau lama-lama di sin

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 42. Tes DNA

    Tiara menundukkan wajah. Ia tidak berani menatap mata pak Azhar yang terlihat menyimpan duka.“Saya masih ingat dengan baik, tulisan tangan Nurma, sama persis dengan tulisan tangan di surat yang ditinggalkannya saat dia memutuskan pergi.” ujar pak Azhari, masih memandangi surat dari Nurma. “Dan foto ini diambil saat Nurma masih duduk di bangku SMA.” lanjutnya kembali teringat dengan anak semata wayangnya yang dinyatakan hilang.Hening.Untuk beberapa saat, pak Azhari tampak mengamati ketiga kakak beradik di hadapannya.Tatapan matanya yang sudah meredup, tampak berkaca-kaca.”Benarkah kalian bertiga anaknya Nurma? Cucu saya?”Ragu, Tiara mengangguk. Disusul Cahaya dan Hasan.Sementara itu. Pria yang memanggil pak Azhari dengan sebutan Papa, sadari tadi hanya berdiam diri di sampingnya.Pak Azhari menitikkan air mata.”Garis wajahmu mewarisi Nurma.” ucapnya, seraya mengulurkan kedua tangannya.Tiara bangkit, diikuti cahaya juga Hasan.“Mendekatlah.” Pak Azhari berdiri, kemudian merangkul

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 41. Bertemu

    Ratih yang mendengar Esih mengancam suaminya, gegas ke luar dari persembunyiannya.”Apa sebenarnya yang bu Esih inginkan? Katakan saja, tidak perlu mengancam suami saya segala.” tanyanya, sinis.“Saya minta pak Lurah bantu saya carikan pengacara untuk membebaskan Anjani dari tahanan.” pinta Esih, lantang.“Apa bu Esih sadar dengan yang bu Esih katakan? Suami saya tidak mungkin membela warganya yang sudah jelas-jelas bersalah seperti Anjani.”“Sudah Bu, jangan didengar. Bapak yakin bu Esih dan Anjani tidak akan berani menyebarkan video itu. Karena video tersebut bukan hanya menyangkut nama baik kita, tapi mereka juga.” Saman tetap dengan keputusannya, tidak bersedia membantu Anjani.“Saya dan Anjani sudah tidak peduli dengan nama baik. Dengan adanya berita Anjani terlibat kejahatan saja, kami sudah dikucilkan warga. Beredarnya video itu, tidak akan berpengaruh apa pun untuk saya dan Anjani.” Esih tampak tidak gentar dengan ancama balik yang dilontarkan Saman.“Sudah lah, Pak. Ibu tidak

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 40. Dalam Tahanan

    Di sudut ruangan berukuran 2x3, Anjani tampak terduduk lesu sambil memeluk lututnya.Kedua matanya yang memerah, tampak mantap kosong ke atas langit-langit.Tak lama berselang, Esih bersama Parman, tergopoh mendatanginya.Melihat kehadiran kedua orang tuanya, Anjani sontak berdiri lalu mendekat pada mereka.Seorang petugas yang mendampingi Parman dan Esih gegas membukakan pintu sel, memberi mereka waktu untuk berbicara di tempat yang sudah di sediakan.“Bapak kapan pulang?” tanyanya, menatap Parman dan Esih bergantian.“Dua hari lalu.” jawab Parman, singkat. “Kamu kenapa bisa seperti ini, Jani?” tanyanya, tertuju pada Anjani.“Sudah, Kang. Jangan tanya kemana-mana dulu, fokus dengan tujuan kita ke sini saja .” ujar Esih, tampak masih terlihat marah pada Parman.Anjani yang merasa ada sesuatu dengan sikap kedua orang tuanya, menatap lekat keduanya.”Bapak dan Ibu kenapa?”“Sudah, kamu jangan pikirkan Bapak dan Ibu. Kamu harus fokus dengan masalahmu.” Esih mengalihkan topik.“Bapak dan I

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 39. Titik Terang

    “Teteh sudah memastikan kontrakan yang mau kita sewa, belum?” tanya Cahaya, seraya menghempaskan bobotnya di samping Tiara.Sedang Hasan, mengambil posisi duduk di kursi sebelahnya.“Sudah.” Singkat, Tiara menjawab.“Apa dari lokasi tempat kita tinggal nanti, dekat dengan alamat yang akan kita tuju, Teh?” lagi, Cahaya bertanya.“Kalau dilihat dari map sih, dekat. Kurang lebih empat kilometer saja.”“Aku tuh takut, kalau ternyata Kakek dan Nenek sudah tidak lagi tinggal di alamat yang tertera di foto, Teh” ucap cahaya, seraya menyandarkan punggungnya pada badan kursi. “Kalau kita tidak bertemu dengan mereka, itu artinya kita harus kembali ke kampung ya, Teh?”“Teteh belum bisa jawab pertanyaan kamu, Ya. Tapi yang pasti, seperti pesan ibu kita tidak boleh lagi tinggal di rumah kita yang sekarang.”“Tapi teh, hidup di kota pasti tidak mudah. Bagaimana sekolahku dan Hasan, nanti? Apa lagi kita orang baru, pasti tidak mudah mendapatkan sekolah yang mau menerima kita.”Sejenak Tiara terdia

DMCA.com Protection Status