Sementara itu, di tempat berbeda. Anjani terlihat tengah memarahi dua orang laki-laki di hadapannya. "Diminta ngerjain satu perempuan saja tidak becus!" sentaknya, murka."Maaf, Teh. Kalau tidak ada yang datang menolongnya, kami pasti sudah berhasil melaksanakan tugas dari teh Jani." ujar salah satu dari mereka, membela diri."Halaah. Buktinya, kalian berdua gagal." sambar Anjani, tidak mau menerima alasan."Beri kami satu kesempatan lagi, Teh." "Tidak ada kesempatan lagi. Yang ada kalian tertangkap, dan menyeretku!" tolak Anjani, kemudian mengusir dua orang yang telah gagal mencelakai Tiara. Awalnya dia pikir semua rencana sudah sesuai seperti yang diinginkannya. Tapi ternyata dua orang suruhannya gagal. Tidak berjalan sesuai dengan rencananya. Membuat Tiar tidak akan berani dekat dengan Ilham karena merasa dirinya kotor."Lebih baik sekarang kalian pergi, dan jangan perlihatkan wajah kalian lagi di hadapanku!" Anjani menyerahkan uang seratus ribuan. Lalu bergegas memasuki rumahny
Sepulang dari ATM untuk mengecek saldo di rekening tabungannya. Tiara dan Tini, Kembali pulang. Di tengah perjalanan. Mereka melihat Fahmi bersama Jaja, sopir yang bekerja di rumahnya. Seperti sengaja tengah menunggu Tiara di dekat arah jalan setapak menuju rumahnya."Aa Fahmi sedang apa di sini?" tanya Tiara, menghentikan langkahnya."Saya sengaja menunggu kalian berdua." jawab Fahmi.""Menunggu kami? Memangnya ada perlu apa, Aa?" Fahmi menghembuskan napas."Ibu sudah cerita mengenai kejadian yang menimpamu kemarin, Ra. Beliau meminta saya dan Jaja, untuk mengantar kalian berdua pulang." jawabnya, menatap wajah Tiara yang masih menyisakan lebam di sana."Tidak usah, Aa. Sekarang masih siang, masih banyak warga yang melewati jalan kecil." tolak Tiara."Ini permintaan Ibu. Beliau merasa bersalah, karena kemarin tidak sempat meminta Jaja mengantarkan kamu pulang." ujar Fahmi. "Selain itu juga, ada yang ingin saya bicarakan mengenai rencana kepindahanmu ke kota."Tiara terdiam sejenak me
"Bibi jangan lupa. Maling itu sudah kubuat luka tangannya, tidak sulit untuk menemukannya. Tinggal aku buat laporan ke polisi, selesai!" serang Tiara, sepertinya tidak kehabisan akal untuk membuat Esih jera."Sudah, jangan berdebat! Surat sertifikat tanah itu sudah terbukti palsu. Sekarang, kamu berikan saja yang aslinya pada Nenek!"perintah bu Ratna pada Tiara."Tanah itu milik Ibu, kenapa nenek bersikeras meminta yang bukan hak Nenek?" tanya Tiara beralih pada Bu Ratna."Kalau kamu tidak mau menyerahkan sertifikat tanahnya. Ya, sudah. Tidak jadi masalah, asalkan kamu segera membayar utang bapakmu pada Esih." ujar bu Ratna. "Karena Esih juga harus membayar utang bekas modal tokonya pada Nenek." "Oh. Jadi bi Esih membangun tokonya, dimodali Nenek?" tanya Tiara, menatap lekat pada bu Ratna. "Selama Bapak masih hidup, aku sering mendengar beliau mengemis minta utangan pada Nenek untuk ongkos aku dan adik-adikku sekolah. Tapi tidak pernah satu kalipun Nenek kasih. Yang ada, beliau kemba
Tidak tinggal diam, Esih pun merangsek maju."Apa-apaan kamu, Cahaya! Siapa yang mengajarimu berbuat tidak sopan pada Nenek, hah?" bentak Esih, mendorong tubuh Cahaya.Tak ayal. Cahaya terhempas, berbarengan dengan terlepasnya cengkraman tangan bu Ratna dari Tiara.Wanita di atas separuh abad itu, terjengkang ke belakang.Ia mengaduh kesakitan. Tulang punggungnya yang sudah tidak sekuat Cahaya, terdengar gemeretak membentur lantai kayu.Tiara bangkit, dengan wajah memerah karena amarah yang sejak tadi ditahannya."Pergi sekarang juga kalian berdua dari rumahku!" teriak Tiara, mengarah pada bu Ratna dan Esih.Rasa hormat pada bu Ratna sebagai neneknya, sepertinya sudah tidak lagi tersisa."Kalian berdua memang cucu yang durhaka!" desis bu Ratna, dengan emosi yang sudah naik di ubun-ubun.Kemudian ia bangkit, lalu mendekat pada tiara."Kamu sudah lancang pada padaku. Sebagai cucu, kamu dan adikmu, sama sekali tidak menghormatiku sebagai ibu dari bapakmu." ujar bu Ratna, terdengar pelan
"Ah, masa bodoh! Ini kesempatan langka, Dung. Kalau kamu tidak mau, biar aku saja." ujar Dirman, tidak memedulikan peringatan Dudung."Jangan gila kamu, Man! Aku gak mau masuk bui, gara-gara merawani perawan tua!" Dudung menarik lengan Dirman."Lepas, Dung!" Dirman menepis lengan Dudung. "Kamu tidak perlu khawatir. Jika terjadi sesuatu, aku tidak akan menyeretmu.""Terserah kamu lah, Man. Yang penting, aku sudah mengingatkanmu." ujar Dudung, menjauh dari Dirman."Aku tunggu kamu tidak lebih dari lima menit ya, Man. Kalau belum selesai, aku tinggal."Dirman sudah tidak mendengar lagi apa yang diucapkan rekanannya. Darahnya sudah berdesir melihat tubuh Tini yang tergolek di depannya.Tanpa pikir panjang. Dirman mulai melucuti sebagian pakaiannyan dan Tini.Lalu, dengan napsu bejatnya. Dirman menyalurkan hasratnya pada Tini.***Tini mengedarkan pandangannya. Berusaha mengingat apa yang terjadi dengannya.Tampak mak Iroh, dan Tiara dengan mata sembab berdiri di sampingnya yang terbaring d
Anjani baru saja menerima ponsel milik Tini yang berhasil diambil Dudung dan Darman, dua orang suruhannya."Ini bayaran untuk kalian!" ujar Anjani, memberikan sepuluh lembar uang seratus ribuan."Terima kasih, Teh" ucap Dudung, seraya meraih uang yang disodorkan Anajani. "Senang bekerja sama dengan teh Jani." sambunganya, lalu gegas meninggalkan cafe sederhana di dekat kantor kecamatan."Sial! Layar ponselnya terkunci." gerutu Anjani.Kemudian menyusul keluar dari cafe, menuju counter ponsel yang terletak beberapa meter saja dari tempatnya berada."Bisa buka layar ponsel yang terkunci gak, Kang?" tanya Anjani, pada penjaga counter."Coba Syaa lihat ponselnya, Teh."Anjani menyodorkan ponsel Android berwarna silver milik Tini, pada pria di hadapannya.Tidak sampai menghabiskan waktu 5 menit, pola kunci di ponsel Tini pun terbuka."Berapa, Kang?" tanya Anjani, merogoh uang dari dalam dompetnya."20 ribu saja, Teh."Anjani menyodorkan uang 20 ribuan. Kemudian bergegas melajukan motornya,
"Terima kasih ya, Ra. Selama ini kamu sudah baik dengan Tini." ujar mak Iroh, menatap dalam pada Tiara. "Di saat orang lain menjauhi Tini, dan mengolok-oloknya sebagai perawan tua. Kamu tetap memilihnya sebagai teman dekat."Mak Iroh terisak. Ia tidak bisa bayangkan bagaimana pandangan orang-orang pada anaknya, jika berita tentang pemerkosaan yang terjadi pada dirinya tersiar di kampungnya.Tiara memeluk mak Iroh."Mak harus kuat. Yakinlah, badai akan segera berlalu dan berganti dengan langit yang terang." ucapnya, bergetar.Satu persatu. Bulir bening yang sejak tadi ditahannya, perlahan bergulir di kedua pipinya."Oh ya. Kapan rencana kalian ke kota?" tanya mak Iroh, mengalihkan kesedihannya."Mungkin menunggu Cahaya dan Hasan selesai ujian semester, Mak." jawab Tiara"Apa kalian akan pindah ke kota atau hanya selama libur sekolah, saja?" lagi, mak Iroh bertanya."Saya belum tahu, Mak. Di Kota biaya hidup besar, ditambah Cahaya dan Hasan harus sekolah. Saya bingung, apa yang akan kami
Hanya membutuhkan waktu kurang lebih sepuluh menit. Tiara dan Ayu tiba di Puskesmas Desa.Keduanya tampak bergegas mendekat ke meja informasi, menemui salah satu petugas di sana. Tak lama kemudian. Bidan Yati, tetangga Ayu yang kebetulan bertugas di puskesmas terlihat keluar dari ruangannya."Ada apa, Ra, Yu? Siapa yang sakit?" tanya bidan Yati, tertuju pada Tiara dan Ayu."Teh Tini pingsan, bu Bidan." jawab Tiara mewakili Ayu."Pingsan kenapa, Ra?" Sejenak, Tiara terdiam. Lalu berbisik di telinga bidan Yati."Astagfirullah. Ya, sudah. Kalau begitu saya siap-siap dulu." ujar bidan Yati, terlihat panik."Tapi saya dan Ayu ada perlu dulu ke kecamatan, bu Bidan. Apa bu Bidan tidak apa-apa ke rumah mak Iroh duluan?" tanya Tiara."Tidak apa-apa, Ra. Nanti saya minta Sarman yang mengantarkan." jawab bidan Yati, gegas kembali ke ruangannya.Sedang Tiara dan Ayu kembali melanjutkan perjalanannya menuju Kecamatan."Jadi kapan rencana kamu akan berangkat ke kota, Ra?" tanya Ayu, sambil memper