Tidak tinggal diam, Esih pun merangsek maju."Apa-apaan kamu, Cahaya! Siapa yang mengajarimu berbuat tidak sopan pada Nenek, hah?" bentak Esih, mendorong tubuh Cahaya.Tak ayal. Cahaya terhempas, berbarengan dengan terlepasnya cengkraman tangan bu Ratna dari Tiara.Wanita di atas separuh abad itu, terjengkang ke belakang.Ia mengaduh kesakitan. Tulang punggungnya yang sudah tidak sekuat Cahaya, terdengar gemeretak membentur lantai kayu.Tiara bangkit, dengan wajah memerah karena amarah yang sejak tadi ditahannya."Pergi sekarang juga kalian berdua dari rumahku!" teriak Tiara, mengarah pada bu Ratna dan Esih.Rasa hormat pada bu Ratna sebagai neneknya, sepertinya sudah tidak lagi tersisa."Kalian berdua memang cucu yang durhaka!" desis bu Ratna, dengan emosi yang sudah naik di ubun-ubun.Kemudian ia bangkit, lalu mendekat pada tiara."Kamu sudah lancang pada padaku. Sebagai cucu, kamu dan adikmu, sama sekali tidak menghormatiku sebagai ibu dari bapakmu." ujar bu Ratna, terdengar pelan
"Ah, masa bodoh! Ini kesempatan langka, Dung. Kalau kamu tidak mau, biar aku saja." ujar Dirman, tidak memedulikan peringatan Dudung."Jangan gila kamu, Man! Aku gak mau masuk bui, gara-gara merawani perawan tua!" Dudung menarik lengan Dirman."Lepas, Dung!" Dirman menepis lengan Dudung. "Kamu tidak perlu khawatir. Jika terjadi sesuatu, aku tidak akan menyeretmu.""Terserah kamu lah, Man. Yang penting, aku sudah mengingatkanmu." ujar Dudung, menjauh dari Dirman."Aku tunggu kamu tidak lebih dari lima menit ya, Man. Kalau belum selesai, aku tinggal."Dirman sudah tidak mendengar lagi apa yang diucapkan rekanannya. Darahnya sudah berdesir melihat tubuh Tini yang tergolek di depannya.Tanpa pikir panjang. Dirman mulai melucuti sebagian pakaiannyan dan Tini.Lalu, dengan napsu bejatnya. Dirman menyalurkan hasratnya pada Tini.***Tini mengedarkan pandangannya. Berusaha mengingat apa yang terjadi dengannya.Tampak mak Iroh, dan Tiara dengan mata sembab berdiri di sampingnya yang terbaring d
Anjani baru saja menerima ponsel milik Tini yang berhasil diambil Dudung dan Darman, dua orang suruhannya."Ini bayaran untuk kalian!" ujar Anjani, memberikan sepuluh lembar uang seratus ribuan."Terima kasih, Teh" ucap Dudung, seraya meraih uang yang disodorkan Anajani. "Senang bekerja sama dengan teh Jani." sambunganya, lalu gegas meninggalkan cafe sederhana di dekat kantor kecamatan."Sial! Layar ponselnya terkunci." gerutu Anjani.Kemudian menyusul keluar dari cafe, menuju counter ponsel yang terletak beberapa meter saja dari tempatnya berada."Bisa buka layar ponsel yang terkunci gak, Kang?" tanya Anjani, pada penjaga counter."Coba Syaa lihat ponselnya, Teh."Anjani menyodorkan ponsel Android berwarna silver milik Tini, pada pria di hadapannya.Tidak sampai menghabiskan waktu 5 menit, pola kunci di ponsel Tini pun terbuka."Berapa, Kang?" tanya Anjani, merogoh uang dari dalam dompetnya."20 ribu saja, Teh."Anjani menyodorkan uang 20 ribuan. Kemudian bergegas melajukan motornya,
"Terima kasih ya, Ra. Selama ini kamu sudah baik dengan Tini." ujar mak Iroh, menatap dalam pada Tiara. "Di saat orang lain menjauhi Tini, dan mengolok-oloknya sebagai perawan tua. Kamu tetap memilihnya sebagai teman dekat."Mak Iroh terisak. Ia tidak bisa bayangkan bagaimana pandangan orang-orang pada anaknya, jika berita tentang pemerkosaan yang terjadi pada dirinya tersiar di kampungnya.Tiara memeluk mak Iroh."Mak harus kuat. Yakinlah, badai akan segera berlalu dan berganti dengan langit yang terang." ucapnya, bergetar.Satu persatu. Bulir bening yang sejak tadi ditahannya, perlahan bergulir di kedua pipinya."Oh ya. Kapan rencana kalian ke kota?" tanya mak Iroh, mengalihkan kesedihannya."Mungkin menunggu Cahaya dan Hasan selesai ujian semester, Mak." jawab Tiara"Apa kalian akan pindah ke kota atau hanya selama libur sekolah, saja?" lagi, mak Iroh bertanya."Saya belum tahu, Mak. Di Kota biaya hidup besar, ditambah Cahaya dan Hasan harus sekolah. Saya bingung, apa yang akan kami
Hanya membutuhkan waktu kurang lebih sepuluh menit. Tiara dan Ayu tiba di Puskesmas Desa.Keduanya tampak bergegas mendekat ke meja informasi, menemui salah satu petugas di sana. Tak lama kemudian. Bidan Yati, tetangga Ayu yang kebetulan bertugas di puskesmas terlihat keluar dari ruangannya."Ada apa, Ra, Yu? Siapa yang sakit?" tanya bidan Yati, tertuju pada Tiara dan Ayu."Teh Tini pingsan, bu Bidan." jawab Tiara mewakili Ayu."Pingsan kenapa, Ra?" Sejenak, Tiara terdiam. Lalu berbisik di telinga bidan Yati."Astagfirullah. Ya, sudah. Kalau begitu saya siap-siap dulu." ujar bidan Yati, terlihat panik."Tapi saya dan Ayu ada perlu dulu ke kecamatan, bu Bidan. Apa bu Bidan tidak apa-apa ke rumah mak Iroh duluan?" tanya Tiara."Tidak apa-apa, Ra. Nanti saya minta Sarman yang mengantarkan." jawab bidan Yati, gegas kembali ke ruangannya.Sedang Tiara dan Ayu kembali melanjutkan perjalanannya menuju Kecamatan."Jadi kapan rencana kamu akan berangkat ke kota, Ra?" tanya Ayu, sambil memper
"Sudah, Sih. Kita ikuti saja dulu maunya." bisik bu Ratna."Tapi Tiara sudah keterlaluan, Bu." Esih emosi.Kedua matanya tampak nyalang menatap ke arah Tiara.Seolah sengaja ingin membuat Esih dan bu Ratna terbakar emosi, Tiara bergegas menyusul Ayu yang sudah lebih dulu masuk ke rumah mak Iroh."Bagaimana kondisi teh Tini, bu Bidan?" tanya Tiara pada bidan Yati yang tengah berbincang dengan mak Iroh di ruang tengah."Kondisinya masih lemas, Ra. Tini juga terlihat sangat depresi." jawab bidan Yati. "Apa sebaiknya teh Tini kita bawa ke Rumah sakit saja, Bu?" Kembali, Tiara bertanya."Kita lihat perkembangannya dua atau tiga hari ke depan. Kalau kondisi Tini masih seperti ini, atau bahkan cenderung memburuk. Saya akan membuat surat rujukan untuknya, agar bisa segera ditangani tenaga profesional." ujar bidan Yati, menjawab pertanyaan Tiara. "Kamu bantu mak Iroh jagain Tini ya, Ra." sambungnya memberi pesan.Tiara mengangguk."Semua obat-obatan, sudah saya berikan pada mak Iroh. Jika ter
"Tidak ada lagi yang mau Nenek dan bi Esih sampaikan, bukan?"tanya Tiara."Seharusnya kalian berdua tidak lagi mengusikku, karena kapan saja aku bisa melaporkan kalian atas tindakan pencurian!" lagi, Tiara menambah daftar ancamannya untuk Esih dan bu Ratna.Esih terbelalak. Ia tidak mengira, setelah apa yang menimpanya, Tiara Justru semakin terlihat berani."Memangnya apa yang bisa kami curi dari rumahmu?" tanya Esih, seraya mengedarkan pandangan matanya ke seluruh ruangan."Sertifika palsu itu juga sudah aku kembalikan.""Bukan sertifikat palsu yang pernah bi Esih curi masalahnya. Tapi perbuatan bi Esih yang menyuruh dua orang penjahat masuk ke rumah ini, dan menyebabkan Ibu terkena serangan jantung hingga membuatnya meninggal dunia." ujar Tiara, menetap tajam pada Esih. "Sampai kapan pun aku tidak akan melupakan kejadian itu, karena secara tidak langsung bi Esih lah yang menjadi penyebab kematian ibu.""Kamu ini kok bicaranya ke mana-mana, Tiara? Sudah jelas ibumu meninggal karena sera
"Baik. Kang Sadim dan pak Usep, tunggu saja besok." putus Esih."Saya pegang janjinya. Kalau sampai ingkar, jangan salahkan saya dan pak Usep jika nanti melakukan tindakan tegas terhadap bi Esih!" ujar Sadim, memberi sedikit ancaman."Ya, sudah. Kami berdua pamit. Ingat, besok di jam yang sama kami akan kembali untuk mengambil apa yang sudah bu Esih janjikan."Makelar tanah berpenampilan sangar itu pun, tampak tergesa meninggalkan kediaman Esih."Apa yang harus kita lakukan sekarang, Bu? Membujuk kembali Tiara rasanya tidak mungkin. Mengembalikan panjar yang sudah kita terima dan sudah terpakai, juga berat." ujar Esih, gelisah.Sejenak bu Ratna terdiam. 'Mungkin sudah saatnya aku mengatakan yang sebenarnya tentang Nurma pada anak-anaknya.'"Jangan diam saja, Bu. Pikirkan cara bagaimana kita bisa mendapatkan sertifikat tanah itu!" Esih menghentakkan kakinya, kesal melihat ibu mertuanya terkesan abai dengan masalah yang sedang dihadapinya."Tenang, Esih! Kamu pikir Ibu sedang apa?" sent
“Baiklah, Bibi setuju menggadaikan tanah beserta tokonya sama kamu, Ra.” putus Esih. Untuk kebebasan Anjani, juga keamanan dirinya dari kejaran makelar tanah, Esih rela melepas hartanya. “Berapa yang Bibi butuhkan?” tanya Tiara, mengarah pada Esih. “Bibi butuh 200 juta, Ra.” jawab Esih. Tiara membuatkan kedua matanya.“Yang benar saja, Bi? Kalau 200 juta mah bukan digadaikan, tapi dijual.” protesnya. “Tapi bibi perlunya segutu, Ra.” Tiara menggelengkan kepala.”Maaf, Bi. Kalau 200 juta, aku dan Kakek tidak bisa.” “Lalu, berapa yang kamu bisa bantu untuk bibi, Ra?” tanya Esih, terpaksa mengalah. “100 juta. Aku rasa itu harga yang pantas.” jawab Tiara, memberikan penawaran. “Tlong melebihkan, Ra.” Esih masih berupaya mengubah keputusan Tiara. “Baiklah, aku akan minta Kakek untuk membantu Bibi 120 juta. Tidak ada lagi tawar menawar!” tegas Tiara, mengukuhkan keputusannya. Dengan terpaksa, Esih mengangguk setuju. Lalu kemudian, ia bergegas mengambil surat-surat kepemilikan tanah
“Silakan diminum, Pak.” Ratih meletakkan dua gelas yang dibawanya di atas meja. “Terima kasih, bu Lurah.” balas pak Azhari, seraya meraih minuman yang disajikan untuknya. Tidak banyak berbasa-basi, pak Azhari pun kemudian mengutarakan maksud kedatangannya menemui Ratih.”Tiara sudah menceritakan semuanya pada saya. Dan saya sangat berterima kasih sekali, bu Lurah sudah berkenan membantu cucu saya dengan menerima sertifikat tanah miliknya untuk dijaminkan atas sejumlah uang yang dipinjamnya.” ucapanya, tertuju pada Ratih. “Sama-sama, Pak. Saya hanya melakukan apa yang semestinya saya lakukan.” balas Ratih, terlihat tulus. “Tunggu sebentar, saya ambilkan Sertifikatnya.” sambungnya. Kemudian bergegas menuju kamarnya, untuk mengambil sertifikat tanah milik Tiara yang dititipkan padanya. Tak lama, Ratih kembali menemui Tiara dan kakeknya di ruang tamu. “Ini sertifikatnya, Ra.” ucap Ratih, menyodorkan dokumen kepemilikan tanah milik Tiara. “Terima kasih banyak untuk kebaikan yang suda
Bu Ratna mematung di depan pintu saat mendapati pak Azhari dan Tiara berdiri tepat di depannya.”Kang Azhari?” gumamnya, nyaris tidak terdengar. “Ya, saya Azhari.” ucap pak Azhari, terdengar gugup. “Bagaimana kang Azhari bisa ada di sini? Lalu, Tiara? Bagaimana kalian berdua bisa bertemu?” tanya bu Ratna, masih berdiri di ambang pintu. “Izinkan saya dan Tiara, masuk. Kita bicara di dalam.” Bu Ratna bergeser, lalu mundur beberapa langkah.”Silakan.” ucapnya pelan. “Siapa, Bu?” Parman yang sejak tadi bersembunyi di kamar, turut menemui Tiara dan pak Azahari. Sebelumnya ia mengira Esih yang datang, makanya memilih mengunci diri di kamar bersama Fatma, istri barunya. Bu Ratna tidak menyahut. “Saya Azhari, kakeknya Tiara.” Pak Azhari memperkenalkan diri pada Parman. “Maksudnya?” Parman menautkan kedua alisnya, lalu mengambil posisi duduk di samping bu Ratna. “Saya papanya Ika Nurmala, ibunya Tiara.” jawab pak Azhari, menoleh pada Tiara. Keduanya bersegera duduk, bersisian. Parma
"Maaf, selesaikan dulu urusan bu Esih dengan kami. Baru urus yang lain!” Sadim menyela pembicaraan. “Kalau boleh tahu, memangnya Bapak berdua ini ada urusan apa dengan bi Esih?” tanya Tiara, tertuju pada Sadim dan pak Usep. Sejenak, Dua pria dewasa di hadapan Tiara saling berpandangan.”Bu Esih sudah mengambil uang DP pembelian tanah dari kami, tapi dia tidak jadi menjual tanahnya.” ujar pak Usep, mewakili Sadim. “Kami sudah memberi waktu banyak pada bu Esih untuk segera mengembalikan uang yang sudah diterimanya, tapi sampai sekarang belum juga ia kembalikan!” sambung Sadim, kembali emosi. “Benar yang dikatakan mereka berdua, Bi?” tanya Tiara pada Esih. “Bukan hanya aku yang menerima uangnya, tapi Ibu juga.” sanggah Esih, tidak terima jika hanya ia yang ditagih dua makelar tanah itu. “Itu bukan urusan kami, yang kami tahu bu Esih yang menerima uangnya.” ucap Sadim, tidak peduli dengan sanggahan yang dilontarkannya Esih. “Apakah tanah yang dimaksud dua Bapak ini, tanah alamrhumah
Pak Agung mengembuskan napas.”Tenang, Teh. Saya tentu akan berupaya untuk kebebasan teh Anjani. Tapi semua yang saya ikhtiarkan tergantung fakta-fakta yang terungkap di persidangan nanti. Apakah akan meringankan atau malah memperberatkan dakwaan. Berdo’a saja, semoga fakta di persidangan nanti bisa membebaskan teh Anjani dari tuduhan.”“Tapi harus menunggu berapa lama lagi, Pak?”“Bersabarlah, Teh. Kita tinggal menunggu pelimpahan berkas perkara ke kejaksaan, lalu dinyatakan P21, yang artinya berkas perkara telah lengkap dan dinyatakan selesai dan siap dipersidangkan.”“Berapa lama prosesnya, Pak?” tanya Anjani, tampak sudah tidak sabar ingin kembali menghirup udara bebas.“In syaa Allah, paling lama dua sampai tiga Minggu, Teh.”“Apa?” Anjani meninggikan suaranya. “Itu lama sekali, Pak. Beberapa hari di sini saja saya sudah stress, apa lagi harus menunggu selama itu.”Pak Agung menghela napas panjang, melihat tingkah Anjani.“Bu, Tolong lakukan sesuatu. Aku tidak mau lama-lama di sin
Tiara menundukkan wajah. Ia tidak berani menatap mata pak Azhar yang terlihat menyimpan duka.“Saya masih ingat dengan baik, tulisan tangan Nurma, sama persis dengan tulisan tangan di surat yang ditinggalkannya saat dia memutuskan pergi.” ujar pak Azhari, masih memandangi surat dari Nurma. “Dan foto ini diambil saat Nurma masih duduk di bangku SMA.” lanjutnya kembali teringat dengan anak semata wayangnya yang dinyatakan hilang.Hening.Untuk beberapa saat, pak Azhari tampak mengamati ketiga kakak beradik di hadapannya.Tatapan matanya yang sudah meredup, tampak berkaca-kaca.”Benarkah kalian bertiga anaknya Nurma? Cucu saya?”Ragu, Tiara mengangguk. Disusul Cahaya dan Hasan.Sementara itu. Pria yang memanggil pak Azhari dengan sebutan Papa, sadari tadi hanya berdiam diri di sampingnya.Pak Azhari menitikkan air mata.”Garis wajahmu mewarisi Nurma.” ucapnya, seraya mengulurkan kedua tangannya.Tiara bangkit, diikuti cahaya juga Hasan.“Mendekatlah.” Pak Azhari berdiri, kemudian merangkul
Ratih yang mendengar Esih mengancam suaminya, gegas ke luar dari persembunyiannya.”Apa sebenarnya yang bu Esih inginkan? Katakan saja, tidak perlu mengancam suami saya segala.” tanyanya, sinis.“Saya minta pak Lurah bantu saya carikan pengacara untuk membebaskan Anjani dari tahanan.” pinta Esih, lantang.“Apa bu Esih sadar dengan yang bu Esih katakan? Suami saya tidak mungkin membela warganya yang sudah jelas-jelas bersalah seperti Anjani.”“Sudah Bu, jangan didengar. Bapak yakin bu Esih dan Anjani tidak akan berani menyebarkan video itu. Karena video tersebut bukan hanya menyangkut nama baik kita, tapi mereka juga.” Saman tetap dengan keputusannya, tidak bersedia membantu Anjani.“Saya dan Anjani sudah tidak peduli dengan nama baik. Dengan adanya berita Anjani terlibat kejahatan saja, kami sudah dikucilkan warga. Beredarnya video itu, tidak akan berpengaruh apa pun untuk saya dan Anjani.” Esih tampak tidak gentar dengan ancama balik yang dilontarkan Saman.“Sudah lah, Pak. Ibu tidak
Di sudut ruangan berukuran 2x3, Anjani tampak terduduk lesu sambil memeluk lututnya.Kedua matanya yang memerah, tampak mantap kosong ke atas langit-langit.Tak lama berselang, Esih bersama Parman, tergopoh mendatanginya.Melihat kehadiran kedua orang tuanya, Anjani sontak berdiri lalu mendekat pada mereka.Seorang petugas yang mendampingi Parman dan Esih gegas membukakan pintu sel, memberi mereka waktu untuk berbicara di tempat yang sudah di sediakan.“Bapak kapan pulang?” tanyanya, menatap Parman dan Esih bergantian.“Dua hari lalu.” jawab Parman, singkat. “Kamu kenapa bisa seperti ini, Jani?” tanyanya, tertuju pada Anjani.“Sudah, Kang. Jangan tanya kemana-mana dulu, fokus dengan tujuan kita ke sini saja .” ujar Esih, tampak masih terlihat marah pada Parman.Anjani yang merasa ada sesuatu dengan sikap kedua orang tuanya, menatap lekat keduanya.”Bapak dan Ibu kenapa?”“Sudah, kamu jangan pikirkan Bapak dan Ibu. Kamu harus fokus dengan masalahmu.” Esih mengalihkan topik.“Bapak dan I
“Teteh sudah memastikan kontrakan yang mau kita sewa, belum?” tanya Cahaya, seraya menghempaskan bobotnya di samping Tiara.Sedang Hasan, mengambil posisi duduk di kursi sebelahnya.“Sudah.” Singkat, Tiara menjawab.“Apa dari lokasi tempat kita tinggal nanti, dekat dengan alamat yang akan kita tuju, Teh?” lagi, Cahaya bertanya.“Kalau dilihat dari map sih, dekat. Kurang lebih empat kilometer saja.”“Aku tuh takut, kalau ternyata Kakek dan Nenek sudah tidak lagi tinggal di alamat yang tertera di foto, Teh” ucap cahaya, seraya menyandarkan punggungnya pada badan kursi. “Kalau kita tidak bertemu dengan mereka, itu artinya kita harus kembali ke kampung ya, Teh?”“Teteh belum bisa jawab pertanyaan kamu, Ya. Tapi yang pasti, seperti pesan ibu kita tidak boleh lagi tinggal di rumah kita yang sekarang.”“Tapi teh, hidup di kota pasti tidak mudah. Bagaimana sekolahku dan Hasan, nanti? Apa lagi kita orang baru, pasti tidak mudah mendapatkan sekolah yang mau menerima kita.”Sejenak Tiara terdia