"Baik. Kang Sadim dan pak Usep, tunggu saja besok." putus Esih."Saya pegang janjinya. Kalau sampai ingkar, jangan salahkan saya dan pak Usep jika nanti melakukan tindakan tegas terhadap bi Esih!" ujar Sadim, memberi sedikit ancaman."Ya, sudah. Kami berdua pamit. Ingat, besok di jam yang sama kami akan kembali untuk mengambil apa yang sudah bu Esih janjikan."Makelar tanah berpenampilan sangar itu pun, tampak tergesa meninggalkan kediaman Esih."Apa yang harus kita lakukan sekarang, Bu? Membujuk kembali Tiara rasanya tidak mungkin. Mengembalikan panjar yang sudah kita terima dan sudah terpakai, juga berat." ujar Esih, gelisah.Sejenak bu Ratna terdiam. 'Mungkin sudah saatnya aku mengatakan yang sebenarnya tentang Nurma pada anak-anaknya.'"Jangan diam saja, Bu. Pikirkan cara bagaimana kita bisa mendapatkan sertifikat tanah itu!" Esih menghentakkan kakinya, kesal melihat ibu mertuanya terkesan abai dengan masalah yang sedang dihadapinya."Tenang, Esih! Kamu pikir Ibu sedang apa?" sent
Tiara menahan napas sejenak. Menekan emosi yang mulai naik ke permukaan."Kesalahan apa yang ibu lakukan sampai Nenek sebegitu benci padanya?" tanya Tiara, merendahkan suaranya."Nenek akan beri tahu semua tentang ibumu, keluarganya, dan alasan kenapa Nenek tidak suka dengannya." ujar bu Ratna."Ya, sudah. Katakan sekarang juga pada Tiara, Nek. Agar Tiara tidak lagi bertanya-tanya kenapa Nenek benci dengan ibu."Bu Ratna tersenyum licik."Semua ada harganya. Nenek akan menceritakan semuanya, tapi dengan syarat.""Syarat apa maksud Nenek?""Berikan sertifikat itu pada Nenek, dan sebagai gantinya nenek akan menceritakan semua hal terkait ibumu dan keluarganya di masa lalu." tutur bu Ratna. "Selain itu juga kamu akan tetap mendapatkan bayaran dari Esih dan pelunasan utang almarhum bapakmu."Tiara terbelalak."Jadi kedatangan Nenek menemui Tiara, masih terkait sertifikat tanah milik Ibu?" tanyanya, gusar."Apa susahnya kamu menyerahkan sertifikat itu pada Nenek, Tiara?" Bu Ratna kembali mena
"Bagaimana, Kang. Kita kembali saja atau tunggu di sini?" Wardi menoleh pada Kosasih yang sedang kebingungan."Kita tunggu sebentar di sini ya, Kang. Siapa tahu mereka tengah di perjalanan menuju ke sini. Mungkin ada kendala di mobilnya."Baiklah." ujar Wardi.Satu jam berlalu. Tidak ada tanda-tanda calon pengantin akan datang."Sudah dhuhur kang, apa tidak sebaiknya kita pulang saja dulu? Kasian yang di Rumah, pasti menunggu kabar dr kita." usul Wardi."Baiklah." Kosasih pasrah, harapan akan menikahkan anak gadisnya dengan pemuda dari kota, pupus sudah.***Bu Ratna menyeka sudut matanya yang mengembun. Pada akhirnya Rahasia masa lalu yang disimpannya rapat-rapat, terkuak juga.Tiara tampak mematung. Ia tidak menyangka, di balik sikap kasar yang diperlihatkan bu Ratna kepadanya. Ternyata, neneknya itu menyimpan luka hati yang begitu dalam, yang belum sanggup dilupakannya."Jadi karena Kakek, Nenek jadi membenci Ibu?" tanya Tiara, menatap iba pada bu Ratna."Ya. Kebencian Nenek pada k
***"Bagaimana, Bu. Apa Ibu berhasil membujuk Tiara." tanya Esih, begitu melihat bu Ratna sudah kembali dari rumah Tiara."Apa kamu melihat wajah ibu seperti orang yang tengah berbahagia?" Bu Ratna balik bertanya.'"Jadi ibu gagal lagi membujuk Tiara?" Esih kembali bertanya."Ibu sudah melakukan cara terakhir yang Ibu pikir bisa membuat hati Tiara luluh. Tapi yang ada ibu malah diusir kembali olehnya." jawab bu Ratna, tampak masih tersisa kekesalannya terhadap Tiara."Lalu bagaimana kita harus menghadapi kang Sadim dan pak Usep, Bu?" rengek Esih, cemas."Ibu juga tidak tahu, Sih." jawab bu Ratna. " Ibu sudah berusaha maksimal. Tapi rupanya Tiara tetap tidak bersedia memberikan sertifikat itu pada kita."Esih mengepalkan tangannya."Percuma Esih merekayasa utang kang Muh, kalau pada akhirnya kita tidak mendapatkan apa-apa dari kematiannya."Apa Nenek sudah tidak ada cara lain agar sertifikat itu jatuh ke tangan kita?" sambungnya.Bu Ratna menggelengkan kepala."Ibu belum tahu, Sih." jawab
Anjani merebahkan diri di atas tempat tidur sambil meremas perutnya yang masih terlihat rata."Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa membiarkan janin ini lahir." gumamnya, gelisah."Apa kata orang nanti, jika aku sampai melahirkan anak tanpa suami?""Arrrgggh... !"Anjani melemparkan benda-benda yang ada di sekitar dirinya."Beno brengsek!" teriaknya, sambil memaki nama laki-laki yang sudah seminggu terakhir tidak lagi menampakkan diri di hadapannya."Dasar laki-laki baji*An! Aku tidak mungkin meminta tanggung jawab dari laki-laki seperti Beno. Aku juga tidak mau, kelak anakku memiliki ayah yang yang kerap mempermainkan perempuan seperti dia!" maki Anjani pada Beno, sosok yang selama ini dekat dengannya."Salahku juga, kenapa malam itu aku mau mengikuti sarannya untuk mencicipi minuman haram itu... arggghh!" lagi, Anjani merutuki dirinya yang mau saja terbuai rayuan manis laki-laki seperti Beno."Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumamnya."Aku tidak tega kalau harus membu*uh jan
"Sebentar Kang, saya telepon dulu." jawab Esih, lalu merogoh ponsel dari dalam saku dasternya.Kemudian, ia pun mulai melakukan panggilan di nomor ibu mertuanya.Tapi sayang, nomor bu Ratna dalam kondisi tidak bisa dihubungi.'Sial! Kenapa Ibu matikan handphonenya? Sengaja menghindar dariku, ya?' batinnya, memaki ibu mertuanya."Bagaimana bu Esih, apa bu Ratna sudah bisa dihubungi?" tanya Usep, mewakili Sadim.Esih menggeleng."Nomor Ibu tidak aktif." ucapnya, gemetar."Bu Esih sengaja mengulur waktu, ya?" Sadim menggebrak meja."Alasan saja menunggu bu Ratna, padahal yang sebenarnya sertifikatnya tidak ada, 'kan?" tanyanya, emosi."Tenang dulu, Kang. Kita keras pun percuma, kalau sertifikatnya memang tidak ada di sini." ujar Usep, berusaha menenangkan rekannya."Katakan pada kami, sebenarnya sertifikatnya ada pada siapa?" sentak Sadim, nyalang."Sumpah Kang, saya tidak bohong. Ibu yang mengambil sertifikatnya." ujar Esih, masih berusaha berkelit."Kalau betul sertifikat itu diambil bu R
"Teh Tini sudah baikan?” sapa Tiara, dari ambang pintu kamar yang hanya ditutup gorden usang.Tini yang masih terus mengurung diri di dalam kamarnya, tampak abai dengan kehadiran Tiara.Sedang mak Iroh yang duduk di sampingnya, terlihat menghela napas berat seraya mengusap mata tuanya yang basah.”Masuklah, Ra.” titahnya pada Tiara.Tiara mengangguk. Lalu bergerak mendekat pada Tini dan mak Iroh.“Teh, Aku bawakan martabak kacang kesukaan teh Tini. Dicoba, yuk!” ujar Tiara, tertuju pada Tini. “Teh Tini harus makan. Jika tidak, nanti tambah lemas.”Tini bergeming.“Teh Tini harus sembuh. Kalau terus seperti ini, bagaimana caranya teh Tini bisa membalas perbuatan dua baji*An itu?” Tiara menggenggam erat tangan Tini.” Aku mau melihat teh Tini kembali seperti yang aku kenal. Teteh harus bangkit, aku tahu tidak mudah. Tapi aku yakin teh Tini bisa.”Tiara terisak.”Apa teh Tini marah padaku?” tanyanya kemudian, menatap lekat wajah tirus Tini.Tini tetap saja bergeming.“Maafkan aku. Karena ak
Tak lama kemudian, pelayan itu pun kembali dengan dua gelas minuman di tangannya.“Ini Teh, pesannya.” ucapnya, sambil meletakkan satu persatu minuman di hadapan Anjani dan Fahmi. “Terima kasih, Kang. “Anjani meraih jus alpukat pesannya, lalu meminumnya. Fahmi pun melakukan hal yang sama, menenggak hampir separuh jus jeruk yang dipesankan Anjani untuknya. “Bagaimana Jan, kamu sudah dapat kabar mengenai rencana keberangkatan Tiara dan adik-adiknya ke Bandung, belum?” tanya Fahmi. “Aku sudah bicara dengan ibuku. Kata Ibu, dia belum dapat kabar tentang itu. Jadi kemungkinannya, Tara belum akan pergi ke bandung dalam waktu dekat ini.” jawab Anjani. “Ngomong-ngomong, kenapa kamu tidak tanyakan langsung pada Tiara saja, Fah?” tanyanya, kemudian. “Maunya begitu, Jan. Tapi tiara ‘kan tidak punya handphone.” “Kamu tanya temannya saja, si Ayu. Pasti dia tahu. Mereka berdua ‘kan dekat banget.” Anjani memberi usul. Fahmi menghembuskan napas.“Aku tidak enak kalau harus tanya sama Ayu, Jan. Ru