***"Bagaimana, Bu. Apa Ibu berhasil membujuk Tiara." tanya Esih, begitu melihat bu Ratna sudah kembali dari rumah Tiara."Apa kamu melihat wajah ibu seperti orang yang tengah berbahagia?" Bu Ratna balik bertanya.'"Jadi ibu gagal lagi membujuk Tiara?" Esih kembali bertanya."Ibu sudah melakukan cara terakhir yang Ibu pikir bisa membuat hati Tiara luluh. Tapi yang ada ibu malah diusir kembali olehnya." jawab bu Ratna, tampak masih tersisa kekesalannya terhadap Tiara."Lalu bagaimana kita harus menghadapi kang Sadim dan pak Usep, Bu?" rengek Esih, cemas."Ibu juga tidak tahu, Sih." jawab bu Ratna. " Ibu sudah berusaha maksimal. Tapi rupanya Tiara tetap tidak bersedia memberikan sertifikat itu pada kita."Esih mengepalkan tangannya."Percuma Esih merekayasa utang kang Muh, kalau pada akhirnya kita tidak mendapatkan apa-apa dari kematiannya."Apa Nenek sudah tidak ada cara lain agar sertifikat itu jatuh ke tangan kita?" sambungnya.Bu Ratna menggelengkan kepala."Ibu belum tahu, Sih." jawab
Anjani merebahkan diri di atas tempat tidur sambil meremas perutnya yang masih terlihat rata."Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa membiarkan janin ini lahir." gumamnya, gelisah."Apa kata orang nanti, jika aku sampai melahirkan anak tanpa suami?""Arrrgggh... !"Anjani melemparkan benda-benda yang ada di sekitar dirinya."Beno brengsek!" teriaknya, sambil memaki nama laki-laki yang sudah seminggu terakhir tidak lagi menampakkan diri di hadapannya."Dasar laki-laki baji*An! Aku tidak mungkin meminta tanggung jawab dari laki-laki seperti Beno. Aku juga tidak mau, kelak anakku memiliki ayah yang yang kerap mempermainkan perempuan seperti dia!" maki Anjani pada Beno, sosok yang selama ini dekat dengannya."Salahku juga, kenapa malam itu aku mau mengikuti sarannya untuk mencicipi minuman haram itu... arggghh!" lagi, Anjani merutuki dirinya yang mau saja terbuai rayuan manis laki-laki seperti Beno."Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumamnya."Aku tidak tega kalau harus membu*uh jan
"Sebentar Kang, saya telepon dulu." jawab Esih, lalu merogoh ponsel dari dalam saku dasternya.Kemudian, ia pun mulai melakukan panggilan di nomor ibu mertuanya.Tapi sayang, nomor bu Ratna dalam kondisi tidak bisa dihubungi.'Sial! Kenapa Ibu matikan handphonenya? Sengaja menghindar dariku, ya?' batinnya, memaki ibu mertuanya."Bagaimana bu Esih, apa bu Ratna sudah bisa dihubungi?" tanya Usep, mewakili Sadim.Esih menggeleng."Nomor Ibu tidak aktif." ucapnya, gemetar."Bu Esih sengaja mengulur waktu, ya?" Sadim menggebrak meja."Alasan saja menunggu bu Ratna, padahal yang sebenarnya sertifikatnya tidak ada, 'kan?" tanyanya, emosi."Tenang dulu, Kang. Kita keras pun percuma, kalau sertifikatnya memang tidak ada di sini." ujar Usep, berusaha menenangkan rekannya."Katakan pada kami, sebenarnya sertifikatnya ada pada siapa?" sentak Sadim, nyalang."Sumpah Kang, saya tidak bohong. Ibu yang mengambil sertifikatnya." ujar Esih, masih berusaha berkelit."Kalau betul sertifikat itu diambil bu R
"Teh Tini sudah baikan?” sapa Tiara, dari ambang pintu kamar yang hanya ditutup gorden usang.Tini yang masih terus mengurung diri di dalam kamarnya, tampak abai dengan kehadiran Tiara.Sedang mak Iroh yang duduk di sampingnya, terlihat menghela napas berat seraya mengusap mata tuanya yang basah.”Masuklah, Ra.” titahnya pada Tiara.Tiara mengangguk. Lalu bergerak mendekat pada Tini dan mak Iroh.“Teh, Aku bawakan martabak kacang kesukaan teh Tini. Dicoba, yuk!” ujar Tiara, tertuju pada Tini. “Teh Tini harus makan. Jika tidak, nanti tambah lemas.”Tini bergeming.“Teh Tini harus sembuh. Kalau terus seperti ini, bagaimana caranya teh Tini bisa membalas perbuatan dua baji*An itu?” Tiara menggenggam erat tangan Tini.” Aku mau melihat teh Tini kembali seperti yang aku kenal. Teteh harus bangkit, aku tahu tidak mudah. Tapi aku yakin teh Tini bisa.”Tiara terisak.”Apa teh Tini marah padaku?” tanyanya kemudian, menatap lekat wajah tirus Tini.Tini tetap saja bergeming.“Maafkan aku. Karena ak
Tak lama kemudian, pelayan itu pun kembali dengan dua gelas minuman di tangannya.“Ini Teh, pesannya.” ucapnya, sambil meletakkan satu persatu minuman di hadapan Anjani dan Fahmi. “Terima kasih, Kang. “Anjani meraih jus alpukat pesannya, lalu meminumnya. Fahmi pun melakukan hal yang sama, menenggak hampir separuh jus jeruk yang dipesankan Anjani untuknya. “Bagaimana Jan, kamu sudah dapat kabar mengenai rencana keberangkatan Tiara dan adik-adiknya ke Bandung, belum?” tanya Fahmi. “Aku sudah bicara dengan ibuku. Kata Ibu, dia belum dapat kabar tentang itu. Jadi kemungkinannya, Tara belum akan pergi ke bandung dalam waktu dekat ini.” jawab Anjani. “Ngomong-ngomong, kenapa kamu tidak tanyakan langsung pada Tiara saja, Fah?” tanyanya, kemudian. “Maunya begitu, Jan. Tapi tiara ‘kan tidak punya handphone.” “Kamu tanya temannya saja, si Ayu. Pasti dia tahu. Mereka berdua ‘kan dekat banget.” Anjani memberi usul. Fahmi menghembuskan napas.“Aku tidak enak kalau harus tanya sama Ayu, Jan. Ru
Esih memarkirkan motornya beberapa meter dari rumah Bu Ratna.Ia sengaja tidak mengendarai motornya sampai di kediaman ibu mertuanya, mengantisipasi jika bu Ratna sengaja bersembunyi untuk menghindar darinya.Perlahan, Esih menyelinap ke pekarangan rumah melalui pintu pagar samping sambil mengawasi sekelilingnya. Ia yakin, bu Ratna ada di dalam rumahnya.Esih mengendap-endap mendekati jendela kamar bu Ratna, yang berada di bagian tengah rumah.Kemudian, ia merapatkan telinganya pada jendela yang tampak tertutup rapat itu.Sayup, Esih mendengar bu Ratna tengah berbicara dengan seseorang. Sepertinya ia tidak sendiri, ada suara laki-laki dan perempuan di sana.‘Ibu sedang berbicara dengan siapa?’ batin Esih bertanya-tanya.Sesaat, ia mempertajam pendengarannya, untuk memastikan sosok yang tengah bersama ibu mertuanya.“Ibu tidak mau ikut campur urusanmu dengan Esih ya, Man. Kamu hadapi saja sendiri istrimu itu.”Esih terkejut saat mendengar bu Ratna menyebut nama suaminya.’Kang Parman? Ka
“Kamu kenapa Anjani? Kenapa kita ada di sini? Apa yang terjadi dengan kita? Kenapa aku dan kamu berada di ruangan yang sama?” rentetan pertanyaan tertuju pada Anjani, yang terus terisak.Fahmi kian panik, begitu menyadari dirinya dalam kondisi hanya mengenakan pakaian dalamnya saja.Sontak, Fahmi menggelengkan kepala.”Tidak mungkin. Aku tidak mungkin melakukannya sama kamu Anjani.” ujarnya, memungkiri kemungkinan perbuatan tidak senonoh yang lakukannya pada Anjani.Anjani masih saja terus terisak, menyembunyikan wajah dengan kedua telapak tangannya.“Katakan padaku apa yang terjadi dengan kita. Kenapa aku ada di sini bersama kamu? Bukan tadi kita sedang ada di cafe? Lalu, bagaimana caranya bisa ada di sini?” tanya Fahmi, sambil mencari pakaiannya yang tercecer di lantai.“Kamu jangan coba-coba lari dan tanggung jawab, dan berpura-pura lupa dengan apa yang sudah kamu lakukan terhadapku, Fahmi!” sergah Anjani, tajam menetap pada Fahmi.“Aku yakin aku tidak melakukan apa-apa terhadamu, Ja
“Kamu harus menolongku, Fah. Jika tidak, aku akan memberitahu orang sekampung apa yang sudah kamu perbuat terhadapku kemarin!” ujar Anjani, seraya menghempaskan bobotnya di kursi.“Kamu ini bicara apa, Jan? Kenapa mengancamku seperti itu?” Fahmi membulatkan matanya.“Aku dituduh melakukan tindak kejahatan, Fah. Dan sekarang polisi sedang mencariku.”Fahmi mengerutkan dahinya.” kejahatan apa?” tanyanya, menatap curiga pada Anjani.“Aku dituduh jadi dalang pemerko*aan yang terjadi pada teh Tini. Padahal aku tidak melakukannya.” jawab Anjani, gelisah.“Apa? Kamu dituduh terlibat dengan para penjahat itu, Jan? Bagaimana bisa polisi mengarahkan tuduhan padamu?” tanya Fahmi, menelisik.Anjani menggeleng cepat.“Aku tidak tahu, Fah!” jawabnya.“Tidak mungkin mereka melayangkan tuduhan tanpa bukti.” ujar Fahmi, tajam menatap Anjani.“Sungguh, aku benar-benar tidak tahu, Fah!” Anjani berusaha meyakinkan Fahmi. “Kamu harus membantuku. Aku mohon!”“Tapi bagaimana caranya aku bisa membantumu, Jan?