Tak lama kemudian, pelayan itu pun kembali dengan dua gelas minuman di tangannya.“Ini Teh, pesannya.” ucapnya, sambil meletakkan satu persatu minuman di hadapan Anjani dan Fahmi. “Terima kasih, Kang. “Anjani meraih jus alpukat pesannya, lalu meminumnya. Fahmi pun melakukan hal yang sama, menenggak hampir separuh jus jeruk yang dipesankan Anjani untuknya. “Bagaimana Jan, kamu sudah dapat kabar mengenai rencana keberangkatan Tiara dan adik-adiknya ke Bandung, belum?” tanya Fahmi. “Aku sudah bicara dengan ibuku. Kata Ibu, dia belum dapat kabar tentang itu. Jadi kemungkinannya, Tara belum akan pergi ke bandung dalam waktu dekat ini.” jawab Anjani. “Ngomong-ngomong, kenapa kamu tidak tanyakan langsung pada Tiara saja, Fah?” tanyanya, kemudian. “Maunya begitu, Jan. Tapi tiara ‘kan tidak punya handphone.” “Kamu tanya temannya saja, si Ayu. Pasti dia tahu. Mereka berdua ‘kan dekat banget.” Anjani memberi usul. Fahmi menghembuskan napas.“Aku tidak enak kalau harus tanya sama Ayu, Jan. Ru
Esih memarkirkan motornya beberapa meter dari rumah Bu Ratna.Ia sengaja tidak mengendarai motornya sampai di kediaman ibu mertuanya, mengantisipasi jika bu Ratna sengaja bersembunyi untuk menghindar darinya.Perlahan, Esih menyelinap ke pekarangan rumah melalui pintu pagar samping sambil mengawasi sekelilingnya. Ia yakin, bu Ratna ada di dalam rumahnya.Esih mengendap-endap mendekati jendela kamar bu Ratna, yang berada di bagian tengah rumah.Kemudian, ia merapatkan telinganya pada jendela yang tampak tertutup rapat itu.Sayup, Esih mendengar bu Ratna tengah berbicara dengan seseorang. Sepertinya ia tidak sendiri, ada suara laki-laki dan perempuan di sana.‘Ibu sedang berbicara dengan siapa?’ batin Esih bertanya-tanya.Sesaat, ia mempertajam pendengarannya, untuk memastikan sosok yang tengah bersama ibu mertuanya.“Ibu tidak mau ikut campur urusanmu dengan Esih ya, Man. Kamu hadapi saja sendiri istrimu itu.”Esih terkejut saat mendengar bu Ratna menyebut nama suaminya.’Kang Parman? Ka
“Kamu kenapa Anjani? Kenapa kita ada di sini? Apa yang terjadi dengan kita? Kenapa aku dan kamu berada di ruangan yang sama?” rentetan pertanyaan tertuju pada Anjani, yang terus terisak.Fahmi kian panik, begitu menyadari dirinya dalam kondisi hanya mengenakan pakaian dalamnya saja.Sontak, Fahmi menggelengkan kepala.”Tidak mungkin. Aku tidak mungkin melakukannya sama kamu Anjani.” ujarnya, memungkiri kemungkinan perbuatan tidak senonoh yang lakukannya pada Anjani.Anjani masih saja terus terisak, menyembunyikan wajah dengan kedua telapak tangannya.“Katakan padaku apa yang terjadi dengan kita. Kenapa aku ada di sini bersama kamu? Bukan tadi kita sedang ada di cafe? Lalu, bagaimana caranya bisa ada di sini?” tanya Fahmi, sambil mencari pakaiannya yang tercecer di lantai.“Kamu jangan coba-coba lari dan tanggung jawab, dan berpura-pura lupa dengan apa yang sudah kamu lakukan terhadapku, Fahmi!” sergah Anjani, tajam menetap pada Fahmi.“Aku yakin aku tidak melakukan apa-apa terhadamu, Ja
“Kamu harus menolongku, Fah. Jika tidak, aku akan memberitahu orang sekampung apa yang sudah kamu perbuat terhadapku kemarin!” ujar Anjani, seraya menghempaskan bobotnya di kursi.“Kamu ini bicara apa, Jan? Kenapa mengancamku seperti itu?” Fahmi membulatkan matanya.“Aku dituduh melakukan tindak kejahatan, Fah. Dan sekarang polisi sedang mencariku.”Fahmi mengerutkan dahinya.” kejahatan apa?” tanyanya, menatap curiga pada Anjani.“Aku dituduh jadi dalang pemerko*aan yang terjadi pada teh Tini. Padahal aku tidak melakukannya.” jawab Anjani, gelisah.“Apa? Kamu dituduh terlibat dengan para penjahat itu, Jan? Bagaimana bisa polisi mengarahkan tuduhan padamu?” tanya Fahmi, menelisik.Anjani menggeleng cepat.“Aku tidak tahu, Fah!” jawabnya.“Tidak mungkin mereka melayangkan tuduhan tanpa bukti.” ujar Fahmi, tajam menatap Anjani.“Sungguh, aku benar-benar tidak tahu, Fah!” Anjani berusaha meyakinkan Fahmi. “Kamu harus membantuku. Aku mohon!”“Tapi bagaimana caranya aku bisa membantumu, Jan?
Sontak saja perbuatan Anjani tersebut membuat Saman berang.”Apa yang kamu lakukan Anjani?” teriaknya.“Aku tahu apa yang akan pak Lurah lakukan.” ujar Anjani, tertuju pada Saman.” Kalian berdua mau melaporkan aku pada polisi, ‘kan?” sambungnya, beralih pada Ratih.“Baguslah kalau kamu sudah tahu. Berarti kamu sudah siap ikut dengan mereka untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu.” ujar Saman, lalu meminta Anjani untuk segera mengembalikan ponselnya.Tapi Anjani menolak. Ia malah memasukkan ponsel Saman ke dalam tasnya.“Kamu jangan lancang Anjani!” sentak Fahmi, emosi.“Jika kalian bertiga berniat menyerahkan aku pada polisi, maka jangan salahkan aku jika video ini aku viralkan di media sosial!”Anajani memperlihatkan rekaman video dirinya dan Fahmi yang tengah berada di satu kamar yang sama dalam kondisi yang tidak layak untuk dilihat.Saman dan Ratih tercekat. Mereka berdua sama sekali tidak menyangka, Fahmi bisa melakukan perbuatan asusila dengan wanita yang tengah menjadi DPO itu
“Teteh sudah memastikan kontrakan yang mau kita sewa, belum?” tanya Cahaya, seraya menghempaskan bobotnya di samping Tiara.Sedang Hasan, mengambil posisi duduk di kursi sebelahnya.“Sudah.” Singkat, Tiara menjawab.“Apa dari lokasi tempat kita tinggal nanti, dekat dengan alamat yang akan kita tuju, Teh?” lagi, Cahaya bertanya.“Kalau dilihat dari map sih, dekat. Kurang lebih empat kilometer saja.”“Aku tuh takut, kalau ternyata Kakek dan Nenek sudah tidak lagi tinggal di alamat yang tertera di foto, Teh” ucap cahaya, seraya menyandarkan punggungnya pada badan kursi. “Kalau kita tidak bertemu dengan mereka, itu artinya kita harus kembali ke kampung ya, Teh?”“Teteh belum bisa jawab pertanyaan kamu, Ya. Tapi yang pasti, seperti pesan ibu kita tidak boleh lagi tinggal di rumah kita yang sekarang.”“Tapi teh, hidup di kota pasti tidak mudah. Bagaimana sekolahku dan Hasan, nanti? Apa lagi kita orang baru, pasti tidak mudah mendapatkan sekolah yang mau menerima kita.”Sejenak Tiara terdia
Di sudut ruangan berukuran 2x3, Anjani tampak terduduk lesu sambil memeluk lututnya.Kedua matanya yang memerah, tampak mantap kosong ke atas langit-langit.Tak lama berselang, Esih bersama Parman, tergopoh mendatanginya.Melihat kehadiran kedua orang tuanya, Anjani sontak berdiri lalu mendekat pada mereka.Seorang petugas yang mendampingi Parman dan Esih gegas membukakan pintu sel, memberi mereka waktu untuk berbicara di tempat yang sudah di sediakan.“Bapak kapan pulang?” tanyanya, menatap Parman dan Esih bergantian.“Dua hari lalu.” jawab Parman, singkat. “Kamu kenapa bisa seperti ini, Jani?” tanyanya, tertuju pada Anjani.“Sudah, Kang. Jangan tanya kemana-mana dulu, fokus dengan tujuan kita ke sini saja .” ujar Esih, tampak masih terlihat marah pada Parman.Anjani yang merasa ada sesuatu dengan sikap kedua orang tuanya, menatap lekat keduanya.”Bapak dan Ibu kenapa?”“Sudah, kamu jangan pikirkan Bapak dan Ibu. Kamu harus fokus dengan masalahmu.” Esih mengalihkan topik.“Bapak dan I
Ratih yang mendengar Esih mengancam suaminya, gegas ke luar dari persembunyiannya.”Apa sebenarnya yang bu Esih inginkan? Katakan saja, tidak perlu mengancam suami saya segala.” tanyanya, sinis.“Saya minta pak Lurah bantu saya carikan pengacara untuk membebaskan Anjani dari tahanan.” pinta Esih, lantang.“Apa bu Esih sadar dengan yang bu Esih katakan? Suami saya tidak mungkin membela warganya yang sudah jelas-jelas bersalah seperti Anjani.”“Sudah Bu, jangan didengar. Bapak yakin bu Esih dan Anjani tidak akan berani menyebarkan video itu. Karena video tersebut bukan hanya menyangkut nama baik kita, tapi mereka juga.” Saman tetap dengan keputusannya, tidak bersedia membantu Anjani.“Saya dan Anjani sudah tidak peduli dengan nama baik. Dengan adanya berita Anjani terlibat kejahatan saja, kami sudah dikucilkan warga. Beredarnya video itu, tidak akan berpengaruh apa pun untuk saya dan Anjani.” Esih tampak tidak gentar dengan ancama balik yang dilontarkan Saman.“Sudah lah, Pak. Ibu tidak