Tiara, begitu gadis yang memiliki nama lengkap Mutiara Pratiwi itu biasa dipanggil, terlihat masih menangisi kepergian bapaknya.Ditinggal pergi untuk selamanya secara tiba-tiba, tidak hanya menyisakan kesedihan untuknya. Tapi juga kehilangan yang dalam akan sosok Bapak yang selama ini menjadi pelindung baginya, ibu, juga kedua adiknya.“Sudahlah, Ra. Ikhlaskan kepergian bapakmu, tidak baik terus menangisinya.” ucap mak Iroh, tetangga dekat rumahnya yang selama ini selalu baik pada keluarganya.Tiara bergeming. Ia masih enggan beranjak dari tempat peristirahatan terakhir bapaknya. Ia masih saja terdengar meratapi kepergiannya.“Kasian ibumu, Ra. Dia pasti tengah kerepotan mempersiapkan untuk tahlilan bapakmu malam nanti.” lagi, mak Iroh membujuk Tiara agar segera meninggalkan pemakaman.Tiara mengusap pipinya yang basah. Mak Iroh benar, selain dirinya, tidak akan ada keluarga yang bersedia membantu ibunya.Bu Ratna, Nenek dari bapaknya, yang tinggal di kampung sebelah. Pasti tidak aka
"Apa aku tidak salah dengar? Bibi hanya memberi Ibu satu liter beras, setelah begitu banyak pekerjaan yang dilakukannya?” Tiara kembali bertanya, kali ini dengan intonasi meninggi.“Memang kamu berharap, aku membayar ibumu dengan apa? Syukur aku masih berempati pada ibumu, dan bersedia memberinya upah.” jawab Esih, pongah. “Asal kamu tahu. Seharusnya aku tidak memberikan upah pada ibumu, karena ayahmu sudah berutang banyak padaku.” ujarnya, sambil berkacak pinggang.Tiara mengepal.”Sudah, cukup Bi! Ini hari terakhir Ibu kerja pada Bibi. Terima kasih sudah memberi Ibu pekerjaan. Aku tidak akan ambil upahnya. Anggap saja hari ini aku dengan suka rela membantu Bibi.” ucapnya, seraya meletakkan satu plastik beras di tangan Esih.Terang saja, apa yang dilakukan Tiara membuat Esih meradang.”Dasar anak tidak tahu diuntung. Sudah miskin, belagu pula!” umpatnya.Kemudian ia meneriaki Tiara, dan menyumpahi ibunya tidak mendapatkan pekerjaan di tempat lain.Tiara tidak peduli. Ia terus melangkah
"Ada apa, Ra? Jawab Ibu!” ulang Nurma.“Tadi sore saja sok bertingkah. Sekarang melempem!” ujar Esih.” Kalau kamu tidak berani bicara dengan ibumu, biar aku saja yang bicara padanya.” lanjut Esih, menatap rendah pada Tiara dan ibunya.“Katakan saja, Teh. Memangnya apa yang Tiara lakukan?” tanya Nurma, beralih pada Sukaesih.Esih mendengus kasar.”Tadi sore, anak perempuanmu yang sombong ini, menolak menerima upah dariku. Terus dia juga bilang, teh Nurma tidak akan lagi bekerja di tokoku.” ujarnya, menatap benci pada Tiara.Nurma tersentak. Tiara memang mirip dirinya waktu masih muda. Keras pendirian, pantang menyerah, dan tidak mudah menerima bantuan dari orang lain. Tapi, sepengetahuan dirinya. Anak sulungnya itu selalu bersikap hormat dengan orang yang lebih tua darinya. Terlebih bibinya sendiri. Lalu bagaimana mungkin, Tiara menyombongkan dirinya pada Esih.“Benar yang dikatakan bi Esih, Ra?” tanya Nurma, menatap lekat pada Tiara.Tiara mengangkat wajahnya. Ia tidak ingin terlihat l
"Tiara!” sentak Nurma.”Apa yang kamu katakan, Nak? Tidak baik, bicara seperti itu pada orang yang sudah meninggal. Terlebih itu bapakmu sendiri.”Tiara menatap nanar ibunya.”Maafkan Tiara, Bu. Tiara tidak bermaksud seperti itu.” ucapnya, berusaha menahan butiran bening yang sudah berdesakan di kelopak matanya. “Berapa sebenarnya hitungan upah yang bi Esih berikan pada Ibu?” tanyanya kemudian, tertuju pada Esih.“Untuk apa kamu tanya-tanya soal upah ibumu? Aku tidak akan berbuat curang dengan tidak memberinya upah, atau tidak memotong cicilan utang almarhum bapakmu dari upah yang diterima ibumu.” ujar Esih, berang.“Jika betul yang bi Esih katakan. Kenapa tidak satu rupiah pun ada pengurangan di utang Bapak? Seharusnya sejak Ibu memutuskan bekerja di toko bi Esih, utang Bapak sudah berkurang dari total satu bulan lalu?” tanya Tiara, menelisik.Esih gelagapan.”Ee... Aku belum mencatatnya.” jawabnya, gugup.“Ya, sudah. Bi Esih Katakan saja, berapa upah Ibu yang sebenarnya?” lagi, Tiara b
Lepas ashar. Tiara yang berboncengan dengan ustadzah Imah, terlihat menuju kediaman pak Lurah Saman.Seperti yang sudah direncanakan. ustadzah Imah, akan memperkenalkan Tiara pada bu Lurah, sebagai guru ngaji baru untuk cucunya.Tiba di sana, Tiara berpapasan dengan Anjani, adik sepupunya yang sudah bersiap dengan motor maticnya.Sepertinya, ia baru saja menemui Fahmi, anak kedua pak Lurah, yang berkuliah di kampus yang sama dengannya.“Kamu sedang apa ada di sini, Ra?” tanya Jani, setengah berbisik.“Aku mau bertemu dengan bu Lurah, Jan.” jawab Tiara, gegas mengikuti langkah ustadzah Imah yang berjalan di depannya.“Tunggu dulu!” cegah Anjani, menarik paksa lengan Tiara.”Aku belum selesai bicara denganmu.”“Ada apa, Jan?” tanya Tiara, seraya berusaha melepas pegangan tangan Anjani.“Ada perlu apa, kamu bertemu dengan bu Lurah?” Anjani menjawab dengan bertanya balik.“Ini tidak ada urusannya denganmu, Jan.” jawab Tiara. “Jadi tidak ada kewajibanku, untuk menjawab pertanyaanmu.”Anjani
Anjani Meradang. Gegas bangkit, lalu kembali mendekat pada Tiara”Kurang A*ar! Berani ya kamu.” ujarnya, seraya mengangkat satu tangan kanannya.Kemudian, dengan gerakan cepat diarahkannya pada wajah Tiara. Tapi sayang, gerakannya kalah cepat dengan gerakan Tiara yang segera memiringkan badan ke sebelah kiri.“Berani melawan kamu, ya!” sentak Jani, kian meradang.“Kamu sudah tidak waras, Jani! Memangnya apa yang aku lakukan sampai kamu semarah ini padaku?” tanya Tiara mengambil langkah mundur, menjauh dari Anjani.Cahaya dan Hasan yang sudah bersiap untuk shalat berjamaah maghrib, terlihat muncul di ambang pintu.Keduanya tampak saling berpandangan lalu melihat ke arah Tiara dan Anjani yang seperti Tengah memasang kuda-kuda.Tini yang kebetulan sedang tidak shalat, tergopoh mendekat pada Tiara.”Ada apa ini, Ra? Kenapa maghrib begini ribut di luar?” tanyanya menoleh pada Tiara.“Ada orang yang kesurupan, Teh.” jawab Tiara asal.Terang saja. Jawaban Tiara yang jelas ditujukan kepadanya,
“Jadi, kita masih punya Kakek dan Nenek, Teh?” tanya Cahaya, setelah selesai membaca surat dari Nurma yang ditujukan untuk mereka bertiga.Tiara mengangguk.”Sebelum Ibu menghembuskan napas terakhirnya, beliau sempat mengucapkan kalimat seperti sebuah pesan untuk kita.” ucapnya, menatap kedua adiknya bergantian.“Apa itu, Teh?” tanya Cahaya dan Hasan, nyaris bersamaan.“Pergi ke Kota. Itu yang Teteh dengar dari Ibu.” Jawab Tiara.”Tidak begitu jelas. Tapi Teteh yakin, kalimat itu yang Ibu katakan.”“Itu berarti sama dengan isi pesan dalam surat ini, Teh?” tanya Cahaya.”“Ya. Kemungkinan besar seperti itu.” Tiara kembali menjawab. “Tapi pertanyaannya, kota mana yang Ibu maksud? Ibu tidak menyebutkan nama kota yang harus kita tuju.”“Berarti kita harus mencari fhoto yang disimpan bapak. Sesuai kalimat yang ibu katakan dalam surat ini, Teh.” ujar Cahaya. “Karena menurut petunjuk dalam surat Ibu, alamat itu ada di fhoto tersebut.”“Kamu bener, Ya. Tapi ke mana kita harus mencari fjoto itu? S
“Tumben pagi-pagi sudah turun gunung, Ra?” tanya Ayu, saat melihat Tiara telah berdiri di depan pintu pagar rumahnya.“Aku ada perlu sama kamu, Yu!” seru Tiara.Kemudian membuka pintu pagar, dan bergegas menuju teras rumah semi permanen bercat biru muda itu.“Perlu apa sih, Ra? Sepertinya penting sekali.” ujar Ayu, seraya mempersilakan Tiara duduk di kursi kayu yang ada di teras rumahnya.“Kamu masih suka bertemu dengan teman yang bisa menyalin dokumen penting itu nggak, Yu?” tanya Tiara.“Masih, Ra.” jawab Ayu. “Memangnya kenapa, Ra?” tanyanya kemudian.“Kira-kira dia juga bisa menyalin sertifikat tanah tidak ya, Yu?” lagi, Tiara bertanya.“Sepertinya, semua dokumen dia mah bisa. “Ayu kembali menjawab.”Memangnya sertifikat tanah siapa yang mau kamu buat replikanya, Ra?”“Punya ibuku, Yu.” jawab Tiara.”Kira-kira lama tidak, ya?” tanyanya.“Nggak, Ra. Paling satu atau dua hari juga sudah selesai. Kamu tinggal kirim photo sertifikatnya, nanti dia kerjakan.” jawab Ayu.“Tapi ngomong-ngom