“Tumben pagi-pagi sudah turun gunung, Ra?” tanya Ayu, saat melihat Tiara telah berdiri di depan pintu pagar rumahnya.
“Aku ada perlu sama kamu, Yu!” seru Tiara.Kemudian membuka pintu pagar, dan bergegas menuju teras rumah semi permanen bercat biru muda itu.“Perlu apa sih, Ra? Sepertinya penting sekali.” ujar Ayu, seraya mempersilakan Tiara duduk di kursi kayu yang ada di teras rumahnya.“Kamu masih suka bertemu dengan teman yang bisa menyalin dokumen penting itu nggak, Yu?” tanya Tiara.“Masih, Ra.” jawab Ayu. “Memangnya kenapa, Ra?” tanyanya kemudian.“Kira-kira dia juga bisa menyalin sertifikat tanah tidak ya, Yu?” lagi, Tiara bertanya.“Sepertinya, semua dokumen dia mah bisa. “Ayu kembali menjawab.”Memangnya sertifikat tanah siapa yang mau kamu buat replikanya, Ra?”“Punya ibuku, Yu.” jawab Tiara.”Kira-kira lama tidak, ya?” tanyanya.“Nggak, Ra. Paling satu atau dua hari juga sudah selesai. Kamu tinggal kirim photo sertifikatnya, nanti dia kerjakan.” jawab Ayu.“Tapi ngomong-ngomong, kenapa kamu mau menyalin sertifikat tanah ibumu?”Tiara menghembuskan napas. Kemudian menceritakan masalah yang tengah dihadapi terkait tanah milik ibunya yang hendak diambil oleh Nenek dan bibinya.“Kok bisa, ya. Mereka setega itu sama keluargamu, Ra?” tanya Ayu, menatap kasian pada sahabatnya.“Entahlah, Yu. Aku sendiri tidak mengerti, kenapa mereka sepertinya benci sekali dengan keluargaku. Terutama aku dan Ibu.” ucap Tiara.“Ya, sudah. Mana sertifikatnya, Ra?” tanya Ayu kemudian. “Biar ku photokan.” sambungnya.Tiara pun gegas mengeluarkan plastik hitam dari dalam tasnya. Lalu memberikannya pada Ayu.”Tapi bayarannya tidak mahal ‘kan, Yu?”“Kamu tidak perlu khawatir. Masalah harga, nanti aku yang nego sama orangnya.” jawab Ayu, kemudian memphoto sertifikat tanah yang diberikan Tiara dengan ponselnya.Setelah urusan menyalin sertifikat selesai. Tiara pun berpamitan, kembali pulang ke rumahnya.“Tidak tunggu di rumahku saja sampai jadwal TPA, Ra?” tanya Ayu, sebelum Tiara benar-benar pergi.“Tidak, Yu. Ibuku sedang sakit. Kasian kalau ditinggal lama sendirian.” jawab Tiara.Kemudian bergegas meninggalkan rumah Ayu.Dengan langkah cepat, Tiara menyusuri jalan setapak menuju rumahnya.Ada perasaan tidak enak, tiba-tiba menyergap.Tiara pun mempercepat langkahnya. Berharap bisa segera tiba di rumah, untuk menemani ibunya.***Tiba di rumah. Tiara dikejutkan dengan kondisi pintu rumah yang terbuka lebar.Padahal ibunya masih belum leluasa berjalan, dan sudah ia minta untuk tidak pergi kemana-mana sebelum dirinya kembali.Dengan langkah lebar, Tiara bergegas memasuki rumah.Ia kian terkejut saat menyaksikan seisi rumah berantakan, seperti sengaja di obrak-abrik orang-orang yang tak bertanggung jawabTiara pun segera mencari keberadaan Nurma di kamarnya.Langkahnya terhenti di depan pintu, saat netranya mendapati Nurma tergeletak tak sadarkan diri.“Ibu kenapa?” pekik Tiara, menghambur ke arah Nurma.Diperiksanya nadinya, masih berdenyut.”Alhamdulillaah.” gumam Tiara, lega.Kemudian ia menggeser tubuh Nurma, dan meletakkan kepalanya di atas bantal.Dilihatnya sekeliling kamar ibunya yang porak poranda.Pakaian yang sebelumnya tersusun rapi di lemari kayu tanpa pintu, berserakan di bawahnya.Kedua tangan Tiara seketika mengepal kuat.”Kalian benar-benar tidak punya hati!” desisnya, marah.Ia yakin, apa yang terjadi di rumahnya adalah ulah keluarga almarhum bapaknya.Dalam kepanikan, Tiara kembali ke luar rumah. Berniat mencari pertolongan pada tetangganya.Sepi. Pemukiman yang hanya terdiri dari lima rumah itu, tampaknya sudah ditinggalkan penghuninya ke sawah.Seketika, kedua sudut mata Tiara mengembun. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk menolong ibunya.Tini yang biasa ia mintai tolong, saat perlu komunikasi dengan Ayu atau yang lainnya. Sedang tidak ada di rumah. Hanya ada dirinya dan Nurma yang tengah tidak sadarkan diri.Tiara pun kembali ke dalam rumah. Mengunci pintu rapat-rapat. Lalu mengganjalnya dengan meja belajar usang yang biasa digunakan kedua adiknya.Setelahnya, Tiara menuju dapur. Untuk membuatkan teh manis hangat untuk ibunya. Dan mengambil balsem dari dalam kamarnya.Perlahan, ia membaluri tubuh Nurma dengan balsem, dan memberinya teh manis dengan sendok.“Bangun, Bu. Jangan membuat Tiara panik.” ratap Tiara, sambil memberi pijatan di tangan dan kaki ibunya.Tidak ada reaksi apa pun ditunjukkan Nurma kepadanya.Tiara pun kembali memberi teh manis hangat pada ibunya. Sambil terus membisikkan kalimat-kalimat penyemangat di telinganya.Tak lama kemudian. Tiara merasakan gerakan pada tangan Nurma.”Ibu sudah sadar!” serunya, menatap lekat wajah Nurma yang masih terpejam.“Apa yang terjadi dengan Ibu? Kenapa rumah berantakan? Siapa yang tega melakukannya pada kita?” tanya Tiara, mendekatkan wajahnya pada ibunya.Perlahan. Nurma membuka matanya, menatap hampa pada langit-langit kamarnya.Ada yang berbeda dari tatapan matanya. Kosong.“Bu. Ibu tidak apa-apa, ‘kan?” tanya Tiara mengusap lembut wajah ibunya.Nurma bergeming. Dengan kedua mata yang masih mengarah ke atas langit-langit.“Ibu lihat apa?” lagi, Tiara bertanya. Berusaha mengalihkan pandangan Nurma ke arahnya.Namun, tetap saja. Nurma mengarahkan pandangan matanya ke atas langit-langit.Tak lama berselang, mulutnya tiba-tiba terbuka. Mengeluarkan air teh yang sempat Tiara berikan kepadanya.Lalu, terdengar seperti suara orang yang tengah mendengkur dari mulutnya yang terbuka itu.Tiara panik. Ia menggoyangkan tubuh ibunya, dengan mata berkaca-kaca.”Ibu kenapa?” tanyanya bergetar.“Pel-Pelrgi Ke Ko-ta.” ucapanya terbata-bata, dan mendadak cadel.“Apa yang hendak Ibu katakan?” tanya Tiara, mendekatkan telinga ke mulut ibunya.“Ko-kota... Ko-kota.”Hanya satu kata yang didengar Tiara. Sebelum akhirnya, Nurma kembali menutup matanya.“Bu... Ibu tidak kenapa-napa, ‘kan?” Tiara menggenggam erat bahu ibunya.Tidak ada respon.Reflek, Tiara mengarahkan jarinya pada pergelangan tangan Nurma yang tersa dingin.”Tidak mungkin!” ujarnya, menggelengkan kepala.Kemudian beralih pada bagian atas lehernya.Tiara kembali menggeleng.”Ini tidak mungkin. Ibuku masih hidup!” gumamnya, gemetar.Bersambung...“Bu... Bangun, Bu! Mohon, jangan buat Tiara takut!” ratap Tiara, seraya mengguncangkan tubuh ibunya.Tetap tidak ada respon dari Nurma.Tiara pun bangkit. Diraihnya tas ransel miliknya. Lalu ia ambil plastik hitam di dalamnya.Kemudian Tiara gegas menuju dapur. Lalu menaiki loteng rumahnya dengan tangga bambu, yang biasa digunakan almarhum bapaknya dulu untuk membetulkan genteng yang rusak.Selanjutnya, dengan tangan gemetar. Dilemparkannya plastik hitam di tangannya ke tengah loteng.Setelah itu, Tiara kembali ke kamar ibunya. Sekali lagi memastikan, dan berharap ibunya masih hidup.Tiara bersimpuh sejenak. Merapatkan telinganya di dada Nurma.Tidak ada detak jantung di sana.”Innalillaahi Wainnailaihi Roji’uun.” gumam Tiara, bergetar.Untuk beberapa saat, ia tertegun. Tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.Hanya air mata yang mengalir deras, menjadi penanda begitu pedih duka yang tengah di hadapinya.Setelah yakin ibunya sudah tiada. Tiara pun bangkit. Kemudian kembali ke pemukima
“Istighfar, Ra.” Ayu mendekat, meraih bahu Tiara dan mengajaknya kembali ke samping jenazah ibunya.“Tidak, Yu. Aku harus pastikan mereka tidak mendekat pada jasad ibuku!” tegas, Tiara menolak ajakan Ayu. “Aku minta kalian segera pergi dari sini! Aku tidak ingin melihat kalian bertiga ada di sini, terlebih untuk melihat jasad Ibuku” titahnya, menatap tajam pada ketiga orang di hadapannya.“Dasar, anak tidak tahu diuntung! Kami datang ke sini untuk membantumu. Bukannya disambut dengan baik, malah disuruh pergi.” gerutu Esih, gusar. “Memangnya kamu bisa mengurus kematian ibumu sendirian? Memangnya warga kampung yang membantu pemakaman ibumu, juga tahlilan nanti, tidak memerlukan biaya?” tanyanya kemudian, menatap rendah pada Tiara.“Kami tidak butuh bantuan dari kalian! Aku dan adik-adikku bisa mengurusnya sendiri.” jawab Tiara, yakin.“Sombong! Sudah miskin, tidak tahu diri.” gerutu Anjani, kemudian menarik lengan Bu Ratna dan Esih keluar dari rumah Tiara.“Aku bilang, Aku tidak butuh
Untuk anak-anakkuMaafkan Ibu, sudah membawa kalian pada kehidupan yang tak seharusnya kalian jalaniSemua salah Ibu dan Bapak. Kami egois, dan kalian adalah korban keegoisan kami.Tiara, Cahaya, Hasan.Ibu sebenarnya tidak sebatang kara. Kalian bertiga masih memiliki Kakek dan Nenek dari Ibu.Maafkan Ibu sudah menutupi kebenaran tentang identitas Ibu yang sebenarnya pada kalian.Suatu hari kalian akan tahu kenapa Ibu merahasiakannya dari kalian.Tiara. Jika sesuatu terjadi pada Ibu. Bawa adik-adikmu pergi dari sini. Karena bibimu tidak akan membiarkan kalian hidup dengan tenang. Dia tidak suka pada Ibu, karena dianggap merebut bapakmu.Tiara, Cahaya, Hasan.Cari photo Ibu bersama dengan Kakek dan Nenek kalian yang disimpan Bapak. Ada alamat di belakangnya. Temui mereka di sana.Simpanlah uang 500 ribu ini, untuk bekal kalian.Maafkan Ibu dan Bapak. Kami sayang kalian.Tiara gemetar. Dilipatnya kembali secarik kertas bertuliskan tangan ibunya itu. Lalu dimasukkannya ke dalam saku gami
“Jadi, kita masih punya Kakek dan Nenek, Teh?” tanya Cahaya, setelah selesai membaca surat dari Nurma yang ditujukan untuk mereka bertiga.Tiara mengangguk.”Sebelum Ibu menghembuskan napas terakhirnya, beliau sempat mengucapkan kalimat seperti sebuah pesan untuk kita.” ucapnya, menatap kedua adiknya bergantian.“Apa itu, Teh?” tanya Cahaya dan Hasan, nyaris bersamaan.“Pergi ke Kota. Itu yang Teteh dengar dari Ibu.” Jawab Tiara.”Tidak begitu jelas. Tapi Teteh yakin, kalimat itu yang Ibu katakan.”“Itu berarti sama dengan isi pesan dalam surat ini, Teh?” tanya Cahaya.”“Ya. Kemungkinan besar seperti itu.” Tiara kembali menjawab. “Tapi pertanyaannya, kota mana yang Ibu maksud? Ibu tidak menyebutkan nama kota yang harus kita tuju.”“Berarti kita harus mencari fhoto yang disimpan bapak. Sesuai kalimat yang ibu katakan dalam surat ini, Teh.” ujar Cahaya. “Karena menurut petunjuk dalam surat Ibu, alamat itu ada di fhoto tersebut.”“Kamu bener, Ya. Tapi ke mana kita harus mencari fjoto itu?
Tiara terdiam. Ia sendiri tidak tahu apa yang akan dilakukannya, jika satu-satunya petunjuk yang diberikan ibunya mengenai keberadaan kekuarganya tidak mereka temukan."Kita harus yakin, foto itu akan segera kita temukan." ujar Tiara meyakinkan kedua adiknya. "Sekarang kita istirahat. Biar besok kalian bisa berangkat ke sekolah lebih pagi. Teteh juga mulai besok sudah harus kembali mengaja dii TPA, juga mengajar les di rumahnya pak lurah. Jadi, malam ini harus cukup istirahat. Biar besok tidak tumbang." sambungnya.Kedua adik Tiara mengangguk setuju.Kemudian, Hasan beranjak dari duduknya. Lalu bergegas memasuki kamarnya."Malam ini teteh tidurnya bareng lagi sama Aya, 'kan?" tanya Cahaya."Ya. " jawab Tiara. "Kamu masuklah dulu. Teteh mau periksa pintu dulu. "ujarnya, bergegas menuju pintu dapur.Setelahnya, menuju pintu depan, untuk memastikan pintu sudah terkunci.Sejenak. Tiara melongok suasana di luar, dari jendela kaca kecil dekat pintu. Sepi. Mungkin tetangganya kelelahan, kar
"Tapi kamu tidak apa-apa 'kan, Ra? Mereka tidak balik menyerangmu, bukan?" tanya mak Iroh, sembari meneliti tubuh Tiara.Wanita paruh baya itu terlihat khawatir, terlebih melihat kedua gadis itu masih tampak ketakutan.Tiara menggeleng."Kami tidak apa-apa, Mak. Mereka tidak sempat melakukan perlawanan." jawabnya, mulai bisa menenangkan dirinya.Mang Sobri dan dua tetangga lainnya yang memeriksa pintu belakang, terlihat kembali."Sepertinya memang ada maling masuk ke rumah ini, Mak. Tapi mereka sudah kabur lewat pintu belakang." ujarnya, melaporkan hasil temuannya pada mak Iroh."Astagfirullah. Apa yang mau mereka maling dari rumah ini. Aneh!" Mak Iroh menggerutu. "Tapi, kalian berdua benar tidak apa-apa, 'kan?"tanya mak Iroh, kembali tertuju pada Tiara dan Cahaya."Kami berdua tidak apa-apa Mak."jawab Tiara."Satu maling yang hendak masuk ke kamar kami, keburu saya tebas lengannya ." ujar Tiara, masih gemetaran."Alhamdulillaah. Untung kalian tidak apa-apa." ucap mak Iroh. "Biarkan saja
Teteh menyimpannya di loteng Rumah Kita" jawab Tiara, memelankan suaranya.Sejenak cahaya terdiam lalu kemudian ia berseru."Apa mungkin Bapak menyimpan foto itu di loteng ya, Teh?"Tiara mengerenyit."Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?" tanyanya, belum paham apa yang ada dalam pikiran Cahaya."Semua tempat di rumah ini, sudah kita geledah. Hasilnya, kita tidak menemukan fhoto itu." jawab Cahaya. "Dan satu-satunya tempat yang belum kita periksa, ya loteng.""Kenapa, loteng?" Tiara kembali bertanya."Simpel. Teh Tiara saja terpikir untuk menyimpan sertifikat tanah Ibu di sana. Itu artinya, Teteh menganggap tempat itu aman untuk menyimpan barang-barang penting, 'kan? Bisa jadi, Bapak juga punya pemikiran yang sama seperti Teteh."Tiara tertegun. Apa yang baru saja dikatakan Cahaya ada benarnya juga. Mungkin saja almarhum bapaknya menyimpan foto itu di atas loteng, seperti dirinya yang menyembunyikan sertifikat tanah dari jangkauan nenek dan bibinya di sana."Kalau begitu kita lihat ke
Tapi mau bagaimana lagi, Bu. Bi Esih memiliki catatannya."Sejenak Tiara dan Ratih terdiam. "Saya sih suka dengan tanah itu. Letaknya strategis, cocok dibangun untuk tempat usaha." ujar Ratih. "Apa nanti kalian tidak akan menyesal kalau sekarang menjual tanah itu?""Insya Allah tidak, bu Lurah. Saya khawatir kalau tidak menjualnya sekarang. Nenek dan bi Esih akan lebih dulu menjualnya.""Tapi sertifikat tanahnya ada di kamu, 'kan?" lagi, Ratih bertanya. "Mereka tidak akan bisa menjualnya tanpa surat-surat lengkap.""Surat tanahnya ada pada saya, Bu. Tapi sepertinya mereka memegang surat sertifikat tanah yang palsu." jawab Tiara.Ratih mengerenyit."Dari mana kamu tahu mereka memiliki surat tanah palsu miliki ibumu?"Tiara terdiam sejenak. Kemudian menceritakan kejadian di rumahnya yang sempat disatroni maling. Juga mengenai sertifikat tanah yang ia duplikasi."Astaghfirullah. Jadi dua orang yang memasuki rumah kalian, mengincar sertifikat tanah ibumu?" Ratih terbelalak. Tiara mengan