Beranda / Romansa / Upah Satu Liter Beras / Bab 8. Siapa Pelakunya?

Share

Bab 8. Siapa Pelakunya?

“Tumben pagi-pagi sudah turun gunung, Ra?” tanya Ayu, saat melihat Tiara telah berdiri di depan pintu pagar rumahnya.

“Aku ada perlu sama kamu, Yu!” seru Tiara.

Kemudian membuka pintu pagar, dan bergegas menuju teras rumah semi permanen bercat biru muda itu.

“Perlu apa sih, Ra? Sepertinya penting sekali.” ujar Ayu, seraya mempersilakan Tiara duduk di kursi kayu yang ada di teras rumahnya.

“Kamu masih suka bertemu dengan teman yang bisa menyalin dokumen penting itu nggak, Yu?” tanya Tiara.

“Masih, Ra.” jawab Ayu. “Memangnya kenapa, Ra?” tanyanya kemudian.

“Kira-kira dia juga bisa menyalin sertifikat tanah tidak ya, Yu?” lagi, Tiara bertanya.

“Sepertinya, semua dokumen dia mah bisa. “Ayu kembali menjawab.”Memangnya sertifikat tanah siapa yang mau kamu buat replikanya, Ra?”

“Punya ibuku, Yu.” jawab Tiara.”Kira-kira lama tidak, ya?” tanyanya.

“Nggak, Ra. Paling satu atau dua hari juga sudah selesai. Kamu tinggal kirim photo sertifikatnya, nanti dia kerjakan.” jawab Ayu.

“Tapi ngomong-ngomong, kenapa kamu mau menyalin sertifikat tanah ibumu?”

Tiara menghembuskan napas. Kemudian menceritakan masalah yang tengah dihadapi terkait tanah milik ibunya yang hendak diambil oleh Nenek dan bibinya.

“Kok bisa, ya. Mereka setega itu sama keluargamu, Ra?” tanya Ayu, menatap kasian pada sahabatnya.

“Entahlah, Yu. Aku sendiri tidak mengerti, kenapa mereka sepertinya benci sekali dengan keluargaku. Terutama aku dan Ibu.” ucap Tiara.

“Ya, sudah. Mana sertifikatnya, Ra?” tanya Ayu kemudian. “Biar ku photokan.” sambungnya.

Tiara pun gegas mengeluarkan plastik hitam dari dalam tasnya. Lalu memberikannya pada Ayu.”Tapi bayarannya tidak mahal ‘kan, Yu?”

“Kamu tidak perlu khawatir. Masalah harga, nanti aku yang nego sama orangnya.” jawab Ayu, kemudian memphoto sertifikat tanah yang diberikan Tiara dengan ponselnya.

Setelah urusan menyalin sertifikat selesai. Tiara pun berpamitan, kembali pulang ke rumahnya.

“Tidak tunggu di rumahku saja sampai jadwal TPA, Ra?” tanya Ayu, sebelum Tiara benar-benar pergi.

“Tidak, Yu. Ibuku sedang sakit. Kasian kalau ditinggal lama sendirian.” jawab Tiara.

Kemudian bergegas meninggalkan rumah Ayu.

Dengan langkah cepat, Tiara menyusuri jalan setapak menuju rumahnya.

Ada perasaan tidak enak, tiba-tiba menyergap.

Tiara pun mempercepat langkahnya. Berharap bisa segera tiba di rumah, untuk menemani ibunya.

***

Tiba di rumah. Tiara dikejutkan dengan kondisi pintu rumah yang terbuka lebar.

Padahal ibunya masih belum leluasa berjalan, dan sudah ia minta untuk tidak pergi kemana-mana sebelum dirinya kembali.

Dengan langkah lebar, Tiara bergegas memasuki rumah.

Ia kian terkejut saat menyaksikan seisi rumah berantakan, seperti sengaja di obrak-abrik orang-orang yang tak bertanggung jawab

Tiara pun segera mencari keberadaan Nurma di kamarnya.

Langkahnya terhenti di depan pintu, saat netranya mendapati Nurma tergeletak tak sadarkan diri.

“Ibu kenapa?” pekik Tiara, menghambur ke arah Nurma.

Diperiksanya nadinya, masih berdenyut.”Alhamdulillaah.” gumam Tiara, lega.

Kemudian ia menggeser tubuh Nurma, dan meletakkan kepalanya di atas bantal.

Dilihatnya sekeliling kamar ibunya yang porak poranda.

Pakaian yang sebelumnya tersusun rapi di lemari kayu tanpa pintu, berserakan di bawahnya.

Kedua tangan Tiara seketika mengepal kuat.”Kalian benar-benar tidak punya hati!” desisnya, marah.

Ia yakin, apa yang terjadi di rumahnya adalah ulah keluarga almarhum bapaknya.

Dalam kepanikan, Tiara kembali ke luar rumah. Berniat mencari pertolongan pada tetangganya.

Sepi. Pemukiman yang hanya terdiri dari lima rumah itu, tampaknya sudah ditinggalkan penghuninya ke sawah.

Seketika, kedua sudut mata Tiara mengembun. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk menolong ibunya.

Tini yang biasa ia mintai tolong, saat perlu komunikasi dengan Ayu atau yang lainnya. Sedang tidak ada di rumah. Hanya ada dirinya dan Nurma yang tengah tidak sadarkan diri.

Tiara pun kembali ke dalam rumah. Mengunci pintu rapat-rapat. Lalu mengganjalnya dengan meja belajar usang yang biasa digunakan kedua adiknya.

Setelahnya, Tiara menuju dapur. Untuk membuatkan teh manis hangat untuk ibunya. Dan mengambil balsem dari dalam kamarnya.

Perlahan, ia membaluri tubuh Nurma dengan balsem, dan memberinya teh manis dengan sendok.

“Bangun, Bu. Jangan membuat Tiara panik.” ratap Tiara, sambil memberi pijatan di tangan dan kaki ibunya.

Tidak ada reaksi apa pun ditunjukkan Nurma kepadanya.

Tiara pun kembali memberi teh manis hangat pada ibunya. Sambil terus membisikkan kalimat-kalimat penyemangat di telinganya.

Tak lama kemudian. Tiara merasakan gerakan pada tangan Nurma.”Ibu sudah sadar!” serunya, menatap lekat wajah Nurma yang masih terpejam.

“Apa yang terjadi dengan Ibu? Kenapa rumah berantakan? Siapa yang tega melakukannya pada kita?” tanya Tiara, mendekatkan wajahnya pada ibunya.

Perlahan. Nurma membuka matanya, menatap hampa pada langit-langit kamarnya.

Ada yang berbeda dari tatapan matanya. Kosong.

“Bu. Ibu tidak apa-apa, ‘kan?” tanya Tiara mengusap lembut wajah ibunya.

Nurma bergeming. Dengan kedua mata yang masih mengarah ke atas langit-langit.

“Ibu lihat apa?” lagi, Tiara bertanya. Berusaha mengalihkan pandangan Nurma ke arahnya.

Namun, tetap saja. Nurma mengarahkan pandangan matanya ke atas langit-langit.

Tak lama berselang, mulutnya tiba-tiba terbuka. Mengeluarkan air teh yang sempat Tiara berikan kepadanya.

Lalu, terdengar seperti suara orang yang tengah mendengkur dari mulutnya yang terbuka itu.

Tiara panik. Ia menggoyangkan tubuh ibunya, dengan mata berkaca-kaca.”Ibu kenapa?” tanyanya bergetar.

“Pel-Pelrgi Ke Ko-ta.” ucapanya terbata-bata, dan mendadak cadel.

“Apa yang hendak Ibu katakan?” tanya Tiara, mendekatkan telinga ke mulut ibunya.

“Ko-kota... Ko-kota.”

Hanya satu kata yang didengar Tiara. Sebelum akhirnya, Nurma kembali menutup matanya.

“Bu... Ibu tidak kenapa-napa, ‘kan?” Tiara menggenggam erat bahu ibunya.

Tidak ada respon.

Reflek, Tiara mengarahkan jarinya pada pergelangan tangan Nurma yang tersa dingin.”Tidak mungkin!” ujarnya, menggelengkan kepala.

Kemudian beralih pada bagian atas lehernya.

Tiara kembali menggeleng.”Ini tidak mungkin. Ibuku masih hidup!” gumamnya, gemetar.

Bersambung...

Komen (1)
goodnovel comment avatar
KarlTzy
cerita yg menarik, lanjutkan dan tetap semangat menulisnya ya.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status