“Istighfar, Ra.” Ayu mendekat, meraih bahu Tiara dan mengajaknya kembali ke samping jenazah ibunya.“Tidak, Yu. Aku harus pastikan mereka tidak mendekat pada jasad ibuku!” tegas, Tiara menolak ajakan Ayu. “Aku minta kalian segera pergi dari sini! Aku tidak ingin melihat kalian bertiga ada di sini, terlebih untuk melihat jasad Ibuku” titahnya, menatap tajam pada ketiga orang di hadapannya.“Dasar, anak tidak tahu diuntung! Kami datang ke sini untuk membantumu. Bukannya disambut dengan baik, malah disuruh pergi.” gerutu Esih, gusar. “Memangnya kamu bisa mengurus kematian ibumu sendirian? Memangnya warga kampung yang membantu pemakaman ibumu, juga tahlilan nanti, tidak memerlukan biaya?” tanyanya kemudian, menatap rendah pada Tiara.“Kami tidak butuh bantuan dari kalian! Aku dan adik-adikku bisa mengurusnya sendiri.” jawab Tiara, yakin.“Sombong! Sudah miskin, tidak tahu diri.” gerutu Anjani, kemudian menarik lengan Bu Ratna dan Esih keluar dari rumah Tiara.“Aku bilang, Aku tidak butuh
Untuk anak-anakkuMaafkan Ibu, sudah membawa kalian pada kehidupan yang tak seharusnya kalian jalaniSemua salah Ibu dan Bapak. Kami egois, dan kalian adalah korban keegoisan kami.Tiara, Cahaya, Hasan.Ibu sebenarnya tidak sebatang kara. Kalian bertiga masih memiliki Kakek dan Nenek dari Ibu.Maafkan Ibu sudah menutupi kebenaran tentang identitas Ibu yang sebenarnya pada kalian.Suatu hari kalian akan tahu kenapa Ibu merahasiakannya dari kalian.Tiara. Jika sesuatu terjadi pada Ibu. Bawa adik-adikmu pergi dari sini. Karena bibimu tidak akan membiarkan kalian hidup dengan tenang. Dia tidak suka pada Ibu, karena dianggap merebut bapakmu.Tiara, Cahaya, Hasan.Cari photo Ibu bersama dengan Kakek dan Nenek kalian yang disimpan Bapak. Ada alamat di belakangnya. Temui mereka di sana.Simpanlah uang 500 ribu ini, untuk bekal kalian.Maafkan Ibu dan Bapak. Kami sayang kalian.Tiara gemetar. Dilipatnya kembali secarik kertas bertuliskan tangan ibunya itu. Lalu dimasukkannya ke dalam saku gami
“Jadi, kita masih punya Kakek dan Nenek, Teh?” tanya Cahaya, setelah selesai membaca surat dari Nurma yang ditujukan untuk mereka bertiga.Tiara mengangguk.”Sebelum Ibu menghembuskan napas terakhirnya, beliau sempat mengucapkan kalimat seperti sebuah pesan untuk kita.” ucapnya, menatap kedua adiknya bergantian.“Apa itu, Teh?” tanya Cahaya dan Hasan, nyaris bersamaan.“Pergi ke Kota. Itu yang Teteh dengar dari Ibu.” Jawab Tiara.”Tidak begitu jelas. Tapi Teteh yakin, kalimat itu yang Ibu katakan.”“Itu berarti sama dengan isi pesan dalam surat ini, Teh?” tanya Cahaya.”“Ya. Kemungkinan besar seperti itu.” Tiara kembali menjawab. “Tapi pertanyaannya, kota mana yang Ibu maksud? Ibu tidak menyebutkan nama kota yang harus kita tuju.”“Berarti kita harus mencari fhoto yang disimpan bapak. Sesuai kalimat yang ibu katakan dalam surat ini, Teh.” ujar Cahaya. “Karena menurut petunjuk dalam surat Ibu, alamat itu ada di fhoto tersebut.”“Kamu bener, Ya. Tapi ke mana kita harus mencari fjoto itu?
Tiara terdiam. Ia sendiri tidak tahu apa yang akan dilakukannya, jika satu-satunya petunjuk yang diberikan ibunya mengenai keberadaan kekuarganya tidak mereka temukan."Kita harus yakin, foto itu akan segera kita temukan." ujar Tiara meyakinkan kedua adiknya. "Sekarang kita istirahat. Biar besok kalian bisa berangkat ke sekolah lebih pagi. Teteh juga mulai besok sudah harus kembali mengaja dii TPA, juga mengajar les di rumahnya pak lurah. Jadi, malam ini harus cukup istirahat. Biar besok tidak tumbang." sambungnya.Kedua adik Tiara mengangguk setuju.Kemudian, Hasan beranjak dari duduknya. Lalu bergegas memasuki kamarnya."Malam ini teteh tidurnya bareng lagi sama Aya, 'kan?" tanya Cahaya."Ya. " jawab Tiara. "Kamu masuklah dulu. Teteh mau periksa pintu dulu. "ujarnya, bergegas menuju pintu dapur.Setelahnya, menuju pintu depan, untuk memastikan pintu sudah terkunci.Sejenak. Tiara melongok suasana di luar, dari jendela kaca kecil dekat pintu. Sepi. Mungkin tetangganya kelelahan, kar
"Tapi kamu tidak apa-apa 'kan, Ra? Mereka tidak balik menyerangmu, bukan?" tanya mak Iroh, sembari meneliti tubuh Tiara.Wanita paruh baya itu terlihat khawatir, terlebih melihat kedua gadis itu masih tampak ketakutan.Tiara menggeleng."Kami tidak apa-apa, Mak. Mereka tidak sempat melakukan perlawanan." jawabnya, mulai bisa menenangkan dirinya.Mang Sobri dan dua tetangga lainnya yang memeriksa pintu belakang, terlihat kembali."Sepertinya memang ada maling masuk ke rumah ini, Mak. Tapi mereka sudah kabur lewat pintu belakang." ujarnya, melaporkan hasil temuannya pada mak Iroh."Astagfirullah. Apa yang mau mereka maling dari rumah ini. Aneh!" Mak Iroh menggerutu. "Tapi, kalian berdua benar tidak apa-apa, 'kan?"tanya mak Iroh, kembali tertuju pada Tiara dan Cahaya."Kami berdua tidak apa-apa Mak."jawab Tiara."Satu maling yang hendak masuk ke kamar kami, keburu saya tebas lengannya ." ujar Tiara, masih gemetaran."Alhamdulillaah. Untung kalian tidak apa-apa." ucap mak Iroh. "Biarkan saja
Teteh menyimpannya di loteng Rumah Kita" jawab Tiara, memelankan suaranya.Sejenak cahaya terdiam lalu kemudian ia berseru."Apa mungkin Bapak menyimpan foto itu di loteng ya, Teh?"Tiara mengerenyit."Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?" tanyanya, belum paham apa yang ada dalam pikiran Cahaya."Semua tempat di rumah ini, sudah kita geledah. Hasilnya, kita tidak menemukan fhoto itu." jawab Cahaya. "Dan satu-satunya tempat yang belum kita periksa, ya loteng.""Kenapa, loteng?" Tiara kembali bertanya."Simpel. Teh Tiara saja terpikir untuk menyimpan sertifikat tanah Ibu di sana. Itu artinya, Teteh menganggap tempat itu aman untuk menyimpan barang-barang penting, 'kan? Bisa jadi, Bapak juga punya pemikiran yang sama seperti Teteh."Tiara tertegun. Apa yang baru saja dikatakan Cahaya ada benarnya juga. Mungkin saja almarhum bapaknya menyimpan foto itu di atas loteng, seperti dirinya yang menyembunyikan sertifikat tanah dari jangkauan nenek dan bibinya di sana."Kalau begitu kita lihat ke
Tapi mau bagaimana lagi, Bu. Bi Esih memiliki catatannya."Sejenak Tiara dan Ratih terdiam. "Saya sih suka dengan tanah itu. Letaknya strategis, cocok dibangun untuk tempat usaha." ujar Ratih. "Apa nanti kalian tidak akan menyesal kalau sekarang menjual tanah itu?""Insya Allah tidak, bu Lurah. Saya khawatir kalau tidak menjualnya sekarang. Nenek dan bi Esih akan lebih dulu menjualnya.""Tapi sertifikat tanahnya ada di kamu, 'kan?" lagi, Ratih bertanya. "Mereka tidak akan bisa menjualnya tanpa surat-surat lengkap.""Surat tanahnya ada pada saya, Bu. Tapi sepertinya mereka memegang surat sertifikat tanah yang palsu." jawab Tiara.Ratih mengerenyit."Dari mana kamu tahu mereka memiliki surat tanah palsu miliki ibumu?"Tiara terdiam sejenak. Kemudian menceritakan kejadian di rumahnya yang sempat disatroni maling. Juga mengenai sertifikat tanah yang ia duplikasi."Astaghfirullah. Jadi dua orang yang memasuki rumah kalian, mengincar sertifikat tanah ibumu?" Ratih terbelalak. Tiara mengan
Sementara itu, di tempat berbeda. Anjani terlihat tengah memarahi dua orang laki-laki di hadapannya. "Diminta ngerjain satu perempuan saja tidak becus!" sentaknya, murka."Maaf, Teh. Kalau tidak ada yang datang menolongnya, kami pasti sudah berhasil melaksanakan tugas dari teh Jani." ujar salah satu dari mereka, membela diri."Halaah. Buktinya, kalian berdua gagal." sambar Anjani, tidak mau menerima alasan."Beri kami satu kesempatan lagi, Teh." "Tidak ada kesempatan lagi. Yang ada kalian tertangkap, dan menyeretku!" tolak Anjani, kemudian mengusir dua orang yang telah gagal mencelakai Tiara. Awalnya dia pikir semua rencana sudah sesuai seperti yang diinginkannya. Tapi ternyata dua orang suruhannya gagal. Tidak berjalan sesuai dengan rencananya. Membuat Tiar tidak akan berani dekat dengan Ilham karena merasa dirinya kotor."Lebih baik sekarang kalian pergi, dan jangan perlihatkan wajah kalian lagi di hadapanku!" Anjani menyerahkan uang seratus ribuan. Lalu bergegas memasuki rumahny