"Tapi kamu tidak apa-apa 'kan, Ra? Mereka tidak balik menyerangmu, bukan?" tanya mak Iroh, sembari meneliti tubuh Tiara.Wanita paruh baya itu terlihat khawatir, terlebih melihat kedua gadis itu masih tampak ketakutan.Tiara menggeleng."Kami tidak apa-apa, Mak. Mereka tidak sempat melakukan perlawanan." jawabnya, mulai bisa menenangkan dirinya.Mang Sobri dan dua tetangga lainnya yang memeriksa pintu belakang, terlihat kembali."Sepertinya memang ada maling masuk ke rumah ini, Mak. Tapi mereka sudah kabur lewat pintu belakang." ujarnya, melaporkan hasil temuannya pada mak Iroh."Astagfirullah. Apa yang mau mereka maling dari rumah ini. Aneh!" Mak Iroh menggerutu. "Tapi, kalian berdua benar tidak apa-apa, 'kan?"tanya mak Iroh, kembali tertuju pada Tiara dan Cahaya."Kami berdua tidak apa-apa Mak."jawab Tiara."Satu maling yang hendak masuk ke kamar kami, keburu saya tebas lengannya ." ujar Tiara, masih gemetaran."Alhamdulillaah. Untung kalian tidak apa-apa." ucap mak Iroh. "Biarkan saja
Teteh menyimpannya di loteng Rumah Kita" jawab Tiara, memelankan suaranya.Sejenak cahaya terdiam lalu kemudian ia berseru."Apa mungkin Bapak menyimpan foto itu di loteng ya, Teh?"Tiara mengerenyit."Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?" tanyanya, belum paham apa yang ada dalam pikiran Cahaya."Semua tempat di rumah ini, sudah kita geledah. Hasilnya, kita tidak menemukan fhoto itu." jawab Cahaya. "Dan satu-satunya tempat yang belum kita periksa, ya loteng.""Kenapa, loteng?" Tiara kembali bertanya."Simpel. Teh Tiara saja terpikir untuk menyimpan sertifikat tanah Ibu di sana. Itu artinya, Teteh menganggap tempat itu aman untuk menyimpan barang-barang penting, 'kan? Bisa jadi, Bapak juga punya pemikiran yang sama seperti Teteh."Tiara tertegun. Apa yang baru saja dikatakan Cahaya ada benarnya juga. Mungkin saja almarhum bapaknya menyimpan foto itu di atas loteng, seperti dirinya yang menyembunyikan sertifikat tanah dari jangkauan nenek dan bibinya di sana."Kalau begitu kita lihat ke
Tapi mau bagaimana lagi, Bu. Bi Esih memiliki catatannya."Sejenak Tiara dan Ratih terdiam. "Saya sih suka dengan tanah itu. Letaknya strategis, cocok dibangun untuk tempat usaha." ujar Ratih. "Apa nanti kalian tidak akan menyesal kalau sekarang menjual tanah itu?""Insya Allah tidak, bu Lurah. Saya khawatir kalau tidak menjualnya sekarang. Nenek dan bi Esih akan lebih dulu menjualnya.""Tapi sertifikat tanahnya ada di kamu, 'kan?" lagi, Ratih bertanya. "Mereka tidak akan bisa menjualnya tanpa surat-surat lengkap.""Surat tanahnya ada pada saya, Bu. Tapi sepertinya mereka memegang surat sertifikat tanah yang palsu." jawab Tiara.Ratih mengerenyit."Dari mana kamu tahu mereka memiliki surat tanah palsu miliki ibumu?"Tiara terdiam sejenak. Kemudian menceritakan kejadian di rumahnya yang sempat disatroni maling. Juga mengenai sertifikat tanah yang ia duplikasi."Astaghfirullah. Jadi dua orang yang memasuki rumah kalian, mengincar sertifikat tanah ibumu?" Ratih terbelalak. Tiara mengan
Sementara itu, di tempat berbeda. Anjani terlihat tengah memarahi dua orang laki-laki di hadapannya. "Diminta ngerjain satu perempuan saja tidak becus!" sentaknya, murka."Maaf, Teh. Kalau tidak ada yang datang menolongnya, kami pasti sudah berhasil melaksanakan tugas dari teh Jani." ujar salah satu dari mereka, membela diri."Halaah. Buktinya, kalian berdua gagal." sambar Anjani, tidak mau menerima alasan."Beri kami satu kesempatan lagi, Teh." "Tidak ada kesempatan lagi. Yang ada kalian tertangkap, dan menyeretku!" tolak Anjani, kemudian mengusir dua orang yang telah gagal mencelakai Tiara. Awalnya dia pikir semua rencana sudah sesuai seperti yang diinginkannya. Tapi ternyata dua orang suruhannya gagal. Tidak berjalan sesuai dengan rencananya. Membuat Tiar tidak akan berani dekat dengan Ilham karena merasa dirinya kotor."Lebih baik sekarang kalian pergi, dan jangan perlihatkan wajah kalian lagi di hadapanku!" Anjani menyerahkan uang seratus ribuan. Lalu bergegas memasuki rumahny
Sepulang dari ATM untuk mengecek saldo di rekening tabungannya. Tiara dan Tini, Kembali pulang. Di tengah perjalanan. Mereka melihat Fahmi bersama Jaja, sopir yang bekerja di rumahnya. Seperti sengaja tengah menunggu Tiara di dekat arah jalan setapak menuju rumahnya."Aa Fahmi sedang apa di sini?" tanya Tiara, menghentikan langkahnya."Saya sengaja menunggu kalian berdua." jawab Fahmi.""Menunggu kami? Memangnya ada perlu apa, Aa?" Fahmi menghembuskan napas."Ibu sudah cerita mengenai kejadian yang menimpamu kemarin, Ra. Beliau meminta saya dan Jaja, untuk mengantar kalian berdua pulang." jawabnya, menatap wajah Tiara yang masih menyisakan lebam di sana."Tidak usah, Aa. Sekarang masih siang, masih banyak warga yang melewati jalan kecil." tolak Tiara."Ini permintaan Ibu. Beliau merasa bersalah, karena kemarin tidak sempat meminta Jaja mengantarkan kamu pulang." ujar Fahmi. "Selain itu juga, ada yang ingin saya bicarakan mengenai rencana kepindahanmu ke kota."Tiara terdiam sejenak me
"Bibi jangan lupa. Maling itu sudah kubuat luka tangannya, tidak sulit untuk menemukannya. Tinggal aku buat laporan ke polisi, selesai!" serang Tiara, sepertinya tidak kehabisan akal untuk membuat Esih jera."Sudah, jangan berdebat! Surat sertifikat tanah itu sudah terbukti palsu. Sekarang, kamu berikan saja yang aslinya pada Nenek!"perintah bu Ratna pada Tiara."Tanah itu milik Ibu, kenapa nenek bersikeras meminta yang bukan hak Nenek?" tanya Tiara beralih pada Bu Ratna."Kalau kamu tidak mau menyerahkan sertifikat tanahnya. Ya, sudah. Tidak jadi masalah, asalkan kamu segera membayar utang bapakmu pada Esih." ujar bu Ratna. "Karena Esih juga harus membayar utang bekas modal tokonya pada Nenek." "Oh. Jadi bi Esih membangun tokonya, dimodali Nenek?" tanya Tiara, menatap lekat pada bu Ratna. "Selama Bapak masih hidup, aku sering mendengar beliau mengemis minta utangan pada Nenek untuk ongkos aku dan adik-adikku sekolah. Tapi tidak pernah satu kalipun Nenek kasih. Yang ada, beliau kemba
Tidak tinggal diam, Esih pun merangsek maju."Apa-apaan kamu, Cahaya! Siapa yang mengajarimu berbuat tidak sopan pada Nenek, hah?" bentak Esih, mendorong tubuh Cahaya.Tak ayal. Cahaya terhempas, berbarengan dengan terlepasnya cengkraman tangan bu Ratna dari Tiara.Wanita di atas separuh abad itu, terjengkang ke belakang.Ia mengaduh kesakitan. Tulang punggungnya yang sudah tidak sekuat Cahaya, terdengar gemeretak membentur lantai kayu.Tiara bangkit, dengan wajah memerah karena amarah yang sejak tadi ditahannya."Pergi sekarang juga kalian berdua dari rumahku!" teriak Tiara, mengarah pada bu Ratna dan Esih.Rasa hormat pada bu Ratna sebagai neneknya, sepertinya sudah tidak lagi tersisa."Kalian berdua memang cucu yang durhaka!" desis bu Ratna, dengan emosi yang sudah naik di ubun-ubun.Kemudian ia bangkit, lalu mendekat pada tiara."Kamu sudah lancang pada padaku. Sebagai cucu, kamu dan adikmu, sama sekali tidak menghormatiku sebagai ibu dari bapakmu." ujar bu Ratna, terdengar pelan
"Ah, masa bodoh! Ini kesempatan langka, Dung. Kalau kamu tidak mau, biar aku saja." ujar Dirman, tidak memedulikan peringatan Dudung."Jangan gila kamu, Man! Aku gak mau masuk bui, gara-gara merawani perawan tua!" Dudung menarik lengan Dirman."Lepas, Dung!" Dirman menepis lengan Dudung. "Kamu tidak perlu khawatir. Jika terjadi sesuatu, aku tidak akan menyeretmu.""Terserah kamu lah, Man. Yang penting, aku sudah mengingatkanmu." ujar Dudung, menjauh dari Dirman."Aku tunggu kamu tidak lebih dari lima menit ya, Man. Kalau belum selesai, aku tinggal."Dirman sudah tidak mendengar lagi apa yang diucapkan rekanannya. Darahnya sudah berdesir melihat tubuh Tini yang tergolek di depannya.Tanpa pikir panjang. Dirman mulai melucuti sebagian pakaiannyan dan Tini.Lalu, dengan napsu bejatnya. Dirman menyalurkan hasratnya pada Tini.***Tini mengedarkan pandangannya. Berusaha mengingat apa yang terjadi dengannya.Tampak mak Iroh, dan Tiara dengan mata sembab berdiri di sampingnya yang terbaring d