"Ah, masa bodoh! Ini kesempatan langka, Dung. Kalau kamu tidak mau, biar aku saja." ujar Dirman, tidak memedulikan peringatan Dudung."Jangan gila kamu, Man! Aku gak mau masuk bui, gara-gara merawani perawan tua!" Dudung menarik lengan Dirman."Lepas, Dung!" Dirman menepis lengan Dudung. "Kamu tidak perlu khawatir. Jika terjadi sesuatu, aku tidak akan menyeretmu.""Terserah kamu lah, Man. Yang penting, aku sudah mengingatkanmu." ujar Dudung, menjauh dari Dirman."Aku tunggu kamu tidak lebih dari lima menit ya, Man. Kalau belum selesai, aku tinggal."Dirman sudah tidak mendengar lagi apa yang diucapkan rekanannya. Darahnya sudah berdesir melihat tubuh Tini yang tergolek di depannya.Tanpa pikir panjang. Dirman mulai melucuti sebagian pakaiannyan dan Tini.Lalu, dengan napsu bejatnya. Dirman menyalurkan hasratnya pada Tini.***Tini mengedarkan pandangannya. Berusaha mengingat apa yang terjadi dengannya.Tampak mak Iroh, dan Tiara dengan mata sembab berdiri di sampingnya yang terbaring d
Anjani baru saja menerima ponsel milik Tini yang berhasil diambil Dudung dan Darman, dua orang suruhannya."Ini bayaran untuk kalian!" ujar Anjani, memberikan sepuluh lembar uang seratus ribuan."Terima kasih, Teh" ucap Dudung, seraya meraih uang yang disodorkan Anajani. "Senang bekerja sama dengan teh Jani." sambunganya, lalu gegas meninggalkan cafe sederhana di dekat kantor kecamatan."Sial! Layar ponselnya terkunci." gerutu Anjani.Kemudian menyusul keluar dari cafe, menuju counter ponsel yang terletak beberapa meter saja dari tempatnya berada."Bisa buka layar ponsel yang terkunci gak, Kang?" tanya Anjani, pada penjaga counter."Coba Syaa lihat ponselnya, Teh."Anjani menyodorkan ponsel Android berwarna silver milik Tini, pada pria di hadapannya.Tidak sampai menghabiskan waktu 5 menit, pola kunci di ponsel Tini pun terbuka."Berapa, Kang?" tanya Anjani, merogoh uang dari dalam dompetnya."20 ribu saja, Teh."Anjani menyodorkan uang 20 ribuan. Kemudian bergegas melajukan motornya,
"Terima kasih ya, Ra. Selama ini kamu sudah baik dengan Tini." ujar mak Iroh, menatap dalam pada Tiara. "Di saat orang lain menjauhi Tini, dan mengolok-oloknya sebagai perawan tua. Kamu tetap memilihnya sebagai teman dekat."Mak Iroh terisak. Ia tidak bisa bayangkan bagaimana pandangan orang-orang pada anaknya, jika berita tentang pemerkosaan yang terjadi pada dirinya tersiar di kampungnya.Tiara memeluk mak Iroh."Mak harus kuat. Yakinlah, badai akan segera berlalu dan berganti dengan langit yang terang." ucapnya, bergetar.Satu persatu. Bulir bening yang sejak tadi ditahannya, perlahan bergulir di kedua pipinya."Oh ya. Kapan rencana kalian ke kota?" tanya mak Iroh, mengalihkan kesedihannya."Mungkin menunggu Cahaya dan Hasan selesai ujian semester, Mak." jawab Tiara"Apa kalian akan pindah ke kota atau hanya selama libur sekolah, saja?" lagi, mak Iroh bertanya."Saya belum tahu, Mak. Di Kota biaya hidup besar, ditambah Cahaya dan Hasan harus sekolah. Saya bingung, apa yang akan kami
Hanya membutuhkan waktu kurang lebih sepuluh menit. Tiara dan Ayu tiba di Puskesmas Desa.Keduanya tampak bergegas mendekat ke meja informasi, menemui salah satu petugas di sana. Tak lama kemudian. Bidan Yati, tetangga Ayu yang kebetulan bertugas di puskesmas terlihat keluar dari ruangannya."Ada apa, Ra, Yu? Siapa yang sakit?" tanya bidan Yati, tertuju pada Tiara dan Ayu."Teh Tini pingsan, bu Bidan." jawab Tiara mewakili Ayu."Pingsan kenapa, Ra?" Sejenak, Tiara terdiam. Lalu berbisik di telinga bidan Yati."Astagfirullah. Ya, sudah. Kalau begitu saya siap-siap dulu." ujar bidan Yati, terlihat panik."Tapi saya dan Ayu ada perlu dulu ke kecamatan, bu Bidan. Apa bu Bidan tidak apa-apa ke rumah mak Iroh duluan?" tanya Tiara."Tidak apa-apa, Ra. Nanti saya minta Sarman yang mengantarkan." jawab bidan Yati, gegas kembali ke ruangannya.Sedang Tiara dan Ayu kembali melanjutkan perjalanannya menuju Kecamatan."Jadi kapan rencana kamu akan berangkat ke kota, Ra?" tanya Ayu, sambil memper
"Sudah, Sih. Kita ikuti saja dulu maunya." bisik bu Ratna."Tapi Tiara sudah keterlaluan, Bu." Esih emosi.Kedua matanya tampak nyalang menatap ke arah Tiara.Seolah sengaja ingin membuat Esih dan bu Ratna terbakar emosi, Tiara bergegas menyusul Ayu yang sudah lebih dulu masuk ke rumah mak Iroh."Bagaimana kondisi teh Tini, bu Bidan?" tanya Tiara pada bidan Yati yang tengah berbincang dengan mak Iroh di ruang tengah."Kondisinya masih lemas, Ra. Tini juga terlihat sangat depresi." jawab bidan Yati. "Apa sebaiknya teh Tini kita bawa ke Rumah sakit saja, Bu?" Kembali, Tiara bertanya."Kita lihat perkembangannya dua atau tiga hari ke depan. Kalau kondisi Tini masih seperti ini, atau bahkan cenderung memburuk. Saya akan membuat surat rujukan untuknya, agar bisa segera ditangani tenaga profesional." ujar bidan Yati, menjawab pertanyaan Tiara. "Kamu bantu mak Iroh jagain Tini ya, Ra." sambungnya memberi pesan.Tiara mengangguk."Semua obat-obatan, sudah saya berikan pada mak Iroh. Jika ter
"Tidak ada lagi yang mau Nenek dan bi Esih sampaikan, bukan?"tanya Tiara."Seharusnya kalian berdua tidak lagi mengusikku, karena kapan saja aku bisa melaporkan kalian atas tindakan pencurian!" lagi, Tiara menambah daftar ancamannya untuk Esih dan bu Ratna.Esih terbelalak. Ia tidak mengira, setelah apa yang menimpanya, Tiara Justru semakin terlihat berani."Memangnya apa yang bisa kami curi dari rumahmu?" tanya Esih, seraya mengedarkan pandangan matanya ke seluruh ruangan."Sertifika palsu itu juga sudah aku kembalikan.""Bukan sertifikat palsu yang pernah bi Esih curi masalahnya. Tapi perbuatan bi Esih yang menyuruh dua orang penjahat masuk ke rumah ini, dan menyebabkan Ibu terkena serangan jantung hingga membuatnya meninggal dunia." ujar Tiara, menetap tajam pada Esih. "Sampai kapan pun aku tidak akan melupakan kejadian itu, karena secara tidak langsung bi Esih lah yang menjadi penyebab kematian ibu.""Kamu ini kok bicaranya ke mana-mana, Tiara? Sudah jelas ibumu meninggal karena sera
"Baik. Kang Sadim dan pak Usep, tunggu saja besok." putus Esih."Saya pegang janjinya. Kalau sampai ingkar, jangan salahkan saya dan pak Usep jika nanti melakukan tindakan tegas terhadap bi Esih!" ujar Sadim, memberi sedikit ancaman."Ya, sudah. Kami berdua pamit. Ingat, besok di jam yang sama kami akan kembali untuk mengambil apa yang sudah bu Esih janjikan."Makelar tanah berpenampilan sangar itu pun, tampak tergesa meninggalkan kediaman Esih."Apa yang harus kita lakukan sekarang, Bu? Membujuk kembali Tiara rasanya tidak mungkin. Mengembalikan panjar yang sudah kita terima dan sudah terpakai, juga berat." ujar Esih, gelisah.Sejenak bu Ratna terdiam. 'Mungkin sudah saatnya aku mengatakan yang sebenarnya tentang Nurma pada anak-anaknya.'"Jangan diam saja, Bu. Pikirkan cara bagaimana kita bisa mendapatkan sertifikat tanah itu!" Esih menghentakkan kakinya, kesal melihat ibu mertuanya terkesan abai dengan masalah yang sedang dihadapinya."Tenang, Esih! Kamu pikir Ibu sedang apa?" sent
Tiara menahan napas sejenak. Menekan emosi yang mulai naik ke permukaan."Kesalahan apa yang ibu lakukan sampai Nenek sebegitu benci padanya?" tanya Tiara, merendahkan suaranya."Nenek akan beri tahu semua tentang ibumu, keluarganya, dan alasan kenapa Nenek tidak suka dengannya." ujar bu Ratna."Ya, sudah. Katakan sekarang juga pada Tiara, Nek. Agar Tiara tidak lagi bertanya-tanya kenapa Nenek benci dengan ibu."Bu Ratna tersenyum licik."Semua ada harganya. Nenek akan menceritakan semuanya, tapi dengan syarat.""Syarat apa maksud Nenek?""Berikan sertifikat itu pada Nenek, dan sebagai gantinya nenek akan menceritakan semua hal terkait ibumu dan keluarganya di masa lalu." tutur bu Ratna. "Selain itu juga kamu akan tetap mendapatkan bayaran dari Esih dan pelunasan utang almarhum bapakmu."Tiara terbelalak."Jadi kedatangan Nenek menemui Tiara, masih terkait sertifikat tanah milik Ibu?" tanyanya, gusar."Apa susahnya kamu menyerahkan sertifikat itu pada Nenek, Tiara?" Bu Ratna kembali mena