"Sudah, Sih. Kita ikuti saja dulu maunya." bisik bu Ratna."Tapi Tiara sudah keterlaluan, Bu." Esih emosi.Kedua matanya tampak nyalang menatap ke arah Tiara.Seolah sengaja ingin membuat Esih dan bu Ratna terbakar emosi, Tiara bergegas menyusul Ayu yang sudah lebih dulu masuk ke rumah mak Iroh."Bagaimana kondisi teh Tini, bu Bidan?" tanya Tiara pada bidan Yati yang tengah berbincang dengan mak Iroh di ruang tengah."Kondisinya masih lemas, Ra. Tini juga terlihat sangat depresi." jawab bidan Yati. "Apa sebaiknya teh Tini kita bawa ke Rumah sakit saja, Bu?" Kembali, Tiara bertanya."Kita lihat perkembangannya dua atau tiga hari ke depan. Kalau kondisi Tini masih seperti ini, atau bahkan cenderung memburuk. Saya akan membuat surat rujukan untuknya, agar bisa segera ditangani tenaga profesional." ujar bidan Yati, menjawab pertanyaan Tiara. "Kamu bantu mak Iroh jagain Tini ya, Ra." sambungnya memberi pesan.Tiara mengangguk."Semua obat-obatan, sudah saya berikan pada mak Iroh. Jika ter
"Tidak ada lagi yang mau Nenek dan bi Esih sampaikan, bukan?"tanya Tiara."Seharusnya kalian berdua tidak lagi mengusikku, karena kapan saja aku bisa melaporkan kalian atas tindakan pencurian!" lagi, Tiara menambah daftar ancamannya untuk Esih dan bu Ratna.Esih terbelalak. Ia tidak mengira, setelah apa yang menimpanya, Tiara Justru semakin terlihat berani."Memangnya apa yang bisa kami curi dari rumahmu?" tanya Esih, seraya mengedarkan pandangan matanya ke seluruh ruangan."Sertifika palsu itu juga sudah aku kembalikan.""Bukan sertifikat palsu yang pernah bi Esih curi masalahnya. Tapi perbuatan bi Esih yang menyuruh dua orang penjahat masuk ke rumah ini, dan menyebabkan Ibu terkena serangan jantung hingga membuatnya meninggal dunia." ujar Tiara, menetap tajam pada Esih. "Sampai kapan pun aku tidak akan melupakan kejadian itu, karena secara tidak langsung bi Esih lah yang menjadi penyebab kematian ibu.""Kamu ini kok bicaranya ke mana-mana, Tiara? Sudah jelas ibumu meninggal karena sera
"Baik. Kang Sadim dan pak Usep, tunggu saja besok." putus Esih."Saya pegang janjinya. Kalau sampai ingkar, jangan salahkan saya dan pak Usep jika nanti melakukan tindakan tegas terhadap bi Esih!" ujar Sadim, memberi sedikit ancaman."Ya, sudah. Kami berdua pamit. Ingat, besok di jam yang sama kami akan kembali untuk mengambil apa yang sudah bu Esih janjikan."Makelar tanah berpenampilan sangar itu pun, tampak tergesa meninggalkan kediaman Esih."Apa yang harus kita lakukan sekarang, Bu? Membujuk kembali Tiara rasanya tidak mungkin. Mengembalikan panjar yang sudah kita terima dan sudah terpakai, juga berat." ujar Esih, gelisah.Sejenak bu Ratna terdiam. 'Mungkin sudah saatnya aku mengatakan yang sebenarnya tentang Nurma pada anak-anaknya.'"Jangan diam saja, Bu. Pikirkan cara bagaimana kita bisa mendapatkan sertifikat tanah itu!" Esih menghentakkan kakinya, kesal melihat ibu mertuanya terkesan abai dengan masalah yang sedang dihadapinya."Tenang, Esih! Kamu pikir Ibu sedang apa?" sent
Tiara menahan napas sejenak. Menekan emosi yang mulai naik ke permukaan."Kesalahan apa yang ibu lakukan sampai Nenek sebegitu benci padanya?" tanya Tiara, merendahkan suaranya."Nenek akan beri tahu semua tentang ibumu, keluarganya, dan alasan kenapa Nenek tidak suka dengannya." ujar bu Ratna."Ya, sudah. Katakan sekarang juga pada Tiara, Nek. Agar Tiara tidak lagi bertanya-tanya kenapa Nenek benci dengan ibu."Bu Ratna tersenyum licik."Semua ada harganya. Nenek akan menceritakan semuanya, tapi dengan syarat.""Syarat apa maksud Nenek?""Berikan sertifikat itu pada Nenek, dan sebagai gantinya nenek akan menceritakan semua hal terkait ibumu dan keluarganya di masa lalu." tutur bu Ratna. "Selain itu juga kamu akan tetap mendapatkan bayaran dari Esih dan pelunasan utang almarhum bapakmu."Tiara terbelalak."Jadi kedatangan Nenek menemui Tiara, masih terkait sertifikat tanah milik Ibu?" tanyanya, gusar."Apa susahnya kamu menyerahkan sertifikat itu pada Nenek, Tiara?" Bu Ratna kembali mena
"Bagaimana, Kang. Kita kembali saja atau tunggu di sini?" Wardi menoleh pada Kosasih yang sedang kebingungan."Kita tunggu sebentar di sini ya, Kang. Siapa tahu mereka tengah di perjalanan menuju ke sini. Mungkin ada kendala di mobilnya."Baiklah." ujar Wardi.Satu jam berlalu. Tidak ada tanda-tanda calon pengantin akan datang."Sudah dhuhur kang, apa tidak sebaiknya kita pulang saja dulu? Kasian yang di Rumah, pasti menunggu kabar dr kita." usul Wardi."Baiklah." Kosasih pasrah, harapan akan menikahkan anak gadisnya dengan pemuda dari kota, pupus sudah.***Bu Ratna menyeka sudut matanya yang mengembun. Pada akhirnya Rahasia masa lalu yang disimpannya rapat-rapat, terkuak juga.Tiara tampak mematung. Ia tidak menyangka, di balik sikap kasar yang diperlihatkan bu Ratna kepadanya. Ternyata, neneknya itu menyimpan luka hati yang begitu dalam, yang belum sanggup dilupakannya."Jadi karena Kakek, Nenek jadi membenci Ibu?" tanya Tiara, menatap iba pada bu Ratna."Ya. Kebencian Nenek pada k
***"Bagaimana, Bu. Apa Ibu berhasil membujuk Tiara." tanya Esih, begitu melihat bu Ratna sudah kembali dari rumah Tiara."Apa kamu melihat wajah ibu seperti orang yang tengah berbahagia?" Bu Ratna balik bertanya.'"Jadi ibu gagal lagi membujuk Tiara?" Esih kembali bertanya."Ibu sudah melakukan cara terakhir yang Ibu pikir bisa membuat hati Tiara luluh. Tapi yang ada ibu malah diusir kembali olehnya." jawab bu Ratna, tampak masih tersisa kekesalannya terhadap Tiara."Lalu bagaimana kita harus menghadapi kang Sadim dan pak Usep, Bu?" rengek Esih, cemas."Ibu juga tidak tahu, Sih." jawab bu Ratna. " Ibu sudah berusaha maksimal. Tapi rupanya Tiara tetap tidak bersedia memberikan sertifikat itu pada kita."Esih mengepalkan tangannya."Percuma Esih merekayasa utang kang Muh, kalau pada akhirnya kita tidak mendapatkan apa-apa dari kematiannya."Apa Nenek sudah tidak ada cara lain agar sertifikat itu jatuh ke tangan kita?" sambungnya.Bu Ratna menggelengkan kepala."Ibu belum tahu, Sih." jawab
Anjani merebahkan diri di atas tempat tidur sambil meremas perutnya yang masih terlihat rata."Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa membiarkan janin ini lahir." gumamnya, gelisah."Apa kata orang nanti, jika aku sampai melahirkan anak tanpa suami?""Arrrgggh... !"Anjani melemparkan benda-benda yang ada di sekitar dirinya."Beno brengsek!" teriaknya, sambil memaki nama laki-laki yang sudah seminggu terakhir tidak lagi menampakkan diri di hadapannya."Dasar laki-laki baji*An! Aku tidak mungkin meminta tanggung jawab dari laki-laki seperti Beno. Aku juga tidak mau, kelak anakku memiliki ayah yang yang kerap mempermainkan perempuan seperti dia!" maki Anjani pada Beno, sosok yang selama ini dekat dengannya."Salahku juga, kenapa malam itu aku mau mengikuti sarannya untuk mencicipi minuman haram itu... arggghh!" lagi, Anjani merutuki dirinya yang mau saja terbuai rayuan manis laki-laki seperti Beno."Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumamnya."Aku tidak tega kalau harus membu*uh jan
"Sebentar Kang, saya telepon dulu." jawab Esih, lalu merogoh ponsel dari dalam saku dasternya.Kemudian, ia pun mulai melakukan panggilan di nomor ibu mertuanya.Tapi sayang, nomor bu Ratna dalam kondisi tidak bisa dihubungi.'Sial! Kenapa Ibu matikan handphonenya? Sengaja menghindar dariku, ya?' batinnya, memaki ibu mertuanya."Bagaimana bu Esih, apa bu Ratna sudah bisa dihubungi?" tanya Usep, mewakili Sadim.Esih menggeleng."Nomor Ibu tidak aktif." ucapnya, gemetar."Bu Esih sengaja mengulur waktu, ya?" Sadim menggebrak meja."Alasan saja menunggu bu Ratna, padahal yang sebenarnya sertifikatnya tidak ada, 'kan?" tanyanya, emosi."Tenang dulu, Kang. Kita keras pun percuma, kalau sertifikatnya memang tidak ada di sini." ujar Usep, berusaha menenangkan rekannya."Katakan pada kami, sebenarnya sertifikatnya ada pada siapa?" sentak Sadim, nyalang."Sumpah Kang, saya tidak bohong. Ibu yang mengambil sertifikatnya." ujar Esih, masih berusaha berkelit."Kalau betul sertifikat itu diambil bu R