Beranda / Romansa / Upah Satu Liter Beras / Bab 30. Positif Hamil

Share

Bab 30. Positif Hamil

Penulis: Ananda Aisha
last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-16 23:06:45

***

"Bagaimana, Bu. Apa Ibu berhasil membujuk Tiara." tanya Esih, begitu melihat bu Ratna sudah kembali dari rumah Tiara.

"Apa kamu melihat wajah ibu seperti orang yang tengah berbahagia?" Bu Ratna balik bertanya.

'"Jadi ibu gagal lagi membujuk Tiara?" Esih kembali bertanya.

"Ibu sudah melakukan cara terakhir yang Ibu pikir bisa membuat hati Tiara luluh. Tapi yang ada ibu malah diusir kembali olehnya." jawab bu Ratna, tampak masih tersisa kekesalannya terhadap Tiara.

"Lalu bagaimana kita harus menghadapi kang Sadim dan pak Usep, Bu?" rengek Esih, cemas.

"Ibu juga tidak tahu, Sih." jawab bu Ratna. " Ibu sudah berusaha maksimal. Tapi rupanya Tiara tetap tidak bersedia memberikan sertifikat itu pada kita."

Esih mengepalkan tangannya."Percuma Esih merekayasa utang kang Muh, kalau pada akhirnya kita tidak mendapatkan apa-apa dari kematiannya."Apa Nenek sudah tidak ada cara lain agar sertifikat itu jatuh ke tangan kita?" sambungnya.

Bu Ratna menggelengkan kepala."Ibu belum tahu, Sih." jawab
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Andik
critanya sangat bagus, ditunggu episode selanjutnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 31. Didatangi Makelar Tanah

    Anjani merebahkan diri di atas tempat tidur sambil meremas perutnya yang masih terlihat rata."Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa membiarkan janin ini lahir." gumamnya, gelisah."Apa kata orang nanti, jika aku sampai melahirkan anak tanpa suami?""Arrrgggh... !"Anjani melemparkan benda-benda yang ada di sekitar dirinya."Beno brengsek!" teriaknya, sambil memaki nama laki-laki yang sudah seminggu terakhir tidak lagi menampakkan diri di hadapannya."Dasar laki-laki baji*An! Aku tidak mungkin meminta tanggung jawab dari laki-laki seperti Beno. Aku juga tidak mau, kelak anakku memiliki ayah yang yang kerap mempermainkan perempuan seperti dia!" maki Anjani pada Beno, sosok yang selama ini dekat dengannya."Salahku juga, kenapa malam itu aku mau mengikuti sarannya untuk mencicipi minuman haram itu... arggghh!" lagi, Anjani merutuki dirinya yang mau saja terbuai rayuan manis laki-laki seperti Beno."Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumamnya."Aku tidak tega kalau harus membu*uh jan

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-07
  • Upah Satu Liter Beras    Bab 32. Kesepakatan

    "Sebentar Kang, saya telepon dulu." jawab Esih, lalu merogoh ponsel dari dalam saku dasternya.Kemudian, ia pun mulai melakukan panggilan di nomor ibu mertuanya.Tapi sayang, nomor bu Ratna dalam kondisi tidak bisa dihubungi.'Sial! Kenapa Ibu matikan handphonenya? Sengaja menghindar dariku, ya?' batinnya, memaki ibu mertuanya."Bagaimana bu Esih, apa bu Ratna sudah bisa dihubungi?" tanya Usep, mewakili Sadim.Esih menggeleng."Nomor Ibu tidak aktif." ucapnya, gemetar."Bu Esih sengaja mengulur waktu, ya?" Sadim menggebrak meja."Alasan saja menunggu bu Ratna, padahal yang sebenarnya sertifikatnya tidak ada, 'kan?" tanyanya, emosi."Tenang dulu, Kang. Kita keras pun percuma, kalau sertifikatnya memang tidak ada di sini." ujar Usep, berusaha menenangkan rekannya."Katakan pada kami, sebenarnya sertifikatnya ada pada siapa?" sentak Sadim, nyalang."Sumpah Kang, saya tidak bohong. Ibu yang mengambil sertifikatnya." ujar Esih, masih berusaha berkelit."Kalau betul sertifikat itu diambil bu R

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-12
  • Upah Satu Liter Beras    Bab 33. Berangsur Pulih

    "Teh Tini sudah baikan?” sapa Tiara, dari ambang pintu kamar yang hanya ditutup gorden usang.Tini yang masih terus mengurung diri di dalam kamarnya, tampak abai dengan kehadiran Tiara.Sedang mak Iroh yang duduk di sampingnya, terlihat menghela napas berat seraya mengusap mata tuanya yang basah.”Masuklah, Ra.” titahnya pada Tiara.Tiara mengangguk. Lalu bergerak mendekat pada Tini dan mak Iroh.“Teh, Aku bawakan martabak kacang kesukaan teh Tini. Dicoba, yuk!” ujar Tiara, tertuju pada Tini. “Teh Tini harus makan. Jika tidak, nanti tambah lemas.”Tini bergeming.“Teh Tini harus sembuh. Kalau terus seperti ini, bagaimana caranya teh Tini bisa membalas perbuatan dua baji*An itu?” Tiara menggenggam erat tangan Tini.” Aku mau melihat teh Tini kembali seperti yang aku kenal. Teteh harus bangkit, aku tahu tidak mudah. Tapi aku yakin teh Tini bisa.”Tiara terisak.”Apa teh Tini marah padaku?” tanyanya kemudian, menatap lekat wajah tirus Tini.Tini tetap saja bergeming.“Maafkan aku. Karena ak

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-16
  • Upah Satu Liter Beras    Bab 34. Memperdaya Fahmi

    Tak lama kemudian, pelayan itu pun kembali dengan dua gelas minuman di tangannya.“Ini Teh, pesannya.” ucapnya, sambil meletakkan satu persatu minuman di hadapan Anjani dan Fahmi. “Terima kasih, Kang. “Anjani meraih jus alpukat pesannya, lalu meminumnya. Fahmi pun melakukan hal yang sama, menenggak hampir separuh jus jeruk yang dipesankan Anjani untuknya. “Bagaimana Jan, kamu sudah dapat kabar mengenai rencana keberangkatan Tiara dan adik-adiknya ke Bandung, belum?” tanya Fahmi. “Aku sudah bicara dengan ibuku. Kata Ibu, dia belum dapat kabar tentang itu. Jadi kemungkinannya, Tara belum akan pergi ke bandung dalam waktu dekat ini.” jawab Anjani. “Ngomong-ngomong, kenapa kamu tidak tanyakan langsung pada Tiara saja, Fah?” tanyanya, kemudian. “Maunya begitu, Jan. Tapi tiara ‘kan tidak punya handphone.” “Kamu tanya temannya saja, si Ayu. Pasti dia tahu. Mereka berdua ‘kan dekat banget.” Anjani memberi usul. Fahmi menghembuskan napas.“Aku tidak enak kalau harus tanya sama Ayu, Jan. Ru

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-16
  • Upah Satu Liter Beras    Bab 35. Meminta Sertifikat Rumah

    Esih memarkirkan motornya beberapa meter dari rumah Bu Ratna.Ia sengaja tidak mengendarai motornya sampai di kediaman ibu mertuanya, mengantisipasi jika bu Ratna sengaja bersembunyi untuk menghindar darinya.Perlahan, Esih menyelinap ke pekarangan rumah melalui pintu pagar samping sambil mengawasi sekelilingnya. Ia yakin, bu Ratna ada di dalam rumahnya.Esih mengendap-endap mendekati jendela kamar bu Ratna, yang berada di bagian tengah rumah.Kemudian, ia merapatkan telinganya pada jendela yang tampak tertutup rapat itu.Sayup, Esih mendengar bu Ratna tengah berbicara dengan seseorang. Sepertinya ia tidak sendiri, ada suara laki-laki dan perempuan di sana.‘Ibu sedang berbicara dengan siapa?’ batin Esih bertanya-tanya.Sesaat, ia mempertajam pendengarannya, untuk memastikan sosok yang tengah bersama ibu mertuanya.“Ibu tidak mau ikut campur urusanmu dengan Esih ya, Man. Kamu hadapi saja sendiri istrimu itu.”Esih terkejut saat mendengar bu Ratna menyebut nama suaminya.’Kang Parman? Ka

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-23
  • Upah Satu Liter Beras    Bab 36. Noda Merah

    “Kamu kenapa Anjani? Kenapa kita ada di sini? Apa yang terjadi dengan kita? Kenapa aku dan kamu berada di ruangan yang sama?” rentetan pertanyaan tertuju pada Anjani, yang terus terisak.Fahmi kian panik, begitu menyadari dirinya dalam kondisi hanya mengenakan pakaian dalamnya saja.Sontak, Fahmi menggelengkan kepala.”Tidak mungkin. Aku tidak mungkin melakukannya sama kamu Anjani.” ujarnya, memungkiri kemungkinan perbuatan tidak senonoh yang lakukannya pada Anjani.Anjani masih saja terus terisak, menyembunyikan wajah dengan kedua telapak tangannya.“Katakan padaku apa yang terjadi dengan kita. Kenapa aku ada di sini bersama kamu? Bukan tadi kita sedang ada di cafe? Lalu, bagaimana caranya bisa ada di sini?” tanya Fahmi, sambil mencari pakaiannya yang tercecer di lantai.“Kamu jangan coba-coba lari dan tanggung jawab, dan berpura-pura lupa dengan apa yang sudah kamu lakukan terhadapku, Fahmi!” sergah Anjani, tajam menetap pada Fahmi.“Aku yakin aku tidak melakukan apa-apa terhadamu, Ja

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-14
  • Upah Satu Liter Beras    Bab 37. Terjebak

    “Kamu harus menolongku, Fah. Jika tidak, aku akan memberitahu orang sekampung apa yang sudah kamu perbuat terhadapku kemarin!” ujar Anjani, seraya menghempaskan bobotnya di kursi.“Kamu ini bicara apa, Jan? Kenapa mengancamku seperti itu?” Fahmi membulatkan matanya.“Aku dituduh melakukan tindak kejahatan, Fah. Dan sekarang polisi sedang mencariku.”Fahmi mengerutkan dahinya.” kejahatan apa?” tanyanya, menatap curiga pada Anjani.“Aku dituduh jadi dalang pemerko*aan yang terjadi pada teh Tini. Padahal aku tidak melakukannya.” jawab Anjani, gelisah.“Apa? Kamu dituduh terlibat dengan para penjahat itu, Jan? Bagaimana bisa polisi mengarahkan tuduhan padamu?” tanya Fahmi, menelisik.Anjani menggeleng cepat.“Aku tidak tahu, Fah!” jawabnya.“Tidak mungkin mereka melayangkan tuduhan tanpa bukti.” ujar Fahmi, tajam menatap Anjani.“Sungguh, aku benar-benar tidak tahu, Fah!” Anjani berusaha meyakinkan Fahmi. “Kamu harus membantuku. Aku mohon!”“Tapi bagaimana caranya aku bisa membantumu, Jan?

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-14
  • Upah Satu Liter Beras    Bab 38. Penangkapan

    Sontak saja perbuatan Anjani tersebut membuat Saman berang.”Apa yang kamu lakukan Anjani?” teriaknya.“Aku tahu apa yang akan pak Lurah lakukan.” ujar Anjani, tertuju pada Saman.” Kalian berdua mau melaporkan aku pada polisi, ‘kan?” sambungnya, beralih pada Ratih.“Baguslah kalau kamu sudah tahu. Berarti kamu sudah siap ikut dengan mereka untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu.” ujar Saman, lalu meminta Anjani untuk segera mengembalikan ponselnya.Tapi Anjani menolak. Ia malah memasukkan ponsel Saman ke dalam tasnya.“Kamu jangan lancang Anjani!” sentak Fahmi, emosi.“Jika kalian bertiga berniat menyerahkan aku pada polisi, maka jangan salahkan aku jika video ini aku viralkan di media sosial!”Anajani memperlihatkan rekaman video dirinya dan Fahmi yang tengah berada di satu kamar yang sama dalam kondisi yang tidak layak untuk dilihat.Saman dan Ratih tercekat. Mereka berdua sama sekali tidak menyangka, Fahmi bisa melakukan perbuatan asusila dengan wanita yang tengah menjadi DPO itu

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-25

Bab terbaru

  • Upah Satu Liter Beras    47. Selesai

    “Baiklah, Bibi setuju menggadaikan tanah beserta tokonya sama kamu, Ra.” putus Esih. Untuk kebebasan Anjani, juga keamanan dirinya dari kejaran makelar tanah, Esih rela melepas hartanya. “Berapa yang Bibi butuhkan?” tanya Tiara, mengarah pada Esih. “Bibi butuh 200 juta, Ra.” jawab Esih. Tiara membuatkan kedua matanya.“Yang benar saja, Bi? Kalau 200 juta mah bukan digadaikan, tapi dijual.” protesnya. “Tapi bibi perlunya segutu, Ra.” Tiara menggelengkan kepala.”Maaf, Bi. Kalau 200 juta, aku dan Kakek tidak bisa.” “Lalu, berapa yang kamu bisa bantu untuk bibi, Ra?” tanya Esih, terpaksa mengalah. “100 juta. Aku rasa itu harga yang pantas.” jawab Tiara, memberikan penawaran. “Tlong melebihkan, Ra.” Esih masih berupaya mengubah keputusan Tiara. “Baiklah, aku akan minta Kakek untuk membantu Bibi 120 juta. Tidak ada lagi tawar menawar!” tegas Tiara, mengukuhkan keputusannya. Dengan terpaksa, Esih mengangguk setuju. Lalu kemudian, ia bergegas mengambil surat-surat kepemilikan tanah

  • Upah Satu Liter Beras    46. Melepas Aset

    “Silakan diminum, Pak.” Ratih meletakkan dua gelas yang dibawanya di atas meja. “Terima kasih, bu Lurah.” balas pak Azhari, seraya meraih minuman yang disajikan untuknya. Tidak banyak berbasa-basi, pak Azhari pun kemudian mengutarakan maksud kedatangannya menemui Ratih.”Tiara sudah menceritakan semuanya pada saya. Dan saya sangat berterima kasih sekali, bu Lurah sudah berkenan membantu cucu saya dengan menerima sertifikat tanah miliknya untuk dijaminkan atas sejumlah uang yang dipinjamnya.” ucapanya, tertuju pada Ratih. “Sama-sama, Pak. Saya hanya melakukan apa yang semestinya saya lakukan.” balas Ratih, terlihat tulus. “Tunggu sebentar, saya ambilkan Sertifikatnya.” sambungnya. Kemudian bergegas menuju kamarnya, untuk mengambil sertifikat tanah milik Tiara yang dititipkan padanya. Tak lama, Ratih kembali menemui Tiara dan kakeknya di ruang tamu. “Ini sertifikatnya, Ra.” ucap Ratih, menyodorkan dokumen kepemilikan tanah milik Tiara. “Terima kasih banyak untuk kebaikan yang suda

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 45. Bertemu dengan Masa Lalu

    Bu Ratna mematung di depan pintu saat mendapati pak Azhari dan Tiara berdiri tepat di depannya.”Kang Azhari?” gumamnya, nyaris tidak terdengar. “Ya, saya Azhari.” ucap pak Azhari, terdengar gugup. “Bagaimana kang Azhari bisa ada di sini? Lalu, Tiara? Bagaimana kalian berdua bisa bertemu?” tanya bu Ratna, masih berdiri di ambang pintu. “Izinkan saya dan Tiara, masuk. Kita bicara di dalam.” Bu Ratna bergeser, lalu mundur beberapa langkah.”Silakan.” ucapnya pelan. “Siapa, Bu?” Parman yang sejak tadi bersembunyi di kamar, turut menemui Tiara dan pak Azahari. Sebelumnya ia mengira Esih yang datang, makanya memilih mengunci diri di kamar bersama Fatma, istri barunya. Bu Ratna tidak menyahut. “Saya Azhari, kakeknya Tiara.” Pak Azhari memperkenalkan diri pada Parman. “Maksudnya?” Parman menautkan kedua alisnya, lalu mengambil posisi duduk di samping bu Ratna. “Saya papanya Ika Nurmala, ibunya Tiara.” jawab pak Azhari, menoleh pada Tiara. Keduanya bersegera duduk, bersisian. Parma

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 44. Memelas

    "Maaf, selesaikan dulu urusan bu Esih dengan kami. Baru urus yang lain!” Sadim menyela pembicaraan. “Kalau boleh tahu, memangnya Bapak berdua ini ada urusan apa dengan bi Esih?” tanya Tiara, tertuju pada Sadim dan pak Usep. Sejenak, Dua pria dewasa di hadapan Tiara saling berpandangan.”Bu Esih sudah mengambil uang DP pembelian tanah dari kami, tapi dia tidak jadi menjual tanahnya.” ujar pak Usep, mewakili Sadim. “Kami sudah memberi waktu banyak pada bu Esih untuk segera mengembalikan uang yang sudah diterimanya, tapi sampai sekarang belum juga ia kembalikan!” sambung Sadim, kembali emosi. “Benar yang dikatakan mereka berdua, Bi?” tanya Tiara pada Esih. “Bukan hanya aku yang menerima uangnya, tapi Ibu juga.” sanggah Esih, tidak terima jika hanya ia yang ditagih dua makelar tanah itu. “Itu bukan urusan kami, yang kami tahu bu Esih yang menerima uangnya.” ucap Sadim, tidak peduli dengan sanggahan yang dilontarkannya Esih. “Apakah tanah yang dimaksud dua Bapak ini, tanah alamrhumah

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 43. Ditagih Utang

    Pak Agung mengembuskan napas.”Tenang, Teh. Saya tentu akan berupaya untuk kebebasan teh Anjani. Tapi semua yang saya ikhtiarkan tergantung fakta-fakta yang terungkap di persidangan nanti. Apakah akan meringankan atau malah memperberatkan dakwaan. Berdo’a saja, semoga fakta di persidangan nanti bisa membebaskan teh Anjani dari tuduhan.”“Tapi harus menunggu berapa lama lagi, Pak?”“Bersabarlah, Teh. Kita tinggal menunggu pelimpahan berkas perkara ke kejaksaan, lalu dinyatakan P21, yang artinya berkas perkara telah lengkap dan dinyatakan selesai dan siap dipersidangkan.”“Berapa lama prosesnya, Pak?” tanya Anjani, tampak sudah tidak sabar ingin kembali menghirup udara bebas.“In syaa Allah, paling lama dua sampai tiga Minggu, Teh.”“Apa?” Anjani meninggikan suaranya. “Itu lama sekali, Pak. Beberapa hari di sini saja saya sudah stress, apa lagi harus menunggu selama itu.”Pak Agung menghela napas panjang, melihat tingkah Anjani.“Bu, Tolong lakukan sesuatu. Aku tidak mau lama-lama di sin

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 42. Tes DNA

    Tiara menundukkan wajah. Ia tidak berani menatap mata pak Azhar yang terlihat menyimpan duka.“Saya masih ingat dengan baik, tulisan tangan Nurma, sama persis dengan tulisan tangan di surat yang ditinggalkannya saat dia memutuskan pergi.” ujar pak Azhari, masih memandangi surat dari Nurma. “Dan foto ini diambil saat Nurma masih duduk di bangku SMA.” lanjutnya kembali teringat dengan anak semata wayangnya yang dinyatakan hilang.Hening.Untuk beberapa saat, pak Azhari tampak mengamati ketiga kakak beradik di hadapannya.Tatapan matanya yang sudah meredup, tampak berkaca-kaca.”Benarkah kalian bertiga anaknya Nurma? Cucu saya?”Ragu, Tiara mengangguk. Disusul Cahaya dan Hasan.Sementara itu. Pria yang memanggil pak Azhari dengan sebutan Papa, sadari tadi hanya berdiam diri di sampingnya.Pak Azhari menitikkan air mata.”Garis wajahmu mewarisi Nurma.” ucapnya, seraya mengulurkan kedua tangannya.Tiara bangkit, diikuti cahaya juga Hasan.“Mendekatlah.” Pak Azhari berdiri, kemudian merangkul

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 41. Bertemu

    Ratih yang mendengar Esih mengancam suaminya, gegas ke luar dari persembunyiannya.”Apa sebenarnya yang bu Esih inginkan? Katakan saja, tidak perlu mengancam suami saya segala.” tanyanya, sinis.“Saya minta pak Lurah bantu saya carikan pengacara untuk membebaskan Anjani dari tahanan.” pinta Esih, lantang.“Apa bu Esih sadar dengan yang bu Esih katakan? Suami saya tidak mungkin membela warganya yang sudah jelas-jelas bersalah seperti Anjani.”“Sudah Bu, jangan didengar. Bapak yakin bu Esih dan Anjani tidak akan berani menyebarkan video itu. Karena video tersebut bukan hanya menyangkut nama baik kita, tapi mereka juga.” Saman tetap dengan keputusannya, tidak bersedia membantu Anjani.“Saya dan Anjani sudah tidak peduli dengan nama baik. Dengan adanya berita Anjani terlibat kejahatan saja, kami sudah dikucilkan warga. Beredarnya video itu, tidak akan berpengaruh apa pun untuk saya dan Anjani.” Esih tampak tidak gentar dengan ancama balik yang dilontarkan Saman.“Sudah lah, Pak. Ibu tidak

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 40. Dalam Tahanan

    Di sudut ruangan berukuran 2x3, Anjani tampak terduduk lesu sambil memeluk lututnya.Kedua matanya yang memerah, tampak mantap kosong ke atas langit-langit.Tak lama berselang, Esih bersama Parman, tergopoh mendatanginya.Melihat kehadiran kedua orang tuanya, Anjani sontak berdiri lalu mendekat pada mereka.Seorang petugas yang mendampingi Parman dan Esih gegas membukakan pintu sel, memberi mereka waktu untuk berbicara di tempat yang sudah di sediakan.“Bapak kapan pulang?” tanyanya, menatap Parman dan Esih bergantian.“Dua hari lalu.” jawab Parman, singkat. “Kamu kenapa bisa seperti ini, Jani?” tanyanya, tertuju pada Anjani.“Sudah, Kang. Jangan tanya kemana-mana dulu, fokus dengan tujuan kita ke sini saja .” ujar Esih, tampak masih terlihat marah pada Parman.Anjani yang merasa ada sesuatu dengan sikap kedua orang tuanya, menatap lekat keduanya.”Bapak dan Ibu kenapa?”“Sudah, kamu jangan pikirkan Bapak dan Ibu. Kamu harus fokus dengan masalahmu.” Esih mengalihkan topik.“Bapak dan I

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 39. Titik Terang

    “Teteh sudah memastikan kontrakan yang mau kita sewa, belum?” tanya Cahaya, seraya menghempaskan bobotnya di samping Tiara.Sedang Hasan, mengambil posisi duduk di kursi sebelahnya.“Sudah.” Singkat, Tiara menjawab.“Apa dari lokasi tempat kita tinggal nanti, dekat dengan alamat yang akan kita tuju, Teh?” lagi, Cahaya bertanya.“Kalau dilihat dari map sih, dekat. Kurang lebih empat kilometer saja.”“Aku tuh takut, kalau ternyata Kakek dan Nenek sudah tidak lagi tinggal di alamat yang tertera di foto, Teh” ucap cahaya, seraya menyandarkan punggungnya pada badan kursi. “Kalau kita tidak bertemu dengan mereka, itu artinya kita harus kembali ke kampung ya, Teh?”“Teteh belum bisa jawab pertanyaan kamu, Ya. Tapi yang pasti, seperti pesan ibu kita tidak boleh lagi tinggal di rumah kita yang sekarang.”“Tapi teh, hidup di kota pasti tidak mudah. Bagaimana sekolahku dan Hasan, nanti? Apa lagi kita orang baru, pasti tidak mudah mendapatkan sekolah yang mau menerima kita.”Sejenak Tiara terdia

DMCA.com Protection Status