“Kamu kenapa Anjani? Kenapa kita ada di sini? Apa yang terjadi dengan kita? Kenapa aku dan kamu berada di ruangan yang sama?” rentetan pertanyaan tertuju pada Anjani, yang terus terisak.Fahmi kian panik, begitu menyadari dirinya dalam kondisi hanya mengenakan pakaian dalamnya saja.Sontak, Fahmi menggelengkan kepala.”Tidak mungkin. Aku tidak mungkin melakukannya sama kamu Anjani.” ujarnya, memungkiri kemungkinan perbuatan tidak senonoh yang lakukannya pada Anjani.Anjani masih saja terus terisak, menyembunyikan wajah dengan kedua telapak tangannya.“Katakan padaku apa yang terjadi dengan kita. Kenapa aku ada di sini bersama kamu? Bukan tadi kita sedang ada di cafe? Lalu, bagaimana caranya bisa ada di sini?” tanya Fahmi, sambil mencari pakaiannya yang tercecer di lantai.“Kamu jangan coba-coba lari dan tanggung jawab, dan berpura-pura lupa dengan apa yang sudah kamu lakukan terhadapku, Fahmi!” sergah Anjani, tajam menetap pada Fahmi.“Aku yakin aku tidak melakukan apa-apa terhadamu, Ja
“Kamu harus menolongku, Fah. Jika tidak, aku akan memberitahu orang sekampung apa yang sudah kamu perbuat terhadapku kemarin!” ujar Anjani, seraya menghempaskan bobotnya di kursi.“Kamu ini bicara apa, Jan? Kenapa mengancamku seperti itu?” Fahmi membulatkan matanya.“Aku dituduh melakukan tindak kejahatan, Fah. Dan sekarang polisi sedang mencariku.”Fahmi mengerutkan dahinya.” kejahatan apa?” tanyanya, menatap curiga pada Anjani.“Aku dituduh jadi dalang pemerko*aan yang terjadi pada teh Tini. Padahal aku tidak melakukannya.” jawab Anjani, gelisah.“Apa? Kamu dituduh terlibat dengan para penjahat itu, Jan? Bagaimana bisa polisi mengarahkan tuduhan padamu?” tanya Fahmi, menelisik.Anjani menggeleng cepat.“Aku tidak tahu, Fah!” jawabnya.“Tidak mungkin mereka melayangkan tuduhan tanpa bukti.” ujar Fahmi, tajam menatap Anjani.“Sungguh, aku benar-benar tidak tahu, Fah!” Anjani berusaha meyakinkan Fahmi. “Kamu harus membantuku. Aku mohon!”“Tapi bagaimana caranya aku bisa membantumu, Jan?
Sontak saja perbuatan Anjani tersebut membuat Saman berang.”Apa yang kamu lakukan Anjani?” teriaknya.“Aku tahu apa yang akan pak Lurah lakukan.” ujar Anjani, tertuju pada Saman.” Kalian berdua mau melaporkan aku pada polisi, ‘kan?” sambungnya, beralih pada Ratih.“Baguslah kalau kamu sudah tahu. Berarti kamu sudah siap ikut dengan mereka untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu.” ujar Saman, lalu meminta Anjani untuk segera mengembalikan ponselnya.Tapi Anjani menolak. Ia malah memasukkan ponsel Saman ke dalam tasnya.“Kamu jangan lancang Anjani!” sentak Fahmi, emosi.“Jika kalian bertiga berniat menyerahkan aku pada polisi, maka jangan salahkan aku jika video ini aku viralkan di media sosial!”Anajani memperlihatkan rekaman video dirinya dan Fahmi yang tengah berada di satu kamar yang sama dalam kondisi yang tidak layak untuk dilihat.Saman dan Ratih tercekat. Mereka berdua sama sekali tidak menyangka, Fahmi bisa melakukan perbuatan asusila dengan wanita yang tengah menjadi DPO itu
“Teteh sudah memastikan kontrakan yang mau kita sewa, belum?” tanya Cahaya, seraya menghempaskan bobotnya di samping Tiara.Sedang Hasan, mengambil posisi duduk di kursi sebelahnya.“Sudah.” Singkat, Tiara menjawab.“Apa dari lokasi tempat kita tinggal nanti, dekat dengan alamat yang akan kita tuju, Teh?” lagi, Cahaya bertanya.“Kalau dilihat dari map sih, dekat. Kurang lebih empat kilometer saja.”“Aku tuh takut, kalau ternyata Kakek dan Nenek sudah tidak lagi tinggal di alamat yang tertera di foto, Teh” ucap cahaya, seraya menyandarkan punggungnya pada badan kursi. “Kalau kita tidak bertemu dengan mereka, itu artinya kita harus kembali ke kampung ya, Teh?”“Teteh belum bisa jawab pertanyaan kamu, Ya. Tapi yang pasti, seperti pesan ibu kita tidak boleh lagi tinggal di rumah kita yang sekarang.”“Tapi teh, hidup di kota pasti tidak mudah. Bagaimana sekolahku dan Hasan, nanti? Apa lagi kita orang baru, pasti tidak mudah mendapatkan sekolah yang mau menerima kita.”Sejenak Tiara terdia
Di sudut ruangan berukuran 2x3, Anjani tampak terduduk lesu sambil memeluk lututnya.Kedua matanya yang memerah, tampak mantap kosong ke atas langit-langit.Tak lama berselang, Esih bersama Parman, tergopoh mendatanginya.Melihat kehadiran kedua orang tuanya, Anjani sontak berdiri lalu mendekat pada mereka.Seorang petugas yang mendampingi Parman dan Esih gegas membukakan pintu sel, memberi mereka waktu untuk berbicara di tempat yang sudah di sediakan.“Bapak kapan pulang?” tanyanya, menatap Parman dan Esih bergantian.“Dua hari lalu.” jawab Parman, singkat. “Kamu kenapa bisa seperti ini, Jani?” tanyanya, tertuju pada Anjani.“Sudah, Kang. Jangan tanya kemana-mana dulu, fokus dengan tujuan kita ke sini saja .” ujar Esih, tampak masih terlihat marah pada Parman.Anjani yang merasa ada sesuatu dengan sikap kedua orang tuanya, menatap lekat keduanya.”Bapak dan Ibu kenapa?”“Sudah, kamu jangan pikirkan Bapak dan Ibu. Kamu harus fokus dengan masalahmu.” Esih mengalihkan topik.“Bapak dan I
Ratih yang mendengar Esih mengancam suaminya, gegas ke luar dari persembunyiannya.”Apa sebenarnya yang bu Esih inginkan? Katakan saja, tidak perlu mengancam suami saya segala.” tanyanya, sinis.“Saya minta pak Lurah bantu saya carikan pengacara untuk membebaskan Anjani dari tahanan.” pinta Esih, lantang.“Apa bu Esih sadar dengan yang bu Esih katakan? Suami saya tidak mungkin membela warganya yang sudah jelas-jelas bersalah seperti Anjani.”“Sudah Bu, jangan didengar. Bapak yakin bu Esih dan Anjani tidak akan berani menyebarkan video itu. Karena video tersebut bukan hanya menyangkut nama baik kita, tapi mereka juga.” Saman tetap dengan keputusannya, tidak bersedia membantu Anjani.“Saya dan Anjani sudah tidak peduli dengan nama baik. Dengan adanya berita Anjani terlibat kejahatan saja, kami sudah dikucilkan warga. Beredarnya video itu, tidak akan berpengaruh apa pun untuk saya dan Anjani.” Esih tampak tidak gentar dengan ancama balik yang dilontarkan Saman.“Sudah lah, Pak. Ibu tidak
Tiara menundukkan wajah. Ia tidak berani menatap mata pak Azhar yang terlihat menyimpan duka.“Saya masih ingat dengan baik, tulisan tangan Nurma, sama persis dengan tulisan tangan di surat yang ditinggalkannya saat dia memutuskan pergi.” ujar pak Azhari, masih memandangi surat dari Nurma. “Dan foto ini diambil saat Nurma masih duduk di bangku SMA.” lanjutnya kembali teringat dengan anak semata wayangnya yang dinyatakan hilang.Hening.Untuk beberapa saat, pak Azhari tampak mengamati ketiga kakak beradik di hadapannya.Tatapan matanya yang sudah meredup, tampak berkaca-kaca.”Benarkah kalian bertiga anaknya Nurma? Cucu saya?”Ragu, Tiara mengangguk. Disusul Cahaya dan Hasan.Sementara itu. Pria yang memanggil pak Azhari dengan sebutan Papa, sadari tadi hanya berdiam diri di sampingnya.Pak Azhari menitikkan air mata.”Garis wajahmu mewarisi Nurma.” ucapnya, seraya mengulurkan kedua tangannya.Tiara bangkit, diikuti cahaya juga Hasan.“Mendekatlah.” Pak Azhari berdiri, kemudian merangkul
Pak Agung mengembuskan napas.”Tenang, Teh. Saya tentu akan berupaya untuk kebebasan teh Anjani. Tapi semua yang saya ikhtiarkan tergantung fakta-fakta yang terungkap di persidangan nanti. Apakah akan meringankan atau malah memperberatkan dakwaan. Berdo’a saja, semoga fakta di persidangan nanti bisa membebaskan teh Anjani dari tuduhan.”“Tapi harus menunggu berapa lama lagi, Pak?”“Bersabarlah, Teh. Kita tinggal menunggu pelimpahan berkas perkara ke kejaksaan, lalu dinyatakan P21, yang artinya berkas perkara telah lengkap dan dinyatakan selesai dan siap dipersidangkan.”“Berapa lama prosesnya, Pak?” tanya Anjani, tampak sudah tidak sabar ingin kembali menghirup udara bebas.“In syaa Allah, paling lama dua sampai tiga Minggu, Teh.”“Apa?” Anjani meninggikan suaranya. “Itu lama sekali, Pak. Beberapa hari di sini saja saya sudah stress, apa lagi harus menunggu selama itu.”Pak Agung menghela napas panjang, melihat tingkah Anjani.“Bu, Tolong lakukan sesuatu. Aku tidak mau lama-lama di sin