Home / Romansa / Upah Satu Liter Beras / Bab 7. Mengamankan Sertifikat Tanah

Share

Bab 7. Mengamankan Sertifikat Tanah

“Jadi, kita masih punya Kakek dan Nenek, Teh?” tanya Cahaya, setelah selesai membaca surat dari Nurma yang ditujukan untuk mereka bertiga.

Tiara mengangguk.”Sebelum Ibu menghembuskan napas terakhirnya, beliau sempat mengucapkan kalimat seperti sebuah pesan untuk kita.” ucapnya, menatap kedua adiknya bergantian.

“Apa itu, Teh?” tanya Cahaya dan Hasan, nyaris bersamaan.

“Pergi ke Kota. Itu yang Teteh dengar dari Ibu.” Jawab Tiara.”Tidak begitu jelas. Tapi Teteh yakin, kalimat itu yang Ibu katakan.”

“Itu berarti sama dengan isi pesan dalam surat ini, Teh?” tanya Cahaya.”

“Ya. Kemungkinan besar seperti itu.” Tiara kembali menjawab. “Tapi pertanyaannya, kota mana yang Ibu maksud? Ibu tidak menyebutkan nama kota yang harus kita tuju.”

“Berarti kita harus mencari fhoto yang disimpan bapak. Sesuai kalimat yang ibu katakan dalam surat ini, Teh.” ujar Cahaya. “Karena menurut petunjuk dalam surat Ibu, alamat itu ada di fhoto tersebut.”

“Kamu bener, Ya. Tapi ke mana kita harus mencari fjoto itu? Sedang sebagian besar barang-barang Bapak sudah tidak ada, dan sudah dibereskan. Teteh juga sudah mencari di kamar Ibu, tapi tidak menemukannya di sana.”

“Lalu. Di mana kira-kira Bapak menyimpannya, Teh?” tanya Cahaya.

“Itulah yang sedang Teteh pikirkan.” jawab Tiara. “Saat membereskan barang-barang milik Bapak beberapa waktu lalu, Teteh tidak menemukan apa pun.”

“Bagaimana kalau ternyata bapak sudah membuang fhoto itu, Teh?” kembali Cahaya mengajukan pertanyaan.

“Rasanya tidak mungkin, Ya. Teteh yakin, Bapak masih menyimpannya.” ucap Tiara, menyingkirkan kekhawatirannya, jika ternyata apa yang baru saja ditanyakan Cahaya benar terjadi.

“Tapi di mana, Teh? Rumah kita kecil, satu-satunya tempat penyimpanan bapak pasti di kamar.”

“Nanti, setelah acara tahlilan Ibu selesai. Kita bereskan seluruh isi rumah, kita cari di mana bapak menyimpan fhoto yang Ibu maksud.”

“Baik teh.” ucap Cahaya dan Hasan berbarengan.

“Sekarang, lebih baik kalian berdua istirahat. Besok ‘kan masih harus sekolah.” titah Tiara pada kedua adiknya.

“Teteh juga istirahat. Aya lihat, seharian ini sudah capek sekali.” ujar Cahaya, menatap kasian pada tetehnya.

“Ya, nanti teteh menyusul.” ucap Tiara. “Malam ini teteh tidur di kamar ibu.” sambungnya, beranjak dari duduknya.

Untuk pertama kalinya ketiga bersaudara itu, menutup malam mereka tanpa lagi ada ibunya di tengah-tengah mereka.

***

Hari kedua setelah kepergian ibunya. Tiara terlihat berbelanja keperluan acara tahlilan bersama Ayu.

Mengingat antusias warga yang datang untuk mendo'akan almarhum ibunya di hari pertama tahlilan. Tiara berinisiatif menyiapkan kue-kue dan air mineral untuk jamuan.

Tidak ada besek atau bingkisan yang biasa dibawa pulang setelah acara tahlilan selesai, sebagaimana dilakukan warga ketika ada salah satu keluarga yang meninggal.

Ustadzah Imah yang tidak sempat datang di hari pertama meninggalnya Nurma, karena sedang berada di luar kota. Terlihat bertakziah di hari kedua. Berbarengan dengan kepulangan Tiara dan Ayu dari pasar.

"Turut berduka cita ya, Ra. Maaf, saya tidak bisa banyak membantu di sini." ucap Ustadzah Imah, seraya memeluk Tiara. "Sabar, Ikhlas." sambungnya.

"Terima kasih, Ustadzah." balas Tiara, mengusap sudut matanya yang basah.

"Andak jadwal privat anak-anak tidak bergantian, pagi dan sore hari. Terus siangnya tidak harus ke TPA. Mungkin saya bisa menyempatkan waktu untuk membantu seperti yang lainnya di sini." ujar ustadzah Imah, kemudian menyerahkan satu kantong besar kue ringan yang baru saja dibelinya dari pasar.

"Sekali lagi. Terima kasih, Ustadzah." ucap Tiara, meraih pemberian ustadzah Imah.

Ustadzah Imah kembali memeluk Tiara."Kamu yang kuat, ya. Sekarang, kamulah tempat adik-adikmu berkeluh kesah. Sabar selalu!" pesan ustadzah Imah, kemudian gegas berpamitan.

"Baru pulang dari pasar, Ra?" tanya Tini, dari teras rumahnya.

"Iya nih, Teh." jawab Tiara, sambil menurunkan barang-barang bawaannya dari motor Ayu."

Kemudian membawanya ke dalam rumah melalui pintu belakang dibantu Tini dan Ayu.

"Malam ini kita buat agar-agar sama kue pukis saja ya, Teh. Ditambah sedikit buah." ujar Tiara, lalu mengeluarkan barang belanjaannya dari kresek besar yang tadi dibawanya.

"Iya, Ra. Itu juga sudah cukup. Mak' di rumah juga lagi membuat kue pais pisang sebagai pelengkap." ujar Tini, dengan cekatan mulai menyiapkan adonan untuk kue pukis.

Ia dan mak Iroh memilih tidak pergi ke sawah, agar bisa membantu Tiara membuat kue-kue untuk disajikan malam, saat Tahlilan almarhumah ibunya.

"Terima kasih ya, Teh. " ucap Tiara dengan mata berkaca-kaca.

Iya selalu terharu, setiap mendapat kebaikan dari keluarga mak' Iroh. Janda satu anak, yang dengan segala keterbatasannya, selalu membantu keluarganya.

Tiara berjanji. Jika satu hari kehidupannya berubah jauh lebih baik. Maka orang pertama yang akan merasakan kebaikan darinya adalah mak Iroh dan Tini.

Saling membantu, mereka bertiga mulai membuat adonan kue. Lalu membuatnya satu persatu.

Saat ketiganya sedang sibuk menata cetakan kue dan agar-agar. Ponsel Ayu berbunyi.

Satu pesan masuk di aplikasi hijau miliknya.

[Yu, duplikat sertifikat tanah yang kamu minta kemarin sudah selesai. Kapan mau diambil ke rumah?]

"Pesan dari Hari, Ra. Katanya sertifikat tanah kamu sudah selesai" ujar Ayu, menoleh pada Tiara. "Aku diminta ambil ke rumahnya, katanya."

"Kira-kira kapan kamu mau ambil, Yu? Dia tinggal di kecamatan, 'kan?" tanya Tiara.

"Sore saja gimana, Ra?" Ayu balik meminta pendapat Tiara.

Tiara menghembuskan napas. "Sebenarnya tidak buru-buru juga sih, Yu. Sesempatnya kamu saja, tidak apa-apa." ujarnya.

"Ya, sudah. Kalau begitu, nanti aku ambil sorean saja. Kalau nggak, besok ya, Ra." putus Ayu.

Kemudian membalas pesan dari Hari, untuk memberi tahunya, kapan ia bisa mengambil pesanan duplikat sertifikat tanah milik almarhumah ibunya Tiara.

***

Hari berganti. Tidak terasa acara tahlil hari ke tujuh sudah terlewati.

Tiara bersyukur sekali, banyak orang-orang baik yang membantunya.

Selama tujuh hari acara tahlilan. Warga juga banyak yang datang mendo'akan almarhumah ibunya. Walaupun tidak banyak yang dapat Tiara suguhkan untuk mereka.

"Alhamdulillaah. Acara tahlilan Ibu sudah selesai." ujar Cahaya, terlihat lega. "Setelah ini, apa yang akan Teteh lakukan?" tanyanya, sambil membereskan piring dan gelas yang sudah dicucinya.

Tiara terdiam sejenak. Tampak Tengah memikirkan sesuatu."Hari Minggu. Kalian berdua bantu Teteh membersihkan rumah, ya." ujarnya, sambil menelisik ruang bilik berlantai kayu milik kedua orang tuanya

"Setelah ini, kita mungkin akan pergi dari sini. Seperti yang Ibu inginkan dalam surat yang Teteh temukan." Sambung Tiara, menatap kedua adiknya bergantian.

"Itu artinya, kita harus mencari foto yang Ibu katakan dalam surat itu ya, Teh?" tanya Hasan.

Tiara mengangguk."Ya. Hanya itu petunjuk yang kita punya untuk menemukan tempat tinggal kakek dan nenek." jawabnya.

"Kalau foto itu tidak ditemukan. Bagaimana, Teh?" Kembali, Hasan bertanya.

"Benar Teh. Kalau kita tidak menemukan foto yang Ibu maksud, bagaimana Teh?" Cahaya turut menimpali menimpali.

Bersambung...

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Restu Senjaya
ko tiba-tiba ibu nya yg meninggal, ada bab yg terlewat kah thor??
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status