Beranda / Romansa / Upah Satu Liter Beras / Bab 6. Kedatangan ibu Mertua

Share

Bab 6. Kedatangan ibu Mertua

Anjani Meradang. Gegas bangkit, lalu kembali mendekat pada Tiara”Kurang A*ar! Berani ya kamu.” ujarnya, seraya mengangkat satu tangan kanannya.

Kemudian, dengan gerakan cepat diarahkannya pada wajah Tiara. Tapi sayang, gerakannya kalah cepat dengan gerakan Tiara yang segera memiringkan badan ke sebelah kiri.

“Berani melawan kamu, ya!” sentak Jani, kian meradang.

“Kamu sudah tidak waras, Jani! Memangnya apa yang aku lakukan sampai kamu semarah ini padaku?” tanya Tiara mengambil langkah mundur, menjauh dari Anjani.

Cahaya dan Hasan yang sudah bersiap untuk shalat berjamaah maghrib, terlihat muncul di ambang pintu.

Keduanya tampak saling berpandangan lalu melihat ke arah Tiara dan Anjani yang seperti Tengah memasang kuda-kuda.

Tini yang kebetulan sedang tidak shalat, tergopoh mendekat pada Tiara.”Ada apa ini, Ra? Kenapa maghrib begini ribut di luar?” tanyanya menoleh pada Tiara.

“Ada orang yang kesurupan, Teh.” jawab Tiara asal.

Terang saja. Jawaban Tiara yang jelas ditujukan kepadanya, membuat Rinjani berang.

“Aku peringatkan kamu, ya. Sekali lagi aku melihat kamu berboncengan dengan Fahmi. Lihat saja, apa yang akan aku lakukan padamu!” ancam Anjani, meletup-letup.

Kemudian ia berbalik. Kembali menuju jalan setapak, lalu mengambil motornya yang sengaja ia sembunyikan di semak-semak.

Sedang Tiara. Setelah ngobrol sebentar dengan Tini, gegas memasuki rumahnya.

***

Keesokan harinya. Pagi-pagi sekali, Nurma kedatangan bu Ratna, ibu mertuanya.

Bu Ratna yang sejak awal tidak pernah menyetujui pernikahannya dengan almarhum putra sulungnya, terlihat enggan memasuki rumah panggung yang didiami menantu dan cucunya itu.

“Silakan diminum, Nek.” ucap Tiara, meletakkan segelas teh hangat ke hadapan bu Ratna.

Kemudian, ia pun gegas kembali ke belakang.

“40 hari meninggalnya Muhammad sudah lewat. Ibu rasa, sudah saatnya kamu transparan mengenai apa saja yang ditinggalkan almarhum suamimu .” Bu Ratna memulai percakapan.

“Maksudnya, Bu?” tanya Nurma belum bisa menebak ke mana arah pembicaraan ibu mertuanya itu.

“Ibu dengar, almarhum suamimu meninggalkan banyak utang pada Esih. Betul itu, Nur?” tanya bu Ratna, tidak menghiraukan pertanyaan Nurma.

“Esih bilangnya seperti itu, Bu. Tapi, kang Muh tidak pernah cerita pada Nurma soal utang itu.” jawab Nurma, mulai tidak enak hati.

Ia yakin, kedatangan bu Ratna memiliki tujuan tertentu. Jika tidak, bagiamana mungkin ia bersedia bela-belain mengunjunginya.

“Saat Muhammad menikahimu, kamu tidak membawa apa-apa. Rumah yang kamu dan anak-anak tempati saat ini, di dapat dari kerja kerasnya” Bu Ratna kembali berbicara. “Selama ini Muhammad sudah berusaha keras untuk mencukupi kebutuhan kalian, bahkan sampai berutang pada Esih. Jadi kalau pun ada harta yang ditinggalkannya, itu tidak lantas menjadi milik kalian. Karena ada kewajiban utang yang harus almarhum suamimu selesaikan terlebih dahulu.”

“Jadi, kedatangan Ibu ke mari, untuk meminta Nurma melunasi utang almarhum kang Muh?” tanya Nurma, mulai paham apa yang dimaksud ibu mertuanya.

“Ya. Ibu rasa kamu tidak bodoh, untuk memahami apa yang sudah Ibu katakan padamu.” jawab bu Ratna. “Segera lunasi utang almarhum suamimu, agar tidak memberatkannya di akhirat nanti!” titahnya.

“Tapi Bu. Dari mana Nurma mendapatkan uangnya?” tanya Nurma. “Ibu sendiri tahu. Nurma tidak memiliki penghasilan tetap. Untuk memenuhi kebutuhan anak-anak saja kesulitan. Lalu bagaimana caranya bisa menyisihkan untuk membayar utang almarhum kang Muh?”

“Itu urusanmu, bukan urusan Ibu.” Ketus bu Ratna. “Pokoknya bagaimana pun caranya kamu harus segera mencari jalan untuk melunasinya. Ibu tidak ingin ruh Muhammad menggantung di antara langit dan bumi karena ada urusan utang yang belum terselesaikan.”

Hening.

Untuk beberapa saat. Nurma terdiam. Ia tampaknya kehabisan kata-kata untuk mendebat mertuanya.

“Kalian masih punya tanah di dekat jalan Desa, ‘kan?” tanya bu Ratna kemudian. “Kenapa kamu tidak menjualnya saja? Uangnya bisa kamu gunakan untuk membayar sebagian utang almarhum.”

“Maaf Bu. Nurma tidak akan menjualnya!” tolak Nurma. “Tanah itu satu-satunya yang Nurma miliki, yang dibeli dari hasil keringat sendiri. Tidak ada uang almarhum kang Muh sedikit pun di sana.”

“Omong kosong!” bantah bu Ratna. “Ibu tahu, Muhammad lah yang selama ini bekerja keras untuk kalian. Dan semua penghasilan yang didapatnya semua diserahkan kepadamu.”

“Ibu benar. Semua penghasilan almarhum kang Muh, diberikan pada Nurma. Tapi, itu semua hanya cukup untuk biaya hidup kami sehari-hari. Bahkan itu saja sering kurang.” ujar Nurma, membela diri.

“Alasan!” Bu Ratna mencebik.”Kamu bicara seperti itu, karena enggan membayar utang alamrhum, ‘kan?”

Nurma menggeleng.”Itu tidak benar, Bu!” sanggahnya.

Mendengar perdebatan alot antara Ibu dan neneknya. Tiara pun memutuskan untuk turut Ikut bicara.

“Maaf Nek, Tiara tidak bermaksud lancang. Tap masalah utang yang ditinggalkan almarhum Bapak. Bi Esih sudah setuju, Tiara akan mencicilnya sesuai nominal yang sudah disepakati bersama.” ujar Tiara, memberi penjelasan. “Tapi kenapa tiba-tiba Nenek menagihnya?”

“Kamu tidak tahu apa-apa. Sebaiknya tidak perlu ikut campur urusan orang tua!” sergah bu Ratna, kesal.

“Sekali lagi maaf, Nek. Tiara tidak bermaksud ikut campur urusan Nenek dan Ibu.” Lanjut Tiara, tidak menggubris himbauan neneknya. “Tapi mengenai tanah yang Nenek sebutkan tadi. Tiara tahu persis bagaimana Ibu mendapatkannya.” ujarnya, berusaha memberi pemahaman pada bu Ratna.

“Alah... Anak kemarin sore, tahu apa kamu dengan masalah orang tua?” tanya Bu Ratna, mendelik.

“Tiara sudah besar, Nek. Sudah bisa memilah mana yang benar dan mana yang salah.” jawab Tiara melakukan pembelaan. “Dan jika kedatangan Nenek ke rumah kami hanya untuk merampas satu-satunya yang Ibu miliki. Tiara tidak akan tinggal diam!” tegas Tiara, tak gentar.

“Anakmu ini memang pintar sekali berbicara. Pantas saja, Esih kalah berdebat dengannya.” ucap bu Ratna, menatap sinis pada Tiara.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status