Home / Romansa / Upah Satu Liter Beras / Bab 2. Kedatangan Esih

Share

Bab 2. Kedatangan Esih

Author: Ananda Aisha
last update Last Updated: 2023-11-16 16:34:02

"Apa aku tidak salah dengar? Bibi hanya memberi Ibu satu liter beras, setelah begitu banyak pekerjaan yang dilakukannya?” Tiara kembali bertanya, kali ini dengan intonasi meninggi.

“Memang kamu berharap, aku membayar ibumu dengan apa? Syukur aku masih berempati pada ibumu, dan bersedia memberinya upah.” jawab Esih, pongah. “Asal kamu tahu. Seharusnya aku tidak memberikan upah pada ibumu, karena ayahmu sudah berutang banyak padaku.” ujarnya, sambil berkacak pinggang.

Tiara mengepal.”Sudah, cukup Bi! Ini hari terakhir Ibu kerja pada Bibi. Terima kasih sudah memberi Ibu pekerjaan. Aku tidak akan ambil upahnya. Anggap saja hari ini aku dengan suka rela membantu Bibi.” ucapnya, seraya meletakkan satu plastik beras di tangan Esih.

Terang saja, apa yang dilakukan Tiara membuat Esih meradang.”Dasar anak tidak tahu diuntung. Sudah miskin, belagu pula!” umpatnya.

Kemudian ia meneriaki Tiara, dan menyumpahi ibunya tidak mendapatkan pekerjaan di tempat lain.

Tiara tidak peduli. Ia terus melangkah, meninggalkan rumah besar milik Parman, adik kandung bapaknya yang jarang sekali pulang karena bekerja di luar daerah.

***

“Ibu masih sakit pinggang?” tanya Tiara, saat mendapati ibunya masih terbaring di atas kasur lusuh yang tergelar di kamarnya.

“Sudah agak mendingan, Ra. Tapi masih terasa sakit kalau mengangkat beban berat.” jawab Nurma, berusaha bangun dari pembaringannya.

“Ibu berbaring saja dulu.” Tiara menahan tubuh Nurma. “Kalau ibu butuh sesuatu, panggil saja Tiara.” ujarnya, kemudian gegas menuju dapur.

Diletakkannya dua liter beras yang baru saja dibelinya dari warung bu Rodiah.

Beruntung dua hari lalu, Tiara baru saja mendapat gaji dari mengajar di TPA sebesar 220 ribu rupiah. Tidak besar, memang. Tapi setidaknya cukup untuk membeli beras satu bulan ke depan.

Seberapa pun sulit kondisinya. Tiara bertekad untuk tidak menerima bantuan apa pun dari keluarga bapaknya. Ia juga tidak akan lagi mengizinkan ibunya bekerja pada bibinya.

'Aku harus mencari cara bagaimana bisa mendapatkan penghasilan lebih dari mengajar di TPA. Tapi apa yang bisa aku lakukan, dengan hanya bermodalkan ijazah SMA?’ batin Tiara.

Ia terus mencari cara agar bisa mencukupi kebutuhannya, ibu, dan kedua adiknya.

Tiara berjanji akan membawa keluarganya keluar dari keterbatasan, yang membuat mereka harus menerima perlakuan tidak adil dari keluarga bapaknya.

‘Andai saja Ibu masih memiliki keluarga, mungkin kondisinya akan berbeda.’ Tiara kembali membatin.

Menurutnya, keluarga dari ibunya akan lebih tulus dan perhatian dengan keluarganya.

Sayangnya, Nurma sebatang kara. Itulah sebabnya, orang tua Muhammad tidak pernah menyetujui pernikahannya.

Tapi entah kenapa. Tiara tidak yakin dengan pengakuan Nurma tentang keluarganya. Nalurinya mengatakan, bahwa sebenarnya kedua orang tua dari ibunya masih hidup.

Hal itu diyakininya, karena sempat mendengar ucapan Nurma yang mengancam akan pulang ke rumah orang tuanya. Saat terjadi pertengkaran di antara keduanya.

“Assalamu’alaikum.”

Suara salam, membuyarkan lamunan Tiara.

Hasan, adik bungsu Tiara yang duduk di kelas satu SMP. Baru saja pulang dari sekolah.

Dengan langkah lemas, Hasan menuju dapur. Bersiap membersihkan badannya ke kamar mandi.

Wajahnya terlihat kusut, berkeringat.

Setelah berjalan kaki kurang lebih sejauh lima kilometer. Tenaganya seperti terkuras habis. Dan hal itu dilakukannya setiap hari saat pergi dan pulang dari sekolahnya.

“Bagiamana sekolahnya, San?” tanya Tiara, begitu Hasan sudah selesai membersihkan diri.

“Capek, Teh.” jawab Hasan, kemudian duduk di dekat Tiara.”Rasanya Hasan mau berhenti sekolah saja.”

Mendengar jawaban hasan. Sontak membuat kedua mata Tiara mendelik,“Kamu ini anak laki-laki satu-satunya di keluarga kita. Tidak boleh patah semangat seperti itu, San!” ujarnya, tajam menatap adik laki-lakinya yang baru berusia 13 tahun itu.

Hasan menundukkan wajahnya.“Coba ada sepeda, mungkin nggak terlalu capek seperti sekarang, Teh.” keluhannya.

Tiara terdiam sejenak, menatap lurus pada dinding bilik yang sudah bolong-bolong besar di hadapannya. Ada sesal di hatinya, karena telah menjual sepeda tua, satu-satunya warisan yang ditinggalkan bapaknya.

Tapi, jika Tiara tidak menjualnya. Bagiamana bisa kedua adiknya tetap bersekolah. Terlebih Cahaya, adik Keduanya. Yang harus mengeluarkan ongkos untuk angkutan umum sebesar empat ribu setiap harinya.

Tiara bukan tidak mengerti apa yang menjadi keluhan adiknya. Tapi apa mau dikata. Jangankan untuk beli sepeda baru, untuk makan sehari-hari saja seringnya mereka hanya mengandalkan nasi dan sayur asem yang bahannya mereka dapat dari kebun kecil di belakang rumah mereka.

“Kamu lihat Teteh, San.” ujar Tiara, menetap lekat pada Hasan.”Apa selama bersekolah, Teteh pernah mengeluh?” tanyanya kemudian.

Hasan bergeming.

“Kamu anak laki-laki. Harusnya jauh lebih kuat dari Teteh.” sambung Tiara, menepuk pundak Hasan.

Dan Hasan, masih bergeming. Dari sudut matanya menggenang bulir bening yang hampir saja luruh.

Beruntung. Kedatangan Cahaya, kakak perempuan keduanya. Mengalihkan fokus Tiara. Sehingga ia memiliki kesempatan untuk mengusap sudut matanya dengan cepat.

Cahaya Maulida. Gadis yang baru duduk di kelas sepuluh itu, tampak terlihat lelah. Setelah menempuh jarak kurang lebih empat kilometer dari rumahnya. Sebelum akhirnya tiba di jalan besar, dan melanjutkan perjalanannya menuju sekolah dengan menggunakan angkutan umum.

“Mulai senin depan aku ikut ekskul paskibra, Teh.” ucapnya, sambil meletakkan tasnya di atas meja dapur yang sudah usang.”Apa aku terima tawaran bi Risna saja ya, Teh? Biar tidak perlu mengeluarkan ongkos lagi.” lanjutnya, memilih duduk di samping Tiara.

“Tidak, Aya! Sekali Teteh bilang tidak, ya tidak!” tegas Tiara, menatap tajam pada adik perempuannya.

“Tapi Teh. Aku capek.” ujar cahaya. “Dari sejak SMP waktuku habis di jalan. Pulang pergi hampir tiga jam setiap hari itu, sangat melelahkan, Teh.”

“Kamu dan Hasan tidak melihat Teteh?” tanya Tiara, menatap pada kedua adiknya bergantian. “Waktu sekolah, Teteh juga sama seperti kalian. Tapi apa kalian pernah dengar Teteh mengeluh?”

“Teteh enak, masih ada Bapak. Masih ada uang saku lebih. Nah aku, setiap hari Teteh jatah lima ribu. Empat ribu untuk ongkos naik angkutan umum di jalan besar, serubunya cuma buat beli permen.”jawab Cahaya, menyampaikan keluhannya.”Aku malu loh, Teh. Setiap kali di ajak ke kantin, yang ku beli cuma permen lima biji.” sambunganya, berkaca-kaca.

Tiara membuang muka. Menyembunyikan kedua matanya yang terlihat mengembun.”Ya sudah, nanti Teteh pikiran lagi. Kalian makanlah saja dulu.” ucapnya, kemudian bergegas menuju kamarnya.

***

Hari baru saja meninggalkan petang. Jam dinding yang sebagian kacanya sudah retak itu, baru menunjukkan pukul 18.30.

Nurma yang baru saja selesai melipat mukena. Dikejutkan suara ketukan pintu, lebih tepatnya gedoran di pintu depan rumahnya.

“Tunggu sebentar!” seru Tiara dari dalam kamarnya.

Pintu dengan kunci yang terbuat dari kayu itu pun, perlahan Tiara buka.”Bi Esih! Ada perlu apa datang di jam sandekala seperti ini?” tanyanya.

“Aku perlu bertemu dengan ibumu.” jawab Esih, memalingkan wajahnya.”Panggilkan ibumu!” perintahnya, layaknya bos terhadap anak buahnya.

Ia tampaknya masih tersinggung dan marah dengan Tiara, karena keputusannya untuk tidak menerima upah darinya.

“Maaf, Bi. Ibu sedang sakit, jadi tidak bisa menemui Bibi.” Tolak Tiara, tampak enggan memanggilkan Nurma.”Kalau Bibi berkenan memasuki rumah gubuk kami, silakan temui Ibu di kamarnya.”

Esih mendengus kesal. Kemudian terpaksa mengikuti langkah Tiara menuju kamar Nurma, yang hanya berpintukan gorden lusuh.

“Ada apa Teh?” tanya Nurma, mendekat ke arah pintu kamarnya.”Tumben sekali bela-belain datang ke rumah.” lanjutnya, ramah.

Sekilas, Esih menoleh pada Tiara.”Memangnya Tiara tidak mengatakan apa-apa sama teh Nurma?” tanyanya, kemudian.

Nurma menggeleng. Lalu menoleh pada Tiara.”Ada apa, Ra?”

Tiara mematung. Ia tampak enggan menceritakan kejadian di rumah Esih sore tadi, saat dirinya memutuskan untuk tidak menerima upah satu liter beras yang diberikan bibinya itu kepadanya.

Bersambung...

Related chapters

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 3. Kejanggalan Rincian Utang Bapak

    "Ada apa, Ra? Jawab Ibu!” ulang Nurma.“Tadi sore saja sok bertingkah. Sekarang melempem!” ujar Esih.” Kalau kamu tidak berani bicara dengan ibumu, biar aku saja yang bicara padanya.” lanjut Esih, menatap rendah pada Tiara dan ibunya.“Katakan saja, Teh. Memangnya apa yang Tiara lakukan?” tanya Nurma, beralih pada Sukaesih.Esih mendengus kasar.”Tadi sore, anak perempuanmu yang sombong ini, menolak menerima upah dariku. Terus dia juga bilang, teh Nurma tidak akan lagi bekerja di tokoku.” ujarnya, menatap benci pada Tiara.Nurma tersentak. Tiara memang mirip dirinya waktu masih muda. Keras pendirian, pantang menyerah, dan tidak mudah menerima bantuan dari orang lain. Tapi, sepengetahuan dirinya. Anak sulungnya itu selalu bersikap hormat dengan orang yang lebih tua darinya. Terlebih bibinya sendiri. Lalu bagaimana mungkin, Tiara menyombongkan dirinya pada Esih.“Benar yang dikatakan bi Esih, Ra?” tanya Nurma, menatap lekat pada Tiara.Tiara mengangkat wajahnya. Ia tidak ingin terlihat l

    Last Updated : 2023-11-16
  • Upah Satu Liter Beras    Bab 4. Tiga Puluh Ribu Sehari

    "Tiara!” sentak Nurma.”Apa yang kamu katakan, Nak? Tidak baik, bicara seperti itu pada orang yang sudah meninggal. Terlebih itu bapakmu sendiri.”Tiara menatap nanar ibunya.”Maafkan Tiara, Bu. Tiara tidak bermaksud seperti itu.” ucapnya, berusaha menahan butiran bening yang sudah berdesakan di kelopak matanya. “Berapa sebenarnya hitungan upah yang bi Esih berikan pada Ibu?” tanyanya kemudian, tertuju pada Esih.“Untuk apa kamu tanya-tanya soal upah ibumu? Aku tidak akan berbuat curang dengan tidak memberinya upah, atau tidak memotong cicilan utang almarhum bapakmu dari upah yang diterima ibumu.” ujar Esih, berang.“Jika betul yang bi Esih katakan. Kenapa tidak satu rupiah pun ada pengurangan di utang Bapak? Seharusnya sejak Ibu memutuskan bekerja di toko bi Esih, utang Bapak sudah berkurang dari total satu bulan lalu?” tanya Tiara, menelisik.Esih gelagapan.”Ee... Aku belum mencatatnya.” jawabnya, gugup.“Ya, sudah. Bi Esih Katakan saja, berapa upah Ibu yang sebenarnya?” lagi, Tiara b

    Last Updated : 2023-11-16
  • Upah Satu Liter Beras    Bab 5. Menemui bu Lurah

    Lepas ashar. Tiara yang berboncengan dengan ustadzah Imah, terlihat menuju kediaman pak Lurah Saman.Seperti yang sudah direncanakan. ustadzah Imah, akan memperkenalkan Tiara pada bu Lurah, sebagai guru ngaji baru untuk cucunya.Tiba di sana, Tiara berpapasan dengan Anjani, adik sepupunya yang sudah bersiap dengan motor maticnya.Sepertinya, ia baru saja menemui Fahmi, anak kedua pak Lurah, yang berkuliah di kampus yang sama dengannya.“Kamu sedang apa ada di sini, Ra?” tanya Jani, setengah berbisik.“Aku mau bertemu dengan bu Lurah, Jan.” jawab Tiara, gegas mengikuti langkah ustadzah Imah yang berjalan di depannya.“Tunggu dulu!” cegah Anjani, menarik paksa lengan Tiara.”Aku belum selesai bicara denganmu.”“Ada apa, Jan?” tanya Tiara, seraya berusaha melepas pegangan tangan Anjani.“Ada perlu apa, kamu bertemu dengan bu Lurah?” Anjani menjawab dengan bertanya balik.“Ini tidak ada urusannya denganmu, Jan.” jawab Tiara. “Jadi tidak ada kewajibanku, untuk menjawab pertanyaanmu.”Anjani

    Last Updated : 2023-11-16
  • Upah Satu Liter Beras    Bab 6. Kedatangan ibu Mertua

    Anjani Meradang. Gegas bangkit, lalu kembali mendekat pada Tiara”Kurang A*ar! Berani ya kamu.” ujarnya, seraya mengangkat satu tangan kanannya.Kemudian, dengan gerakan cepat diarahkannya pada wajah Tiara. Tapi sayang, gerakannya kalah cepat dengan gerakan Tiara yang segera memiringkan badan ke sebelah kiri.“Berani melawan kamu, ya!” sentak Jani, kian meradang.“Kamu sudah tidak waras, Jani! Memangnya apa yang aku lakukan sampai kamu semarah ini padaku?” tanya Tiara mengambil langkah mundur, menjauh dari Anjani.Cahaya dan Hasan yang sudah bersiap untuk shalat berjamaah maghrib, terlihat muncul di ambang pintu.Keduanya tampak saling berpandangan lalu melihat ke arah Tiara dan Anjani yang seperti Tengah memasang kuda-kuda.Tini yang kebetulan sedang tidak shalat, tergopoh mendekat pada Tiara.”Ada apa ini, Ra? Kenapa maghrib begini ribut di luar?” tanyanya menoleh pada Tiara.“Ada orang yang kesurupan, Teh.” jawab Tiara asal.Terang saja. Jawaban Tiara yang jelas ditujukan kepadanya,

    Last Updated : 2023-12-05
  • Upah Satu Liter Beras    Bab 7. Mengamankan Sertifikat Tanah

    “Jadi, kita masih punya Kakek dan Nenek, Teh?” tanya Cahaya, setelah selesai membaca surat dari Nurma yang ditujukan untuk mereka bertiga.Tiara mengangguk.”Sebelum Ibu menghembuskan napas terakhirnya, beliau sempat mengucapkan kalimat seperti sebuah pesan untuk kita.” ucapnya, menatap kedua adiknya bergantian.“Apa itu, Teh?” tanya Cahaya dan Hasan, nyaris bersamaan.“Pergi ke Kota. Itu yang Teteh dengar dari Ibu.” Jawab Tiara.”Tidak begitu jelas. Tapi Teteh yakin, kalimat itu yang Ibu katakan.”“Itu berarti sama dengan isi pesan dalam surat ini, Teh?” tanya Cahaya.”“Ya. Kemungkinan besar seperti itu.” Tiara kembali menjawab. “Tapi pertanyaannya, kota mana yang Ibu maksud? Ibu tidak menyebutkan nama kota yang harus kita tuju.”“Berarti kita harus mencari fhoto yang disimpan bapak. Sesuai kalimat yang ibu katakan dalam surat ini, Teh.” ujar Cahaya. “Karena menurut petunjuk dalam surat Ibu, alamat itu ada di fhoto tersebut.”“Kamu bener, Ya. Tapi ke mana kita harus mencari fjoto itu? S

    Last Updated : 2023-12-05
  • Upah Satu Liter Beras    Bab 8. Siapa Pelakunya?

    “Tumben pagi-pagi sudah turun gunung, Ra?” tanya Ayu, saat melihat Tiara telah berdiri di depan pintu pagar rumahnya.“Aku ada perlu sama kamu, Yu!” seru Tiara.Kemudian membuka pintu pagar, dan bergegas menuju teras rumah semi permanen bercat biru muda itu.“Perlu apa sih, Ra? Sepertinya penting sekali.” ujar Ayu, seraya mempersilakan Tiara duduk di kursi kayu yang ada di teras rumahnya.“Kamu masih suka bertemu dengan teman yang bisa menyalin dokumen penting itu nggak, Yu?” tanya Tiara.“Masih, Ra.” jawab Ayu. “Memangnya kenapa, Ra?” tanyanya kemudian.“Kira-kira dia juga bisa menyalin sertifikat tanah tidak ya, Yu?” lagi, Tiara bertanya.“Sepertinya, semua dokumen dia mah bisa. “Ayu kembali menjawab.”Memangnya sertifikat tanah siapa yang mau kamu buat replikanya, Ra?”“Punya ibuku, Yu.” jawab Tiara.”Kira-kira lama tidak, ya?” tanyanya.“Nggak, Ra. Paling satu atau dua hari juga sudah selesai. Kamu tinggal kirim photo sertifikatnya, nanti dia kerjakan.” jawab Ayu.“Tapi ngomong-ngom

    Last Updated : 2023-12-05
  • Upah Satu Liter Beras    Bab 9. Kehilangan Lagi

    “Bu... Bangun, Bu! Mohon, jangan buat Tiara takut!” ratap Tiara, seraya mengguncangkan tubuh ibunya.Tetap tidak ada respon dari Nurma.Tiara pun bangkit. Diraihnya tas ransel miliknya. Lalu ia ambil plastik hitam di dalamnya.Kemudian Tiara gegas menuju dapur. Lalu menaiki loteng rumahnya dengan tangga bambu, yang biasa digunakan almarhum bapaknya dulu untuk membetulkan genteng yang rusak.Selanjutnya, dengan tangan gemetar. Dilemparkannya plastik hitam di tangannya ke tengah loteng.Setelah itu, Tiara kembali ke kamar ibunya. Sekali lagi memastikan, dan berharap ibunya masih hidup.Tiara bersimpuh sejenak. Merapatkan telinganya di dada Nurma.Tidak ada detak jantung di sana.”Innalillaahi Wainnailaihi Roji’uun.” gumam Tiara, bergetar.Untuk beberapa saat, ia tertegun. Tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.Hanya air mata yang mengalir deras, menjadi penanda begitu pedih duka yang tengah di hadapinya.Setelah yakin ibunya sudah tiada. Tiara pun bangkit. Kemudian kembali ke pemukima

    Last Updated : 2023-12-05
  • Upah Satu Liter Beras    Bab 10. Mengembalikan Pemberian Esih

    “Istighfar, Ra.” Ayu mendekat, meraih bahu Tiara dan mengajaknya kembali ke samping jenazah ibunya.“Tidak, Yu. Aku harus pastikan mereka tidak mendekat pada jasad ibuku!” tegas, Tiara menolak ajakan Ayu. “Aku minta kalian segera pergi dari sini! Aku tidak ingin melihat kalian bertiga ada di sini, terlebih untuk melihat jasad Ibuku” titahnya, menatap tajam pada ketiga orang di hadapannya.“Dasar, anak tidak tahu diuntung! Kami datang ke sini untuk membantumu. Bukannya disambut dengan baik, malah disuruh pergi.” gerutu Esih, gusar. “Memangnya kamu bisa mengurus kematian ibumu sendirian? Memangnya warga kampung yang membantu pemakaman ibumu, juga tahlilan nanti, tidak memerlukan biaya?” tanyanya kemudian, menatap rendah pada Tiara.“Kami tidak butuh bantuan dari kalian! Aku dan adik-adikku bisa mengurusnya sendiri.” jawab Tiara, yakin.“Sombong! Sudah miskin, tidak tahu diri.” gerutu Anjani, kemudian menarik lengan Bu Ratna dan Esih keluar dari rumah Tiara.“Aku bilang, Aku tidak butuh

    Last Updated : 2023-12-05

Latest chapter

  • Upah Satu Liter Beras    47. Selesai

    “Baiklah, Bibi setuju menggadaikan tanah beserta tokonya sama kamu, Ra.” putus Esih. Untuk kebebasan Anjani, juga keamanan dirinya dari kejaran makelar tanah, Esih rela melepas hartanya. “Berapa yang Bibi butuhkan?” tanya Tiara, mengarah pada Esih. “Bibi butuh 200 juta, Ra.” jawab Esih. Tiara membuatkan kedua matanya.“Yang benar saja, Bi? Kalau 200 juta mah bukan digadaikan, tapi dijual.” protesnya. “Tapi bibi perlunya segutu, Ra.” Tiara menggelengkan kepala.”Maaf, Bi. Kalau 200 juta, aku dan Kakek tidak bisa.” “Lalu, berapa yang kamu bisa bantu untuk bibi, Ra?” tanya Esih, terpaksa mengalah. “100 juta. Aku rasa itu harga yang pantas.” jawab Tiara, memberikan penawaran. “Tlong melebihkan, Ra.” Esih masih berupaya mengubah keputusan Tiara. “Baiklah, aku akan minta Kakek untuk membantu Bibi 120 juta. Tidak ada lagi tawar menawar!” tegas Tiara, mengukuhkan keputusannya. Dengan terpaksa, Esih mengangguk setuju. Lalu kemudian, ia bergegas mengambil surat-surat kepemilikan tanah

  • Upah Satu Liter Beras    46. Melepas Aset

    “Silakan diminum, Pak.” Ratih meletakkan dua gelas yang dibawanya di atas meja. “Terima kasih, bu Lurah.” balas pak Azhari, seraya meraih minuman yang disajikan untuknya. Tidak banyak berbasa-basi, pak Azhari pun kemudian mengutarakan maksud kedatangannya menemui Ratih.”Tiara sudah menceritakan semuanya pada saya. Dan saya sangat berterima kasih sekali, bu Lurah sudah berkenan membantu cucu saya dengan menerima sertifikat tanah miliknya untuk dijaminkan atas sejumlah uang yang dipinjamnya.” ucapanya, tertuju pada Ratih. “Sama-sama, Pak. Saya hanya melakukan apa yang semestinya saya lakukan.” balas Ratih, terlihat tulus. “Tunggu sebentar, saya ambilkan Sertifikatnya.” sambungnya. Kemudian bergegas menuju kamarnya, untuk mengambil sertifikat tanah milik Tiara yang dititipkan padanya. Tak lama, Ratih kembali menemui Tiara dan kakeknya di ruang tamu. “Ini sertifikatnya, Ra.” ucap Ratih, menyodorkan dokumen kepemilikan tanah milik Tiara. “Terima kasih banyak untuk kebaikan yang suda

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 45. Bertemu dengan Masa Lalu

    Bu Ratna mematung di depan pintu saat mendapati pak Azhari dan Tiara berdiri tepat di depannya.”Kang Azhari?” gumamnya, nyaris tidak terdengar. “Ya, saya Azhari.” ucap pak Azhari, terdengar gugup. “Bagaimana kang Azhari bisa ada di sini? Lalu, Tiara? Bagaimana kalian berdua bisa bertemu?” tanya bu Ratna, masih berdiri di ambang pintu. “Izinkan saya dan Tiara, masuk. Kita bicara di dalam.” Bu Ratna bergeser, lalu mundur beberapa langkah.”Silakan.” ucapnya pelan. “Siapa, Bu?” Parman yang sejak tadi bersembunyi di kamar, turut menemui Tiara dan pak Azahari. Sebelumnya ia mengira Esih yang datang, makanya memilih mengunci diri di kamar bersama Fatma, istri barunya. Bu Ratna tidak menyahut. “Saya Azhari, kakeknya Tiara.” Pak Azhari memperkenalkan diri pada Parman. “Maksudnya?” Parman menautkan kedua alisnya, lalu mengambil posisi duduk di samping bu Ratna. “Saya papanya Ika Nurmala, ibunya Tiara.” jawab pak Azhari, menoleh pada Tiara. Keduanya bersegera duduk, bersisian. Parma

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 44. Memelas

    "Maaf, selesaikan dulu urusan bu Esih dengan kami. Baru urus yang lain!” Sadim menyela pembicaraan. “Kalau boleh tahu, memangnya Bapak berdua ini ada urusan apa dengan bi Esih?” tanya Tiara, tertuju pada Sadim dan pak Usep. Sejenak, Dua pria dewasa di hadapan Tiara saling berpandangan.”Bu Esih sudah mengambil uang DP pembelian tanah dari kami, tapi dia tidak jadi menjual tanahnya.” ujar pak Usep, mewakili Sadim. “Kami sudah memberi waktu banyak pada bu Esih untuk segera mengembalikan uang yang sudah diterimanya, tapi sampai sekarang belum juga ia kembalikan!” sambung Sadim, kembali emosi. “Benar yang dikatakan mereka berdua, Bi?” tanya Tiara pada Esih. “Bukan hanya aku yang menerima uangnya, tapi Ibu juga.” sanggah Esih, tidak terima jika hanya ia yang ditagih dua makelar tanah itu. “Itu bukan urusan kami, yang kami tahu bu Esih yang menerima uangnya.” ucap Sadim, tidak peduli dengan sanggahan yang dilontarkannya Esih. “Apakah tanah yang dimaksud dua Bapak ini, tanah alamrhumah

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 43. Ditagih Utang

    Pak Agung mengembuskan napas.”Tenang, Teh. Saya tentu akan berupaya untuk kebebasan teh Anjani. Tapi semua yang saya ikhtiarkan tergantung fakta-fakta yang terungkap di persidangan nanti. Apakah akan meringankan atau malah memperberatkan dakwaan. Berdo’a saja, semoga fakta di persidangan nanti bisa membebaskan teh Anjani dari tuduhan.”“Tapi harus menunggu berapa lama lagi, Pak?”“Bersabarlah, Teh. Kita tinggal menunggu pelimpahan berkas perkara ke kejaksaan, lalu dinyatakan P21, yang artinya berkas perkara telah lengkap dan dinyatakan selesai dan siap dipersidangkan.”“Berapa lama prosesnya, Pak?” tanya Anjani, tampak sudah tidak sabar ingin kembali menghirup udara bebas.“In syaa Allah, paling lama dua sampai tiga Minggu, Teh.”“Apa?” Anjani meninggikan suaranya. “Itu lama sekali, Pak. Beberapa hari di sini saja saya sudah stress, apa lagi harus menunggu selama itu.”Pak Agung menghela napas panjang, melihat tingkah Anjani.“Bu, Tolong lakukan sesuatu. Aku tidak mau lama-lama di sin

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 42. Tes DNA

    Tiara menundukkan wajah. Ia tidak berani menatap mata pak Azhar yang terlihat menyimpan duka.“Saya masih ingat dengan baik, tulisan tangan Nurma, sama persis dengan tulisan tangan di surat yang ditinggalkannya saat dia memutuskan pergi.” ujar pak Azhari, masih memandangi surat dari Nurma. “Dan foto ini diambil saat Nurma masih duduk di bangku SMA.” lanjutnya kembali teringat dengan anak semata wayangnya yang dinyatakan hilang.Hening.Untuk beberapa saat, pak Azhari tampak mengamati ketiga kakak beradik di hadapannya.Tatapan matanya yang sudah meredup, tampak berkaca-kaca.”Benarkah kalian bertiga anaknya Nurma? Cucu saya?”Ragu, Tiara mengangguk. Disusul Cahaya dan Hasan.Sementara itu. Pria yang memanggil pak Azhari dengan sebutan Papa, sadari tadi hanya berdiam diri di sampingnya.Pak Azhari menitikkan air mata.”Garis wajahmu mewarisi Nurma.” ucapnya, seraya mengulurkan kedua tangannya.Tiara bangkit, diikuti cahaya juga Hasan.“Mendekatlah.” Pak Azhari berdiri, kemudian merangkul

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 41. Bertemu

    Ratih yang mendengar Esih mengancam suaminya, gegas ke luar dari persembunyiannya.”Apa sebenarnya yang bu Esih inginkan? Katakan saja, tidak perlu mengancam suami saya segala.” tanyanya, sinis.“Saya minta pak Lurah bantu saya carikan pengacara untuk membebaskan Anjani dari tahanan.” pinta Esih, lantang.“Apa bu Esih sadar dengan yang bu Esih katakan? Suami saya tidak mungkin membela warganya yang sudah jelas-jelas bersalah seperti Anjani.”“Sudah Bu, jangan didengar. Bapak yakin bu Esih dan Anjani tidak akan berani menyebarkan video itu. Karena video tersebut bukan hanya menyangkut nama baik kita, tapi mereka juga.” Saman tetap dengan keputusannya, tidak bersedia membantu Anjani.“Saya dan Anjani sudah tidak peduli dengan nama baik. Dengan adanya berita Anjani terlibat kejahatan saja, kami sudah dikucilkan warga. Beredarnya video itu, tidak akan berpengaruh apa pun untuk saya dan Anjani.” Esih tampak tidak gentar dengan ancama balik yang dilontarkan Saman.“Sudah lah, Pak. Ibu tidak

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 40. Dalam Tahanan

    Di sudut ruangan berukuran 2x3, Anjani tampak terduduk lesu sambil memeluk lututnya.Kedua matanya yang memerah, tampak mantap kosong ke atas langit-langit.Tak lama berselang, Esih bersama Parman, tergopoh mendatanginya.Melihat kehadiran kedua orang tuanya, Anjani sontak berdiri lalu mendekat pada mereka.Seorang petugas yang mendampingi Parman dan Esih gegas membukakan pintu sel, memberi mereka waktu untuk berbicara di tempat yang sudah di sediakan.“Bapak kapan pulang?” tanyanya, menatap Parman dan Esih bergantian.“Dua hari lalu.” jawab Parman, singkat. “Kamu kenapa bisa seperti ini, Jani?” tanyanya, tertuju pada Anjani.“Sudah, Kang. Jangan tanya kemana-mana dulu, fokus dengan tujuan kita ke sini saja .” ujar Esih, tampak masih terlihat marah pada Parman.Anjani yang merasa ada sesuatu dengan sikap kedua orang tuanya, menatap lekat keduanya.”Bapak dan Ibu kenapa?”“Sudah, kamu jangan pikirkan Bapak dan Ibu. Kamu harus fokus dengan masalahmu.” Esih mengalihkan topik.“Bapak dan I

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 39. Titik Terang

    “Teteh sudah memastikan kontrakan yang mau kita sewa, belum?” tanya Cahaya, seraya menghempaskan bobotnya di samping Tiara.Sedang Hasan, mengambil posisi duduk di kursi sebelahnya.“Sudah.” Singkat, Tiara menjawab.“Apa dari lokasi tempat kita tinggal nanti, dekat dengan alamat yang akan kita tuju, Teh?” lagi, Cahaya bertanya.“Kalau dilihat dari map sih, dekat. Kurang lebih empat kilometer saja.”“Aku tuh takut, kalau ternyata Kakek dan Nenek sudah tidak lagi tinggal di alamat yang tertera di foto, Teh” ucap cahaya, seraya menyandarkan punggungnya pada badan kursi. “Kalau kita tidak bertemu dengan mereka, itu artinya kita harus kembali ke kampung ya, Teh?”“Teteh belum bisa jawab pertanyaan kamu, Ya. Tapi yang pasti, seperti pesan ibu kita tidak boleh lagi tinggal di rumah kita yang sekarang.”“Tapi teh, hidup di kota pasti tidak mudah. Bagaimana sekolahku dan Hasan, nanti? Apa lagi kita orang baru, pasti tidak mudah mendapatkan sekolah yang mau menerima kita.”Sejenak Tiara terdia

DMCA.com Protection Status