Home / Romansa / Upah Satu Liter Beras / Bab 3. Kejanggalan Rincian Utang Bapak

Share

Bab 3. Kejanggalan Rincian Utang Bapak

Author: Ananda Aisha
last update Last Updated: 2023-11-16 16:42:09

"Ada apa, Ra? Jawab Ibu!” ulang Nurma.

“Tadi sore saja sok bertingkah. Sekarang melempem!” ujar Esih.” Kalau kamu tidak berani bicara dengan ibumu, biar aku saja yang bicara padanya.” lanjut Esih, menatap rendah pada Tiara dan ibunya.

“Katakan saja, Teh. Memangnya apa yang Tiara lakukan?” tanya Nurma, beralih pada Sukaesih.

Esih mendengus kasar.”Tadi sore, anak perempuanmu yang sombong ini, menolak menerima upah dariku. Terus dia juga bilang, teh Nurma tidak akan lagi bekerja di tokoku.” ujarnya, menatap benci pada Tiara.

Nurma tersentak. Tiara memang mirip dirinya waktu masih muda. Keras pendirian, pantang menyerah, dan tidak mudah menerima bantuan dari orang lain. Tapi, sepengetahuan dirinya. Anak sulungnya itu selalu bersikap hormat dengan orang yang lebih tua darinya. Terlebih bibinya sendiri. Lalu bagaimana mungkin, Tiara menyombongkan dirinya pada Esih.

“Benar yang dikatakan bi Esih, Ra?” tanya Nurma, menatap lekat pada Tiara.

Tiara mengangkat wajahnya. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan wanita yang selalu melemahkan keluarganya itu.”Betul, Bu. Tiara tidak mau melihat Ibu dipekerjakan layaknya babu, dan diberi upah hanya dengan satu liter beras yang jika diuangkan tidak lebih dari sepuluh ribu.” ucapnya, lantang.

Melihat sikap Tiara yang tidak gentar di hadapannya. Esih merasa gadis 19 tahun itu tengah menantang diirinya.”Tuh. Teh Nurma dengar sendiri ‘kan, bagaimana kelakuan anak perempuannya?”

Nurma menundukkan wajahnya. Menyembunyikan kedua matanya yang memerah.”Maafkan Tiara, Sih.” ucapnya.

“Kenapa Ibu harus minta maaf pada bi Esih?” tanya Tiara, tidak terima melihat ketidak berdayaan yang diperlihatkan ibunya di depan Esih. “Ibu berhak menolak tawaran bi Esih. Ibu tidak boleh lemah dan mau begitu saja menerima perlakuan buruknya terhadap keluarga kita.”

“Cukup, Ra. Kamu tidak tahu apa-apa. Kamu tidak boleh bicara seperti itu pada bibimu.” ujar Nurma, berkaca-kaca.

“Bu. Tiara bukan anak kecil lagi. Upah yang Ibu dapatkan dari bi Esih, itu tidak sebanding dengan pekerjaan yang Ibu lakukan.” pekik Tiara, tertahan.”Bi Esih tidak sedang membantu kita dengan mempekerjakan Ibu di tokonya, tapi dia sedang menghinakan Ibu!”

Mendengar ucapan pedas Tiara, Esih terbakar Emosi.”Benar-benar anak tidak tahu diuntung. Sudah ditolong, bukannya berterima kasih malah menuduh yang tidak-tidak.” ucapnya, seraya menyodorkan buku kecil ke hadapan Tiara.

Sejenak Tiara menoleh pada Nurma, lalu meraih buku kecil dari Esih.

‘Buku utang kang Muh’

Tiara membaca tulisan besar di bagian depan Buku.

”Kamu lihat sendiri catatan utang bapakmu!” ujar Esih. “Aku mau lihat, apa yang bisa kamu lakukan setelah melihatnya. Apa kamu masih bisa menyombongkan diri di hadapanku?” tantang Esih.

Tiara membuka dan meneliti lembar demi lembar tulisan tangan yang merinci nominal utang atas nama bapaknya, dengan total keseluruhan 32 juta tertera di sana.

Sontak, Tiara membulatkan kedua bola matanya.”Bi Esih yakin, Bapak berutang sebanyak ini?” tanyanya, meragukan tulisan tangan Sukaesih.

“Kamu sudah membaca sendiri rinciannya, ‘kan? Kenapa masih bertanya padaku?” Esih balik bertanya.

Tiara kembali fokus dengan catatan angka yang tertera di buku kecil yang ada di tangannya. Ia mengerenyit, merasa ada yang janggal di sana.

Selain tulisan yang terlihat baru, dan jumlah nominal merata dengan barang yang itu-itu saja. Terkesan catatan itu sengaja dibuat.

Dan yang membuat Tiara curiga, bapaknya jarang sekali membawa jajanan warung dalam jumlah banyak seperti yang tertera di catatan Esih.

Belum lagi utang rokok yang jumlah nominalnya paling besar. Padahal setahunya, bapaknya sudah berhenti merokok sejak dari satu tahun yang lalu.

Tiara menyerahkan kembali buku kecil yang diberikan Esih kepadanya.”Itu bukan utang Bapak!” tegasnya, menolak rincian tagihan utang atas nama bapaknya itu.

Esih melotot.”Apa maksudmu bicara seperti itu?” tanya Esih kian emosi.

“Kalau Bibi mau berbuat curang, lihat-lihat dulu orangnya.” ujar Tiara, tajam mengarah pada Esih. “Perlu bi Esih tahu. Bapak hampir tidak pernah membawa pulang barang-barang yang ada dalam catatan itu. Dan perlu bi Esih tahu juga, Bapak sudah tidak merokok sejak setahun lalu. Bagaimana bisa, Bapak berutang rokok sebanyak itu?”

Wajah Esih seketika berwana merah. Ia tidak mengira akan mendapat serangan dari Tiara, yang ia anggap masih bau kencur itu.

Nurma yang sejak tadi terdiam. Menoleh pada Esih.”Tolong perlihatkan catatan utangnya padaku, Sih.” pintanya.

“Teh Nurma tidak percaya padaku, dan menganggap aku berbohong mengenai catatan ini?” tanya Esih, sembari mengangkat buku kecil di tangannya.”Kang Muh mungkin tidak membawa barang-barang yang diambilnya dari tokoku ke rumah ini. Tapi Bisa saja ’kan, dia menjualnya untuk biaya sekolah anak-anak?”

“Tapi Tidak mungkin sebanyak itu, Bi! Itu tidak masuk akal!” sanggah Tiara.

“Jadi kamu tidak mau mengakui utang bapakmu ini, Tiara?”

Tiara menggeleng.”Tidak! Kecuali ada bukti jelas, dan meyakinkan bahwa betul itu utang Bapak.”

Kedua tangan Esih mengepal, geram.”Bagaimana caranya bisa membuktikannya. Bapakmu ‘kan, sudah tidak ada?”

“Semasa Bapak masih hidup, kenapa bi Esih tidak meminta cap tangan dari Bapak?” Jawab Tiara, tetap dengan keyakinannya bahwa yang diperlihatkan Esih padanya itu bukan utang bapaknya.

“Bagaimana ini, Teh? Utang sebanyak ini, tidak mungkin aku ikhkaskan begitu saja. Ini bukan jumlah yang sedikit, loh.” Esih beralih pada Nurma.”Aku tidak mau tahu, pokoknya teh Nurma harus membayar utang yang ditinggalkan alamrhum kang Muh!” tegasnya.

“Berhenti mendesak Ibu, Bi!” sergah Tiara. “Ibu tidak tahu apa-apa, dan Ibu juga tidak ikut menikmati utang Bapak. Itu juga kalau Bapak benar berutang.”

“Sudah, Ra. Biarkan Ibu yang bicara.” ujar Nurma, menahan Tiara yang hendak meneruskan kalimatnya. “Jika betul yang ada di buku itu catatan utang kang Muh. Lalu apa yang kamu inginkan dari kami, Sih?” tanyanya kemudian, tertuju pada Esih.

“Ya, bayar lah.” Jawab Esih, “Dari tadi mulutku berbusa minta teh Nurma membayar utang kang Muh. Masih saja bertanya apa mauku.”

“Tapi, kamu tahu kondisi kami sekarang seperti apa, Sih? Dari mana bisa mendapatkan uang sebanyak itu?” tanya Nurma, memelas.

Esih menurunkan kedua sudut bibirnya bersamaan.“Kalau saja Tiara tidak sok, dan teh Nurma tetap bekerja padaku seperti kesepakatan kita di awal. Masalahnya tidak akan rumit. Karena sebagian upah yang didapat teh Nurma, bisa untuk mencicil utang almarhum.”

Mendengar penuturan Esih. Tiara menoleh pada ibunya.”Jangan mau Bu, Tiara mohon!”

Esih mencebik.”Sudah miskin, sok tidak mau menerima bantuan dari orang lain.”

“Apa tidak ada cara lain, Sih?” Nurma kembali bertanya.

“Ada.” Jawab Esih, menyeringai licik.

“Apa?”

“Aku mau tanah dekat sawah pak Lurah Saman, teh Nurma berikan padaku!” jawab Esih, membuka negosiasi.

Nurma menggeleng.”Jangan, Sih! Tanah itu satu-satunya harta yang aku miliki, yang aku beli dari hasil jualan, dan bekerja di sawah bu lurah.” tolak Nurma.

“Kalau begitu, teh Nurma bekerja lagi di tokoku. Dengan begitu bisa kembali mencicil utang kang Muh dari upah yang kuberikan setiap hari pada teh Nurma.” ucap Esih, kembali merasa di atas angin.

Ia tidak akan membiarkan Nurma ke luar dengan mudah dari tokonya. Sebelum dirinya merasa puas menghinakannya, sebagai balasan atas kegagalan dirinya menikah dengan alamrhum suaminya.

“Tidak bisa. Ibu tidak akan kembali bekerja pada bi Esih!” tegas Tiara.”Kalau bi Esih bersikeras menuntut Ibu untuk cepat membayar utang almarhum Bapak. Gali saja lagi kuburannya, mumpung masih belum kering. Minta jasad Bapak melunasi utangnya pada Bibi!”

Bersambung...

Related chapters

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 4. Tiga Puluh Ribu Sehari

    "Tiara!” sentak Nurma.”Apa yang kamu katakan, Nak? Tidak baik, bicara seperti itu pada orang yang sudah meninggal. Terlebih itu bapakmu sendiri.”Tiara menatap nanar ibunya.”Maafkan Tiara, Bu. Tiara tidak bermaksud seperti itu.” ucapnya, berusaha menahan butiran bening yang sudah berdesakan di kelopak matanya. “Berapa sebenarnya hitungan upah yang bi Esih berikan pada Ibu?” tanyanya kemudian, tertuju pada Esih.“Untuk apa kamu tanya-tanya soal upah ibumu? Aku tidak akan berbuat curang dengan tidak memberinya upah, atau tidak memotong cicilan utang almarhum bapakmu dari upah yang diterima ibumu.” ujar Esih, berang.“Jika betul yang bi Esih katakan. Kenapa tidak satu rupiah pun ada pengurangan di utang Bapak? Seharusnya sejak Ibu memutuskan bekerja di toko bi Esih, utang Bapak sudah berkurang dari total satu bulan lalu?” tanya Tiara, menelisik.Esih gelagapan.”Ee... Aku belum mencatatnya.” jawabnya, gugup.“Ya, sudah. Bi Esih Katakan saja, berapa upah Ibu yang sebenarnya?” lagi, Tiara b

    Last Updated : 2023-11-16
  • Upah Satu Liter Beras    Bab 5. Menemui bu Lurah

    Lepas ashar. Tiara yang berboncengan dengan ustadzah Imah, terlihat menuju kediaman pak Lurah Saman.Seperti yang sudah direncanakan. ustadzah Imah, akan memperkenalkan Tiara pada bu Lurah, sebagai guru ngaji baru untuk cucunya.Tiba di sana, Tiara berpapasan dengan Anjani, adik sepupunya yang sudah bersiap dengan motor maticnya.Sepertinya, ia baru saja menemui Fahmi, anak kedua pak Lurah, yang berkuliah di kampus yang sama dengannya.“Kamu sedang apa ada di sini, Ra?” tanya Jani, setengah berbisik.“Aku mau bertemu dengan bu Lurah, Jan.” jawab Tiara, gegas mengikuti langkah ustadzah Imah yang berjalan di depannya.“Tunggu dulu!” cegah Anjani, menarik paksa lengan Tiara.”Aku belum selesai bicara denganmu.”“Ada apa, Jan?” tanya Tiara, seraya berusaha melepas pegangan tangan Anjani.“Ada perlu apa, kamu bertemu dengan bu Lurah?” Anjani menjawab dengan bertanya balik.“Ini tidak ada urusannya denganmu, Jan.” jawab Tiara. “Jadi tidak ada kewajibanku, untuk menjawab pertanyaanmu.”Anjani

    Last Updated : 2023-11-16
  • Upah Satu Liter Beras    Bab 6. Kedatangan ibu Mertua

    Anjani Meradang. Gegas bangkit, lalu kembali mendekat pada Tiara”Kurang A*ar! Berani ya kamu.” ujarnya, seraya mengangkat satu tangan kanannya.Kemudian, dengan gerakan cepat diarahkannya pada wajah Tiara. Tapi sayang, gerakannya kalah cepat dengan gerakan Tiara yang segera memiringkan badan ke sebelah kiri.“Berani melawan kamu, ya!” sentak Jani, kian meradang.“Kamu sudah tidak waras, Jani! Memangnya apa yang aku lakukan sampai kamu semarah ini padaku?” tanya Tiara mengambil langkah mundur, menjauh dari Anjani.Cahaya dan Hasan yang sudah bersiap untuk shalat berjamaah maghrib, terlihat muncul di ambang pintu.Keduanya tampak saling berpandangan lalu melihat ke arah Tiara dan Anjani yang seperti Tengah memasang kuda-kuda.Tini yang kebetulan sedang tidak shalat, tergopoh mendekat pada Tiara.”Ada apa ini, Ra? Kenapa maghrib begini ribut di luar?” tanyanya menoleh pada Tiara.“Ada orang yang kesurupan, Teh.” jawab Tiara asal.Terang saja. Jawaban Tiara yang jelas ditujukan kepadanya,

    Last Updated : 2023-12-05
  • Upah Satu Liter Beras    Bab 7. Mengamankan Sertifikat Tanah

    “Jadi, kita masih punya Kakek dan Nenek, Teh?” tanya Cahaya, setelah selesai membaca surat dari Nurma yang ditujukan untuk mereka bertiga.Tiara mengangguk.”Sebelum Ibu menghembuskan napas terakhirnya, beliau sempat mengucapkan kalimat seperti sebuah pesan untuk kita.” ucapnya, menatap kedua adiknya bergantian.“Apa itu, Teh?” tanya Cahaya dan Hasan, nyaris bersamaan.“Pergi ke Kota. Itu yang Teteh dengar dari Ibu.” Jawab Tiara.”Tidak begitu jelas. Tapi Teteh yakin, kalimat itu yang Ibu katakan.”“Itu berarti sama dengan isi pesan dalam surat ini, Teh?” tanya Cahaya.”“Ya. Kemungkinan besar seperti itu.” Tiara kembali menjawab. “Tapi pertanyaannya, kota mana yang Ibu maksud? Ibu tidak menyebutkan nama kota yang harus kita tuju.”“Berarti kita harus mencari fhoto yang disimpan bapak. Sesuai kalimat yang ibu katakan dalam surat ini, Teh.” ujar Cahaya. “Karena menurut petunjuk dalam surat Ibu, alamat itu ada di fhoto tersebut.”“Kamu bener, Ya. Tapi ke mana kita harus mencari fjoto itu? S

    Last Updated : 2023-12-05
  • Upah Satu Liter Beras    Bab 8. Siapa Pelakunya?

    “Tumben pagi-pagi sudah turun gunung, Ra?” tanya Ayu, saat melihat Tiara telah berdiri di depan pintu pagar rumahnya.“Aku ada perlu sama kamu, Yu!” seru Tiara.Kemudian membuka pintu pagar, dan bergegas menuju teras rumah semi permanen bercat biru muda itu.“Perlu apa sih, Ra? Sepertinya penting sekali.” ujar Ayu, seraya mempersilakan Tiara duduk di kursi kayu yang ada di teras rumahnya.“Kamu masih suka bertemu dengan teman yang bisa menyalin dokumen penting itu nggak, Yu?” tanya Tiara.“Masih, Ra.” jawab Ayu. “Memangnya kenapa, Ra?” tanyanya kemudian.“Kira-kira dia juga bisa menyalin sertifikat tanah tidak ya, Yu?” lagi, Tiara bertanya.“Sepertinya, semua dokumen dia mah bisa. “Ayu kembali menjawab.”Memangnya sertifikat tanah siapa yang mau kamu buat replikanya, Ra?”“Punya ibuku, Yu.” jawab Tiara.”Kira-kira lama tidak, ya?” tanyanya.“Nggak, Ra. Paling satu atau dua hari juga sudah selesai. Kamu tinggal kirim photo sertifikatnya, nanti dia kerjakan.” jawab Ayu.“Tapi ngomong-ngom

    Last Updated : 2023-12-05
  • Upah Satu Liter Beras    Bab 9. Kehilangan Lagi

    “Bu... Bangun, Bu! Mohon, jangan buat Tiara takut!” ratap Tiara, seraya mengguncangkan tubuh ibunya.Tetap tidak ada respon dari Nurma.Tiara pun bangkit. Diraihnya tas ransel miliknya. Lalu ia ambil plastik hitam di dalamnya.Kemudian Tiara gegas menuju dapur. Lalu menaiki loteng rumahnya dengan tangga bambu, yang biasa digunakan almarhum bapaknya dulu untuk membetulkan genteng yang rusak.Selanjutnya, dengan tangan gemetar. Dilemparkannya plastik hitam di tangannya ke tengah loteng.Setelah itu, Tiara kembali ke kamar ibunya. Sekali lagi memastikan, dan berharap ibunya masih hidup.Tiara bersimpuh sejenak. Merapatkan telinganya di dada Nurma.Tidak ada detak jantung di sana.”Innalillaahi Wainnailaihi Roji’uun.” gumam Tiara, bergetar.Untuk beberapa saat, ia tertegun. Tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.Hanya air mata yang mengalir deras, menjadi penanda begitu pedih duka yang tengah di hadapinya.Setelah yakin ibunya sudah tiada. Tiara pun bangkit. Kemudian kembali ke pemukima

    Last Updated : 2023-12-05
  • Upah Satu Liter Beras    Bab 10. Mengembalikan Pemberian Esih

    “Istighfar, Ra.” Ayu mendekat, meraih bahu Tiara dan mengajaknya kembali ke samping jenazah ibunya.“Tidak, Yu. Aku harus pastikan mereka tidak mendekat pada jasad ibuku!” tegas, Tiara menolak ajakan Ayu. “Aku minta kalian segera pergi dari sini! Aku tidak ingin melihat kalian bertiga ada di sini, terlebih untuk melihat jasad Ibuku” titahnya, menatap tajam pada ketiga orang di hadapannya.“Dasar, anak tidak tahu diuntung! Kami datang ke sini untuk membantumu. Bukannya disambut dengan baik, malah disuruh pergi.” gerutu Esih, gusar. “Memangnya kamu bisa mengurus kematian ibumu sendirian? Memangnya warga kampung yang membantu pemakaman ibumu, juga tahlilan nanti, tidak memerlukan biaya?” tanyanya kemudian, menatap rendah pada Tiara.“Kami tidak butuh bantuan dari kalian! Aku dan adik-adikku bisa mengurusnya sendiri.” jawab Tiara, yakin.“Sombong! Sudah miskin, tidak tahu diri.” gerutu Anjani, kemudian menarik lengan Bu Ratna dan Esih keluar dari rumah Tiara.“Aku bilang, Aku tidak butuh

    Last Updated : 2023-12-05
  • Upah Satu Liter Beras    Bab 11. Surat Wasiat dari Ibu

    Untuk anak-anakkuMaafkan Ibu, sudah membawa kalian pada kehidupan yang tak seharusnya kalian jalaniSemua salah Ibu dan Bapak. Kami egois, dan kalian adalah korban keegoisan kami.Tiara, Cahaya, Hasan.Ibu sebenarnya tidak sebatang kara. Kalian bertiga masih memiliki Kakek dan Nenek dari Ibu.Maafkan Ibu sudah menutupi kebenaran tentang identitas Ibu yang sebenarnya pada kalian.Suatu hari kalian akan tahu kenapa Ibu merahasiakannya dari kalian.Tiara. Jika sesuatu terjadi pada Ibu. Bawa adik-adikmu pergi dari sini. Karena bibimu tidak akan membiarkan kalian hidup dengan tenang. Dia tidak suka pada Ibu, karena dianggap merebut bapakmu.Tiara, Cahaya, Hasan.Cari photo Ibu bersama dengan Kakek dan Nenek kalian yang disimpan Bapak. Ada alamat di belakangnya. Temui mereka di sana.Simpanlah uang 500 ribu ini, untuk bekal kalian.Maafkan Ibu dan Bapak. Kami sayang kalian.Tiara gemetar. Dilipatnya kembali secarik kertas bertuliskan tangan ibunya itu. Lalu dimasukkannya ke dalam saku gami

    Last Updated : 2023-12-05

Latest chapter

  • Upah Satu Liter Beras    47. Selesai

    “Baiklah, Bibi setuju menggadaikan tanah beserta tokonya sama kamu, Ra.” putus Esih. Untuk kebebasan Anjani, juga keamanan dirinya dari kejaran makelar tanah, Esih rela melepas hartanya. “Berapa yang Bibi butuhkan?” tanya Tiara, mengarah pada Esih. “Bibi butuh 200 juta, Ra.” jawab Esih. Tiara membuatkan kedua matanya.“Yang benar saja, Bi? Kalau 200 juta mah bukan digadaikan, tapi dijual.” protesnya. “Tapi bibi perlunya segutu, Ra.” Tiara menggelengkan kepala.”Maaf, Bi. Kalau 200 juta, aku dan Kakek tidak bisa.” “Lalu, berapa yang kamu bisa bantu untuk bibi, Ra?” tanya Esih, terpaksa mengalah. “100 juta. Aku rasa itu harga yang pantas.” jawab Tiara, memberikan penawaran. “Tlong melebihkan, Ra.” Esih masih berupaya mengubah keputusan Tiara. “Baiklah, aku akan minta Kakek untuk membantu Bibi 120 juta. Tidak ada lagi tawar menawar!” tegas Tiara, mengukuhkan keputusannya. Dengan terpaksa, Esih mengangguk setuju. Lalu kemudian, ia bergegas mengambil surat-surat kepemilikan tanah

  • Upah Satu Liter Beras    46. Melepas Aset

    “Silakan diminum, Pak.” Ratih meletakkan dua gelas yang dibawanya di atas meja. “Terima kasih, bu Lurah.” balas pak Azhari, seraya meraih minuman yang disajikan untuknya. Tidak banyak berbasa-basi, pak Azhari pun kemudian mengutarakan maksud kedatangannya menemui Ratih.”Tiara sudah menceritakan semuanya pada saya. Dan saya sangat berterima kasih sekali, bu Lurah sudah berkenan membantu cucu saya dengan menerima sertifikat tanah miliknya untuk dijaminkan atas sejumlah uang yang dipinjamnya.” ucapanya, tertuju pada Ratih. “Sama-sama, Pak. Saya hanya melakukan apa yang semestinya saya lakukan.” balas Ratih, terlihat tulus. “Tunggu sebentar, saya ambilkan Sertifikatnya.” sambungnya. Kemudian bergegas menuju kamarnya, untuk mengambil sertifikat tanah milik Tiara yang dititipkan padanya. Tak lama, Ratih kembali menemui Tiara dan kakeknya di ruang tamu. “Ini sertifikatnya, Ra.” ucap Ratih, menyodorkan dokumen kepemilikan tanah milik Tiara. “Terima kasih banyak untuk kebaikan yang suda

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 45. Bertemu dengan Masa Lalu

    Bu Ratna mematung di depan pintu saat mendapati pak Azhari dan Tiara berdiri tepat di depannya.”Kang Azhari?” gumamnya, nyaris tidak terdengar. “Ya, saya Azhari.” ucap pak Azhari, terdengar gugup. “Bagaimana kang Azhari bisa ada di sini? Lalu, Tiara? Bagaimana kalian berdua bisa bertemu?” tanya bu Ratna, masih berdiri di ambang pintu. “Izinkan saya dan Tiara, masuk. Kita bicara di dalam.” Bu Ratna bergeser, lalu mundur beberapa langkah.”Silakan.” ucapnya pelan. “Siapa, Bu?” Parman yang sejak tadi bersembunyi di kamar, turut menemui Tiara dan pak Azahari. Sebelumnya ia mengira Esih yang datang, makanya memilih mengunci diri di kamar bersama Fatma, istri barunya. Bu Ratna tidak menyahut. “Saya Azhari, kakeknya Tiara.” Pak Azhari memperkenalkan diri pada Parman. “Maksudnya?” Parman menautkan kedua alisnya, lalu mengambil posisi duduk di samping bu Ratna. “Saya papanya Ika Nurmala, ibunya Tiara.” jawab pak Azhari, menoleh pada Tiara. Keduanya bersegera duduk, bersisian. Parma

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 44. Memelas

    "Maaf, selesaikan dulu urusan bu Esih dengan kami. Baru urus yang lain!” Sadim menyela pembicaraan. “Kalau boleh tahu, memangnya Bapak berdua ini ada urusan apa dengan bi Esih?” tanya Tiara, tertuju pada Sadim dan pak Usep. Sejenak, Dua pria dewasa di hadapan Tiara saling berpandangan.”Bu Esih sudah mengambil uang DP pembelian tanah dari kami, tapi dia tidak jadi menjual tanahnya.” ujar pak Usep, mewakili Sadim. “Kami sudah memberi waktu banyak pada bu Esih untuk segera mengembalikan uang yang sudah diterimanya, tapi sampai sekarang belum juga ia kembalikan!” sambung Sadim, kembali emosi. “Benar yang dikatakan mereka berdua, Bi?” tanya Tiara pada Esih. “Bukan hanya aku yang menerima uangnya, tapi Ibu juga.” sanggah Esih, tidak terima jika hanya ia yang ditagih dua makelar tanah itu. “Itu bukan urusan kami, yang kami tahu bu Esih yang menerima uangnya.” ucap Sadim, tidak peduli dengan sanggahan yang dilontarkannya Esih. “Apakah tanah yang dimaksud dua Bapak ini, tanah alamrhumah

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 43. Ditagih Utang

    Pak Agung mengembuskan napas.”Tenang, Teh. Saya tentu akan berupaya untuk kebebasan teh Anjani. Tapi semua yang saya ikhtiarkan tergantung fakta-fakta yang terungkap di persidangan nanti. Apakah akan meringankan atau malah memperberatkan dakwaan. Berdo’a saja, semoga fakta di persidangan nanti bisa membebaskan teh Anjani dari tuduhan.”“Tapi harus menunggu berapa lama lagi, Pak?”“Bersabarlah, Teh. Kita tinggal menunggu pelimpahan berkas perkara ke kejaksaan, lalu dinyatakan P21, yang artinya berkas perkara telah lengkap dan dinyatakan selesai dan siap dipersidangkan.”“Berapa lama prosesnya, Pak?” tanya Anjani, tampak sudah tidak sabar ingin kembali menghirup udara bebas.“In syaa Allah, paling lama dua sampai tiga Minggu, Teh.”“Apa?” Anjani meninggikan suaranya. “Itu lama sekali, Pak. Beberapa hari di sini saja saya sudah stress, apa lagi harus menunggu selama itu.”Pak Agung menghela napas panjang, melihat tingkah Anjani.“Bu, Tolong lakukan sesuatu. Aku tidak mau lama-lama di sin

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 42. Tes DNA

    Tiara menundukkan wajah. Ia tidak berani menatap mata pak Azhar yang terlihat menyimpan duka.“Saya masih ingat dengan baik, tulisan tangan Nurma, sama persis dengan tulisan tangan di surat yang ditinggalkannya saat dia memutuskan pergi.” ujar pak Azhari, masih memandangi surat dari Nurma. “Dan foto ini diambil saat Nurma masih duduk di bangku SMA.” lanjutnya kembali teringat dengan anak semata wayangnya yang dinyatakan hilang.Hening.Untuk beberapa saat, pak Azhari tampak mengamati ketiga kakak beradik di hadapannya.Tatapan matanya yang sudah meredup, tampak berkaca-kaca.”Benarkah kalian bertiga anaknya Nurma? Cucu saya?”Ragu, Tiara mengangguk. Disusul Cahaya dan Hasan.Sementara itu. Pria yang memanggil pak Azhari dengan sebutan Papa, sadari tadi hanya berdiam diri di sampingnya.Pak Azhari menitikkan air mata.”Garis wajahmu mewarisi Nurma.” ucapnya, seraya mengulurkan kedua tangannya.Tiara bangkit, diikuti cahaya juga Hasan.“Mendekatlah.” Pak Azhari berdiri, kemudian merangkul

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 41. Bertemu

    Ratih yang mendengar Esih mengancam suaminya, gegas ke luar dari persembunyiannya.”Apa sebenarnya yang bu Esih inginkan? Katakan saja, tidak perlu mengancam suami saya segala.” tanyanya, sinis.“Saya minta pak Lurah bantu saya carikan pengacara untuk membebaskan Anjani dari tahanan.” pinta Esih, lantang.“Apa bu Esih sadar dengan yang bu Esih katakan? Suami saya tidak mungkin membela warganya yang sudah jelas-jelas bersalah seperti Anjani.”“Sudah Bu, jangan didengar. Bapak yakin bu Esih dan Anjani tidak akan berani menyebarkan video itu. Karena video tersebut bukan hanya menyangkut nama baik kita, tapi mereka juga.” Saman tetap dengan keputusannya, tidak bersedia membantu Anjani.“Saya dan Anjani sudah tidak peduli dengan nama baik. Dengan adanya berita Anjani terlibat kejahatan saja, kami sudah dikucilkan warga. Beredarnya video itu, tidak akan berpengaruh apa pun untuk saya dan Anjani.” Esih tampak tidak gentar dengan ancama balik yang dilontarkan Saman.“Sudah lah, Pak. Ibu tidak

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 40. Dalam Tahanan

    Di sudut ruangan berukuran 2x3, Anjani tampak terduduk lesu sambil memeluk lututnya.Kedua matanya yang memerah, tampak mantap kosong ke atas langit-langit.Tak lama berselang, Esih bersama Parman, tergopoh mendatanginya.Melihat kehadiran kedua orang tuanya, Anjani sontak berdiri lalu mendekat pada mereka.Seorang petugas yang mendampingi Parman dan Esih gegas membukakan pintu sel, memberi mereka waktu untuk berbicara di tempat yang sudah di sediakan.“Bapak kapan pulang?” tanyanya, menatap Parman dan Esih bergantian.“Dua hari lalu.” jawab Parman, singkat. “Kamu kenapa bisa seperti ini, Jani?” tanyanya, tertuju pada Anjani.“Sudah, Kang. Jangan tanya kemana-mana dulu, fokus dengan tujuan kita ke sini saja .” ujar Esih, tampak masih terlihat marah pada Parman.Anjani yang merasa ada sesuatu dengan sikap kedua orang tuanya, menatap lekat keduanya.”Bapak dan Ibu kenapa?”“Sudah, kamu jangan pikirkan Bapak dan Ibu. Kamu harus fokus dengan masalahmu.” Esih mengalihkan topik.“Bapak dan I

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 39. Titik Terang

    “Teteh sudah memastikan kontrakan yang mau kita sewa, belum?” tanya Cahaya, seraya menghempaskan bobotnya di samping Tiara.Sedang Hasan, mengambil posisi duduk di kursi sebelahnya.“Sudah.” Singkat, Tiara menjawab.“Apa dari lokasi tempat kita tinggal nanti, dekat dengan alamat yang akan kita tuju, Teh?” lagi, Cahaya bertanya.“Kalau dilihat dari map sih, dekat. Kurang lebih empat kilometer saja.”“Aku tuh takut, kalau ternyata Kakek dan Nenek sudah tidak lagi tinggal di alamat yang tertera di foto, Teh” ucap cahaya, seraya menyandarkan punggungnya pada badan kursi. “Kalau kita tidak bertemu dengan mereka, itu artinya kita harus kembali ke kampung ya, Teh?”“Teteh belum bisa jawab pertanyaan kamu, Ya. Tapi yang pasti, seperti pesan ibu kita tidak boleh lagi tinggal di rumah kita yang sekarang.”“Tapi teh, hidup di kota pasti tidak mudah. Bagaimana sekolahku dan Hasan, nanti? Apa lagi kita orang baru, pasti tidak mudah mendapatkan sekolah yang mau menerima kita.”Sejenak Tiara terdia

DMCA.com Protection Status