“Ayo kita lakukan!” Eden memberi Anna tatapan nakal. “Cinta satu malam.”
Malam itu, Eden memiliki janji makan malam dengan keluarganya di hotel yang sama. Namun semuanya gagal karena sore itu suasana hati Eden terlanjur berantakan setelah bertemu seorang gadis aneh yang menuduhnya sembarangan di dalam lift. Di tambah dengan ibunya yang terus saja membahas masalah pernikahannya yang tak kunjung usai. Belum lagi ditambah dengan rumor yang sudah beredar hampir satu tahun.
Eden berjalan santai keluar dari lounge – menghindari omelan ibunya sebisa mungkin. Ketika hendak mendekati pintu keluar, suasana lounge menjadi ribut. Dia mengikuti arah pandang semua orang yang tertuju pada sepasang kekasih yang sedang bertengkar hebat tak jauh dari posisinya kini. Matanya langsung membesar ketika mendapati seorang gadis yang sudah membuatnya berurusan dengan polisi tadi siang. Ia menyimak pasangan yang tengah beradu mulut itu.
Tak berselang lama, dia juga melihat seorang pelayan yang membawa nampan mendekati Anna tepat ketika tangan gadis itu terlepas dari cengkraman Kevin. Eden yang menyadari apa yang akan terjadi selanjutnya, dengan sigap mendekat dan menangkap badan Anna yang hampir menyatu dengan lantai. Dia menariknya kuat hingga Anna jatuh ke dalam pelukannya.
Anna melepaskan tangan Eden dari pinggangnya dengan kasar. Ia menyeka pipinya lagi. Dia baru saja menunjukkan sisi lainnya pada pria di depannya ini setelah kejadian dua jam yang lalu.
“Berhentilah bercanda Anna,” Kevin kembali berseru. Anna menoleh ke arah Kevin lalu beralih pada Eden yang berdiri di depannya. Dirinya semakin tertantang. “Ayo kita lakukan!” Anna menerima tawaran pria yang bahkan namanya saja ia tak tahu. Tapi sekarang harga dirinya jauh lebih penting dari itu. Anna menarik lengan pria berjas hitam itu keluar dari lounge.
“Kalau kau pergi dengannya, hubungan kita benar-benar berakhir.” Ancaman Kevin membuat Anna berhenti kemudian menatap balik Kevin dengan tajam. Kemudian dia meraih tangan Eden dan mengalungkannya di pundaknya. “Ayo kita lakukan!” katanya dengan keras agar Kevin bisa mendengarnya dengan jelas. Kevin hanya terdiam tak menyangka melihat Anna dan Eden yang berjalan sambil berangkulan.
“Ouh!” Anna segera melepaskan tangan Eden dari bahunya ketika mereka baru saja keluar dari pintu utama hotel. “Jangan salah paham. Aku tidak akan benar-benar tidur denganmu, jadi jangan menganggapnya serius,” ungkap Anna tegas sambil menunjuk-nunjuk Eden dengan jari telunjuknya yang terangkat. Dia teringat dengan kejadian itu.
“Seharusnya aku yang memperingatkanmu,”
“Tentang apa?” Anna menantang.
“Aku bukan orang kotor seperti yang kau pikirkan, berhentilah menatapku seperti itu!” tegas Eden tak mau kalah. Bukannya merasa lega, Anna malah semakin menatapnya dengan pandangan jijik. “Benarkah begitu?”
“Iya. Aku.bukan.orang.seperti.itu.” Eden menekankan setiap kata-katanya.
“Jadi kau membantu dan membawaku keluar hanya untuk mengatakan itu?” Anna mempertanyakan niat baik Eden yang membantunya beberapa menit lalu.
“Memangnya kenapa lagi? Kau pikir aku benar-benar ingin tidur denganmu?”
“Kau memang terlihat seperti itu,” balas Anna lagi.
“Kalau begitu mari kita pesan satu kamar karena sudah sekalian di sini,” kata Eden semakin memancing Anna. Dia menarik tangan Anna kembali masuk ke dalam hotel. Tetapi gadis itu segera menepis tangan Eden. “Kenapa aku harus menurut denganmu.” Anna memegang pergelangan tangannya yang agak perih karena berusaha melepaskan cengkraman Eden.
“Makanya, tidak bisakah kau berpikir menggunakan otakmu? Sama sekali tidak mengerti dengan situasi sekarang. Bukannya berterima kasih, tapi masih saja menuduh orang sembarangan tanpa bukti. Dan juga dimana letak sopan santunmu?”
Mulut Anna ternganga setelah mendengar Eden yang terkesan merendahkannya. “Apa? Tidakkah perkataanmu agak keterlaluan? Huh. Sembarangan mengatai orang.” Anna merapikan rambutnya yang tidak berantakan dan memasang wajah kesal.
“Sekarang kau menyebutku keterlaluan? Tadi kau membuatku terlihat seperti orang kotor, sekarang kau menyebutku keterlaluan?” Suara Eden meninggi hingga membuat Anna tersentak. “Aku pikir kau akan berterima kasih, tapi lihatlah apa yang kudapatkan.” Eden meneruskan kalimatnya menjadi lebih pelan – bersungut-sungut. Eden tak habis pikir dengan Anna yang selalu saja memutarbalikkan setiap perkataannya. “Sebenarnya aku ingin melakukan hal yang sama padamu, mempermalukan dirimu di tempat umum. Tapi karena aku orang baik, jadi anggap saja kau beruntung hari ini. Aku tidak ingin membuat masalah lebih jauh dengan orang sepertimu.”
“Kau benar tak menyentuhku?” Kali ini Anna bertanya dengan hati-hati. Mulai ada sedikit kepercayaan pada Eden setelah melihat pria di depannya ini begitu putus asa menjelaskan secara berulang pada Anna.
“Sudah berapa kali kubilang?” Eden spontan menggertak Anna hingga gadis berambut sebahu itu mundur selangkah. “Aku tidak pernah menyentuhmu! Itu semua karena gulungan kertas yang dibawa oleh gadis yang berdiri di sampingmu tadi.” Eden berlalu meninggalkan Anna yang mematung di belakang karena mobilnya sudah tiba. Seorang valet baru saja keluar dari mobil dan menyerahkan kunci mobil padanya. Tak lama kemudian, dia kembali mendekati Anna yang masih berdiri di tempat yang sama.
“Oh ya. Mulai sekarang berhentilah menuduh orang tanpa bukti.” Eden memperingatkan Anna, kemudian kembali berjalan menuju mobilnya.
“Anna! ANNA!” Anna menoleh ke belakang. Sayub-sayub dia mendengar suara Kevin. Dia melihat Kevin yang ternyata menyusulnya sedari tadi. Lalu dengan cepat berlari ke arah Eden yang sudah masuk mobil. Untunglah dia sampai tempat waktu. Anna segera membuka pintu mobil. Gerak tangan Eden yang sudah bersiap di balik kemudi terhenti. Tentu saja ia terkejut ketika pintu mobilnya tiba-tiba terbuka.
“Astaga! Apa yang kau lakukan?”
“Mohon bantu aku sekali lagi,” pinta Anna sambil memelas. Dia sudah duduk di bangku penumpang di samping Eden. Tak lupa ia juga sudah mengaitkan sabuk pengaman. Ia melirik ke luar Jendela. Di sana Kevin melihatnya dengan tatapan tak percaya. Eden mengikuti arah pandang Anna.
“Ayo berangkat!” ujar Anna tanpa rasa bersalah sedikitpun, namun ia terlihat agak panik. Ia memaksakan seulas senyum pada Eden. Pria di sampingnya itu hanya bisa menghela nafas. Mobilpun melaju.
Hening sejenak. Tak ada percakapan semenjak mobil melaju hingga akhirnya Anna membuka mulut. “Aku minta maaf dan juga mau berterimakasih padamu,” kata Anna pelan sambil melirik Eden, sementara lelaki itu diam saja tak bersuara.
“Aku mengerti kenapa kau diam saja,” ucap Anna lagi karena tak mendapat balasan dari Eden. Ditatap pun tidak. “Baiklah. Turunkan saja aku di depan sana,” pinta Anna. Tiba-tiba saja dia merasa bersalah.
Eden tetap tak bersuara. Ia menepikan mobil di tepi jalan. Sembarang tempat seperti permintaan Anna. Dia menatap Anna dengan tajam. Berharap gadis itu segera turun dari mobilnya. Anna langsung membuka pintu. “Sekali lagi maaf dan terima kasih,” katanya sebelum turun. Mobil langsung melaju setelah pintu mobil kembali dirapatkan. Anna menghela nafas. Malam yang panjang saat baru saja patah hati setelah mendapatkan sebuah pengkhianatan.
Anna berjalan menuju halte bus yang tak jauh di depan. Perlahan dia mulai menangis sendiri. Tak peduli pandangan orang lain terhadapnya. Dia menyandarkan kepala pada sandaran bangku halte. Menangis dengan keras sambil menutup wajah dengan kedua tangan. Tak merisaukan pandangan orang sekitar yang menatapnya dengan aneh.
“Maaf nona,” suara lembut wanita paruh baya membuatnya berhenti menangis. Dengan cepat Anna menyeka pipinya ketika melihat seorang wanita paruh baya dengan dandanan yang sangat rapi menatap iba padanya. “Ya?” balasnya dengan suara yang agak parau.
“Kalau kau tak keberatan, maukah kau datang ke rumah kami besok malam sebagai balasan permintaan maaf?” ajak wanita itu tiba-tiba.
***
“Ya, aku bisa melihatmu.” Anna menutup panggilan dari Sherin. Dia melihat sebuah mobil SUV berwarna hitam mendekat. Gadis berambut panjang bergelombang di dalam mobil itu membuka kaca mobil. “Ayo,” katanya. Anna langsung masuk mobil ketika mobil sudah berhenti. Mobil melaju membelah jalanan kota yang ditemani langit senja. Mereka tiba di sebuah club paling terkenal di kota, Channel A Bar and Club. Suasananya sangat ramai dan berisik. “Ingat! Tidak ada kata sedih. Kita di sini bersenang-senang. Oke?” Sherin kembali mengingatkan sebelum mereka melangkah masuk. Suara musik yang begitu keras langsung terdengar. Lampu yang redup dan berkilauan sudah menyadarkan Anna kalau mereka memang tengah berada di club.“Ayo!” Sherin menarik lengan Anna ke tengah kerumunan, menari hingga puas melampiaskan semua rasa sakitnya lalu kembali ke meja. Mereka langsung menenggak segelas wiski lagi dalam sekali tegukan. “Oh ya, tadi seorang pria mengajakku berkenalan, kau mau minum b
Langkah Anna terhuyung-huyung ketika berjalan menuju kamar mandi dengan sebelah tangan memegangi kepala. Sesekali dia mengerjap. Mencoba kembali tersadar. Tetapi keseimbangannya hilang ketika tak sengaja menubruk punggung seseorang di depannya. Kakinya tak lagi kuat menahan tubuhnya hingga badannya terjatuh dan terhempas ke lantai. Anna terduduk di lantai dengan rambut berantakan menutupi wajah. “Maaf, kamu tidak apa-apa?” Pria yang ditabrak Anna tadi membantunya kembali berdiri. Bukannya berterima kasih, tetapi Anna malah menatap pria yang menolongnya itu dengan tatapan tak suka. Tak ingin terlibat lagi dengan pria itu, Anna memilih untuk berbalik. “Anna?” Kevin memanggilnya pelan. Dari semua tempat, kenapa mereka harus bertemu di sini. “Apa yang kau lakukan di sini? Tidak seperti biasanya. Bukannya kau tak suka dengan tempat-tempat seperti ini? Jangan bilang kau sampai harus datang ke sini karena tak bisa melupakanku?” Kevin menaruh curiga pada An
Anna terkekeh pelan. “Balas dendam?” Anna berhenti tertawa, sedetik kemudian wajahnya kembali serius. Dia memang terluka, tapi tak pernah terpikirkan untuk balas dendam. Anna lebih memilih untuk melepaskan Kevin sepenuhnya dan tak berurusan lagi dengannya.“Sudahlah, aku tak tertarik untuk balas dendam seperti yang kau katakan. Mengurus hidupku saja sudah sangat sulit, terlalu melelahkan jika harus memikirkan orang lain juga. Untuk kali ini, aku akan berterima kasih atas bantuanmu tadi dengan tulus. Aku tak mau lagi dicap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun. Kalau begitu, aku pamit dulu.” Anna membungkukkan badannya sembilan puluh derajat kemudian berbalik, berjalan mengabaikan Eden.Eden mengeluh dalam hati. Keras kepala sekali gadis ini. Eden melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, sudah pukul satu malam. Hanya beberapa jam sebelum matahari terbit.Eden menyusul Anna yang sudah agak jauh. “Dengarkan aku dulu,” dia menahan lengan Anna. “Begini…”
“Apa yang kau lakukan?” seru Anna lagi sambil menutupi badan Eden dengan jas yang menutupinya tadi. Sontak Anna langsung menyilangkan tangan di dada dan menatap Eden dengan tajam.Eden menunduk menatap dadanya dengan polos kemudian ikut menyilangkan kedua tangan di dada. “Ini karena kau muntah di bajuku.” Eden membela diri.“Apa? Muntah? Aku?” Anna menjadi serba salah, tapi dia tak ingat.Anna melirik Eden sebentar kemudian segera keluar dari mobil. Bagaimanapun permintaan Eden untuk menemui orang tuanya cukup mendadak. Setidaknya dia ingat akan perjanjian tak tertulis mereka semalam.Sontak Eden menjadi panik. Waktu mereka semakin menipis. Dia hanya punya waktu kurang dari satu jam lagi untuk sampai ke rumah orang tuanya. Anna berjalan cepat dengan bertelanjang kaki. Eden pun langsung keluar mobil. Mengejar Anna. Tetapi dia berhenti ketika menyadari badannya yang tak pakai apapun.“Astaga,” gumamnya sambil melirik badan polosnya. “Hei! Kau mau kemana?” Eden kembali ke mob
Suara burung pagi menyapa tak lagi terdengar. Bahkan suara anak-anak yang hendak berangkat ke sekolah yang melewati mereka luruh ke tanah. Mereka terdiam sejenak dengan mata yang saling bertatap tatapan. Namun, tak ada reaksi apapun setelahnya hingga Anna mengalihkan pandangannya. Pertanyaan Eden sangat tiba-tiba dan terkesan blak-blakan. “Apa? Tentu saja tidak,” tolak Anna mentah-mentah.“Makanya itu, buat apa kau memikirkan tanggapan dari orang tuaku nanti,” jelas Eden. “Tapi….” Anna masih beralasan. Dengan sekuat tenaga Eden menarik Anna masuk ke dalam rumah. Kenop pintu di putar. Pintu terbuka. “Ganti dengan ini!” Eden menyodorkan sepasang sandal rumah berwarna abu-abu pada Anna.“Astaga,” seru Anna. Dia membelalak ketika melihat kakinya yang kotor. Dia lupa membersihkannya dengan tisu basah tadi. “Pakai saja,” kata Eden tak peduli. Dia menyarungkan sandal ke kakinya.Anna menahan lengan Eden. “Kenapa lagi?” tanya Eden.“Pinjam kunci mobilmu,
Anna menyelam di tengah gelapnya kamar. Sherin masih belum pulang karena masih pukul delapan malam. Mungkin jam segini masih siang padanya. Gadis yang belum berganti pakaian semenjak siang tadi merebahkan badannya di ranjang. Terlalu malas untuk berjalan ke arah pintu untuk menghidupkan lampu. Berbagai pikiran menjalari benaknya. Langit langit kamar sunyi. Hanya sayub-sayub klakson mobil di jalan bawah sana yang menyelinap masuk. Anna mendesah lantas mengangkat sebelah tangan menutupi wajah. Apakah keputusannya sekarang sudah benar. Jawaban Eden atas pertanyaannya cukup untuk mengoyak hati Anna yang sudah terluka. “Tapi bagaimana jika mereka benar-benar ingin kita menikah?” Anna bertanya setengah panik. Eden terkekeh pelan. “Tidak semua pasangan yang berkencan berakhir dengan pernikahan. Jangan bilang kalau selama ini kau berpikiran seperti itu?” Eden melirik Anna yang menatap lurus ke depan. “Apa kau juga mengharapkan sebuah pernikahan
“Bagaimana kau bisa menemukanku di sini?” Anna dan Eden berbicara empat mata di tempat duduk yang sama. Sementara Sherin sudah tertidur di meja. Baiklah. Anna akan menggendongnya nanti.“Lagi-lagi kau menatapku dengan tatapan penuh curiga seperti itu,” jawab Eden dengan setengah hati.Eden meletakkan sebuah dompet berwarna hitam di atas meja. “Aku ingin menyerahkan ini padamu.”Sontak Anna langsung meraih dompetnya di atas meja dengan mata berbinar. Padahal dia sudah hampir menyerah saat mencari dompetnya sesaat akan keluar rumah tadi. Dia mungkin akan melapor ke polisi jika besok dia tidak kunjung menemukan dompetnya itu.“Syukurlah kau menemukannya,” ungkapnya sambil tersenyum lega pada Eden. “Terima kasih,” lanjutnya lagi.“Kenapa harus repot-repot jauh mengantar ke sini. Kau bisa telfon saja jadi aku akan menjemputnya besok.”Kali ini Eden meletakkan ponselnya di atas meja. “Bagaimana aku bisa menghubungimu jika nomormu saja tidak punya,” celetuk Eden lagi.Ah, betul juga. Pertemu
“Jadi dia – ?” mata Anna bergantian menatap layar ponsel kemudian beralih menatap Sherin. “Tapi dia tidak tampak seperti itu,” lanjut Anna menolak menerima isi dari berita itu. Sherin mengedikkan bahu tak yakin. “Kita memang tidak ada yang tau dalamnya seseorang seperti apa, kan? bisa jadi dia memang pandai menyembunyikan jadi dirinya selama ini. Kau bisa baca juga isi artikel lain yang terkait. Keluarga mereka keluarga terpandang. Seluruh keluarga bekerja di bidang kesehatan. Ibunya Kepala Yayasan pusat rehabilitasi, kakeknya juga Direktur Rumah Sakit besar bahkan kini ayahnya menjadi dosen ahli saraf. Dan dia juga seorang dokter kecantikan. Jadi wajar saja jika dia terkena isu isu miring seperti itu. Ya, bisa jadi juga karena dia tidak pernah terlibat dengan seorang wanita dengan wajah setampan itu. Bukankah itu agak aneh?” Sherin masih asik menyuap nasi goreng buatan Anna. “Tapi – “ “Lagi pula apa hubungannya denganmu jika dia memang gay atau buk
Anna berkomat-kamit sendiri sambil memikirkan apa yang harus dilakukannya. Matanya membesar ketika melihat Eden hendak kembali ke meja, jadi dia bisa segera mengajak Eden beranjak dari sana. Tangan Anna terangkat hendak memanggil, namun senyumnya seketika luntur. Eden justru malah membalas sapaan orang lain. Anna berbalik. Matanya kembali membesar. Eden membalas sapaan seorang pria berusia sekitar tiga puluhan dan pria itu bersama orang yang ingin dihindari oleh Anna tadi. Ya, Oliv. Siapa lagi yang ingin dihindari Anna jikan bukan gadis itu. Tapi Anna menjadi bertanya-tanya apa yang dilakukan Olie dan suaminya di sini? Anna kembali duduk sambil menunduk. Mengeluarkan ponsel lalu pura-pura sibuk mengirim pesan ataupun menelepon seseorang. Tidak lama dia melakukan hal itu, dia kembali bangkit dan beranjak menuju meja lain yang agak jauh dari tempat Eden dan teman-temannya itu. Untuk sementara Anna menyimpulkan beberapa pria yang tampak lebih tua dari kekasihnya itu adalah te
“Kali ini pernikahan temanmu yang mana?” Anna kembali bertanya ketika mereka berada di dalam mobil, menuju gedung pernikahan teman Eden. Pria itu juga sudah mengganti pakaian, dia tampak gagah dengan balutan jas hitam dan potongan rambut dengan model comma style. Gaya rambut yang paling cocok dengan potongan wajah asianya yang khas. “Ada tapi kau tidak kenal.” Eden menjawab singkat. Kali ini suaranya terdengar lebih lembut. Tapi jawaban singkat Eden membuat Anna menjadi bertanya-tanya. Dia tak mengenal Eden. Banyak hal yang tak diketahuinya tentang pria yang tengah mengemudi di sampingnya itu. Beda halnya dengan pria itu yang hampir mengetahui segala tentangnya. Termasuk apa yang berkelibat di kepalanya kini. Lihatlah kini Eden tengah mencuri-curi pandang padanya. Eden melirik Anna, gadis itu terdiam tak lagi bertanya. Tapi justru membuat Eden menjadi tak enak karena sudah menjawab singkat. Dia berdeham sekali mengusir keheningan.“Dia salah satu kenalanku sewa
Kata orang, tiada pertemuan yang tak memiliki arti. Tiada pertemuan yang menjadi sebuah kebetulan karena sejatinya sudah ada yang mengatur dan sudah menjadi rencana alam. Ada orang yang percaya jika bertemu dengan orang asing sebanyak tiga kali dalam waktu berdekatan yang sering kali dikatakan berjodoh. Ada pula orang yang bertemu lebih dari itu dan hubungan mereka tetaplah orang asing. Bagaimana dengan orang asing yang tiba-tiba membantu kita untuk menyebrang di tengah jalan? Lalu dengan orang yang tak sengaja bertemu ketika sama-sama membeli daging ayam di supermarket atau mungkin orang yang tak sengaja tersenyum ketika berpapasan saat menyebrangi lampu merah? Keesokannya kita masih bertemu dan bertemu, namun hubungannya tidak lebih dari sebatas kenalan biasa. Kalian tahu? Terlalu banyak faktor yang harus dipertimbangkan untuk mengatakan jikalau sebuah pertemuan itu adalah kebetulan. Pertemuan Anna dan Eden mungkin bisa dikatakan sebagai sebuah kebetulan. Anggap saja ibu
“Kau?” Jari telunjuk Anna spontan terangkat, menunjuk lurus ke arah pria yang mengenakan kemeja dengan potongan leher rendah di salah satu meja café.Pria yang di tunjuk itu menunjukkan seulas senyum yang menampakkan deretan giginya yang putih.“Apa yang kau lakukan di sini?”“Masa muda yang mana yang kau rindukan?” Zeno kembali mengingatkan celoteh Anna beberapa menit yang lalu tepat setelah dua anak sekolah meninggalkan café.Anna berdecak kesal dan sedikit frustasi. “Seingatku aku sudah memberitahumu kalau aku tidak mau bertemu denganmu lagi bukan? Kenapa kau datang lagi ke sini, huh? Seharusnya kau sudah berada di Swiss sekarang?”Zeno mendengus. Dia tidak lupa dengan perkataan Anna. Lebih tepatnya ancaman Anna. Karena ucapan Anna waktu itu penuh tekanan.“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, tapi rasanya tidak enak jika melalui telfon. Makanya aku mengajakmu bertemu. Sebentar saja.”Anna menghubungi Zeno kembali setelah pertemuan mereka siang itu di café milik Anna setelah Oliv m
Sinar matahari menyelinap masuk melewati celah celah ventilasi.“Kau mau aku buatkan sarapan dulu?” tanya Sherin berbasa-basi. Dia tengah memanggang beberapa toast di dapur.“Tidak usah,” jawab Anna sambil sibuk mengemasi barangnya yang berserakan di ruang tengah semalam.“Setidaknya minumlah ini,” sahut Sherin lagi sambil menyerahkan segelas jus apel di atas meja makan. “Supaya pencernaanmu lancar,”Gadis yang mengenakan skirt sebatis itu menurut. Dia berjalan menghampiri meja dan meminum jus buatan Sherin. “Terima kasih jusnya, aku merasa segar.”Sherin hanya tersenyum hangat sebagai balasan atasan pujian Anna. “Hubungi aku jika terjadi sesuatu! Jangan tiba-tiba pulang sambil nangis dan berantakan kayak semalam. Kau mengerti kan?”“Astaga! Kau mulai lagi, baiklah aku mengerti.” Anna sudah maklum dengan omelan sahabatnya itu. Dia tau kalau Sherin khawatir dan dia tidak boleh membuat sahabat satu-satunya itu diselimuti rasa kekhawatiran yang tak jelas. “Aku berangkat dulu, sampai jump
“Siapa yang cemburu?” Eden menjadi salah tingkah. Dia mengusap rambutnya ke belakang dengan kedua tangan.“Lalu mengapa sikapmu yang berlebih seperti ini?”“Aku tidak berlebihan, hanya saja merasa kesal setelah melihatmu kembali bersikap bodoh saat di depan pria brengsek itu. Berapa kali harus kubilang, huh? Dia bukan pria baik-baik. Tidak cukup mempermalukanmu sekali waktu itu di café, sekarang kau ingin membiarkannya melakukannya lagi?”Anna menghela nafas panjang. Disatu sisi, dia merasa wajar melihat Eden murka dan juga geram melihat gadis bodoh yang terlalu mudah termakan omoongan manis dari cinta pertamanya. Dia menatap Eden lamat-lamat dengan mulut terkunci.“Berhentilah menatapku seperti itu.” Eden kembali mengingatkan Anna yang terdiam memperhatikannya untuk beberapa menit. Mereka duduk berhadapan yang dipisahkan oleh meja kecil yang di penuhi oleh kepulan asap sup yang baru saja tiba. “Aku tidak melihatmu.” Anna langsung mengalihkan pandangannya. “Pokoknya, urusa
Terik matahari di luar ikut masuk menyelinap ke dalam hatinya yang terasa panas dan sesak sedari tadi. Semalam dia sudah menerima tawaran Oliv untuk bertemu pria yang paling ingin dihindarinya. Entah apa yang dipikirkannya semalam saat menerima tawaran semalam, alhasil kini hatinya penuh gejolak. Setengah karena rasa penasaran, setengah lagi penuh dengan rasa sakit.Anna hendak berganti pakaian karena sudah jamnya untuk pulang. Eh, tidak. Dia harus menemui Zeno sore itu di tempat kerjanya pula. Anna melirik jam dinding. Seharusnya dia sudah berada di sini. “Kau menungguku?” Suara itu membuat Anna menoleh. Ya. Itu Zeno. Orang yang di tunggunya sudah tiba. Tampak jelas perasaan cemas terpampang jelas di wajah Anna, tapi dia masih berusaha menyunggingkan seulas senyumnya, takut membuat Zeno merasa tidak nyaman. Ah, sial. Anna mengutuk dirinya dalam hati karena masih saja mencemaskan pria itu. Mereka duduk di salah satu meja café. Anna memesankan pesanan sembarang
Anna menoleh. Sepasang matanya memindai penampilan Eden yang begitu kacaud an berantakan. Malam itu pertama kalinya Anna melihat sisi itu dari Eden. Seberapa kacau pikirannya sampai seperti ini, pikir Anna dalam hati. Dia kembali menatap Eden yang berbaring dengan mata terpejam.Anna mengambil selimut hendak menutupi tubuh Eden. Namun gerak tangannya terhenti ketika suara serak Eden mengatakan sesuatu dengan pelan. “Aku merasa bersalah.” Eden bergumam pelan. “Maafkan aku,” lanjutnya lagi. “Untuk apa?” Anna duduk di lantai, di sisi sofa tempat Eden berbaring. Dia membiarkan tangan Eden yang memegang ujung lengan bajunya. “Semuanya.” Eden menghela nafas. “Aku benar-benar minta maaf.” Anna melepaskan tangan Eden. “Aku tidak bisa menerima permintaan maafmu.” Anna malah menjawab perkataan Eden dengan tenang. Bukannya karena kesal atau marah pada pria itu, tapi karena Anna juga merasa bersalah pada Eden. Hanya saja dia tidak menampakkannya sam
Eden hanya bisa menatap punggung Anna saat berjalan menjauh. Ingin hatinya untuk segera berlari untuk mengejar gadis itu, namun langkah kakinya terasa berat. Ada perasaan semacam tak pantas yang terbersit di hatinya saat itu. Setelah semua yang telah dilakukannya pada Anna. Anna belum mabuk saat meninggalkan meja, Eden hanya berharap kekhawatirannya akan sia-sia karena Anna pasti bisa pulang dengan selamat. Toh tempat mereka minum tidak jauh dari apartemen milik Anna. Botol terakhir telah kosong. Kepalanya mulai terasa berat. Namun dia merasa masih belum mabuk. Eden ingin sekali mabuk setidaknya beban pikirannya akan hilang walau hanya semalam. Eden meninggalkan beberapa lembar uang kertas di meja lantas mulai berjalan gontai keluar. Pijakannya tidak pasti dan sedikit terhuyung huyung, tapi badannya masih bisa berdiri dan berjalan menuju minimarket terdekat. Salah seorang pelayan toko memberinya sebotol obat pengar agar dirinya bisa sege