Hari ini Anna mendapatkan tugas mengawasi salah satu gerai pakaian bermerek. Biasanya dia mendapatkan tugas di bagian perhiasan. Hanya saja kali ini dia mendapatkan jadwal rolling. Jabatannya yang hanya sebagai staff biasa, jadi dia tak punya hak untuk membantah. Intinya dia hanya bawahan dari bawahan yang berada di atasnya. Sialnya dia tak beruntung hari itu. Dia justru bertemu salah satu teman sekolahnya dulu yang paling di bencinya. Bukannya benci, dia terlalu tidak suka dengan teman yang suka pamer dan merendahkan. Terlebih temannya itu baru saja menikah dengan salah seorang pengusaha tajir. Tentu saja tingkat kesombongan meningkat hinga level tertinggi. “Oh my god, lihat siapa yang kutemui,” sapa Olive ketika melihat Anna berjaga di dekat kasir. Gayanya sudah seperti artis papan atas lengkap dengan tas jinjing bermerek. “Bukankah ini Anna? Yang katanya akan menikah tapi tak jadi?” sindirnya dengan nada suara yang keras. Anna hanya bisa tersenyum manis deng
Anna menyesap kopinya. Dia berusaha menjaga sikap di depan orang yang tampak begitu tenang di hadapannya kini. Jangan bilang ibu Eden tadi melihat pertengkarannya dengan Olive tadi? Anna membatin. “Kau bekerja di sini?” tanya Nyonya Arini. Dia ikut menyesap kopi dari cangkirnya. Mereka berbincang di café. “Iya bu,” jawab Anna ramah. Dia bingung bagaimana harus bereaksi. Kenapa dia harus bertemu ibu Eden di sini? Bukankah seharusnya Eden yang duduk di hadapannya kini? Anna melirik jam mungil yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Masih tersisa satu jam lagi sebelum janji temu mereka. “Sebagai…” tanya Nyonya Arini lagi memastikan setelah melihat pakaian Anna yang sudah lebih dari cukup menjawab keraguannya. “Iya bu, aku hanya staff biasa,” jawab Anna masih tersenyum. Lagi-lagi dia menyesap kopinya untuk menutupi rasa gugup.“Aku juga sudah lama tidak berbelanja, bagaimana kalau kau menemani ibu berbelanja?” ajak Nyonya Arini tiba-tiba.
Nyonya Arini berjalan cepat menerobos masuk ruangan kerja suaminya. Dia membuka pintu dengan keras hingga mengejutkan semua orang di dalam. Sontak Tuan Teddy terlonjak kaget dari bangku kerjanya dengan tangan terangkat memegangi dada. “Ada apa? Sekarang apa lagi?” “Sepertinya ada yang tidak beres antara Eden dan pacarnya Anna itu.” Nyonya Arini menaruh curiga sambil memicingkan sebelah matanya. “Apanya? Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?” balas suaminya. “Begini…” Nyonya Arini mulai menyusun kata-kata yang akan di ucapkannya. Sekarang dia sudah berdiri di samping meja kerja suaminya. Tuan Teddy pun memutar kursinya hendak mendengarkan penjelasan sang istri dengan seksama. “Pertama, tiba-tiba saja Eden mempunyai kekasih, kedua…” “Bagus dong, bukankah itu yang kau inginkan?” potong Tuan Teddy. “Iya, memang bagus, tapi sangat tiba-tiba. dan mereka bilang sudah berkencan selama seratus hari. Tapi kenapa kita tidak pernah tahu? Maksudku se
“Jadi kenapa kau mau bertemu denganku sore ini?” Eden kembali bertanya untuk yang kedua kali. Teringat kesepatan mereka sebelumnya. “Apa kau sudah memikirkan tawaranku sebelumnya.” “Ah, itu.” Anna merubah posisi duduk. Sebenarnya tidak ada yang ingin dibicarakannya dengan Eden, hanya saja karena Sherin tadi pagi dia terpaksa mengajak Eden keluar. Terlepas dari kejadian bertemu dengan Ibu Eden secara tidak sengaja sore ini. “Maaf, sebenarnya tidak ada yang ingin kubicarakan denganmu.” Kening Eden berkerut. “Jadi mengapa kau mengajakku untuk bertemu?” “Karena Sherin tak sengaja menghubungimu tadi pagi,” lanjut Anna sambil memasang wajah penuh rasa bersalah. Kali ini Eden ikut menghela nafas. Setengah karena merasa iba dengan Anna, sebagian lagi karena sudah membantunya sore itu. “Kalau memang tidak ada yang ingin kau bicarakan. Sebaiknya aku kembali ke kantor.” “Tunggu!” kata Anna spontan yang berhasil m
“Kenapa ayah memanggilku?” kata Eden ketika baru saja tiba di ruangan ayahnya. Ia duduk di sofa empuk di tengah ruangan sambil menyilangkan kaki. “Sebentar lagi aku ada janji dengan klien.” Eden melirik jam tangan berlagak sibuk. “Aku dengar ibumu kemarin bertemu dengan Anna?” kata Tuan Teddy terdengar santai. Ayahnya juga sibuk membaca berkas yang terkambang di meja. “Ayah menyuruhku datang hanya untuk menanyakan itu?” protes Eden. Kenapa tidak di telepon saja tadi.“Hmm…. Tidak juga. Tapi itu salah satunya,” balas Tuan Teddy lagi terdengar bercanda. Kini dia sedikit terkekeh sambil merebahkan badan ke sandaran kursi. “Aku rasa ibumu melakukan sesuatu,” ungkap Tuan Teddy penuh curiga. “Aku sudah tahu itu,” jawab Eden dengan raut wajah sok tahu. Namun, ayahnya justru menatapnya dengan heran. “Kau sudah tahu? Bagaimana bisa?” “Terlihat jelas karena aku juga ada di sana ketika ibu bertemu dengan Anna,” terang Eden lagi sambil menyandarkan
“Tumben sekali kau diam dan bersikap tenang?” kata Eden membuka pembicaraan. Memecah sunyi di dalam mobil yang terus melaju. “Hm?” Anna salah tingkah. “Tidak, hanya saja energiku sudah terkuras habis,” balas Anna asal sambil memasang wajah yang dilemas-lemaskan. “Memangnya kau melakukan apa sampai energimu terkuras habis begitu?” Eden menyeringai dengan nada mengejek. Sungguh Anna mengutuk dalam hati. Entah apa yang merasuki Eden hari ini sampai sikapnya menjadi selunak ini padanya. Semenjak pertemuan mereka dengan ibu Eden tadi sore, Eden lebih banyak tersenyum bahkan mengajaknya mengobrol lebih dulu. Dan hatinya yang tak bisa diajak bekerja sama. Terus berdebar dan bergejolak setiap melirik ke arah Eden. Tangannya yang menampilkan semburat hijau yang memegang erat stir kemudi. Matanya yang menatap lurus ke depan. Anna bisa melihat profil samping Eden yang nyaris sempurna. Bulu mata lentik dan hidung mancung. Astaga! Jantung Anna semaki
Dulu Eden mempunyai pemikiran yang sama dengan Anna. Memikirkan akan hidup bersama orang yang dicintainya saja sudah cukup untuk membuatnya merona. Tapi itu dulu. Tiba-tiba saja kenangan lima tahun lalu kembali melintas di benak Eden. Seolah kejadian itu baru terjadi kemarin. Waktu itu Eden menuruti kemauan ibunya untuk mengikuti kencan buta untuk pertama kalinya. Pertemuan pertama dengan gadis yang dipilih ibunya tidaklah buruk. Saat itu, Eden merasa beruntung dipertemukan dengan gadis cantik bernama Evelyn Lee. Sama seperti namanya, gadis itu berparas cantik, kulit putih, tinggi dan pekerjaan yang mumpuni yaitu menjadi seorang psikiater. Dia juga berasal dari keluarga yang setara dengan Eden. Dia langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Suaranya, senyumnya, semuanya. Saat pertemuan pertama, Eden tak banyak bicara karena ia tak terlalu pandai menunjukkan perasaan.“Aku dengar kau dokter kecantikan terkenal di kota, itu mengagumkan,” puji Evelyn memulai topik pembicaraan. Mereka b
Tangan Anna selalu sibuk setiap pagi seperti biasanya. Jari jemarinya bergerak cepat mengulir layar ponselnya untuk memeriksa jadwal kerjanya. Dia termasuk orang yang pelupa jika tidak menggunakan pengingat, jadi dia harus membuat jadwal sedemikian rupa jika tak ingin dipecat dari pekerjaannya yang sekarang. Dia sangat tahu kalau mencari pekerjaan di tengah kota Jakarta sangatlah susah. Ibarat mencari jarum dalam jerami. Mata Anna membelalak ketika membaca salah satu jadwalnya. Nanti malam di sebuah gedung opera, pukul enam sore dia akan menghadiri resital pianis terkenal dari negara ginseng merah, Korea Selatan – Hwang Jun. Namanya sudah berlalu lalang di televisi dan selalu menjadi topik utama di majalah ternama. Pianis muda yang mendapatkan penghargaan kelas dunia. Hobi Anna memang tidak bisa dikatakan murah. Dia harus menabung berbulan-bulan sebelum berhasil mendapatkan tiket yang sulitnya minta ampun karena selalu habis dalam sepersekian detik.