Share

9. SEBUAH TAMPARAN

“Bagaimana kau bisa menemukanku di sini?” Anna dan Eden berbicara empat mata di tempat duduk yang sama. Sementara Sherin sudah tertidur di meja. Baiklah. Anna akan menggendongnya nanti.

“Lagi-lagi kau menatapku dengan tatapan penuh curiga seperti itu,” jawab Eden dengan setengah hati.

Eden meletakkan sebuah dompet berwarna hitam di atas meja. “Aku ingin menyerahkan ini padamu.”

Sontak Anna langsung meraih dompetnya di atas meja dengan mata berbinar. Padahal dia sudah hampir menyerah saat mencari dompetnya sesaat akan keluar rumah tadi. Dia mungkin akan melapor ke polisi jika besok dia tidak kunjung menemukan dompetnya itu.

“Syukurlah kau menemukannya,” ungkapnya sambil tersenyum lega pada Eden. “Terima kasih,” lanjutnya lagi.

“Kenapa harus repot-repot jauh mengantar ke sini. Kau bisa telfon saja jadi aku akan menjemputnya besok.”

Kali ini Eden meletakkan ponselnya di atas meja. “Bagaimana aku bisa menghubungimu jika nomormu saja tidak punya,” celetuk Eden lagi.

Ah, betul juga. Pertemuan mereka kemarin terjadi begitu singkat dan secara tiba-tiba. Tidak ada waktu untuk saling bertukar nomor telepon.

Anna memasukkan nomor telfonnya lantas kembali meletakkan ponsel Eden di meja.

“Satu lagi. Aku tidak menguntitmu ke sini. Aku mengakui jika aku membuka dompetmu tanpa izin. Tapi itu hanya sebatas ingin tahu alamatmu dimana, tidak ada maksud lain. Hanya mau mengembalikan dompetmu ini,” jelas Eden panjang lebar. Tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman lain.

“Baiklah. Aku mengerti. Aku tidak akan menuduhmu macam-macam,” sahut Anna menjadi serba salah. Mengingat kejadian sebelumnya.

“Karena kau sudah membantuku kemarin. Sekarang katakan apa yang kau mau. Aku akan melakukannya semampuku.” Eden tidak melupakan janjinya pada Anna semalam.

Gadis itu terdiam. Dia juga mengingat perkataan Eden kemarin malam tentang balas dendam pada Kevin. Tapi dia masih belum memikirkannya sampai sejauh itu. Lagi pula. Dia juga ikhlas membantu Eden setelah melihat betapa baiknya orang tua Eden menyambut kedatangannya kemarin.

Anna menggeleng pelan. “Tidak usah. Lupakan tentang perjanjian kita kemarin. Aku tulus membantumu kemarin. Jadi kau tidak perlu melakukan apapun untukku.”

Kening Eden berkerut heran melihat tingkah Anna. “Kenapa?”

“Aku tidak ingin terjebak dengan masa lalu lebih jauh. Masa lalu biarlah berlalu. Hidupku sekarang sudah cukup melelahkan. Aku tidak mau memikirkannya lagi.”

“Kau yakin bisa melupakannya semudah itu?”

Anna menatap pupil mata Eden yang tengah menatapnya lamat-lamat. Sebuah rasa iba tersirat dari sana.

“Memang tidak mudah, tapi tetap akan aku lakukan.”

Eden menghela nafas panjang. Baiklah. Dia juga tidak bisa memaksa. Itu kehidupan Anna. Gadis yang sukarela telah membantunya.

“Sejujurnya aku tidak sudah berhutang budi. Walau kau menolak tawaranku tapi aku tetap tidak bisa menerima bantuanmu kemari  begitu saja. Kau tetap bisa meminta bantuanku apapun itu. Aku pasti akan membalasmu. Aku tidak sudah berhutang budi pada orang lain. Kau sudah menyimpan nomorku kan. Hubungi aku kapan saja. Aku akan luangkan waktu untukmu,” tutup Eden sambil beranjak berdiri dari kursi.

Anna yang sedari tadi diam tak bersuara, kini mendongak menatap Eden.

“Aku – “

Langkah Eden tertahan. Menunggu kelanjutan kalimat Anna.

            Tepat saat itu meja bergetar. Sherin bangun dan memukul meja dengan keras, membuat Eden dan Anna tersontak kaget.

“Oh!” Jari telunjuknya terangkat menunjuk Eden. “Aku tak salah lihat kan?” Dia mengucek matanya sekali. “Bukankah ini Eden?” Sherin menatap Anna bergantian. Masih setengah sadar.

            “Ooo..ya, aku Eden.” Eden menurunkan telunjuk Sherin yang sedetik kemudian kembali tertidur di meja. Dia mengigau.

            “Dia sering seperti ini?” Eden meluruskan tangan Sherin yang terhimpit oleh kepalanya di meja.

            Anna hanya bisa cengengesan melihat tingkah kawan serumahnya.

            “Astaga!” Anna berdecak. “Sepertinya dia mabuk sekali, aku harus segera membawanya pulang.” Anna bangkit mengitari meja. “Sebaiknya kau juga segera pulang,” katanya lagi.

            “Akan kuantar pulang.” Eden menawarkan diri. Dia ikut bangkit dan bersiap menggendong Sherin menggantikan Anna. “Kau tak akan kuat menggendongnya dengan badan sekecil itu.”

            Anna pasrah karena Eden sudah menggendong Sherin lebih dulu di punggungnya. Ya sudahlah. Tak ada salahnya juga. Justru dia seharusnya berterima kasih.

***

            Aaaaaa!!!

            Teriakan terdengar nyaring dari kamar Sherin. “Kenapa? Kenapa?” Anna berlari secepat kilat ke kamar sebelah.

            “Apa yang terjadi padaku?” Wajahnya berubah panik.

            Anna menghela nafas. Dia pikir hal buruk terjadi padanya. “Kau tidak ingat?” Dia bertanya datar.

            “Apa?” Sherin semakin panik sambil menggigit bibir bawahnya. Menatap nanar pada Anna yang berdiri di pintu sambil berkacak pinggang.

            “Tidak usah biar aku saja.” Anna mencoba menghentikan Eden yang menggendong gadis yang tak bisa diam itu.

            Plak! Sherin menampar telak Eden tanpa sebab. Membuat langkah Eden terhenti. Dia menurunkan Sherin di tengah jalan, mengabaikan pandangan orang yang berlalu lalang. Seumur hidup baru pertama kali dia merasakan sebuah tamparan. Eden menoleh, mendapati Sherin yang cengengesan tak jelas dengan wajah polos tanpa dosa.

            “Kau tak apa?” Anna memeriksa wajah Eden dengan sebelah pipi sudah memerah. “Sebaiknya kau segera pulang. Kau naik apa ke sini? Mobil? Sopir? Atau taksi?” Anna memberhentikan taksi yang kebetulan melintas di samping mereka.

            Anna mendorong Eden masuk mobil. Pria itu masih tak bisa berkata-kata, hanya anggukan kecil ketika Anna menutup pintu mobil. “Hati-hati di jalan. Hubungi aku kalau kau sudah sampai, oke?” Anna melambaikan tangan hingga taksi pun melaju membelah jalanan kota yang padat.

            “Astaga!” Sherin berseru panik dengan menelungkupkan kedua tangan menutup mulut. Dia ingat kejadian semalam. “Bagaimana ini? Eden tak marah padaku, kan?”

            Anna mengangkat bahu tak peduli. “Aku juga tak tahu, tapi semalam wajahnya benar-benar terkejut. Aku saja baru pertama kali melihatnya seperti itu.” Anna menggelengkan kepala santai lalu melenggang keluar kamar. “Ada-ada saja kau ini.” Anna bisa mendengar jeritan Sherin dari luar. Gadis itu menjadi semakin gila.  

            “Ayo kita makan bersama!” Anna berteriak dari luar sambil menata piring dan sendok di meja, mengajak Sherin sarapan bersama. Sebentar lagi dia akan berangkat bekerja. “Kau tak mendengarku? Sherin!!” Anna memanggil teman serumahnya itu sekali lagi.

            Sempat Anna mengutuk Sherin dalam hati hingga gadis itu keluar dengan rambut berantakan dan wajah lesu. Gadis itu menarik kursi dan duduk di atasnya, berhadapan dengan Anna.

            “Oh ya!” Baru saja dia mengangkat sendok, Sherin teringat sesuatu lantas berlari ke kamar mengambil ponsel. Anna terus saja menyuap sarapannya – mengabaikan Sherin.

            “Aku ingin memberitahumu soal ini dan kau harus liat tentang ini sebelum hubunganmu dengannya semakin jauh.” Sherin mengoceh dengan mata yang fokus pada layar ponsel. Sherin belum tahu kalau kejadian yang lebih menghebohkan terjadi setelah pertemuan malam itu.

            “Lihat ini!”

            Mata Anna membesar ketika melihat sebuah artikel yang memuat nama seorang pria bernama Eden itu.

***     

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status