“Bagaimana kau bisa menemukanku di sini?” Anna dan Eden berbicara empat mata di tempat duduk yang sama. Sementara Sherin sudah tertidur di meja. Baiklah. Anna akan menggendongnya nanti.
“Lagi-lagi kau menatapku dengan tatapan penuh curiga seperti itu,” jawab Eden dengan setengah hati.
Eden meletakkan sebuah dompet berwarna hitam di atas meja. “Aku ingin menyerahkan ini padamu.”
Sontak Anna langsung meraih dompetnya di atas meja dengan mata berbinar. Padahal dia sudah hampir menyerah saat mencari dompetnya sesaat akan keluar rumah tadi. Dia mungkin akan melapor ke polisi jika besok dia tidak kunjung menemukan dompetnya itu.
“Syukurlah kau menemukannya,” ungkapnya sambil tersenyum lega pada Eden. “Terima kasih,” lanjutnya lagi.
“Kenapa harus repot-repot jauh mengantar ke sini. Kau bisa telfon saja jadi aku akan menjemputnya besok.”
Kali ini Eden meletakkan ponselnya di atas meja. “Bagaimana aku bisa menghubungimu jika nomormu saja tidak punya,” celetuk Eden lagi.
Ah, betul juga. Pertemuan mereka kemarin terjadi begitu singkat dan secara tiba-tiba. Tidak ada waktu untuk saling bertukar nomor telepon.
Anna memasukkan nomor telfonnya lantas kembali meletakkan ponsel Eden di meja.
“Satu lagi. Aku tidak menguntitmu ke sini. Aku mengakui jika aku membuka dompetmu tanpa izin. Tapi itu hanya sebatas ingin tahu alamatmu dimana, tidak ada maksud lain. Hanya mau mengembalikan dompetmu ini,” jelas Eden panjang lebar. Tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman lain.
“Baiklah. Aku mengerti. Aku tidak akan menuduhmu macam-macam,” sahut Anna menjadi serba salah. Mengingat kejadian sebelumnya.
“Karena kau sudah membantuku kemarin. Sekarang katakan apa yang kau mau. Aku akan melakukannya semampuku.” Eden tidak melupakan janjinya pada Anna semalam.
Gadis itu terdiam. Dia juga mengingat perkataan Eden kemarin malam tentang balas dendam pada Kevin. Tapi dia masih belum memikirkannya sampai sejauh itu. Lagi pula. Dia juga ikhlas membantu Eden setelah melihat betapa baiknya orang tua Eden menyambut kedatangannya kemarin.
Anna menggeleng pelan. “Tidak usah. Lupakan tentang perjanjian kita kemarin. Aku tulus membantumu kemarin. Jadi kau tidak perlu melakukan apapun untukku.”
Kening Eden berkerut heran melihat tingkah Anna. “Kenapa?”
“Aku tidak ingin terjebak dengan masa lalu lebih jauh. Masa lalu biarlah berlalu. Hidupku sekarang sudah cukup melelahkan. Aku tidak mau memikirkannya lagi.”
“Kau yakin bisa melupakannya semudah itu?”
Anna menatap pupil mata Eden yang tengah menatapnya lamat-lamat. Sebuah rasa iba tersirat dari sana.
“Memang tidak mudah, tapi tetap akan aku lakukan.”
Eden menghela nafas panjang. Baiklah. Dia juga tidak bisa memaksa. Itu kehidupan Anna. Gadis yang sukarela telah membantunya.
“Sejujurnya aku tidak sudah berhutang budi. Walau kau menolak tawaranku tapi aku tetap tidak bisa menerima bantuanmu kemari begitu saja. Kau tetap bisa meminta bantuanku apapun itu. Aku pasti akan membalasmu. Aku tidak sudah berhutang budi pada orang lain. Kau sudah menyimpan nomorku kan. Hubungi aku kapan saja. Aku akan luangkan waktu untukmu,” tutup Eden sambil beranjak berdiri dari kursi.
Anna yang sedari tadi diam tak bersuara, kini mendongak menatap Eden.
“Aku – “
Langkah Eden tertahan. Menunggu kelanjutan kalimat Anna.
Tepat saat itu meja bergetar. Sherin bangun dan memukul meja dengan keras, membuat Eden dan Anna tersontak kaget.
“Oh!” Jari telunjuknya terangkat menunjuk Eden. “Aku tak salah lihat kan?” Dia mengucek matanya sekali. “Bukankah ini Eden?” Sherin menatap Anna bergantian. Masih setengah sadar.
“Ooo..ya, aku Eden.” Eden menurunkan telunjuk Sherin yang sedetik kemudian kembali tertidur di meja. Dia mengigau.
“Dia sering seperti ini?” Eden meluruskan tangan Sherin yang terhimpit oleh kepalanya di meja.
Anna hanya bisa cengengesan melihat tingkah kawan serumahnya.
“Astaga!” Anna berdecak. “Sepertinya dia mabuk sekali, aku harus segera membawanya pulang.” Anna bangkit mengitari meja. “Sebaiknya kau juga segera pulang,” katanya lagi.
“Akan kuantar pulang.” Eden menawarkan diri. Dia ikut bangkit dan bersiap menggendong Sherin menggantikan Anna. “Kau tak akan kuat menggendongnya dengan badan sekecil itu.”
Anna pasrah karena Eden sudah menggendong Sherin lebih dulu di punggungnya. Ya sudahlah. Tak ada salahnya juga. Justru dia seharusnya berterima kasih.
***
Aaaaaa!!!
Teriakan terdengar nyaring dari kamar Sherin. “Kenapa? Kenapa?” Anna berlari secepat kilat ke kamar sebelah.
“Apa yang terjadi padaku?” Wajahnya berubah panik.
Anna menghela nafas. Dia pikir hal buruk terjadi padanya. “Kau tidak ingat?” Dia bertanya datar.
“Apa?” Sherin semakin panik sambil menggigit bibir bawahnya. Menatap nanar pada Anna yang berdiri di pintu sambil berkacak pinggang.
“Tidak usah biar aku saja.” Anna mencoba menghentikan Eden yang menggendong gadis yang tak bisa diam itu.
Plak! Sherin menampar telak Eden tanpa sebab. Membuat langkah Eden terhenti. Dia menurunkan Sherin di tengah jalan, mengabaikan pandangan orang yang berlalu lalang. Seumur hidup baru pertama kali dia merasakan sebuah tamparan. Eden menoleh, mendapati Sherin yang cengengesan tak jelas dengan wajah polos tanpa dosa.
“Kau tak apa?” Anna memeriksa wajah Eden dengan sebelah pipi sudah memerah. “Sebaiknya kau segera pulang. Kau naik apa ke sini? Mobil? Sopir? Atau taksi?” Anna memberhentikan taksi yang kebetulan melintas di samping mereka.
Anna mendorong Eden masuk mobil. Pria itu masih tak bisa berkata-kata, hanya anggukan kecil ketika Anna menutup pintu mobil. “Hati-hati di jalan. Hubungi aku kalau kau sudah sampai, oke?” Anna melambaikan tangan hingga taksi pun melaju membelah jalanan kota yang padat.
“Astaga!” Sherin berseru panik dengan menelungkupkan kedua tangan menutup mulut. Dia ingat kejadian semalam. “Bagaimana ini? Eden tak marah padaku, kan?”
Anna mengangkat bahu tak peduli. “Aku juga tak tahu, tapi semalam wajahnya benar-benar terkejut. Aku saja baru pertama kali melihatnya seperti itu.” Anna menggelengkan kepala santai lalu melenggang keluar kamar. “Ada-ada saja kau ini.” Anna bisa mendengar jeritan Sherin dari luar. Gadis itu menjadi semakin gila.
“Ayo kita makan bersama!” Anna berteriak dari luar sambil menata piring dan sendok di meja, mengajak Sherin sarapan bersama. Sebentar lagi dia akan berangkat bekerja. “Kau tak mendengarku? Sherin!!” Anna memanggil teman serumahnya itu sekali lagi.
Sempat Anna mengutuk Sherin dalam hati hingga gadis itu keluar dengan rambut berantakan dan wajah lesu. Gadis itu menarik kursi dan duduk di atasnya, berhadapan dengan Anna.
“Oh ya!” Baru saja dia mengangkat sendok, Sherin teringat sesuatu lantas berlari ke kamar mengambil ponsel. Anna terus saja menyuap sarapannya – mengabaikan Sherin.
“Aku ingin memberitahumu soal ini dan kau harus liat tentang ini sebelum hubunganmu dengannya semakin jauh.” Sherin mengoceh dengan mata yang fokus pada layar ponsel. Sherin belum tahu kalau kejadian yang lebih menghebohkan terjadi setelah pertemuan malam itu.
“Lihat ini!”
Mata Anna membesar ketika melihat sebuah artikel yang memuat nama seorang pria bernama Eden itu.
***
“Jadi dia – ?” mata Anna bergantian menatap layar ponsel kemudian beralih menatap Sherin. “Tapi dia tidak tampak seperti itu,” lanjut Anna menolak menerima isi dari berita itu. Sherin mengedikkan bahu tak yakin. “Kita memang tidak ada yang tau dalamnya seseorang seperti apa, kan? bisa jadi dia memang pandai menyembunyikan jadi dirinya selama ini. Kau bisa baca juga isi artikel lain yang terkait. Keluarga mereka keluarga terpandang. Seluruh keluarga bekerja di bidang kesehatan. Ibunya Kepala Yayasan pusat rehabilitasi, kakeknya juga Direktur Rumah Sakit besar bahkan kini ayahnya menjadi dosen ahli saraf. Dan dia juga seorang dokter kecantikan. Jadi wajar saja jika dia terkena isu isu miring seperti itu. Ya, bisa jadi juga karena dia tidak pernah terlibat dengan seorang wanita dengan wajah setampan itu. Bukankah itu agak aneh?” Sherin masih asik menyuap nasi goreng buatan Anna. “Tapi – “ “Lagi pula apa hubungannya denganmu jika dia memang gay atau buk
Hari ini Anna mendapatkan tugas mengawasi salah satu gerai pakaian bermerek. Biasanya dia mendapatkan tugas di bagian perhiasan. Hanya saja kali ini dia mendapatkan jadwal rolling. Jabatannya yang hanya sebagai staff biasa, jadi dia tak punya hak untuk membantah. Intinya dia hanya bawahan dari bawahan yang berada di atasnya. Sialnya dia tak beruntung hari itu. Dia justru bertemu salah satu teman sekolahnya dulu yang paling di bencinya. Bukannya benci, dia terlalu tidak suka dengan teman yang suka pamer dan merendahkan. Terlebih temannya itu baru saja menikah dengan salah seorang pengusaha tajir. Tentu saja tingkat kesombongan meningkat hinga level tertinggi. “Oh my god, lihat siapa yang kutemui,” sapa Olive ketika melihat Anna berjaga di dekat kasir. Gayanya sudah seperti artis papan atas lengkap dengan tas jinjing bermerek. “Bukankah ini Anna? Yang katanya akan menikah tapi tak jadi?” sindirnya dengan nada suara yang keras. Anna hanya bisa tersenyum manis deng
Anna menyesap kopinya. Dia berusaha menjaga sikap di depan orang yang tampak begitu tenang di hadapannya kini. Jangan bilang ibu Eden tadi melihat pertengkarannya dengan Olive tadi? Anna membatin. “Kau bekerja di sini?” tanya Nyonya Arini. Dia ikut menyesap kopi dari cangkirnya. Mereka berbincang di café. “Iya bu,” jawab Anna ramah. Dia bingung bagaimana harus bereaksi. Kenapa dia harus bertemu ibu Eden di sini? Bukankah seharusnya Eden yang duduk di hadapannya kini? Anna melirik jam mungil yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Masih tersisa satu jam lagi sebelum janji temu mereka. “Sebagai…” tanya Nyonya Arini lagi memastikan setelah melihat pakaian Anna yang sudah lebih dari cukup menjawab keraguannya. “Iya bu, aku hanya staff biasa,” jawab Anna masih tersenyum. Lagi-lagi dia menyesap kopinya untuk menutupi rasa gugup.“Aku juga sudah lama tidak berbelanja, bagaimana kalau kau menemani ibu berbelanja?” ajak Nyonya Arini tiba-tiba.
Nyonya Arini berjalan cepat menerobos masuk ruangan kerja suaminya. Dia membuka pintu dengan keras hingga mengejutkan semua orang di dalam. Sontak Tuan Teddy terlonjak kaget dari bangku kerjanya dengan tangan terangkat memegangi dada. “Ada apa? Sekarang apa lagi?” “Sepertinya ada yang tidak beres antara Eden dan pacarnya Anna itu.” Nyonya Arini menaruh curiga sambil memicingkan sebelah matanya. “Apanya? Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?” balas suaminya. “Begini…” Nyonya Arini mulai menyusun kata-kata yang akan di ucapkannya. Sekarang dia sudah berdiri di samping meja kerja suaminya. Tuan Teddy pun memutar kursinya hendak mendengarkan penjelasan sang istri dengan seksama. “Pertama, tiba-tiba saja Eden mempunyai kekasih, kedua…” “Bagus dong, bukankah itu yang kau inginkan?” potong Tuan Teddy. “Iya, memang bagus, tapi sangat tiba-tiba. dan mereka bilang sudah berkencan selama seratus hari. Tapi kenapa kita tidak pernah tahu? Maksudku se
“Jadi kenapa kau mau bertemu denganku sore ini?” Eden kembali bertanya untuk yang kedua kali. Teringat kesepatan mereka sebelumnya. “Apa kau sudah memikirkan tawaranku sebelumnya.” “Ah, itu.” Anna merubah posisi duduk. Sebenarnya tidak ada yang ingin dibicarakannya dengan Eden, hanya saja karena Sherin tadi pagi dia terpaksa mengajak Eden keluar. Terlepas dari kejadian bertemu dengan Ibu Eden secara tidak sengaja sore ini. “Maaf, sebenarnya tidak ada yang ingin kubicarakan denganmu.” Kening Eden berkerut. “Jadi mengapa kau mengajakku untuk bertemu?” “Karena Sherin tak sengaja menghubungimu tadi pagi,” lanjut Anna sambil memasang wajah penuh rasa bersalah. Kali ini Eden ikut menghela nafas. Setengah karena merasa iba dengan Anna, sebagian lagi karena sudah membantunya sore itu. “Kalau memang tidak ada yang ingin kau bicarakan. Sebaiknya aku kembali ke kantor.” “Tunggu!” kata Anna spontan yang berhasil m
“Kenapa ayah memanggilku?” kata Eden ketika baru saja tiba di ruangan ayahnya. Ia duduk di sofa empuk di tengah ruangan sambil menyilangkan kaki. “Sebentar lagi aku ada janji dengan klien.” Eden melirik jam tangan berlagak sibuk. “Aku dengar ibumu kemarin bertemu dengan Anna?” kata Tuan Teddy terdengar santai. Ayahnya juga sibuk membaca berkas yang terkambang di meja. “Ayah menyuruhku datang hanya untuk menanyakan itu?” protes Eden. Kenapa tidak di telepon saja tadi.“Hmm…. Tidak juga. Tapi itu salah satunya,” balas Tuan Teddy lagi terdengar bercanda. Kini dia sedikit terkekeh sambil merebahkan badan ke sandaran kursi. “Aku rasa ibumu melakukan sesuatu,” ungkap Tuan Teddy penuh curiga. “Aku sudah tahu itu,” jawab Eden dengan raut wajah sok tahu. Namun, ayahnya justru menatapnya dengan heran. “Kau sudah tahu? Bagaimana bisa?” “Terlihat jelas karena aku juga ada di sana ketika ibu bertemu dengan Anna,” terang Eden lagi sambil menyandarkan
“Tumben sekali kau diam dan bersikap tenang?” kata Eden membuka pembicaraan. Memecah sunyi di dalam mobil yang terus melaju. “Hm?” Anna salah tingkah. “Tidak, hanya saja energiku sudah terkuras habis,” balas Anna asal sambil memasang wajah yang dilemas-lemaskan. “Memangnya kau melakukan apa sampai energimu terkuras habis begitu?” Eden menyeringai dengan nada mengejek. Sungguh Anna mengutuk dalam hati. Entah apa yang merasuki Eden hari ini sampai sikapnya menjadi selunak ini padanya. Semenjak pertemuan mereka dengan ibu Eden tadi sore, Eden lebih banyak tersenyum bahkan mengajaknya mengobrol lebih dulu. Dan hatinya yang tak bisa diajak bekerja sama. Terus berdebar dan bergejolak setiap melirik ke arah Eden. Tangannya yang menampilkan semburat hijau yang memegang erat stir kemudi. Matanya yang menatap lurus ke depan. Anna bisa melihat profil samping Eden yang nyaris sempurna. Bulu mata lentik dan hidung mancung. Astaga! Jantung Anna semaki
Dulu Eden mempunyai pemikiran yang sama dengan Anna. Memikirkan akan hidup bersama orang yang dicintainya saja sudah cukup untuk membuatnya merona. Tapi itu dulu. Tiba-tiba saja kenangan lima tahun lalu kembali melintas di benak Eden. Seolah kejadian itu baru terjadi kemarin. Waktu itu Eden menuruti kemauan ibunya untuk mengikuti kencan buta untuk pertama kalinya. Pertemuan pertama dengan gadis yang dipilih ibunya tidaklah buruk. Saat itu, Eden merasa beruntung dipertemukan dengan gadis cantik bernama Evelyn Lee. Sama seperti namanya, gadis itu berparas cantik, kulit putih, tinggi dan pekerjaan yang mumpuni yaitu menjadi seorang psikiater. Dia juga berasal dari keluarga yang setara dengan Eden. Dia langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Suaranya, senyumnya, semuanya. Saat pertemuan pertama, Eden tak banyak bicara karena ia tak terlalu pandai menunjukkan perasaan.“Aku dengar kau dokter kecantikan terkenal di kota, itu mengagumkan,” puji Evelyn memulai topik pembicaraan. Mereka b