Share

8. KENANGAN BODOH

Anna menyelam di tengah gelapnya kamar. Sherin masih belum pulang karena masih pukul delapan malam. Mungkin jam segini masih siang padanya.

            Gadis yang belum berganti pakaian semenjak siang tadi merebahkan badannya di ranjang. Terlalu malas untuk berjalan ke arah pintu untuk menghidupkan lampu. Berbagai pikiran menjalari benaknya.

            Langit langit kamar sunyi. Hanya sayub-sayub klakson mobil di jalan bawah sana yang menyelinap masuk. Anna mendesah lantas mengangkat sebelah tangan menutupi wajah. Apakah keputusannya sekarang sudah benar. Jawaban Eden atas pertanyaannya cukup untuk mengoyak hati Anna yang sudah terluka.

            “Tapi bagaimana jika mereka benar-benar ingin kita menikah?” Anna bertanya setengah panik.

            Eden terkekeh pelan. “Tidak semua pasangan yang berkencan berakhir dengan pernikahan. Jangan bilang kalau selama ini kau berpikiran seperti itu?” Eden melirik Anna yang menatap lurus ke depan. “Apa kau juga mengharapkan sebuah pernikahan setelah berkencan dengan pria itu?”

            Anna masih diam, enggan untuk menanggapi. “Memangnya apa yang kau harapkan dari berkencan dari seorang pria. Kita tidak bisa tahu dia tulus atau hanya bermain-main. Toh, kau juga sudah tau kalau kau hanya mainan baginya dan sudah melihatnya dengan langsung.  Sepertiya dia juga tak berniat untuk mengajakmu menikah.”

            Air mata Anna sudah melarikan dari mata. Dia terisak. Hidungnya merah dan penuh dengan ingus. Dia teringat akan kenangan manisnya bersama Kevin dan menyadari betapa bodoh dirinya waktu itu. Entah mengapa dia berharap begitu banyak pada Kevin sementara dialah yang paling banyak berkorban. Anna bahkan selalu mengalah jika mereka bertengkar, selalu memberikan hadiah pada setiap peringatan hari jadi mereka walau Kevin tak pernah mengingatnya. Anna juga selalu datang jika Kevin menghubunginya lebih dulu, tak pernah bertanya apalagi membantah. Dia mengasihani dirinya karena semua tingkah bodohnya dulu.

            “Hei! Kenapa kau menangis?” Eden menjadi salah tingkah setelah mendengar tangisan Anna yang mulai keras. Akhirnya dia menghentikan mobilnya di tepi jalan. “Buat apa kau menangis? Karena pria itu lagi?” tebak Eden asal. Hanya itu alasan yang mungkin kenapa Anna menangis.

            Anna keluar dari mobil lalu bersandar di pintu. Dia menangis semakin keras. Ini kedua kalinya dia menangis di tengah keramaian setelah kejadian di halte waktu itu. Bedanya kali ini dia di temani oleh Eden.

            Matahari tepat berada di atas kepala, namun angin sepo-sepoi membuatnya menjadi sejuk. Menetralkan rasa panas yang membakar kepala. Eden ikut turun dari mobil dan mendapati Anna menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

            “Sejujurnya dia tak layak untuk kau tangisi. Tapi… ya menangislah sepuasnya.” Eden menutupi wajah Anna dengan jas yang baru saja di bukanya lantas tangannya beralih menepuk pelan pundak gadis yang mulai terguncang itu.

            Anna mengusap wajah setelah dering ponsel membuatnya kembali tersadar. Dia meraih ponsel yang masih berada di dalam tas. Terpaksa dia duduk karena tak menemukan ponsel yang terus berbunyi – hampir saja dia mengutuk siapa yang menelepon. Kini dia malah tersenyum melihat nama yang tertera di layar.

            “Hallo.” Anna menyapa dengan ramah dan hangat.

            “Suaramu kenapa lesu begitu?” Anna ketahuan oleh neneknya. Dia memang tak bisa berbohong, lihatlah. Neneknya langsung tahu kalau Anna sedang tidak baik-baik saja hanya dengan suara.

            “Lesu? Tidak.” Anna mengelak sambil tertawa pelan. Ia kini bisa mendengar neneknya ikut tertawa di seberang sana. “Kau baik-baik saja nek? Kalau Kakek sehat?”

            “Hm. Kami baik-baik saja.”

            “Ada apa menelepon?”

            “Begini…” Suara neneknya terdengar agak ragu.

            “Ada apa nek?”

            “Ibumu tadi datang ke sini.”

            Pupil mata Anna bergetar. Sudah lama dia tak mendengar kabar dari ibunya. Anna pikir ibunya benar-benar memutuskan hubungan mereka semenjak Anna menolak bergabung menjadi bagian keluarga setelah ibunya menikah lagi. Justru Anna tak menyangka kalau ibunya akan menemui nenek di pinggir kota padahal tak pernah menelepon hanya untuk bertanya kabar.

            “Dia bertanya keberadaanmu sekarang. Maaf aku memberitahunya tanpa mengabarimu lebih dulu.” Suara neneknya berubah menyesal.

            Anna tersenyum pelan meskipun tak terlihat olehnya. “Tidak apa-apa nek. Buat apa meminta maaf, toh itu bukanlah kesalahan. Nenek hanya menjawab pertanyaannya, kan? Tidak apa. Tak masalah. Aku tinggal bertemu dengannya nanti jika memang dia datang ke rumahku nanti.” Anna membalasnya dengan nada suara yang terdengar ceria. Supaya neneknya tak terlalu khawatir karena melakukan hal-hal yang dibenci oleh Anna.

            Bisa dibilang Anna adalah anak yang tak diakui secara hukum dalam keluarga Arasely. Dan tentu saja banyak saudara tiri terutama ibu tirinya sangat tak menyukai dirinya, terlebih semenjak ibu Anna menjadi istri kedua dari ayah tirinya saat ini. Hanya kakak keduanya yang bersikap baik padanya, sementara kakak laki-lakinya yang lain justru sangat membenci Anna. Takut jika ayahnya akan menjadikan Anna sebagai pewaris tunggal padahal tidak memiliki hubungan darah sedikit pun.

***

            Seketika Anna ingin minum bir. Dia berjalan ke dapur dan membuka pintu kulkas. Untuk kesekian kalinya Anna mendesah. Sherin menghabiskan semuanya tanpa mengisi kembali. Tak berpikir panjang, Anna bersiap pergi ke supermarket. Dia sangat ingin minum malam itu.

            Malam kota Jakarta tak pernah tidur. Kehidupan malam baru saja di mulai. Jalanan masih padat dan penuh dengan kepul asap yang menggumpal di belakang. Supermarket dua puluh jam tak jauh dari apartemen Anna. Hanya butuh sepuluh menit dengan berjalan kaki.

            Seorang kasir yang masih muda baru saja menyapanya tepat setelah Anna mendorong pintu supermarket. Anna membalasnya dengan sebuah senyuman dan anggukan kecil. Lantas dia langsung berjalan menuju rak bagian alkohol. Tak sengaja Anna melihat sebuah roti dengan merek dagang perusahaan ayahnya.

            Ah, dia merasa malas sekali lantas segera mengalihkan pandangan. Perusahaan keluarga Anna bergerak di berbagai bidang. Mulai dari makanan, pakaian hingga properti. Tak heran jika dia menemukannya dimana-mana.

            Anna mengambil sebotol bir dari kulkas lalu segera ke kasir dan membayarnya. Dia tak langsung kembali ke apartemen, tetapi memilih duduk di bangku plastic di depan supermarket. Duduk bersantai barang sebentar saja menatap bintang di langit meski tak bersinar seterang biasanya. Apakah dia ikut menertawakan keadaan Anna yang sekarang?

            Huft! Anna menghela nafas berat setelah menenggak bir. Matanya mulai berair karena angin malam yang berhembus. Payung meja tempat duduknya tak membantu untuk menghadang hembusan angin.

            “Oh, Anna!” Sherin berseru memanggil namanya dari kejauhan. Jarak mereka masih beberapa langkah, Sherin melambaikan tangan dengan semangat. Sepertinya dia mabuk berat.

            Anna segera bangkit dan berlari menghampiri Sherin – hampir saja gadis itu tersungkur ke tanah karena pijakannya yang tak kuat. “Astaga! Kau mabuk berat.” Anna memapah Sherin menuju tempat duduknya tadi. Dia kembali masuk ke dalam supermarket dan membelikan sebotol minuman penghilang pengar dan sebotol air putih.

            Rencananya ingin mabuk malam itu pun batal. Jika dia ikutan mabuk, bagaimana mereka akan pulang. Tidak ada yang beres jika mereka berdua sudah mabuk.

            “Ini.” Anna membuat tangan Sherin mencengkram botol yang sudah di buka. Menyuruh gadis itu segera meminumanya agar segera tersadar. “Eeih, kebiasaan sekali. Sekarang dengan siapa lagi?” Bodohnya Anna mengomeli Sherin yang tak fokus.

            “Tampaknya temanmu mabuk berat ya?” Suara seorang laki-laki datang dari belakangnya dan membuat Anna berbalik.

            Matanya langsung membesar, “Eden?”

            ****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status