Suara burung pagi menyapa tak lagi terdengar. Bahkan suara anak-anak yang hendak berangkat ke sekolah yang melewati mereka luruh ke tanah. Mereka terdiam sejenak dengan mata yang saling bertatap tatapan. Namun, tak ada reaksi apapun setelahnya hingga Anna mengalihkan pandangannya.
Pertanyaan Eden sangat tiba-tiba dan terkesan blak-blakan.
“Apa? Tentu saja tidak,” tolak Anna mentah-mentah.
“Makanya itu, buat apa kau memikirkan tanggapan dari orang tuaku nanti,” jelas Eden. “Tapi….” Anna masih beralasan. Dengan sekuat tenaga Eden menarik Anna masuk ke dalam rumah.
Kenop pintu di putar. Pintu terbuka. “Ganti dengan ini!” Eden menyodorkan sepasang sandal rumah berwarna abu-abu pada Anna.
“Astaga,” seru Anna. Dia membelalak ketika melihat kakinya yang kotor. Dia lupa membersihkannya dengan tisu basah tadi. “Pakai saja,” kata Eden tak peduli. Dia menyarungkan sandal ke kakinya.
Anna menahan lengan Eden. “Kenapa lagi?” tanya Eden.
“Pinjam kunci mobilmu, aku mau ambil tisu basah dulu,” kata Anna sambil menengadahkan tangan meminta kunci mobil. “Tak usah,” balas Eden. Dia membalik badan Anna, mulai menuntunnya berjalan lurus ke depan.
“Sssshh,” desis Anna. Dia kembali berbalik dan agak membungkuk untuk menggeledah badan Eden tanpa permisi. “Kau simpan dimana?” Eden berusaha menepis tangan Anna yang menyentuh badannya.
“Ehem..Ehem…” Suara dehaman seseorang terdengar. Gerak tangan Anna berhenti. Dia langsung kembali berdiri tegak dan berbalik. Sepasang suami istri sudah berdiri di hadapannya. Anna menautkan kedua tangannya di bawah perut, kemudian membungkuk empat puluh lima derajat memberi hormat pada orang tua Eden.
Anna menilik raut wajah Nyonya Arini yang tampak tak suka padanya. Bahkan ayah Eden juga menatap heran padanya. Mereka memindai penampilan Anna dari atas kepala hingga kaki. Wajar saja mereka tak suka. Siapa yang suka jika melihat pacar anak mereka yang sangat berantakan seperti ini. Bukan sekedar berantakan biasa, tetapi benar-benar kacau dengan rambut berantakan. Lebih parahnya adalah dress mini setengah paha yang melekat di badan, pinggang terbuka dan bagian paha yang robek. Penampilannya sangat berbanding terbalik dengan penampilan Nyonya Arini yang tertutup dan tampak anggun dengan blouse berpadu rok kembang warna putih. Terlihat seperti anak muda.
“Selamat pagi,” sapa Anna ramah sambil menunjukkan senyuman terbaiknya. Sedangkan sebelah tangan Eden merangkul bahunya. Pria itu ikut tersenyum manis yang tampak di paksakan. “Namanya Anna. Gadis yang sedang berkencan denganku.” Eden memperkenalkan Anna penuh semangat.
Kedua orang tuanya sama-sama terkejut. Tak menyangka anaknya benar-benar membawa seorang gadis pulang. Terutama Nyonya Arini. Akhirnya Tuan Teddy bersuara karena Nyonya Arini masih terdiam menatap Anna. “Oooh… iya…., Selamat pagi,” balas Tuan Teddy sedikit canggung. “Datang sepagi ini pasti agak mengejutkan, ya?” lanjut Tuan Teddy. Dia mempersilahkan Anna masuk dan langsung membawanya menuju ruang tamu.
“Maaf bu, aku tak sempat membawakan sesuatu untuk kalian, karena belum ada yang buka sepagi ini,” kata Anna berbasa-basi. Dia agak risih karena sulit untuk duduk di sofa yang agak rendah. Tidak lama kemudian Nyonya Arini memberinya sebuah selimut sambil menatap tajam padanya. Anna agak takut menatap mata ibu Eden, akhirnya dia menerimanya dengan canggung. “Terima kasih bu,” lanjut Anna sembari menutupi pahanya.
“Aku tidak menyangka kalau kau terlihat sangat bebas seperti ini,” balas Nyonya Arini dengan sedikit terkekeh yang terdengar tak tulus. Sontak Anna menoleh pada Eden. Bertanya dengan tatapan matanya. “Sudah kubilang aku harus berganti baju dulu tadi.” Eden menggeleng, memberi isyarat untuk terus berakting.
“Aku minta maaf karena datang tiba-tiba seperti ini, bu.” Anna meminta maaf sambil membungkukkan badannya lagi. “Ha..ha..ha..” Eden tertawa memecah suasana canggung yang menegangkan itu.
“Tidak apa-apa, tidak masalah. Seharusnya kami yang minta maaf karena mengundangmu sepagi ini,” balas Tuan Teddy merasa sungkan. “Sayang, dia pacar Eden. Kita harus menghargainya,” bisik Tuan Teddy pada Nyonya Arini di samping. Dia paham betul bagaimana sikap istrinya. Tapi bagaimana pun juga istrinya pasti kecewa. Tentu saja bukan gadis seperti Anna yang diharapkannya.
“Sebenarnya salahku juga karena memaksanya datang sepagi ini. Tapi untunglah dia mau datang setelah aku bersusah payah membujuknya semalaman,” jelas Eden lagi sambil mencubit manja pipi Anna hingga membuat kedua orang tuanya menoleh menatapnya lekat. Begitu pula dengan Anna yang menatapnya balik. Akting Eden sudah agak kelewatan.
“Semalaman kalian bersama?” tanya ayahnya memastikan lagi. Hanya Tuan Teddy yang banyak bersuara sedari tadi. Sementara Nyonya Arini masih terdiam sambil melirik Anna sesekali.
“Ya.. aku bersamanya semalaman, aku segera membawanya kemari sebelum dia berubah pikiran,” balas Eden mantap sambil merangkul pundak Anna dengan erat. Dia tersenyum manis menatap Anna yang tersenyum kaku di sampingnya. Gadis dalam rangkulannya itu hanya bisa mengangguk-ngangguk setuju.
Nyonya Arini masih menatap lekat pada Anna. Berusaha bersikap tenang. Bagaimanapun Anna adalah kekasih anaknya. Gadis yang katanya berhasil merebut hati Eden.
Anna menelan salivanya berkali-kali. Kemudian menghela nafas panjang. Tepat saat itu, bibi di rumah mereka menyajikan teh di meja. Nyonya Arini mulai menyusun cangkir di atas tadah masing-masing.
“Huft. Aku jadi ingin minum lagi karena masih merasa dingin,” celetuk Anna tiba-tiba yang membuat tangan Nyonya Arini bergetar ketika menuangkan teh ke cangkir hingga tumpah. Eden yang menangkap reaksi ibunya yang terkejut karena ocehan Anna tersenyum dalam diam. Merasa puas dengan perangai acak Anna. Gadis itu melebihi bayangan Eden sebelum dia pulang.
“Kau suka minum, ya?” tanya Nyonya Arini, tetap berusaha tersenyum mengendalikan raut wajahnya. “Iya,” jawab Anna tanpa ragu. Eden di sampingnya kembali tersenyum dalam diam. Ia tahu ibunya tidak suka dengan alkohol. Kesukaan Anna termasuk pukulan keras bagi Nyonya Arini. Eden menang telak.
“Oh ya, sebelumnya maafkan aku bu, karena tidak datang tepat waktu,” lanjut Anna lagi. Masih belum menangkap arti dari tatapan Nyonya Arini yang penuh arti padanya. Bahkan kini Anna mulai terlihat mencoba untuk akrab dengan orang tua Eden.
“Aku paham kenapa kau tak bisa langsung datang, aku juga salah karena langsung mengajakmu tanpa memperkenalkan diri,” balas Nyonya Arini datar sambil menyajikan secangkir teh untuk Anna dan juga Eden. “Kalian sudah pacaran berapa lama?” dia mulai mengintrogasi.
“Dua bulan,”
“Seratus hari,”
Jawaban Eden dan Anna tak sinkron. Ucapan mereka hanya akan membuat daftar curiga semakin panjang, terlebih bagi Nyonya Arini. Sepersekian detik Eden menatap orang tuanya bergantian, dengan cepat mengendalikan situasi. “Jangan bilang kau lupa hari jadi kita?” Eden pura-pura beradu argumen dengan Anna. “Hmm… maksudku seratus hari,” kata Anna sambil cengengesan. Nyonya Arini memicingkan sebelah matanya menaruh curiga pada anaknya.
“Karena kami baru mulai pacaran tiga bulan yang lalu bu, jadi kami masih butuh waktu agar bisa saling mengerti sepenuhnya,” lanjut Anna memperkuat argumennya. Dia merasa ungkapan yang baru saja keluar dari mulutnya benar-benar legendaris. Entah dari mana dia mendapatkan kemampuan akting seperti itu. Seharusnya dia bisa mendapatkan penghargaan aktris terbaik di akhir tahun. “Karena itu, aku berharap kalian mendukung hubungan kami,” terang Anna tanpa berbasa-basi. Dia melakukan apa yang diminta oleh Eden. Pria di sampingnya ikut tersenyum bangga dengan akting Anna yang jauh di atas ekspektasinya.
“Sebelumnya aku ingin minta maaf dulu pada kalian karena mungkin perkataanku nanti terdengar agak lancang, tapi…” Anna berhenti sejenak menilik raut wajah orang tua Eden yang menunggu kelanjutan dari kalimatnya. “Bukankah seseorang mempunyai hak untuk menentukan siapa yang akan menjadi pendamping seumur hidupnya? Ya… meskipun orang tua juga pasti akan ikut berperan dalam memberi nasehat ketika mengambil keputusan, tapi tentu saja keputusan akhir ada pada orang yang akan menjalaninya nanti. Kami…..” Anna meraih tangan Eden yang bebas di atas paha. Dia terhanyut dalam aktingnya.
“Jadi maksudmu adalah kamu ingin agar kami tak mendesak kalian?” potong Tuan Teddy mengerti dengan maksud Anna yang mengangguk-ngangguk antusias.
“Aku mungkin masih akan bertengkar dengan Eden, kemudian berbaikan lagi, bertengkar lagi lalu berbaikan lagi, tapi kami pasti akan tetap bersama karena hal itu membuat kami semakin dekat. Dan ketika saatnya tiba, kami akan meminta persetujuan kalian secara resmi,” tutup Anna. Dia menoleh menatap Eden di samping.
Nyonya Arini menghela nafas kemudian menatap Tuan Teddy. Sementara suaminya itu balas mengangguk pertanda setuju dengan permintaan Anna. “Baiklah,” kata Nyonya Arini terdengar sendu, “aku akan menghargai keinginanmu, tapi aku harap kau juga mematuhi beberapa hal yang harus dipatuhi dari keluarga Eden karena tidak lama lagi kau akan menjadi menantu dari keluarga ini. Yang aku inginkan sekarang hanyalah keseriusan hubungan kalian. Bagaimanapun….”
“Sayang.” Eden menyela tiba-tiba. Dia tak mau ibunya mengomel lebih panjang. “Bukankah kau harus segera berangkat kerja?” potong Eden sambil menunjukkan jam tangannya pada Anna. Matanya berkedip memberi isyarat pada Anna. “Oh ya? Astaga aku lupa.” Anna pura-pura berubah panik. “Ayo aku antar,” Eden bangkit lebih dulu. Dia meraih tangan Anna mengajaknya untuk bangkit.
Nyonya Arini mengulum bibir bawahnya. Anaknya itu benar-benar tidak sopan bahkan kurang ajar. Sekarang dia bahkan hendak pergi.
“Duduk! Aku belum selesai berbicara!” Suara Nyonya Arini terdengar lebih tegas. Tuan Teddy yang duduk di sampingnya seakan sudah mengerti dengan apa yang akan terjadi, segera menyuruh Eden membawa Anna pergi. “Oh begitukah? Sebaiknya kalian segera pergi.”
“Ibu. Ayah. Kami pamit dulu,” pamit Eden terburu-buru. “Aku pamit dulu bu, maaf aku pergi terburu-buru seperti ini, aku benar-benar minta maaf. Aku menyayangkan karena tidak bisa berbincang lebih lama,” kata Anna sambil memasang wajah menyesal.
“Kau bersikap nyaman di rumah ini saja, aku sudah cukup senang,” balas Tuan Teddy. “Pergilah. Nanti kau terlambat,”
“Aku berangkat dulu, ya bu,” tutup Anna kemudian membungkukkan badan memberi salam. Setidaknya Nyonya Arini masih menyunggingkan seulas senyum meskipun tak menutupi rasa tak sukanya pada Anna.
Tuan Teddy bahkan mengantar mereka hingga ke luar rumah. “Ayah tak usah mengantar kami,” tolak Eden. Dia berjalan cepat dan membukakan pintu mobil untuk Anna. Dari dalam mobil, mereka melambaikan tangan hingga mobil mereka menjauh dan tak lagi melihat orang tua Eden di belakang.
Senyum di wajah Anna hilang. Dia menyandarkan badannya ke belakang. “Aahh, rahangku sampai sakit,” gumam Anna pasrah. “Tapi keluargamu sangat baik,” ungkapnya lagi seketika merasa bersalah, “tiba-tiba aku merasa tidak enak pada mereka.”
“Tidak usah pedulikan mereka,”
“Tapi bagaimana jika mereka percaya dan benar-benar menyuruh kita menikah?” Sontak Anna terkejut dengan pemikirannya sendiri.
****
Anna menyelam di tengah gelapnya kamar. Sherin masih belum pulang karena masih pukul delapan malam. Mungkin jam segini masih siang padanya. Gadis yang belum berganti pakaian semenjak siang tadi merebahkan badannya di ranjang. Terlalu malas untuk berjalan ke arah pintu untuk menghidupkan lampu. Berbagai pikiran menjalari benaknya. Langit langit kamar sunyi. Hanya sayub-sayub klakson mobil di jalan bawah sana yang menyelinap masuk. Anna mendesah lantas mengangkat sebelah tangan menutupi wajah. Apakah keputusannya sekarang sudah benar. Jawaban Eden atas pertanyaannya cukup untuk mengoyak hati Anna yang sudah terluka. “Tapi bagaimana jika mereka benar-benar ingin kita menikah?” Anna bertanya setengah panik. Eden terkekeh pelan. “Tidak semua pasangan yang berkencan berakhir dengan pernikahan. Jangan bilang kalau selama ini kau berpikiran seperti itu?” Eden melirik Anna yang menatap lurus ke depan. “Apa kau juga mengharapkan sebuah pernikahan
“Bagaimana kau bisa menemukanku di sini?” Anna dan Eden berbicara empat mata di tempat duduk yang sama. Sementara Sherin sudah tertidur di meja. Baiklah. Anna akan menggendongnya nanti.“Lagi-lagi kau menatapku dengan tatapan penuh curiga seperti itu,” jawab Eden dengan setengah hati.Eden meletakkan sebuah dompet berwarna hitam di atas meja. “Aku ingin menyerahkan ini padamu.”Sontak Anna langsung meraih dompetnya di atas meja dengan mata berbinar. Padahal dia sudah hampir menyerah saat mencari dompetnya sesaat akan keluar rumah tadi. Dia mungkin akan melapor ke polisi jika besok dia tidak kunjung menemukan dompetnya itu.“Syukurlah kau menemukannya,” ungkapnya sambil tersenyum lega pada Eden. “Terima kasih,” lanjutnya lagi.“Kenapa harus repot-repot jauh mengantar ke sini. Kau bisa telfon saja jadi aku akan menjemputnya besok.”Kali ini Eden meletakkan ponselnya di atas meja. “Bagaimana aku bisa menghubungimu jika nomormu saja tidak punya,” celetuk Eden lagi.Ah, betul juga. Pertemu
“Jadi dia – ?” mata Anna bergantian menatap layar ponsel kemudian beralih menatap Sherin. “Tapi dia tidak tampak seperti itu,” lanjut Anna menolak menerima isi dari berita itu. Sherin mengedikkan bahu tak yakin. “Kita memang tidak ada yang tau dalamnya seseorang seperti apa, kan? bisa jadi dia memang pandai menyembunyikan jadi dirinya selama ini. Kau bisa baca juga isi artikel lain yang terkait. Keluarga mereka keluarga terpandang. Seluruh keluarga bekerja di bidang kesehatan. Ibunya Kepala Yayasan pusat rehabilitasi, kakeknya juga Direktur Rumah Sakit besar bahkan kini ayahnya menjadi dosen ahli saraf. Dan dia juga seorang dokter kecantikan. Jadi wajar saja jika dia terkena isu isu miring seperti itu. Ya, bisa jadi juga karena dia tidak pernah terlibat dengan seorang wanita dengan wajah setampan itu. Bukankah itu agak aneh?” Sherin masih asik menyuap nasi goreng buatan Anna. “Tapi – “ “Lagi pula apa hubungannya denganmu jika dia memang gay atau buk
Hari ini Anna mendapatkan tugas mengawasi salah satu gerai pakaian bermerek. Biasanya dia mendapatkan tugas di bagian perhiasan. Hanya saja kali ini dia mendapatkan jadwal rolling. Jabatannya yang hanya sebagai staff biasa, jadi dia tak punya hak untuk membantah. Intinya dia hanya bawahan dari bawahan yang berada di atasnya. Sialnya dia tak beruntung hari itu. Dia justru bertemu salah satu teman sekolahnya dulu yang paling di bencinya. Bukannya benci, dia terlalu tidak suka dengan teman yang suka pamer dan merendahkan. Terlebih temannya itu baru saja menikah dengan salah seorang pengusaha tajir. Tentu saja tingkat kesombongan meningkat hinga level tertinggi. “Oh my god, lihat siapa yang kutemui,” sapa Olive ketika melihat Anna berjaga di dekat kasir. Gayanya sudah seperti artis papan atas lengkap dengan tas jinjing bermerek. “Bukankah ini Anna? Yang katanya akan menikah tapi tak jadi?” sindirnya dengan nada suara yang keras. Anna hanya bisa tersenyum manis deng
Anna menyesap kopinya. Dia berusaha menjaga sikap di depan orang yang tampak begitu tenang di hadapannya kini. Jangan bilang ibu Eden tadi melihat pertengkarannya dengan Olive tadi? Anna membatin. “Kau bekerja di sini?” tanya Nyonya Arini. Dia ikut menyesap kopi dari cangkirnya. Mereka berbincang di café. “Iya bu,” jawab Anna ramah. Dia bingung bagaimana harus bereaksi. Kenapa dia harus bertemu ibu Eden di sini? Bukankah seharusnya Eden yang duduk di hadapannya kini? Anna melirik jam mungil yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Masih tersisa satu jam lagi sebelum janji temu mereka. “Sebagai…” tanya Nyonya Arini lagi memastikan setelah melihat pakaian Anna yang sudah lebih dari cukup menjawab keraguannya. “Iya bu, aku hanya staff biasa,” jawab Anna masih tersenyum. Lagi-lagi dia menyesap kopinya untuk menutupi rasa gugup.“Aku juga sudah lama tidak berbelanja, bagaimana kalau kau menemani ibu berbelanja?” ajak Nyonya Arini tiba-tiba.
Nyonya Arini berjalan cepat menerobos masuk ruangan kerja suaminya. Dia membuka pintu dengan keras hingga mengejutkan semua orang di dalam. Sontak Tuan Teddy terlonjak kaget dari bangku kerjanya dengan tangan terangkat memegangi dada. “Ada apa? Sekarang apa lagi?” “Sepertinya ada yang tidak beres antara Eden dan pacarnya Anna itu.” Nyonya Arini menaruh curiga sambil memicingkan sebelah matanya. “Apanya? Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?” balas suaminya. “Begini…” Nyonya Arini mulai menyusun kata-kata yang akan di ucapkannya. Sekarang dia sudah berdiri di samping meja kerja suaminya. Tuan Teddy pun memutar kursinya hendak mendengarkan penjelasan sang istri dengan seksama. “Pertama, tiba-tiba saja Eden mempunyai kekasih, kedua…” “Bagus dong, bukankah itu yang kau inginkan?” potong Tuan Teddy. “Iya, memang bagus, tapi sangat tiba-tiba. dan mereka bilang sudah berkencan selama seratus hari. Tapi kenapa kita tidak pernah tahu? Maksudku se
“Jadi kenapa kau mau bertemu denganku sore ini?” Eden kembali bertanya untuk yang kedua kali. Teringat kesepatan mereka sebelumnya. “Apa kau sudah memikirkan tawaranku sebelumnya.” “Ah, itu.” Anna merubah posisi duduk. Sebenarnya tidak ada yang ingin dibicarakannya dengan Eden, hanya saja karena Sherin tadi pagi dia terpaksa mengajak Eden keluar. Terlepas dari kejadian bertemu dengan Ibu Eden secara tidak sengaja sore ini. “Maaf, sebenarnya tidak ada yang ingin kubicarakan denganmu.” Kening Eden berkerut. “Jadi mengapa kau mengajakku untuk bertemu?” “Karena Sherin tak sengaja menghubungimu tadi pagi,” lanjut Anna sambil memasang wajah penuh rasa bersalah. Kali ini Eden ikut menghela nafas. Setengah karena merasa iba dengan Anna, sebagian lagi karena sudah membantunya sore itu. “Kalau memang tidak ada yang ingin kau bicarakan. Sebaiknya aku kembali ke kantor.” “Tunggu!” kata Anna spontan yang berhasil m
“Kenapa ayah memanggilku?” kata Eden ketika baru saja tiba di ruangan ayahnya. Ia duduk di sofa empuk di tengah ruangan sambil menyilangkan kaki. “Sebentar lagi aku ada janji dengan klien.” Eden melirik jam tangan berlagak sibuk. “Aku dengar ibumu kemarin bertemu dengan Anna?” kata Tuan Teddy terdengar santai. Ayahnya juga sibuk membaca berkas yang terkambang di meja. “Ayah menyuruhku datang hanya untuk menanyakan itu?” protes Eden. Kenapa tidak di telepon saja tadi.“Hmm…. Tidak juga. Tapi itu salah satunya,” balas Tuan Teddy lagi terdengar bercanda. Kini dia sedikit terkekeh sambil merebahkan badan ke sandaran kursi. “Aku rasa ibumu melakukan sesuatu,” ungkap Tuan Teddy penuh curiga. “Aku sudah tahu itu,” jawab Eden dengan raut wajah sok tahu. Namun, ayahnya justru menatapnya dengan heran. “Kau sudah tahu? Bagaimana bisa?” “Terlihat jelas karena aku juga ada di sana ketika ibu bertemu dengan Anna,” terang Eden lagi sambil menyandarkan
“Kau dari mana pagi-pagi sekali?” “Tidak ada, aku keluar memang mau menemuimu,” Eden langsung melingkarkan tangan dan menarik Anna ke dalam dekapannya. “Bohong!” Anna mencubit manja hidung mancung milik Eden. “Mana ada, pakaianmu saja lengkap seperti ini. Kau habis dari mana?” “Rumah orang tuaku,” Anna menjauhkan badan dan mengangkat kepala. “Kenapa? Apa terjadi sesuatu di rumah?” Suara Anna terdengar khawatir. Eden menggeleng. Dia kembali memeluk Anna, kali ini lebih erat. “Bisa izin aja gak hari ini? Kerjanya,” “Tidak bisa, aku sudah terlalu sering tidak masuk. Tidak enak jika terus merepotkan Rian yang harus menggantikan shiftku terus. Tapi memangnya di rumahmu terjadi sesuatu? Sampai-sampai kau harus pulang sepagi ini? Tumben banget.” “Tidak ada. Atau kau mau berhenti bekerja saja?” Eden terus saja mengalihkan topik pembicaraan. “Hei!” Kali ini Anna mendorong tubuh Eden cukup jauh hingg
“Ya. Aku memang bertengkar hebat di Departemen Store waktu itu,” jawab Nyonya Arini dengan suara yang lantang. “Tapi bukan dengan Anna,” lanjutnya lagi, suaranya mulai melunak. “Lalu?” “Aku tidak tau masalah mereka apa, tapi tiba-tiba saja seorang gadis menampar Anna bahkan menjambak rambutnya. Aku tidak terima dia mengatakan hal-hal buruk padanya di tengah keramaian seperti itu.” “Apa?” Eden mendengus tidak percaya. Siapa yang berani beraninya menampar kekasihnya itu. “Bagaimana dengan Anna? Dia tidak mungkin diam saja kan? Apa dia terluka?” “Tentu saja tidak, justru Anna balas menampar gadis itu. Aku segera berlari menghampirinya. Awalnya berniat untuk membantu tapi saat Anna memanggilku dengan sebutan ibu, gadis gila itu justru ikut menarik rambut Anna sambil mengatakan kalau aku tidak mendidik anakku dengan baik.” Nyonya Arini tertawa getir. Dia ingat betul bagaimana kata-kata itu meluncur dari mulut gadis yang berlagak sombong itu.
“Boleh aku bertanya bagaimana perasaanmu lebih jauh?” Sontak Anna langsung menoleh setelah mendengar pertanyaan Eden barusan. Mereka memilih kembali ke salah satu kedai tepi pantai setelah makan malam bersama di rumah Anna. “Hm?” Anna bingung perasaan mana yang dimaksud Eden. Bukankah mereka sudah sama-sama saling mengetahui perasaan masing-masing. “Sudah jauh lebih lega?” “Ah, tentang itu,” sahut Anna mengerti dengan arah pertanyaan Eden. Hampir saja dia salah paham. “Atau masih ada yang kau khawatirkan? Katakan saja padaku, aku akan menyelesaikannya untukmu,” Anna menggeleng. “Tidak ada, kini semuanya terasa lebih lega. Tapi – “ “Tentang ibuku?” Eden menyela lebih dulu. Jika masalah keluarga Anna sudah selesai, berarti hanya tinggal masalah keluarga. Eden pun mengerti tantangan yang akan dihadapi Anna walaupun ibunya sudah memberi restu. Tapi itu masih terasa fana sampai hubungan mereka b
Mereka duduk bertiga di meja makan. Tak ingin melibatkan nenek Anna yang masih asik menonton televisi di ruang tengah. “Maafkan aku bu, semua ini salahku bu. Aku yang meminta Anna untuk berpura-pura menjadi kekasihku untuk membuat ibuku berhenti menyuruhku menikah atau menjodokanku dengan beberapa kenalannya. Tapi sekarang hubungan kami tidak palsu lagi bu. Aku serius dengan Anna dan kami menjalani hubungan sungguhan. Bahkan ibuku juga sudah mengetahui semuanya dan memberi restu pada kami bu,” “Tapi itu – ?” Genggaman tangan Eden mengencang membuat Ana berhenti berbicara. Mereka saling berpengangan tangan untuk menunjukkan keseriusan mereka di depan Ibu Anna. Tapi perkara restu Nyonya Arini itu urusan lain. Ibu Anna cukup hanya tau dengan masalah mendapatkan restu atau tidak. Sebatas itu saja. Untuk masalah sampai mana batasan restu yang mereka dapatkan itu urusan nanti. Yang jelas kini mereka sudah mengatakan yang sebenarnya. Dan Anna menginginkan semuanya ter
Senyum gadis yang mengenakan skirt berwarna putih itu cerah secerah mentari pagi. Dia mendapati pria yang kini tengah tersenyum itu merentangkan tangan. Anna berlari-lari kecil segera menghampiri Eden lalu segera memeluk pria itu. Aroma kayu dan laut berpadu begitu menyegarkan. Eden menyipitkan kedua matanya, menilik penampilan Anna pagi itu dari bawah sampai kepala. “Oh, kau pakai lipstip baru ya? Oh pipimu juga.” Eden menggoda Anna sambil mengelus pelan pipi manis gadisnya itu. “Hei! Jangan merusak penampilanku. Aku harus bangun pagi-pagi untuk dandan dan memilih baju yang paling bagus yang aku punya.” Eden memanyunkan bibirnya pura-pura prihatin dengan perjuangan Anna untuk berdandan demi pertemuan mereka hari ini. “Tumben sekali.” Eden menyelipkan poni Anna ke belakang telinga. “Padahal kau tetap cantik tanpa berdandan, bahkan kau cantik memakai apa saja.”“Dasar pembohong!” Anna menyerngitkan kening. “Aku tau kau pura-pura saat bil
Eden memberikan kecupan pelan. “Hm?” Sebaliknya Anna membalas kecupan Eden. “Jangan malam ini, aku harus pulang.” “Hanya segitu?” Eden pura-pura merajuk layaknya anak kecil umur lima tahun. “Kalau kau mau pulang seharusnya lakukan dengan benar, kan?” Anna mendengus pelan. Dia kembali mendekatkan wajahnya pada Eden. Bibirnya beradu dengan lembutnya bibir milik Eden. Perlahan mulai mengulum dan hanyut dalam di dalamnya. Begitu sebaliknya dengan Eden yang membalas setiap ciuman yang diberikan Anna. Malam semakin gelap. “Kau janji besok akan menginap kan?” Eden tak melepaskan tangan Anna dari genggamannya semenjak mobil mereka meninggalkan gedung klinik. Kini mobil mereka terparkir tepat di depan gedung apartemen milik Anna. Anna mendongakkan kepala, melihat lampu apart di lantai tujuh masih menyala atau masih mati. Hanya ada dua kemungkinan, Sherin belum pulang atau memang dia sudah tidur lebih awal. Sebelah tangan Anna menyentu
Senyum Anna langsung merekah saat dirinya melihat kedatangan pria gagah yang berjalan mendekat ke arahnya. Gelapnya senja tak menghalangi Anna untuk mengenali sosok pria yang berhasil mencuri hatinya belakangan ini. “Jangan berlari,” katanya saat Eden mulai berlari-lari kecil begitu melihat Anna keluar dari pintu. “Sudah lama menunggu?” kata Eden dengan nafas yang masih tersengal setelah berlari. Anna memberi gelengan pelan sebagai jawaban. “Kenapa kau berlari?” Eden meraih tangan Anna lalu mengenggamnya. “Aku ingin segera melihatmu.” “Tapi..” Kepala Anna menoleh ke kanan dan kiri. Mencari sesuatu. “Mana mobilmu?” “Ah itu, aku meninggalkannya di kantor.” “Kenapa?” “Supaya aku bisa menghabiskan lebih banyak waktu denganmu.” Anna meninju pelan pada dada bidang milik Eden. Ada-ada saja kelakuannya. Padahal mereka pasti akan menghabiskan waktu bersama karena Eden pasti mengantar Anna pulang.
“Bagaimana bisa? Kenapa kalian terlihat begitu santai?” Mereka duduk berhadapan di meja makan dengan kedua tangan saling tertaut di atas meja. Sedari tadi Eden tidak melepaskan genggamannya dari tangan Anna. “Aku sudah bilang semuanya pada ibumu,” “Semuanya? Dari mana? Dari awal kita bertemu?” Anna mengangguk. Memang tidak semuanya, tapi secara garis besar mencakup semuanya. “Dia tidak marah?” “Tidak, dia justru menyalahkan dirinya sendiri.” Tampak wajah khawatir dari raut wajah Eden. “Kau yakin? Ibuku orang yang pandai menyembunyikan perasaannya. Kau pasti tau sendiri, kan?” “Kenapa?” tanya Anna ikut khawatir. Dia menangkap raut wajah Eden yang tak fokus dan memikirkan banyak hal. “Firasatku tidak enak,” jawab Eden pelan. Ibunya bukan orang yang mudah berubah. Terlebih jika menyangkut masalah dirinya. Aneh sekali jika tiba-tiba ibunya memberi restu setelah sebelumny
Suara tombol pintu di luar membuat Anna tersentak dan membuka mata. Matanya menangkap Eden yang masih terlelap di sampingnya. Seulas senyum tersungging di wajahnya. Digesernya tangan Eden yang mendekapnya semalaman. Kali ini suara pintu terbuka berhasil membuat Anna bangun dan menapakkan kakinya di lantai. Anna terperanjat bukan main saat mendapati Nyonya Arini sudah berdiri di depan pintu kamar mereka. Ya. Semalam Anna menginap di rumah Eden dan disinilah dia berakhir. “Ibu,” kata Anna pelan. Dia kembali menjadi seperti anak kecil berusia lima tahun yang baru saja dimarahi ibunya karena mencuri permen setelah di larang beberpa hari terakhir. Nyonya Arini melengos dan berjalan ke arah sofa di ruang tengah, seperti sudah menduga kejadian seperti ini akan terjadi. “Kau sudah nyaman sekali rupanya.” Anna mengikuti langkah Nyonya Arini di belakang, tapi langkahnya tertahan dan terhenti saat wanita paruh baya itu duduk menyilangka