Suara burung pagi menyapa tak lagi terdengar. Bahkan suara anak-anak yang hendak berangkat ke sekolah yang melewati mereka luruh ke tanah. Mereka terdiam sejenak dengan mata yang saling bertatap tatapan. Namun, tak ada reaksi apapun setelahnya hingga Anna mengalihkan pandangannya.
Pertanyaan Eden sangat tiba-tiba dan terkesan blak-blakan.
“Apa? Tentu saja tidak,” tolak Anna mentah-mentah.
“Makanya itu, buat apa kau memikirkan tanggapan dari orang tuaku nanti,” jelas Eden. “Tapi….” Anna masih beralasan. Dengan sekuat tenaga Eden menarik Anna masuk ke dalam rumah.
Kenop pintu di putar. Pintu terbuka. “Ganti dengan ini!” Eden menyodorkan sepasang sandal rumah berwarna abu-abu pada Anna.
“Astaga,” seru Anna. Dia membelalak ketika melihat kakinya yang kotor. Dia lupa membersihkannya dengan tisu basah tadi. “Pakai saja,” kata Eden tak peduli. Dia menyarungkan sandal ke kakinya.
Anna menahan lengan Eden. “Kenapa lagi?” tanya Eden.
“Pinjam kunci mobilmu, aku mau ambil tisu basah dulu,” kata Anna sambil menengadahkan tangan meminta kunci mobil. “Tak usah,” balas Eden. Dia membalik badan Anna, mulai menuntunnya berjalan lurus ke depan.
“Sssshh,” desis Anna. Dia kembali berbalik dan agak membungkuk untuk menggeledah badan Eden tanpa permisi. “Kau simpan dimana?” Eden berusaha menepis tangan Anna yang menyentuh badannya.
“Ehem..Ehem…” Suara dehaman seseorang terdengar. Gerak tangan Anna berhenti. Dia langsung kembali berdiri tegak dan berbalik. Sepasang suami istri sudah berdiri di hadapannya. Anna menautkan kedua tangannya di bawah perut, kemudian membungkuk empat puluh lima derajat memberi hormat pada orang tua Eden.
Anna menilik raut wajah Nyonya Arini yang tampak tak suka padanya. Bahkan ayah Eden juga menatap heran padanya. Mereka memindai penampilan Anna dari atas kepala hingga kaki. Wajar saja mereka tak suka. Siapa yang suka jika melihat pacar anak mereka yang sangat berantakan seperti ini. Bukan sekedar berantakan biasa, tetapi benar-benar kacau dengan rambut berantakan. Lebih parahnya adalah dress mini setengah paha yang melekat di badan, pinggang terbuka dan bagian paha yang robek. Penampilannya sangat berbanding terbalik dengan penampilan Nyonya Arini yang tertutup dan tampak anggun dengan blouse berpadu rok kembang warna putih. Terlihat seperti anak muda.
“Selamat pagi,” sapa Anna ramah sambil menunjukkan senyuman terbaiknya. Sedangkan sebelah tangan Eden merangkul bahunya. Pria itu ikut tersenyum manis yang tampak di paksakan. “Namanya Anna. Gadis yang sedang berkencan denganku.” Eden memperkenalkan Anna penuh semangat.
Kedua orang tuanya sama-sama terkejut. Tak menyangka anaknya benar-benar membawa seorang gadis pulang. Terutama Nyonya Arini. Akhirnya Tuan Teddy bersuara karena Nyonya Arini masih terdiam menatap Anna. “Oooh… iya…., Selamat pagi,” balas Tuan Teddy sedikit canggung. “Datang sepagi ini pasti agak mengejutkan, ya?” lanjut Tuan Teddy. Dia mempersilahkan Anna masuk dan langsung membawanya menuju ruang tamu.
“Maaf bu, aku tak sempat membawakan sesuatu untuk kalian, karena belum ada yang buka sepagi ini,” kata Anna berbasa-basi. Dia agak risih karena sulit untuk duduk di sofa yang agak rendah. Tidak lama kemudian Nyonya Arini memberinya sebuah selimut sambil menatap tajam padanya. Anna agak takut menatap mata ibu Eden, akhirnya dia menerimanya dengan canggung. “Terima kasih bu,” lanjut Anna sembari menutupi pahanya.
“Aku tidak menyangka kalau kau terlihat sangat bebas seperti ini,” balas Nyonya Arini dengan sedikit terkekeh yang terdengar tak tulus. Sontak Anna menoleh pada Eden. Bertanya dengan tatapan matanya. “Sudah kubilang aku harus berganti baju dulu tadi.” Eden menggeleng, memberi isyarat untuk terus berakting.
“Aku minta maaf karena datang tiba-tiba seperti ini, bu.” Anna meminta maaf sambil membungkukkan badannya lagi. “Ha..ha..ha..” Eden tertawa memecah suasana canggung yang menegangkan itu.
“Tidak apa-apa, tidak masalah. Seharusnya kami yang minta maaf karena mengundangmu sepagi ini,” balas Tuan Teddy merasa sungkan. “Sayang, dia pacar Eden. Kita harus menghargainya,” bisik Tuan Teddy pada Nyonya Arini di samping. Dia paham betul bagaimana sikap istrinya. Tapi bagaimana pun juga istrinya pasti kecewa. Tentu saja bukan gadis seperti Anna yang diharapkannya.
“Sebenarnya salahku juga karena memaksanya datang sepagi ini. Tapi untunglah dia mau datang setelah aku bersusah payah membujuknya semalaman,” jelas Eden lagi sambil mencubit manja pipi Anna hingga membuat kedua orang tuanya menoleh menatapnya lekat. Begitu pula dengan Anna yang menatapnya balik. Akting Eden sudah agak kelewatan.
“Semalaman kalian bersama?” tanya ayahnya memastikan lagi. Hanya Tuan Teddy yang banyak bersuara sedari tadi. Sementara Nyonya Arini masih terdiam sambil melirik Anna sesekali.
“Ya.. aku bersamanya semalaman, aku segera membawanya kemari sebelum dia berubah pikiran,” balas Eden mantap sambil merangkul pundak Anna dengan erat. Dia tersenyum manis menatap Anna yang tersenyum kaku di sampingnya. Gadis dalam rangkulannya itu hanya bisa mengangguk-ngangguk setuju.
Nyonya Arini masih menatap lekat pada Anna. Berusaha bersikap tenang. Bagaimanapun Anna adalah kekasih anaknya. Gadis yang katanya berhasil merebut hati Eden.
Anna menelan salivanya berkali-kali. Kemudian menghela nafas panjang. Tepat saat itu, bibi di rumah mereka menyajikan teh di meja. Nyonya Arini mulai menyusun cangkir di atas tadah masing-masing.
“Huft. Aku jadi ingin minum lagi karena masih merasa dingin,” celetuk Anna tiba-tiba yang membuat tangan Nyonya Arini bergetar ketika menuangkan teh ke cangkir hingga tumpah. Eden yang menangkap reaksi ibunya yang terkejut karena ocehan Anna tersenyum dalam diam. Merasa puas dengan perangai acak Anna. Gadis itu melebihi bayangan Eden sebelum dia pulang.
“Kau suka minum, ya?” tanya Nyonya Arini, tetap berusaha tersenyum mengendalikan raut wajahnya. “Iya,” jawab Anna tanpa ragu. Eden di sampingnya kembali tersenyum dalam diam. Ia tahu ibunya tidak suka dengan alkohol. Kesukaan Anna termasuk pukulan keras bagi Nyonya Arini. Eden menang telak.
“Oh ya, sebelumnya maafkan aku bu, karena tidak datang tepat waktu,” lanjut Anna lagi. Masih belum menangkap arti dari tatapan Nyonya Arini yang penuh arti padanya. Bahkan kini Anna mulai terlihat mencoba untuk akrab dengan orang tua Eden.
“Aku paham kenapa kau tak bisa langsung datang, aku juga salah karena langsung mengajakmu tanpa memperkenalkan diri,” balas Nyonya Arini datar sambil menyajikan secangkir teh untuk Anna dan juga Eden. “Kalian sudah pacaran berapa lama?” dia mulai mengintrogasi.
“Dua bulan,”
“Seratus hari,”
Jawaban Eden dan Anna tak sinkron. Ucapan mereka hanya akan membuat daftar curiga semakin panjang, terlebih bagi Nyonya Arini. Sepersekian detik Eden menatap orang tuanya bergantian, dengan cepat mengendalikan situasi. “Jangan bilang kau lupa hari jadi kita?” Eden pura-pura beradu argumen dengan Anna. “Hmm… maksudku seratus hari,” kata Anna sambil cengengesan. Nyonya Arini memicingkan sebelah matanya menaruh curiga pada anaknya.
“Karena kami baru mulai pacaran tiga bulan yang lalu bu, jadi kami masih butuh waktu agar bisa saling mengerti sepenuhnya,” lanjut Anna memperkuat argumennya. Dia merasa ungkapan yang baru saja keluar dari mulutnya benar-benar legendaris. Entah dari mana dia mendapatkan kemampuan akting seperti itu. Seharusnya dia bisa mendapatkan penghargaan aktris terbaik di akhir tahun. “Karena itu, aku berharap kalian mendukung hubungan kami,” terang Anna tanpa berbasa-basi. Dia melakukan apa yang diminta oleh Eden. Pria di sampingnya ikut tersenyum bangga dengan akting Anna yang jauh di atas ekspektasinya.
“Sebelumnya aku ingin minta maaf dulu pada kalian karena mungkin perkataanku nanti terdengar agak lancang, tapi…” Anna berhenti sejenak menilik raut wajah orang tua Eden yang menunggu kelanjutan dari kalimatnya. “Bukankah seseorang mempunyai hak untuk menentukan siapa yang akan menjadi pendamping seumur hidupnya? Ya… meskipun orang tua juga pasti akan ikut berperan dalam memberi nasehat ketika mengambil keputusan, tapi tentu saja keputusan akhir ada pada orang yang akan menjalaninya nanti. Kami…..” Anna meraih tangan Eden yang bebas di atas paha. Dia terhanyut dalam aktingnya.
“Jadi maksudmu adalah kamu ingin agar kami tak mendesak kalian?” potong Tuan Teddy mengerti dengan maksud Anna yang mengangguk-ngangguk antusias.
“Aku mungkin masih akan bertengkar dengan Eden, kemudian berbaikan lagi, bertengkar lagi lalu berbaikan lagi, tapi kami pasti akan tetap bersama karena hal itu membuat kami semakin dekat. Dan ketika saatnya tiba, kami akan meminta persetujuan kalian secara resmi,” tutup Anna. Dia menoleh menatap Eden di samping.
Nyonya Arini menghela nafas kemudian menatap Tuan Teddy. Sementara suaminya itu balas mengangguk pertanda setuju dengan permintaan Anna. “Baiklah,” kata Nyonya Arini terdengar sendu, “aku akan menghargai keinginanmu, tapi aku harap kau juga mematuhi beberapa hal yang harus dipatuhi dari keluarga Eden karena tidak lama lagi kau akan menjadi menantu dari keluarga ini. Yang aku inginkan sekarang hanyalah keseriusan hubungan kalian. Bagaimanapun….”
“Sayang.” Eden menyela tiba-tiba. Dia tak mau ibunya mengomel lebih panjang. “Bukankah kau harus segera berangkat kerja?” potong Eden sambil menunjukkan jam tangannya pada Anna. Matanya berkedip memberi isyarat pada Anna. “Oh ya? Astaga aku lupa.” Anna pura-pura berubah panik. “Ayo aku antar,” Eden bangkit lebih dulu. Dia meraih tangan Anna mengajaknya untuk bangkit.
Nyonya Arini mengulum bibir bawahnya. Anaknya itu benar-benar tidak sopan bahkan kurang ajar. Sekarang dia bahkan hendak pergi.
“Duduk! Aku belum selesai berbicara!” Suara Nyonya Arini terdengar lebih tegas. Tuan Teddy yang duduk di sampingnya seakan sudah mengerti dengan apa yang akan terjadi, segera menyuruh Eden membawa Anna pergi. “Oh begitukah? Sebaiknya kalian segera pergi.”
“Ibu. Ayah. Kami pamit dulu,” pamit Eden terburu-buru. “Aku pamit dulu bu, maaf aku pergi terburu-buru seperti ini, aku benar-benar minta maaf. Aku menyayangkan karena tidak bisa berbincang lebih lama,” kata Anna sambil memasang wajah menyesal.
“Kau bersikap nyaman di rumah ini saja, aku sudah cukup senang,” balas Tuan Teddy. “Pergilah. Nanti kau terlambat,”
“Aku berangkat dulu, ya bu,” tutup Anna kemudian membungkukkan badan memberi salam. Setidaknya Nyonya Arini masih menyunggingkan seulas senyum meskipun tak menutupi rasa tak sukanya pada Anna.
Tuan Teddy bahkan mengantar mereka hingga ke luar rumah. “Ayah tak usah mengantar kami,” tolak Eden. Dia berjalan cepat dan membukakan pintu mobil untuk Anna. Dari dalam mobil, mereka melambaikan tangan hingga mobil mereka menjauh dan tak lagi melihat orang tua Eden di belakang.
Senyum di wajah Anna hilang. Dia menyandarkan badannya ke belakang. “Aahh, rahangku sampai sakit,” gumam Anna pasrah. “Tapi keluargamu sangat baik,” ungkapnya lagi seketika merasa bersalah, “tiba-tiba aku merasa tidak enak pada mereka.”
“Tidak usah pedulikan mereka,”
“Tapi bagaimana jika mereka percaya dan benar-benar menyuruh kita menikah?” Sontak Anna terkejut dengan pemikirannya sendiri.
****
Anna menyelam di tengah gelapnya kamar. Sherin masih belum pulang karena masih pukul delapan malam. Mungkin jam segini masih siang padanya. Gadis yang belum berganti pakaian semenjak siang tadi merebahkan badannya di ranjang. Terlalu malas untuk berjalan ke arah pintu untuk menghidupkan lampu. Berbagai pikiran menjalari benaknya. Langit langit kamar sunyi. Hanya sayub-sayub klakson mobil di jalan bawah sana yang menyelinap masuk. Anna mendesah lantas mengangkat sebelah tangan menutupi wajah. Apakah keputusannya sekarang sudah benar. Jawaban Eden atas pertanyaannya cukup untuk mengoyak hati Anna yang sudah terluka. “Tapi bagaimana jika mereka benar-benar ingin kita menikah?” Anna bertanya setengah panik. Eden terkekeh pelan. “Tidak semua pasangan yang berkencan berakhir dengan pernikahan. Jangan bilang kalau selama ini kau berpikiran seperti itu?” Eden melirik Anna yang menatap lurus ke depan. “Apa kau juga mengharapkan sebuah pernikahan
“Bagaimana kau bisa menemukanku di sini?” Anna dan Eden berbicara empat mata di tempat duduk yang sama. Sementara Sherin sudah tertidur di meja. Baiklah. Anna akan menggendongnya nanti.“Lagi-lagi kau menatapku dengan tatapan penuh curiga seperti itu,” jawab Eden dengan setengah hati.Eden meletakkan sebuah dompet berwarna hitam di atas meja. “Aku ingin menyerahkan ini padamu.”Sontak Anna langsung meraih dompetnya di atas meja dengan mata berbinar. Padahal dia sudah hampir menyerah saat mencari dompetnya sesaat akan keluar rumah tadi. Dia mungkin akan melapor ke polisi jika besok dia tidak kunjung menemukan dompetnya itu.“Syukurlah kau menemukannya,” ungkapnya sambil tersenyum lega pada Eden. “Terima kasih,” lanjutnya lagi.“Kenapa harus repot-repot jauh mengantar ke sini. Kau bisa telfon saja jadi aku akan menjemputnya besok.”Kali ini Eden meletakkan ponselnya di atas meja. “Bagaimana aku bisa menghubungimu jika nomormu saja tidak punya,” celetuk Eden lagi.Ah, betul juga. Pertemu
“Jadi dia – ?” mata Anna bergantian menatap layar ponsel kemudian beralih menatap Sherin. “Tapi dia tidak tampak seperti itu,” lanjut Anna menolak menerima isi dari berita itu. Sherin mengedikkan bahu tak yakin. “Kita memang tidak ada yang tau dalamnya seseorang seperti apa, kan? bisa jadi dia memang pandai menyembunyikan jadi dirinya selama ini. Kau bisa baca juga isi artikel lain yang terkait. Keluarga mereka keluarga terpandang. Seluruh keluarga bekerja di bidang kesehatan. Ibunya Kepala Yayasan pusat rehabilitasi, kakeknya juga Direktur Rumah Sakit besar bahkan kini ayahnya menjadi dosen ahli saraf. Dan dia juga seorang dokter kecantikan. Jadi wajar saja jika dia terkena isu isu miring seperti itu. Ya, bisa jadi juga karena dia tidak pernah terlibat dengan seorang wanita dengan wajah setampan itu. Bukankah itu agak aneh?” Sherin masih asik menyuap nasi goreng buatan Anna. “Tapi – “ “Lagi pula apa hubungannya denganmu jika dia memang gay atau buk
Hari ini Anna mendapatkan tugas mengawasi salah satu gerai pakaian bermerek. Biasanya dia mendapatkan tugas di bagian perhiasan. Hanya saja kali ini dia mendapatkan jadwal rolling. Jabatannya yang hanya sebagai staff biasa, jadi dia tak punya hak untuk membantah. Intinya dia hanya bawahan dari bawahan yang berada di atasnya. Sialnya dia tak beruntung hari itu. Dia justru bertemu salah satu teman sekolahnya dulu yang paling di bencinya. Bukannya benci, dia terlalu tidak suka dengan teman yang suka pamer dan merendahkan. Terlebih temannya itu baru saja menikah dengan salah seorang pengusaha tajir. Tentu saja tingkat kesombongan meningkat hinga level tertinggi. “Oh my god, lihat siapa yang kutemui,” sapa Olive ketika melihat Anna berjaga di dekat kasir. Gayanya sudah seperti artis papan atas lengkap dengan tas jinjing bermerek. “Bukankah ini Anna? Yang katanya akan menikah tapi tak jadi?” sindirnya dengan nada suara yang keras. Anna hanya bisa tersenyum manis deng
Anna menyesap kopinya. Dia berusaha menjaga sikap di depan orang yang tampak begitu tenang di hadapannya kini. Jangan bilang ibu Eden tadi melihat pertengkarannya dengan Olive tadi? Anna membatin. “Kau bekerja di sini?” tanya Nyonya Arini. Dia ikut menyesap kopi dari cangkirnya. Mereka berbincang di café. “Iya bu,” jawab Anna ramah. Dia bingung bagaimana harus bereaksi. Kenapa dia harus bertemu ibu Eden di sini? Bukankah seharusnya Eden yang duduk di hadapannya kini? Anna melirik jam mungil yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Masih tersisa satu jam lagi sebelum janji temu mereka. “Sebagai…” tanya Nyonya Arini lagi memastikan setelah melihat pakaian Anna yang sudah lebih dari cukup menjawab keraguannya. “Iya bu, aku hanya staff biasa,” jawab Anna masih tersenyum. Lagi-lagi dia menyesap kopinya untuk menutupi rasa gugup.“Aku juga sudah lama tidak berbelanja, bagaimana kalau kau menemani ibu berbelanja?” ajak Nyonya Arini tiba-tiba.
Nyonya Arini berjalan cepat menerobos masuk ruangan kerja suaminya. Dia membuka pintu dengan keras hingga mengejutkan semua orang di dalam. Sontak Tuan Teddy terlonjak kaget dari bangku kerjanya dengan tangan terangkat memegangi dada. “Ada apa? Sekarang apa lagi?” “Sepertinya ada yang tidak beres antara Eden dan pacarnya Anna itu.” Nyonya Arini menaruh curiga sambil memicingkan sebelah matanya. “Apanya? Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?” balas suaminya. “Begini…” Nyonya Arini mulai menyusun kata-kata yang akan di ucapkannya. Sekarang dia sudah berdiri di samping meja kerja suaminya. Tuan Teddy pun memutar kursinya hendak mendengarkan penjelasan sang istri dengan seksama. “Pertama, tiba-tiba saja Eden mempunyai kekasih, kedua…” “Bagus dong, bukankah itu yang kau inginkan?” potong Tuan Teddy. “Iya, memang bagus, tapi sangat tiba-tiba. dan mereka bilang sudah berkencan selama seratus hari. Tapi kenapa kita tidak pernah tahu? Maksudku se
“Jadi kenapa kau mau bertemu denganku sore ini?” Eden kembali bertanya untuk yang kedua kali. Teringat kesepatan mereka sebelumnya. “Apa kau sudah memikirkan tawaranku sebelumnya.” “Ah, itu.” Anna merubah posisi duduk. Sebenarnya tidak ada yang ingin dibicarakannya dengan Eden, hanya saja karena Sherin tadi pagi dia terpaksa mengajak Eden keluar. Terlepas dari kejadian bertemu dengan Ibu Eden secara tidak sengaja sore ini. “Maaf, sebenarnya tidak ada yang ingin kubicarakan denganmu.” Kening Eden berkerut. “Jadi mengapa kau mengajakku untuk bertemu?” “Karena Sherin tak sengaja menghubungimu tadi pagi,” lanjut Anna sambil memasang wajah penuh rasa bersalah. Kali ini Eden ikut menghela nafas. Setengah karena merasa iba dengan Anna, sebagian lagi karena sudah membantunya sore itu. “Kalau memang tidak ada yang ingin kau bicarakan. Sebaiknya aku kembali ke kantor.” “Tunggu!” kata Anna spontan yang berhasil m
“Kenapa ayah memanggilku?” kata Eden ketika baru saja tiba di ruangan ayahnya. Ia duduk di sofa empuk di tengah ruangan sambil menyilangkan kaki. “Sebentar lagi aku ada janji dengan klien.” Eden melirik jam tangan berlagak sibuk. “Aku dengar ibumu kemarin bertemu dengan Anna?” kata Tuan Teddy terdengar santai. Ayahnya juga sibuk membaca berkas yang terkambang di meja. “Ayah menyuruhku datang hanya untuk menanyakan itu?” protes Eden. Kenapa tidak di telepon saja tadi.“Hmm…. Tidak juga. Tapi itu salah satunya,” balas Tuan Teddy lagi terdengar bercanda. Kini dia sedikit terkekeh sambil merebahkan badan ke sandaran kursi. “Aku rasa ibumu melakukan sesuatu,” ungkap Tuan Teddy penuh curiga. “Aku sudah tahu itu,” jawab Eden dengan raut wajah sok tahu. Namun, ayahnya justru menatapnya dengan heran. “Kau sudah tahu? Bagaimana bisa?” “Terlihat jelas karena aku juga ada di sana ketika ibu bertemu dengan Anna,” terang Eden lagi sambil menyandarkan
Suara tombol pintu di luar membuat Anna tersentak dan membuka mata. Matanya menangkap Eden yang masih terlelap di sampingnya. Seulas senyum tersungging di wajahnya. Digesernya tangan Eden yang mendekapnya semalaman. Kali ini suara pintu terbuka berhasil membuat Anna bangun dan menapakkan kakinya di lantai. Anna terperanjat bukan main saat mendapati Nyonya Arini sudah berdiri di depan pintu kamar mereka. Ya. Semalam Anna menginap di rumah Eden dan disinilah dia berakhir. “Ibu,” kata Anna pelan. Dia kembali menjadi seperti anak kecil berusia lima tahun yang baru saja dimarahi ibunya karena mencuri permen setelah di larang beberpa hari terakhir. Nyonya Arini melengos dan berjalan ke arah sofa di ruang tengah, seperti sudah menduga kejadian seperti ini akan terjadi. “Kau sudah nyaman sekali rupanya.” Anna mengikuti langkah Nyonya Arini di belakang, tapi langkahnya tertahan dan terhenti saat wanita paruh baya itu duduk menyilangka
Seolah mengerti dengan situasi saat itu, Oliv langsung merubah ekspresinya menjadi seramah mungkin sambil memasang senyum termanis di dunia. “Oh hai, Anna, bagaimana kabarmu?” Oliv berusaha menggandeng lengan Anna yang segera ditepis oleh Anna. Sungguh dia sudah muak melihak tingkah temannya itu. “Kami teman semasa sekolah dulu dan cukup dekat, iya kan?” Oliv masih terus berceloteh sesuka hatinya. “Oh benarkah?” suami Oliv terlihat yang paling antusias di antara mereka. Dia seolah bisa melihat bahkan mendapatkan peluang jika istrinya dekat dengan kekasih dari atasannya. “Ya.. begitulah. Tapi kami tidak dekat,” sahut Anna pendek yang berhasil membuat Eden tertawa dalam diam dan tertahan. “Hei, apa maksudmu kita tidak dekat.” Oliv kembali meraih lengan Anna. “Kalau pun tidak dekat, kita bisa menjadi lebih dekat sekarang kan, tidak masalah bagiku.” Oliv tersenyum bangga sementara Anna terlihat risih dan berusaha melepas gandenga
Anna berkomat-kamit sendiri sambil memikirkan apa yang harus dilakukannya. Matanya membesar ketika melihat Eden hendak kembali ke meja, jadi dia bisa segera mengajak Eden beranjak dari sana. Tangan Anna terangkat hendak memanggil, namun senyumnya seketika luntur. Eden justru malah membalas sapaan orang lain. Anna berbalik. Matanya kembali membesar. Eden membalas sapaan seorang pria berusia sekitar tiga puluhan dan pria itu bersama orang yang ingin dihindari oleh Anna tadi. Ya, Oliv. Siapa lagi yang ingin dihindari Anna jikan bukan gadis itu. Tapi Anna menjadi bertanya-tanya apa yang dilakukan Olie dan suaminya di sini? Anna kembali duduk sambil menunduk. Mengeluarkan ponsel lalu pura-pura sibuk mengirim pesan ataupun menelepon seseorang. Tidak lama dia melakukan hal itu, dia kembali bangkit dan beranjak menuju meja lain yang agak jauh dari tempat Eden dan teman-temannya itu. Untuk sementara Anna menyimpulkan beberapa pria yang tampak lebih tua dari kekasihnya itu adalah te
“Kali ini pernikahan temanmu yang mana?” Anna kembali bertanya ketika mereka berada di dalam mobil, menuju gedung pernikahan teman Eden. Pria itu juga sudah mengganti pakaian, dia tampak gagah dengan balutan jas hitam dan potongan rambut dengan model comma style. Gaya rambut yang paling cocok dengan potongan wajah asianya yang khas. “Ada tapi kau tidak kenal.” Eden menjawab singkat. Kali ini suaranya terdengar lebih lembut. Tapi jawaban singkat Eden membuat Anna menjadi bertanya-tanya. Dia tak mengenal Eden. Banyak hal yang tak diketahuinya tentang pria yang tengah mengemudi di sampingnya itu. Beda halnya dengan pria itu yang hampir mengetahui segala tentangnya. Termasuk apa yang berkelibat di kepalanya kini. Lihatlah kini Eden tengah mencuri-curi pandang padanya. Eden melirik Anna, gadis itu terdiam tak lagi bertanya. Tapi justru membuat Eden menjadi tak enak karena sudah menjawab singkat. Dia berdeham sekali mengusir keheningan.“Dia salah satu kenalanku sewa
Kata orang, tiada pertemuan yang tak memiliki arti. Tiada pertemuan yang menjadi sebuah kebetulan karena sejatinya sudah ada yang mengatur dan sudah menjadi rencana alam. Ada orang yang percaya jika bertemu dengan orang asing sebanyak tiga kali dalam waktu berdekatan yang sering kali dikatakan berjodoh. Ada pula orang yang bertemu lebih dari itu dan hubungan mereka tetaplah orang asing. Bagaimana dengan orang asing yang tiba-tiba membantu kita untuk menyebrang di tengah jalan? Lalu dengan orang yang tak sengaja bertemu ketika sama-sama membeli daging ayam di supermarket atau mungkin orang yang tak sengaja tersenyum ketika berpapasan saat menyebrangi lampu merah? Keesokannya kita masih bertemu dan bertemu, namun hubungannya tidak lebih dari sebatas kenalan biasa. Kalian tahu? Terlalu banyak faktor yang harus dipertimbangkan untuk mengatakan jikalau sebuah pertemuan itu adalah kebetulan. Pertemuan Anna dan Eden mungkin bisa dikatakan sebagai sebuah kebetulan. Anggap saja ibu
“Kau?” Jari telunjuk Anna spontan terangkat, menunjuk lurus ke arah pria yang mengenakan kemeja dengan potongan leher rendah di salah satu meja café.Pria yang di tunjuk itu menunjukkan seulas senyum yang menampakkan deretan giginya yang putih.“Apa yang kau lakukan di sini?”“Masa muda yang mana yang kau rindukan?” Zeno kembali mengingatkan celoteh Anna beberapa menit yang lalu tepat setelah dua anak sekolah meninggalkan café.Anna berdecak kesal dan sedikit frustasi. “Seingatku aku sudah memberitahumu kalau aku tidak mau bertemu denganmu lagi bukan? Kenapa kau datang lagi ke sini, huh? Seharusnya kau sudah berada di Swiss sekarang?”Zeno mendengus. Dia tidak lupa dengan perkataan Anna. Lebih tepatnya ancaman Anna. Karena ucapan Anna waktu itu penuh tekanan.“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, tapi rasanya tidak enak jika melalui telfon. Makanya aku mengajakmu bertemu. Sebentar saja.”Anna menghubungi Zeno kembali setelah pertemuan mereka siang itu di café milik Anna setelah Oliv m
Sinar matahari menyelinap masuk melewati celah celah ventilasi.“Kau mau aku buatkan sarapan dulu?” tanya Sherin berbasa-basi. Dia tengah memanggang beberapa toast di dapur.“Tidak usah,” jawab Anna sambil sibuk mengemasi barangnya yang berserakan di ruang tengah semalam.“Setidaknya minumlah ini,” sahut Sherin lagi sambil menyerahkan segelas jus apel di atas meja makan. “Supaya pencernaanmu lancar,”Gadis yang mengenakan skirt sebatis itu menurut. Dia berjalan menghampiri meja dan meminum jus buatan Sherin. “Terima kasih jusnya, aku merasa segar.”Sherin hanya tersenyum hangat sebagai balasan atasan pujian Anna. “Hubungi aku jika terjadi sesuatu! Jangan tiba-tiba pulang sambil nangis dan berantakan kayak semalam. Kau mengerti kan?”“Astaga! Kau mulai lagi, baiklah aku mengerti.” Anna sudah maklum dengan omelan sahabatnya itu. Dia tau kalau Sherin khawatir dan dia tidak boleh membuat sahabat satu-satunya itu diselimuti rasa kekhawatiran yang tak jelas. “Aku berangkat dulu, sampai jump
“Siapa yang cemburu?” Eden menjadi salah tingkah. Dia mengusap rambutnya ke belakang dengan kedua tangan.“Lalu mengapa sikapmu yang berlebih seperti ini?”“Aku tidak berlebihan, hanya saja merasa kesal setelah melihatmu kembali bersikap bodoh saat di depan pria brengsek itu. Berapa kali harus kubilang, huh? Dia bukan pria baik-baik. Tidak cukup mempermalukanmu sekali waktu itu di café, sekarang kau ingin membiarkannya melakukannya lagi?”Anna menghela nafas panjang. Disatu sisi, dia merasa wajar melihat Eden murka dan juga geram melihat gadis bodoh yang terlalu mudah termakan omoongan manis dari cinta pertamanya. Dia menatap Eden lamat-lamat dengan mulut terkunci.“Berhentilah menatapku seperti itu.” Eden kembali mengingatkan Anna yang terdiam memperhatikannya untuk beberapa menit. Mereka duduk berhadapan yang dipisahkan oleh meja kecil yang di penuhi oleh kepulan asap sup yang baru saja tiba. “Aku tidak melihatmu.” Anna langsung mengalihkan pandangannya. “Pokoknya, urusa
Terik matahari di luar ikut masuk menyelinap ke dalam hatinya yang terasa panas dan sesak sedari tadi. Semalam dia sudah menerima tawaran Oliv untuk bertemu pria yang paling ingin dihindarinya. Entah apa yang dipikirkannya semalam saat menerima tawaran semalam, alhasil kini hatinya penuh gejolak. Setengah karena rasa penasaran, setengah lagi penuh dengan rasa sakit.Anna hendak berganti pakaian karena sudah jamnya untuk pulang. Eh, tidak. Dia harus menemui Zeno sore itu di tempat kerjanya pula. Anna melirik jam dinding. Seharusnya dia sudah berada di sini. “Kau menungguku?” Suara itu membuat Anna menoleh. Ya. Itu Zeno. Orang yang di tunggunya sudah tiba. Tampak jelas perasaan cemas terpampang jelas di wajah Anna, tapi dia masih berusaha menyunggingkan seulas senyumnya, takut membuat Zeno merasa tidak nyaman. Ah, sial. Anna mengutuk dirinya dalam hati karena masih saja mencemaskan pria itu. Mereka duduk di salah satu meja café. Anna memesankan pesanan sembarang