“Apa yang kau lakukan?” seru Anna lagi sambil menutupi badan Eden dengan jas yang menutupinya tadi. Sontak Anna langsung menyilangkan tangan di dada dan menatap Eden dengan tajam.
Eden menunduk menatap dadanya dengan polos kemudian ikut menyilangkan kedua tangan di dada. “Ini karena kau muntah di bajuku.” Eden membela diri.
“Apa? Muntah? Aku?” Anna menjadi serba salah, tapi dia tak ingat.
Anna melirik Eden sebentar kemudian segera keluar dari mobil. Bagaimanapun permintaan Eden untuk menemui orang tuanya cukup mendadak. Setidaknya dia ingat akan perjanjian tak tertulis mereka semalam.
Sontak Eden menjadi panik. Waktu mereka semakin menipis. Dia hanya punya waktu kurang dari satu jam lagi untuk sampai ke rumah orang tuanya.
Anna berjalan cepat dengan bertelanjang kaki. Eden pun langsung keluar mobil. Mengejar Anna. Tetapi dia berhenti ketika menyadari badannya yang tak pakai apapun.
“Astaga,” gumamnya sambil melirik badan polosnya. “Hei! Kau mau kemana?” Eden kembali ke mobil lalu mengambil jas yang dipakai untuk menutupi Anna semalam. Dia memakai asalan sambil berlari mengejar Anna yang sudah agak jauh. Eden kembali mendesah melihat Anna yang berjalan cepat tanpa alas kaki. Dia balik lagi untuk mengambil sepatu Anna di mobil. “Kau mau kemana dengan kaki tanpa alas seperti itu?”
Eden berhasil mendapatkan Anna dan menahan lengannya. Kemudian meletakkan sepatu Anna tepat di depan kakinya. “Ayo! Kita sudah tak punya waktu.”
“Kenapa aku harus ikut denganmu?” tolak Anna pelan mengalihkan pandangan. Pupil Eden membesar, semakin panik. “Bukankah kau sudah setuju tadi malam?” Eden berusaha menyegarkan kembali pikiran Anna. “Ayo! Kita tak punya banyak waktu,” jelas Eden. Mereka tidak punya waktu untuk berdebat. “Sekarang pakai dulu sepatumu.”
Anna menendang sepatunya, malas untuk mengenakannya. “Hei!” pekik Eden spontan. Sikap Anna benar-benar tidak bisa ditebak.
Eden menarik nafas pelan. “Sekarang katakan padaku, kenapa kau tiba-tiba berubah pikiran seperti ini? Bukankah kita sudah sepakat semalam?”
Anna tertunduk dengan tangan yang masih dalam genggaman Eden. “Bagaimana aku bisa datang dengan tampilan seperti ini?” kata Anna pelan. Pria itu berhenti sejenak. Memindai penampilan Anna dari atas kepala hingga ujung kaki. Rambut berantakan. Matanya yang menghitam karena maskara luntur. Dress mini dengan pinggang terbuka. Ditambah sekarang kakinya sangat kotor dengan sedikit luka di bagian ibu jari setelah menendang heelsnya beberapa detik yang lalu. “Bagus. Justru bagus kau berpakaian seperti ini,” terang Eden. Dia mulai menarik Anna munuju mobil, namun gadis itu masih menahan diri. “Apa lagi?”
Anna melirik sepatunya. “Aku belum pakai sepatu,” katanya merengek.
“Astaga!” Eden benar-benar sudah kehabisan kata-kata dengan Anna. Dia terus mengecek jam tangannya berulang kali. Memastikan berapa lama lagi waktu yang tersisa. Jangan sampai ibunya menelepon dan membatalkan janjinya begitu saja. Semua perjuangannya membujuk Anna semalam akan sia-sia. Ah, sebaiknya dia tidak memikirkan kemungkinan buruk itu.
Eden mengambil sepatu Anna di lantai dengan sebelah tangan yang bebas, sementara satunya lagi masih memegang tangan Anna. “Tidak usah dipakai, lihatlah jarimu terluka. Ayo! Aku punya sandal di mobil.” Kali ini Anna menurut. Mobil pun melaju sebelum Anna kembali berubah pikiran.
“Aku tau kita sedang buru-buru, tapi setidaknya biarkan aku ke apotek dulu,” pinta Anna ketika mobil berhenti di lampu merah. “Bagaimanapun tidak seharusnya aku datang dengan pakaian seperti ini. Meskipun aku tak kenal denganmu, aku tetap ingin menunjukkan kesan yang baik pada orang tuamu,”
“Buat apa? Tidak usah. Penampilan sekarang adalah yang paling oke,” puji Eden terdengar dipaksakan. Tentu saja berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Dia sengaja mengajak Anna bertemu ibunya dengan berpakaian seperti itu agar ibunya kapok dan menyerah seperti yang di janjikannya kemarin. Penampilan Anna sekarang jelas bertolak belakang dengan menantu idamannya. Tapi dia juga tak mungkin menarik ucapannya kemarin. Meskipun Nyonya Arini orang yang keras kepala, tetapi ia tak pernah mengingkari janji yang pernah dibuatnya. Setidaknya dengan Eden membawa Anna pulang seperti yang di suruh, seharusnya dia sudah bisa bebas.
“Kau punya masalah penglihatan? Baju ini sama sekali tak nyaman.” Anna menarik-narik bagian bawah bajunya hingga menimbulkan bunyi. Bajunya robek. “Astaga,” seru Anna tak percaya. Baru saja dia semakin memperburuk penampilannya. “Ayolah! Setidaknya biarkan aku berganti pakaian.”
Akhirnya Eden melajukan mobilnya dengan kecepatan rendah di sepanjang jalan yang menjejalkan pakaian, searah dengan jalan ke rumahnya. Tetapi keberuntungan tak berpihak pada Anna. Belum ada toko yang buka pada jam sepagi itu. “Kau mau cari baju dimana? Tidak ada yang buka di jam segini,” kata Eden. Sementara Anna terlihat masih berharap menemukan toko yang buka. “Sudah kubilang penampilanmu sekarang adalah yang terbaik,” bujuk Eden sekali lagi. Sesekali ia melirik jam di ponselnya. Setengah jam lagi.
“Pasti ada, coba kau belok sedikit ke jalan yang di sana.” Eden menurut.
Sama saja, belum ada toko pakaian yang buka. Hanya kedai kecil dan truk kopi instan yang sudah menggelar dagangannya sepagi ini. “Tidak ada.” Anna tampak kecewa.
Eden kembali memutar mobil kemudian menepikan mobilnya tepat di depan sebuah apotek dua puluh empat jam. Dia melihat Anna yang masih duduk di sampingnya, tak juga keluar dari mobil.
“Bukankah kau ingin ke apotek? Pergilah,” Eden mengintruksi. Tetapi gadis di sampingnya masih tak bergeming. Anna malah menatapnya dengan penuh manja. “Kau saja yang belikan,” katanya sambil menautkan dua jari telunjuk di bawah dagu. Mencoba bersikap imut. Tetapi Eden balas menatapnya dengan jijik. Ternyata caranya tak mempan. Raut wajah Anna kembali datar. “Bukankah seharusnya kau yang membelikannya untukku? Kan kau yang membutuhkan bantuanku. Semacam take and give?” Jika saja penampilan Anna jauh lebih baik, dia pasti sudah keluar dari tadi tanpa harus bersikap imut untuk meminta bantuan pada Eden.
Pria itu menghela nafas geram. Tapi dia butuh. “Aku cuma perlu beli minuman penghilang pengar saja kan?” katanya terdengar tak tulus.
“Tisu basah sekalian,” tambah Anna. Eden keluar mobil. “Jangan coba lari kemana-mana!” Eden kembali mengingatkan sebelum menutup pintu mobil dari luar.
Dia berjalan masuk ke apotek. Tak lama kemudian. Anna sudah melihatnya lagi dari balik pintu dan masuk ke mobil. Eden menyerahkan sebuah kantong kresek berwarna hitam berisikan satu botol minuman penghilang pengar dan tisu basah. Eden langsung melajukan mobil. Sedangkan Anna meminum minuman itu dalam sekali tenggak. Kemudian dia beralih memakai tisu basah, membersihkan sisa make upnya yang berantakan.
Setibanya mereka di depan gerbang rumah orang tua Eden. Anna kembali berulah. “Apa sebaiknya aku tidak usah datang? Lagi pula aku punya hak untuk menolak.” Eden yang menggenggam tangan Anna semenjak turun dari mobil tadi tak melonggar sedikitpun.
“Apa kau menyukaiku?”
Pertanyaan tiba-tiba dari Eden membuat Anna bungkam seketika bahkan mematung di tempat.
****
Suara burung pagi menyapa tak lagi terdengar. Bahkan suara anak-anak yang hendak berangkat ke sekolah yang melewati mereka luruh ke tanah. Mereka terdiam sejenak dengan mata yang saling bertatap tatapan. Namun, tak ada reaksi apapun setelahnya hingga Anna mengalihkan pandangannya. Pertanyaan Eden sangat tiba-tiba dan terkesan blak-blakan. “Apa? Tentu saja tidak,” tolak Anna mentah-mentah.“Makanya itu, buat apa kau memikirkan tanggapan dari orang tuaku nanti,” jelas Eden. “Tapi….” Anna masih beralasan. Dengan sekuat tenaga Eden menarik Anna masuk ke dalam rumah. Kenop pintu di putar. Pintu terbuka. “Ganti dengan ini!” Eden menyodorkan sepasang sandal rumah berwarna abu-abu pada Anna.“Astaga,” seru Anna. Dia membelalak ketika melihat kakinya yang kotor. Dia lupa membersihkannya dengan tisu basah tadi. “Pakai saja,” kata Eden tak peduli. Dia menyarungkan sandal ke kakinya.Anna menahan lengan Eden. “Kenapa lagi?” tanya Eden.“Pinjam kunci mobilmu,
Anna menyelam di tengah gelapnya kamar. Sherin masih belum pulang karena masih pukul delapan malam. Mungkin jam segini masih siang padanya. Gadis yang belum berganti pakaian semenjak siang tadi merebahkan badannya di ranjang. Terlalu malas untuk berjalan ke arah pintu untuk menghidupkan lampu. Berbagai pikiran menjalari benaknya. Langit langit kamar sunyi. Hanya sayub-sayub klakson mobil di jalan bawah sana yang menyelinap masuk. Anna mendesah lantas mengangkat sebelah tangan menutupi wajah. Apakah keputusannya sekarang sudah benar. Jawaban Eden atas pertanyaannya cukup untuk mengoyak hati Anna yang sudah terluka. “Tapi bagaimana jika mereka benar-benar ingin kita menikah?” Anna bertanya setengah panik. Eden terkekeh pelan. “Tidak semua pasangan yang berkencan berakhir dengan pernikahan. Jangan bilang kalau selama ini kau berpikiran seperti itu?” Eden melirik Anna yang menatap lurus ke depan. “Apa kau juga mengharapkan sebuah pernikahan
“Bagaimana kau bisa menemukanku di sini?” Anna dan Eden berbicara empat mata di tempat duduk yang sama. Sementara Sherin sudah tertidur di meja. Baiklah. Anna akan menggendongnya nanti.“Lagi-lagi kau menatapku dengan tatapan penuh curiga seperti itu,” jawab Eden dengan setengah hati.Eden meletakkan sebuah dompet berwarna hitam di atas meja. “Aku ingin menyerahkan ini padamu.”Sontak Anna langsung meraih dompetnya di atas meja dengan mata berbinar. Padahal dia sudah hampir menyerah saat mencari dompetnya sesaat akan keluar rumah tadi. Dia mungkin akan melapor ke polisi jika besok dia tidak kunjung menemukan dompetnya itu.“Syukurlah kau menemukannya,” ungkapnya sambil tersenyum lega pada Eden. “Terima kasih,” lanjutnya lagi.“Kenapa harus repot-repot jauh mengantar ke sini. Kau bisa telfon saja jadi aku akan menjemputnya besok.”Kali ini Eden meletakkan ponselnya di atas meja. “Bagaimana aku bisa menghubungimu jika nomormu saja tidak punya,” celetuk Eden lagi.Ah, betul juga. Pertemu
“Jadi dia – ?” mata Anna bergantian menatap layar ponsel kemudian beralih menatap Sherin. “Tapi dia tidak tampak seperti itu,” lanjut Anna menolak menerima isi dari berita itu. Sherin mengedikkan bahu tak yakin. “Kita memang tidak ada yang tau dalamnya seseorang seperti apa, kan? bisa jadi dia memang pandai menyembunyikan jadi dirinya selama ini. Kau bisa baca juga isi artikel lain yang terkait. Keluarga mereka keluarga terpandang. Seluruh keluarga bekerja di bidang kesehatan. Ibunya Kepala Yayasan pusat rehabilitasi, kakeknya juga Direktur Rumah Sakit besar bahkan kini ayahnya menjadi dosen ahli saraf. Dan dia juga seorang dokter kecantikan. Jadi wajar saja jika dia terkena isu isu miring seperti itu. Ya, bisa jadi juga karena dia tidak pernah terlibat dengan seorang wanita dengan wajah setampan itu. Bukankah itu agak aneh?” Sherin masih asik menyuap nasi goreng buatan Anna. “Tapi – “ “Lagi pula apa hubungannya denganmu jika dia memang gay atau buk
Hari ini Anna mendapatkan tugas mengawasi salah satu gerai pakaian bermerek. Biasanya dia mendapatkan tugas di bagian perhiasan. Hanya saja kali ini dia mendapatkan jadwal rolling. Jabatannya yang hanya sebagai staff biasa, jadi dia tak punya hak untuk membantah. Intinya dia hanya bawahan dari bawahan yang berada di atasnya. Sialnya dia tak beruntung hari itu. Dia justru bertemu salah satu teman sekolahnya dulu yang paling di bencinya. Bukannya benci, dia terlalu tidak suka dengan teman yang suka pamer dan merendahkan. Terlebih temannya itu baru saja menikah dengan salah seorang pengusaha tajir. Tentu saja tingkat kesombongan meningkat hinga level tertinggi. “Oh my god, lihat siapa yang kutemui,” sapa Olive ketika melihat Anna berjaga di dekat kasir. Gayanya sudah seperti artis papan atas lengkap dengan tas jinjing bermerek. “Bukankah ini Anna? Yang katanya akan menikah tapi tak jadi?” sindirnya dengan nada suara yang keras. Anna hanya bisa tersenyum manis deng
Anna menyesap kopinya. Dia berusaha menjaga sikap di depan orang yang tampak begitu tenang di hadapannya kini. Jangan bilang ibu Eden tadi melihat pertengkarannya dengan Olive tadi? Anna membatin. “Kau bekerja di sini?” tanya Nyonya Arini. Dia ikut menyesap kopi dari cangkirnya. Mereka berbincang di café. “Iya bu,” jawab Anna ramah. Dia bingung bagaimana harus bereaksi. Kenapa dia harus bertemu ibu Eden di sini? Bukankah seharusnya Eden yang duduk di hadapannya kini? Anna melirik jam mungil yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Masih tersisa satu jam lagi sebelum janji temu mereka. “Sebagai…” tanya Nyonya Arini lagi memastikan setelah melihat pakaian Anna yang sudah lebih dari cukup menjawab keraguannya. “Iya bu, aku hanya staff biasa,” jawab Anna masih tersenyum. Lagi-lagi dia menyesap kopinya untuk menutupi rasa gugup.“Aku juga sudah lama tidak berbelanja, bagaimana kalau kau menemani ibu berbelanja?” ajak Nyonya Arini tiba-tiba.
Nyonya Arini berjalan cepat menerobos masuk ruangan kerja suaminya. Dia membuka pintu dengan keras hingga mengejutkan semua orang di dalam. Sontak Tuan Teddy terlonjak kaget dari bangku kerjanya dengan tangan terangkat memegangi dada. “Ada apa? Sekarang apa lagi?” “Sepertinya ada yang tidak beres antara Eden dan pacarnya Anna itu.” Nyonya Arini menaruh curiga sambil memicingkan sebelah matanya. “Apanya? Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?” balas suaminya. “Begini…” Nyonya Arini mulai menyusun kata-kata yang akan di ucapkannya. Sekarang dia sudah berdiri di samping meja kerja suaminya. Tuan Teddy pun memutar kursinya hendak mendengarkan penjelasan sang istri dengan seksama. “Pertama, tiba-tiba saja Eden mempunyai kekasih, kedua…” “Bagus dong, bukankah itu yang kau inginkan?” potong Tuan Teddy. “Iya, memang bagus, tapi sangat tiba-tiba. dan mereka bilang sudah berkencan selama seratus hari. Tapi kenapa kita tidak pernah tahu? Maksudku se
“Jadi kenapa kau mau bertemu denganku sore ini?” Eden kembali bertanya untuk yang kedua kali. Teringat kesepatan mereka sebelumnya. “Apa kau sudah memikirkan tawaranku sebelumnya.” “Ah, itu.” Anna merubah posisi duduk. Sebenarnya tidak ada yang ingin dibicarakannya dengan Eden, hanya saja karena Sherin tadi pagi dia terpaksa mengajak Eden keluar. Terlepas dari kejadian bertemu dengan Ibu Eden secara tidak sengaja sore ini. “Maaf, sebenarnya tidak ada yang ingin kubicarakan denganmu.” Kening Eden berkerut. “Jadi mengapa kau mengajakku untuk bertemu?” “Karena Sherin tak sengaja menghubungimu tadi pagi,” lanjut Anna sambil memasang wajah penuh rasa bersalah. Kali ini Eden ikut menghela nafas. Setengah karena merasa iba dengan Anna, sebagian lagi karena sudah membantunya sore itu. “Kalau memang tidak ada yang ingin kau bicarakan. Sebaiknya aku kembali ke kantor.” “Tunggu!” kata Anna spontan yang berhasil m
“Kau dari mana pagi-pagi sekali?” “Tidak ada, aku keluar memang mau menemuimu,” Eden langsung melingkarkan tangan dan menarik Anna ke dalam dekapannya. “Bohong!” Anna mencubit manja hidung mancung milik Eden. “Mana ada, pakaianmu saja lengkap seperti ini. Kau habis dari mana?” “Rumah orang tuaku,” Anna menjauhkan badan dan mengangkat kepala. “Kenapa? Apa terjadi sesuatu di rumah?” Suara Anna terdengar khawatir. Eden menggeleng. Dia kembali memeluk Anna, kali ini lebih erat. “Bisa izin aja gak hari ini? Kerjanya,” “Tidak bisa, aku sudah terlalu sering tidak masuk. Tidak enak jika terus merepotkan Rian yang harus menggantikan shiftku terus. Tapi memangnya di rumahmu terjadi sesuatu? Sampai-sampai kau harus pulang sepagi ini? Tumben banget.” “Tidak ada. Atau kau mau berhenti bekerja saja?” Eden terus saja mengalihkan topik pembicaraan. “Hei!” Kali ini Anna mendorong tubuh Eden cukup jauh hingg
“Ya. Aku memang bertengkar hebat di Departemen Store waktu itu,” jawab Nyonya Arini dengan suara yang lantang. “Tapi bukan dengan Anna,” lanjutnya lagi, suaranya mulai melunak. “Lalu?” “Aku tidak tau masalah mereka apa, tapi tiba-tiba saja seorang gadis menampar Anna bahkan menjambak rambutnya. Aku tidak terima dia mengatakan hal-hal buruk padanya di tengah keramaian seperti itu.” “Apa?” Eden mendengus tidak percaya. Siapa yang berani beraninya menampar kekasihnya itu. “Bagaimana dengan Anna? Dia tidak mungkin diam saja kan? Apa dia terluka?” “Tentu saja tidak, justru Anna balas menampar gadis itu. Aku segera berlari menghampirinya. Awalnya berniat untuk membantu tapi saat Anna memanggilku dengan sebutan ibu, gadis gila itu justru ikut menarik rambut Anna sambil mengatakan kalau aku tidak mendidik anakku dengan baik.” Nyonya Arini tertawa getir. Dia ingat betul bagaimana kata-kata itu meluncur dari mulut gadis yang berlagak sombong itu.
“Boleh aku bertanya bagaimana perasaanmu lebih jauh?” Sontak Anna langsung menoleh setelah mendengar pertanyaan Eden barusan. Mereka memilih kembali ke salah satu kedai tepi pantai setelah makan malam bersama di rumah Anna. “Hm?” Anna bingung perasaan mana yang dimaksud Eden. Bukankah mereka sudah sama-sama saling mengetahui perasaan masing-masing. “Sudah jauh lebih lega?” “Ah, tentang itu,” sahut Anna mengerti dengan arah pertanyaan Eden. Hampir saja dia salah paham. “Atau masih ada yang kau khawatirkan? Katakan saja padaku, aku akan menyelesaikannya untukmu,” Anna menggeleng. “Tidak ada, kini semuanya terasa lebih lega. Tapi – “ “Tentang ibuku?” Eden menyela lebih dulu. Jika masalah keluarga Anna sudah selesai, berarti hanya tinggal masalah keluarga. Eden pun mengerti tantangan yang akan dihadapi Anna walaupun ibunya sudah memberi restu. Tapi itu masih terasa fana sampai hubungan mereka b
Mereka duduk bertiga di meja makan. Tak ingin melibatkan nenek Anna yang masih asik menonton televisi di ruang tengah. “Maafkan aku bu, semua ini salahku bu. Aku yang meminta Anna untuk berpura-pura menjadi kekasihku untuk membuat ibuku berhenti menyuruhku menikah atau menjodokanku dengan beberapa kenalannya. Tapi sekarang hubungan kami tidak palsu lagi bu. Aku serius dengan Anna dan kami menjalani hubungan sungguhan. Bahkan ibuku juga sudah mengetahui semuanya dan memberi restu pada kami bu,” “Tapi itu – ?” Genggaman tangan Eden mengencang membuat Ana berhenti berbicara. Mereka saling berpengangan tangan untuk menunjukkan keseriusan mereka di depan Ibu Anna. Tapi perkara restu Nyonya Arini itu urusan lain. Ibu Anna cukup hanya tau dengan masalah mendapatkan restu atau tidak. Sebatas itu saja. Untuk masalah sampai mana batasan restu yang mereka dapatkan itu urusan nanti. Yang jelas kini mereka sudah mengatakan yang sebenarnya. Dan Anna menginginkan semuanya ter
Senyum gadis yang mengenakan skirt berwarna putih itu cerah secerah mentari pagi. Dia mendapati pria yang kini tengah tersenyum itu merentangkan tangan. Anna berlari-lari kecil segera menghampiri Eden lalu segera memeluk pria itu. Aroma kayu dan laut berpadu begitu menyegarkan. Eden menyipitkan kedua matanya, menilik penampilan Anna pagi itu dari bawah sampai kepala. “Oh, kau pakai lipstip baru ya? Oh pipimu juga.” Eden menggoda Anna sambil mengelus pelan pipi manis gadisnya itu. “Hei! Jangan merusak penampilanku. Aku harus bangun pagi-pagi untuk dandan dan memilih baju yang paling bagus yang aku punya.” Eden memanyunkan bibirnya pura-pura prihatin dengan perjuangan Anna untuk berdandan demi pertemuan mereka hari ini. “Tumben sekali.” Eden menyelipkan poni Anna ke belakang telinga. “Padahal kau tetap cantik tanpa berdandan, bahkan kau cantik memakai apa saja.”“Dasar pembohong!” Anna menyerngitkan kening. “Aku tau kau pura-pura saat bil
Eden memberikan kecupan pelan. “Hm?” Sebaliknya Anna membalas kecupan Eden. “Jangan malam ini, aku harus pulang.” “Hanya segitu?” Eden pura-pura merajuk layaknya anak kecil umur lima tahun. “Kalau kau mau pulang seharusnya lakukan dengan benar, kan?” Anna mendengus pelan. Dia kembali mendekatkan wajahnya pada Eden. Bibirnya beradu dengan lembutnya bibir milik Eden. Perlahan mulai mengulum dan hanyut dalam di dalamnya. Begitu sebaliknya dengan Eden yang membalas setiap ciuman yang diberikan Anna. Malam semakin gelap. “Kau janji besok akan menginap kan?” Eden tak melepaskan tangan Anna dari genggamannya semenjak mobil mereka meninggalkan gedung klinik. Kini mobil mereka terparkir tepat di depan gedung apartemen milik Anna. Anna mendongakkan kepala, melihat lampu apart di lantai tujuh masih menyala atau masih mati. Hanya ada dua kemungkinan, Sherin belum pulang atau memang dia sudah tidur lebih awal. Sebelah tangan Anna menyentu
Senyum Anna langsung merekah saat dirinya melihat kedatangan pria gagah yang berjalan mendekat ke arahnya. Gelapnya senja tak menghalangi Anna untuk mengenali sosok pria yang berhasil mencuri hatinya belakangan ini. “Jangan berlari,” katanya saat Eden mulai berlari-lari kecil begitu melihat Anna keluar dari pintu. “Sudah lama menunggu?” kata Eden dengan nafas yang masih tersengal setelah berlari. Anna memberi gelengan pelan sebagai jawaban. “Kenapa kau berlari?” Eden meraih tangan Anna lalu mengenggamnya. “Aku ingin segera melihatmu.” “Tapi..” Kepala Anna menoleh ke kanan dan kiri. Mencari sesuatu. “Mana mobilmu?” “Ah itu, aku meninggalkannya di kantor.” “Kenapa?” “Supaya aku bisa menghabiskan lebih banyak waktu denganmu.” Anna meninju pelan pada dada bidang milik Eden. Ada-ada saja kelakuannya. Padahal mereka pasti akan menghabiskan waktu bersama karena Eden pasti mengantar Anna pulang.
“Bagaimana bisa? Kenapa kalian terlihat begitu santai?” Mereka duduk berhadapan di meja makan dengan kedua tangan saling tertaut di atas meja. Sedari tadi Eden tidak melepaskan genggamannya dari tangan Anna. “Aku sudah bilang semuanya pada ibumu,” “Semuanya? Dari mana? Dari awal kita bertemu?” Anna mengangguk. Memang tidak semuanya, tapi secara garis besar mencakup semuanya. “Dia tidak marah?” “Tidak, dia justru menyalahkan dirinya sendiri.” Tampak wajah khawatir dari raut wajah Eden. “Kau yakin? Ibuku orang yang pandai menyembunyikan perasaannya. Kau pasti tau sendiri, kan?” “Kenapa?” tanya Anna ikut khawatir. Dia menangkap raut wajah Eden yang tak fokus dan memikirkan banyak hal. “Firasatku tidak enak,” jawab Eden pelan. Ibunya bukan orang yang mudah berubah. Terlebih jika menyangkut masalah dirinya. Aneh sekali jika tiba-tiba ibunya memberi restu setelah sebelumny
Suara tombol pintu di luar membuat Anna tersentak dan membuka mata. Matanya menangkap Eden yang masih terlelap di sampingnya. Seulas senyum tersungging di wajahnya. Digesernya tangan Eden yang mendekapnya semalaman. Kali ini suara pintu terbuka berhasil membuat Anna bangun dan menapakkan kakinya di lantai. Anna terperanjat bukan main saat mendapati Nyonya Arini sudah berdiri di depan pintu kamar mereka. Ya. Semalam Anna menginap di rumah Eden dan disinilah dia berakhir. “Ibu,” kata Anna pelan. Dia kembali menjadi seperti anak kecil berusia lima tahun yang baru saja dimarahi ibunya karena mencuri permen setelah di larang beberpa hari terakhir. Nyonya Arini melengos dan berjalan ke arah sofa di ruang tengah, seperti sudah menduga kejadian seperti ini akan terjadi. “Kau sudah nyaman sekali rupanya.” Anna mengikuti langkah Nyonya Arini di belakang, tapi langkahnya tertahan dan terhenti saat wanita paruh baya itu duduk menyilangka