“Apa yang kau lakukan?” seru Anna lagi sambil menutupi badan Eden dengan jas yang menutupinya tadi. Sontak Anna langsung menyilangkan tangan di dada dan menatap Eden dengan tajam.
Eden menunduk menatap dadanya dengan polos kemudian ikut menyilangkan kedua tangan di dada. “Ini karena kau muntah di bajuku.” Eden membela diri.
“Apa? Muntah? Aku?” Anna menjadi serba salah, tapi dia tak ingat.
Anna melirik Eden sebentar kemudian segera keluar dari mobil. Bagaimanapun permintaan Eden untuk menemui orang tuanya cukup mendadak. Setidaknya dia ingat akan perjanjian tak tertulis mereka semalam.
Sontak Eden menjadi panik. Waktu mereka semakin menipis. Dia hanya punya waktu kurang dari satu jam lagi untuk sampai ke rumah orang tuanya.
Anna berjalan cepat dengan bertelanjang kaki. Eden pun langsung keluar mobil. Mengejar Anna. Tetapi dia berhenti ketika menyadari badannya yang tak pakai apapun.
“Astaga,” gumamnya sambil melirik badan polosnya. “Hei! Kau mau kemana?” Eden kembali ke mobil lalu mengambil jas yang dipakai untuk menutupi Anna semalam. Dia memakai asalan sambil berlari mengejar Anna yang sudah agak jauh. Eden kembali mendesah melihat Anna yang berjalan cepat tanpa alas kaki. Dia balik lagi untuk mengambil sepatu Anna di mobil. “Kau mau kemana dengan kaki tanpa alas seperti itu?”
Eden berhasil mendapatkan Anna dan menahan lengannya. Kemudian meletakkan sepatu Anna tepat di depan kakinya. “Ayo! Kita sudah tak punya waktu.”
“Kenapa aku harus ikut denganmu?” tolak Anna pelan mengalihkan pandangan. Pupil Eden membesar, semakin panik. “Bukankah kau sudah setuju tadi malam?” Eden berusaha menyegarkan kembali pikiran Anna. “Ayo! Kita tak punya banyak waktu,” jelas Eden. Mereka tidak punya waktu untuk berdebat. “Sekarang pakai dulu sepatumu.”
Anna menendang sepatunya, malas untuk mengenakannya. “Hei!” pekik Eden spontan. Sikap Anna benar-benar tidak bisa ditebak.
Eden menarik nafas pelan. “Sekarang katakan padaku, kenapa kau tiba-tiba berubah pikiran seperti ini? Bukankah kita sudah sepakat semalam?”
Anna tertunduk dengan tangan yang masih dalam genggaman Eden. “Bagaimana aku bisa datang dengan tampilan seperti ini?” kata Anna pelan. Pria itu berhenti sejenak. Memindai penampilan Anna dari atas kepala hingga ujung kaki. Rambut berantakan. Matanya yang menghitam karena maskara luntur. Dress mini dengan pinggang terbuka. Ditambah sekarang kakinya sangat kotor dengan sedikit luka di bagian ibu jari setelah menendang heelsnya beberapa detik yang lalu. “Bagus. Justru bagus kau berpakaian seperti ini,” terang Eden. Dia mulai menarik Anna munuju mobil, namun gadis itu masih menahan diri. “Apa lagi?”
Anna melirik sepatunya. “Aku belum pakai sepatu,” katanya merengek.
“Astaga!” Eden benar-benar sudah kehabisan kata-kata dengan Anna. Dia terus mengecek jam tangannya berulang kali. Memastikan berapa lama lagi waktu yang tersisa. Jangan sampai ibunya menelepon dan membatalkan janjinya begitu saja. Semua perjuangannya membujuk Anna semalam akan sia-sia. Ah, sebaiknya dia tidak memikirkan kemungkinan buruk itu.
Eden mengambil sepatu Anna di lantai dengan sebelah tangan yang bebas, sementara satunya lagi masih memegang tangan Anna. “Tidak usah dipakai, lihatlah jarimu terluka. Ayo! Aku punya sandal di mobil.” Kali ini Anna menurut. Mobil pun melaju sebelum Anna kembali berubah pikiran.
“Aku tau kita sedang buru-buru, tapi setidaknya biarkan aku ke apotek dulu,” pinta Anna ketika mobil berhenti di lampu merah. “Bagaimanapun tidak seharusnya aku datang dengan pakaian seperti ini. Meskipun aku tak kenal denganmu, aku tetap ingin menunjukkan kesan yang baik pada orang tuamu,”
“Buat apa? Tidak usah. Penampilan sekarang adalah yang paling oke,” puji Eden terdengar dipaksakan. Tentu saja berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Dia sengaja mengajak Anna bertemu ibunya dengan berpakaian seperti itu agar ibunya kapok dan menyerah seperti yang di janjikannya kemarin. Penampilan Anna sekarang jelas bertolak belakang dengan menantu idamannya. Tapi dia juga tak mungkin menarik ucapannya kemarin. Meskipun Nyonya Arini orang yang keras kepala, tetapi ia tak pernah mengingkari janji yang pernah dibuatnya. Setidaknya dengan Eden membawa Anna pulang seperti yang di suruh, seharusnya dia sudah bisa bebas.
“Kau punya masalah penglihatan? Baju ini sama sekali tak nyaman.” Anna menarik-narik bagian bawah bajunya hingga menimbulkan bunyi. Bajunya robek. “Astaga,” seru Anna tak percaya. Baru saja dia semakin memperburuk penampilannya. “Ayolah! Setidaknya biarkan aku berganti pakaian.”
Akhirnya Eden melajukan mobilnya dengan kecepatan rendah di sepanjang jalan yang menjejalkan pakaian, searah dengan jalan ke rumahnya. Tetapi keberuntungan tak berpihak pada Anna. Belum ada toko yang buka pada jam sepagi itu. “Kau mau cari baju dimana? Tidak ada yang buka di jam segini,” kata Eden. Sementara Anna terlihat masih berharap menemukan toko yang buka. “Sudah kubilang penampilanmu sekarang adalah yang terbaik,” bujuk Eden sekali lagi. Sesekali ia melirik jam di ponselnya. Setengah jam lagi.
“Pasti ada, coba kau belok sedikit ke jalan yang di sana.” Eden menurut.
Sama saja, belum ada toko pakaian yang buka. Hanya kedai kecil dan truk kopi instan yang sudah menggelar dagangannya sepagi ini. “Tidak ada.” Anna tampak kecewa.
Eden kembali memutar mobil kemudian menepikan mobilnya tepat di depan sebuah apotek dua puluh empat jam. Dia melihat Anna yang masih duduk di sampingnya, tak juga keluar dari mobil.
“Bukankah kau ingin ke apotek? Pergilah,” Eden mengintruksi. Tetapi gadis di sampingnya masih tak bergeming. Anna malah menatapnya dengan penuh manja. “Kau saja yang belikan,” katanya sambil menautkan dua jari telunjuk di bawah dagu. Mencoba bersikap imut. Tetapi Eden balas menatapnya dengan jijik. Ternyata caranya tak mempan. Raut wajah Anna kembali datar. “Bukankah seharusnya kau yang membelikannya untukku? Kan kau yang membutuhkan bantuanku. Semacam take and give?” Jika saja penampilan Anna jauh lebih baik, dia pasti sudah keluar dari tadi tanpa harus bersikap imut untuk meminta bantuan pada Eden.
Pria itu menghela nafas geram. Tapi dia butuh. “Aku cuma perlu beli minuman penghilang pengar saja kan?” katanya terdengar tak tulus.
“Tisu basah sekalian,” tambah Anna. Eden keluar mobil. “Jangan coba lari kemana-mana!” Eden kembali mengingatkan sebelum menutup pintu mobil dari luar.
Dia berjalan masuk ke apotek. Tak lama kemudian. Anna sudah melihatnya lagi dari balik pintu dan masuk ke mobil. Eden menyerahkan sebuah kantong kresek berwarna hitam berisikan satu botol minuman penghilang pengar dan tisu basah. Eden langsung melajukan mobil. Sedangkan Anna meminum minuman itu dalam sekali tenggak. Kemudian dia beralih memakai tisu basah, membersihkan sisa make upnya yang berantakan.
Setibanya mereka di depan gerbang rumah orang tua Eden. Anna kembali berulah. “Apa sebaiknya aku tidak usah datang? Lagi pula aku punya hak untuk menolak.” Eden yang menggenggam tangan Anna semenjak turun dari mobil tadi tak melonggar sedikitpun.
“Apa kau menyukaiku?”
Pertanyaan tiba-tiba dari Eden membuat Anna bungkam seketika bahkan mematung di tempat.
****
Suara burung pagi menyapa tak lagi terdengar. Bahkan suara anak-anak yang hendak berangkat ke sekolah yang melewati mereka luruh ke tanah. Mereka terdiam sejenak dengan mata yang saling bertatap tatapan. Namun, tak ada reaksi apapun setelahnya hingga Anna mengalihkan pandangannya. Pertanyaan Eden sangat tiba-tiba dan terkesan blak-blakan. “Apa? Tentu saja tidak,” tolak Anna mentah-mentah.“Makanya itu, buat apa kau memikirkan tanggapan dari orang tuaku nanti,” jelas Eden. “Tapi….” Anna masih beralasan. Dengan sekuat tenaga Eden menarik Anna masuk ke dalam rumah. Kenop pintu di putar. Pintu terbuka. “Ganti dengan ini!” Eden menyodorkan sepasang sandal rumah berwarna abu-abu pada Anna.“Astaga,” seru Anna. Dia membelalak ketika melihat kakinya yang kotor. Dia lupa membersihkannya dengan tisu basah tadi. “Pakai saja,” kata Eden tak peduli. Dia menyarungkan sandal ke kakinya.Anna menahan lengan Eden. “Kenapa lagi?” tanya Eden.“Pinjam kunci mobilmu,
Anna menyelam di tengah gelapnya kamar. Sherin masih belum pulang karena masih pukul delapan malam. Mungkin jam segini masih siang padanya. Gadis yang belum berganti pakaian semenjak siang tadi merebahkan badannya di ranjang. Terlalu malas untuk berjalan ke arah pintu untuk menghidupkan lampu. Berbagai pikiran menjalari benaknya. Langit langit kamar sunyi. Hanya sayub-sayub klakson mobil di jalan bawah sana yang menyelinap masuk. Anna mendesah lantas mengangkat sebelah tangan menutupi wajah. Apakah keputusannya sekarang sudah benar. Jawaban Eden atas pertanyaannya cukup untuk mengoyak hati Anna yang sudah terluka. “Tapi bagaimana jika mereka benar-benar ingin kita menikah?” Anna bertanya setengah panik. Eden terkekeh pelan. “Tidak semua pasangan yang berkencan berakhir dengan pernikahan. Jangan bilang kalau selama ini kau berpikiran seperti itu?” Eden melirik Anna yang menatap lurus ke depan. “Apa kau juga mengharapkan sebuah pernikahan
“Bagaimana kau bisa menemukanku di sini?” Anna dan Eden berbicara empat mata di tempat duduk yang sama. Sementara Sherin sudah tertidur di meja. Baiklah. Anna akan menggendongnya nanti.“Lagi-lagi kau menatapku dengan tatapan penuh curiga seperti itu,” jawab Eden dengan setengah hati.Eden meletakkan sebuah dompet berwarna hitam di atas meja. “Aku ingin menyerahkan ini padamu.”Sontak Anna langsung meraih dompetnya di atas meja dengan mata berbinar. Padahal dia sudah hampir menyerah saat mencari dompetnya sesaat akan keluar rumah tadi. Dia mungkin akan melapor ke polisi jika besok dia tidak kunjung menemukan dompetnya itu.“Syukurlah kau menemukannya,” ungkapnya sambil tersenyum lega pada Eden. “Terima kasih,” lanjutnya lagi.“Kenapa harus repot-repot jauh mengantar ke sini. Kau bisa telfon saja jadi aku akan menjemputnya besok.”Kali ini Eden meletakkan ponselnya di atas meja. “Bagaimana aku bisa menghubungimu jika nomormu saja tidak punya,” celetuk Eden lagi.Ah, betul juga. Pertemu
“Jadi dia – ?” mata Anna bergantian menatap layar ponsel kemudian beralih menatap Sherin. “Tapi dia tidak tampak seperti itu,” lanjut Anna menolak menerima isi dari berita itu. Sherin mengedikkan bahu tak yakin. “Kita memang tidak ada yang tau dalamnya seseorang seperti apa, kan? bisa jadi dia memang pandai menyembunyikan jadi dirinya selama ini. Kau bisa baca juga isi artikel lain yang terkait. Keluarga mereka keluarga terpandang. Seluruh keluarga bekerja di bidang kesehatan. Ibunya Kepala Yayasan pusat rehabilitasi, kakeknya juga Direktur Rumah Sakit besar bahkan kini ayahnya menjadi dosen ahli saraf. Dan dia juga seorang dokter kecantikan. Jadi wajar saja jika dia terkena isu isu miring seperti itu. Ya, bisa jadi juga karena dia tidak pernah terlibat dengan seorang wanita dengan wajah setampan itu. Bukankah itu agak aneh?” Sherin masih asik menyuap nasi goreng buatan Anna. “Tapi – “ “Lagi pula apa hubungannya denganmu jika dia memang gay atau buk
Hari ini Anna mendapatkan tugas mengawasi salah satu gerai pakaian bermerek. Biasanya dia mendapatkan tugas di bagian perhiasan. Hanya saja kali ini dia mendapatkan jadwal rolling. Jabatannya yang hanya sebagai staff biasa, jadi dia tak punya hak untuk membantah. Intinya dia hanya bawahan dari bawahan yang berada di atasnya. Sialnya dia tak beruntung hari itu. Dia justru bertemu salah satu teman sekolahnya dulu yang paling di bencinya. Bukannya benci, dia terlalu tidak suka dengan teman yang suka pamer dan merendahkan. Terlebih temannya itu baru saja menikah dengan salah seorang pengusaha tajir. Tentu saja tingkat kesombongan meningkat hinga level tertinggi. “Oh my god, lihat siapa yang kutemui,” sapa Olive ketika melihat Anna berjaga di dekat kasir. Gayanya sudah seperti artis papan atas lengkap dengan tas jinjing bermerek. “Bukankah ini Anna? Yang katanya akan menikah tapi tak jadi?” sindirnya dengan nada suara yang keras. Anna hanya bisa tersenyum manis deng
Anna menyesap kopinya. Dia berusaha menjaga sikap di depan orang yang tampak begitu tenang di hadapannya kini. Jangan bilang ibu Eden tadi melihat pertengkarannya dengan Olive tadi? Anna membatin. “Kau bekerja di sini?” tanya Nyonya Arini. Dia ikut menyesap kopi dari cangkirnya. Mereka berbincang di café. “Iya bu,” jawab Anna ramah. Dia bingung bagaimana harus bereaksi. Kenapa dia harus bertemu ibu Eden di sini? Bukankah seharusnya Eden yang duduk di hadapannya kini? Anna melirik jam mungil yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Masih tersisa satu jam lagi sebelum janji temu mereka. “Sebagai…” tanya Nyonya Arini lagi memastikan setelah melihat pakaian Anna yang sudah lebih dari cukup menjawab keraguannya. “Iya bu, aku hanya staff biasa,” jawab Anna masih tersenyum. Lagi-lagi dia menyesap kopinya untuk menutupi rasa gugup.“Aku juga sudah lama tidak berbelanja, bagaimana kalau kau menemani ibu berbelanja?” ajak Nyonya Arini tiba-tiba.
Nyonya Arini berjalan cepat menerobos masuk ruangan kerja suaminya. Dia membuka pintu dengan keras hingga mengejutkan semua orang di dalam. Sontak Tuan Teddy terlonjak kaget dari bangku kerjanya dengan tangan terangkat memegangi dada. “Ada apa? Sekarang apa lagi?” “Sepertinya ada yang tidak beres antara Eden dan pacarnya Anna itu.” Nyonya Arini menaruh curiga sambil memicingkan sebelah matanya. “Apanya? Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?” balas suaminya. “Begini…” Nyonya Arini mulai menyusun kata-kata yang akan di ucapkannya. Sekarang dia sudah berdiri di samping meja kerja suaminya. Tuan Teddy pun memutar kursinya hendak mendengarkan penjelasan sang istri dengan seksama. “Pertama, tiba-tiba saja Eden mempunyai kekasih, kedua…” “Bagus dong, bukankah itu yang kau inginkan?” potong Tuan Teddy. “Iya, memang bagus, tapi sangat tiba-tiba. dan mereka bilang sudah berkencan selama seratus hari. Tapi kenapa kita tidak pernah tahu? Maksudku se
“Jadi kenapa kau mau bertemu denganku sore ini?” Eden kembali bertanya untuk yang kedua kali. Teringat kesepatan mereka sebelumnya. “Apa kau sudah memikirkan tawaranku sebelumnya.” “Ah, itu.” Anna merubah posisi duduk. Sebenarnya tidak ada yang ingin dibicarakannya dengan Eden, hanya saja karena Sherin tadi pagi dia terpaksa mengajak Eden keluar. Terlepas dari kejadian bertemu dengan Ibu Eden secara tidak sengaja sore ini. “Maaf, sebenarnya tidak ada yang ingin kubicarakan denganmu.” Kening Eden berkerut. “Jadi mengapa kau mengajakku untuk bertemu?” “Karena Sherin tak sengaja menghubungimu tadi pagi,” lanjut Anna sambil memasang wajah penuh rasa bersalah. Kali ini Eden ikut menghela nafas. Setengah karena merasa iba dengan Anna, sebagian lagi karena sudah membantunya sore itu. “Kalau memang tidak ada yang ingin kau bicarakan. Sebaiknya aku kembali ke kantor.” “Tunggu!” kata Anna spontan yang berhasil m
Anna berkomat-kamit sendiri sambil memikirkan apa yang harus dilakukannya. Matanya membesar ketika melihat Eden hendak kembali ke meja, jadi dia bisa segera mengajak Eden beranjak dari sana. Tangan Anna terangkat hendak memanggil, namun senyumnya seketika luntur. Eden justru malah membalas sapaan orang lain. Anna berbalik. Matanya kembali membesar. Eden membalas sapaan seorang pria berusia sekitar tiga puluhan dan pria itu bersama orang yang ingin dihindari oleh Anna tadi. Ya, Oliv. Siapa lagi yang ingin dihindari Anna jikan bukan gadis itu. Tapi Anna menjadi bertanya-tanya apa yang dilakukan Olie dan suaminya di sini? Anna kembali duduk sambil menunduk. Mengeluarkan ponsel lalu pura-pura sibuk mengirim pesan ataupun menelepon seseorang. Tidak lama dia melakukan hal itu, dia kembali bangkit dan beranjak menuju meja lain yang agak jauh dari tempat Eden dan teman-temannya itu. Untuk sementara Anna menyimpulkan beberapa pria yang tampak lebih tua dari kekasihnya itu adalah te
“Kali ini pernikahan temanmu yang mana?” Anna kembali bertanya ketika mereka berada di dalam mobil, menuju gedung pernikahan teman Eden. Pria itu juga sudah mengganti pakaian, dia tampak gagah dengan balutan jas hitam dan potongan rambut dengan model comma style. Gaya rambut yang paling cocok dengan potongan wajah asianya yang khas. “Ada tapi kau tidak kenal.” Eden menjawab singkat. Kali ini suaranya terdengar lebih lembut. Tapi jawaban singkat Eden membuat Anna menjadi bertanya-tanya. Dia tak mengenal Eden. Banyak hal yang tak diketahuinya tentang pria yang tengah mengemudi di sampingnya itu. Beda halnya dengan pria itu yang hampir mengetahui segala tentangnya. Termasuk apa yang berkelibat di kepalanya kini. Lihatlah kini Eden tengah mencuri-curi pandang padanya. Eden melirik Anna, gadis itu terdiam tak lagi bertanya. Tapi justru membuat Eden menjadi tak enak karena sudah menjawab singkat. Dia berdeham sekali mengusir keheningan.“Dia salah satu kenalanku sewa
Kata orang, tiada pertemuan yang tak memiliki arti. Tiada pertemuan yang menjadi sebuah kebetulan karena sejatinya sudah ada yang mengatur dan sudah menjadi rencana alam. Ada orang yang percaya jika bertemu dengan orang asing sebanyak tiga kali dalam waktu berdekatan yang sering kali dikatakan berjodoh. Ada pula orang yang bertemu lebih dari itu dan hubungan mereka tetaplah orang asing. Bagaimana dengan orang asing yang tiba-tiba membantu kita untuk menyebrang di tengah jalan? Lalu dengan orang yang tak sengaja bertemu ketika sama-sama membeli daging ayam di supermarket atau mungkin orang yang tak sengaja tersenyum ketika berpapasan saat menyebrangi lampu merah? Keesokannya kita masih bertemu dan bertemu, namun hubungannya tidak lebih dari sebatas kenalan biasa. Kalian tahu? Terlalu banyak faktor yang harus dipertimbangkan untuk mengatakan jikalau sebuah pertemuan itu adalah kebetulan. Pertemuan Anna dan Eden mungkin bisa dikatakan sebagai sebuah kebetulan. Anggap saja ibu
“Kau?” Jari telunjuk Anna spontan terangkat, menunjuk lurus ke arah pria yang mengenakan kemeja dengan potongan leher rendah di salah satu meja café.Pria yang di tunjuk itu menunjukkan seulas senyum yang menampakkan deretan giginya yang putih.“Apa yang kau lakukan di sini?”“Masa muda yang mana yang kau rindukan?” Zeno kembali mengingatkan celoteh Anna beberapa menit yang lalu tepat setelah dua anak sekolah meninggalkan café.Anna berdecak kesal dan sedikit frustasi. “Seingatku aku sudah memberitahumu kalau aku tidak mau bertemu denganmu lagi bukan? Kenapa kau datang lagi ke sini, huh? Seharusnya kau sudah berada di Swiss sekarang?”Zeno mendengus. Dia tidak lupa dengan perkataan Anna. Lebih tepatnya ancaman Anna. Karena ucapan Anna waktu itu penuh tekanan.“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, tapi rasanya tidak enak jika melalui telfon. Makanya aku mengajakmu bertemu. Sebentar saja.”Anna menghubungi Zeno kembali setelah pertemuan mereka siang itu di café milik Anna setelah Oliv m
Sinar matahari menyelinap masuk melewati celah celah ventilasi.“Kau mau aku buatkan sarapan dulu?” tanya Sherin berbasa-basi. Dia tengah memanggang beberapa toast di dapur.“Tidak usah,” jawab Anna sambil sibuk mengemasi barangnya yang berserakan di ruang tengah semalam.“Setidaknya minumlah ini,” sahut Sherin lagi sambil menyerahkan segelas jus apel di atas meja makan. “Supaya pencernaanmu lancar,”Gadis yang mengenakan skirt sebatis itu menurut. Dia berjalan menghampiri meja dan meminum jus buatan Sherin. “Terima kasih jusnya, aku merasa segar.”Sherin hanya tersenyum hangat sebagai balasan atasan pujian Anna. “Hubungi aku jika terjadi sesuatu! Jangan tiba-tiba pulang sambil nangis dan berantakan kayak semalam. Kau mengerti kan?”“Astaga! Kau mulai lagi, baiklah aku mengerti.” Anna sudah maklum dengan omelan sahabatnya itu. Dia tau kalau Sherin khawatir dan dia tidak boleh membuat sahabat satu-satunya itu diselimuti rasa kekhawatiran yang tak jelas. “Aku berangkat dulu, sampai jump
“Siapa yang cemburu?” Eden menjadi salah tingkah. Dia mengusap rambutnya ke belakang dengan kedua tangan.“Lalu mengapa sikapmu yang berlebih seperti ini?”“Aku tidak berlebihan, hanya saja merasa kesal setelah melihatmu kembali bersikap bodoh saat di depan pria brengsek itu. Berapa kali harus kubilang, huh? Dia bukan pria baik-baik. Tidak cukup mempermalukanmu sekali waktu itu di café, sekarang kau ingin membiarkannya melakukannya lagi?”Anna menghela nafas panjang. Disatu sisi, dia merasa wajar melihat Eden murka dan juga geram melihat gadis bodoh yang terlalu mudah termakan omoongan manis dari cinta pertamanya. Dia menatap Eden lamat-lamat dengan mulut terkunci.“Berhentilah menatapku seperti itu.” Eden kembali mengingatkan Anna yang terdiam memperhatikannya untuk beberapa menit. Mereka duduk berhadapan yang dipisahkan oleh meja kecil yang di penuhi oleh kepulan asap sup yang baru saja tiba. “Aku tidak melihatmu.” Anna langsung mengalihkan pandangannya. “Pokoknya, urusa
Terik matahari di luar ikut masuk menyelinap ke dalam hatinya yang terasa panas dan sesak sedari tadi. Semalam dia sudah menerima tawaran Oliv untuk bertemu pria yang paling ingin dihindarinya. Entah apa yang dipikirkannya semalam saat menerima tawaran semalam, alhasil kini hatinya penuh gejolak. Setengah karena rasa penasaran, setengah lagi penuh dengan rasa sakit.Anna hendak berganti pakaian karena sudah jamnya untuk pulang. Eh, tidak. Dia harus menemui Zeno sore itu di tempat kerjanya pula. Anna melirik jam dinding. Seharusnya dia sudah berada di sini. “Kau menungguku?” Suara itu membuat Anna menoleh. Ya. Itu Zeno. Orang yang di tunggunya sudah tiba. Tampak jelas perasaan cemas terpampang jelas di wajah Anna, tapi dia masih berusaha menyunggingkan seulas senyumnya, takut membuat Zeno merasa tidak nyaman. Ah, sial. Anna mengutuk dirinya dalam hati karena masih saja mencemaskan pria itu. Mereka duduk di salah satu meja café. Anna memesankan pesanan sembarang
Anna menoleh. Sepasang matanya memindai penampilan Eden yang begitu kacaud an berantakan. Malam itu pertama kalinya Anna melihat sisi itu dari Eden. Seberapa kacau pikirannya sampai seperti ini, pikir Anna dalam hati. Dia kembali menatap Eden yang berbaring dengan mata terpejam.Anna mengambil selimut hendak menutupi tubuh Eden. Namun gerak tangannya terhenti ketika suara serak Eden mengatakan sesuatu dengan pelan. “Aku merasa bersalah.” Eden bergumam pelan. “Maafkan aku,” lanjutnya lagi. “Untuk apa?” Anna duduk di lantai, di sisi sofa tempat Eden berbaring. Dia membiarkan tangan Eden yang memegang ujung lengan bajunya. “Semuanya.” Eden menghela nafas. “Aku benar-benar minta maaf.” Anna melepaskan tangan Eden. “Aku tidak bisa menerima permintaan maafmu.” Anna malah menjawab perkataan Eden dengan tenang. Bukannya karena kesal atau marah pada pria itu, tapi karena Anna juga merasa bersalah pada Eden. Hanya saja dia tidak menampakkannya sam
Eden hanya bisa menatap punggung Anna saat berjalan menjauh. Ingin hatinya untuk segera berlari untuk mengejar gadis itu, namun langkah kakinya terasa berat. Ada perasaan semacam tak pantas yang terbersit di hatinya saat itu. Setelah semua yang telah dilakukannya pada Anna. Anna belum mabuk saat meninggalkan meja, Eden hanya berharap kekhawatirannya akan sia-sia karena Anna pasti bisa pulang dengan selamat. Toh tempat mereka minum tidak jauh dari apartemen milik Anna. Botol terakhir telah kosong. Kepalanya mulai terasa berat. Namun dia merasa masih belum mabuk. Eden ingin sekali mabuk setidaknya beban pikirannya akan hilang walau hanya semalam. Eden meninggalkan beberapa lembar uang kertas di meja lantas mulai berjalan gontai keluar. Pijakannya tidak pasti dan sedikit terhuyung huyung, tapi badannya masih bisa berdiri dan berjalan menuju minimarket terdekat. Salah seorang pelayan toko memberinya sebotol obat pengar agar dirinya bisa sege