Anna terkekeh pelan. “Balas dendam?” Anna berhenti tertawa, sedetik kemudian wajahnya kembali serius. Dia memang terluka, tapi tak pernah terpikirkan untuk balas dendam. Anna lebih memilih untuk melepaskan Kevin sepenuhnya dan tak berurusan lagi dengannya.
“Sudahlah, aku tak tertarik untuk balas dendam seperti yang kau katakan. Mengurus hidupku saja sudah sangat sulit, terlalu melelahkan jika harus memikirkan orang lain juga. Untuk kali ini, aku akan berterima kasih atas bantuanmu tadi dengan tulus. Aku tak mau lagi dicap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun. Kalau begitu, aku pamit dulu.” Anna membungkukkan badannya sembilan puluh derajat kemudian berbalik, berjalan mengabaikan Eden.
Eden mengeluh dalam hati. Keras kepala sekali gadis ini. Eden melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, sudah pukul satu malam. Hanya beberapa jam sebelum matahari terbit.
Eden menyusul Anna yang sudah agak jauh. “Dengarkan aku dulu,” dia menahan lengan Anna. “Begini…”
“Sudah kubilang aku tak tertarik.” Anna menyela lebih dulu dan kembali menurunkan tangan Eden, tapi gagal karena cengkraman Eden semakin kuat. “Sekarang apa lagi?”
“Aku bisa membuatnya tergila-gila padamu. Disaat dia sudah tulus, kau bisa mencampakkannya seperti yang dia lakukan padamu. Aku bisa membantumu untuk balas dendam, bahkan lebih dari yang kau bayangkan. Sejujurnya..” Eden berhenti sebentar sambil memasang wajah iba. “Aku tak suka jika kau diperlakukan seperti itu, tapi kau membiarkannya begitu saja?”
Anna menghela nafas dengan kasar. Beberapa kalimat Eden membuatnya bimbang. Memang betul dia sangat marah pada Kevin, tapi balas dendam? Apa itu tidak berlebihan?
“Bagaimana?” Eden menilik raut wajah Anna. Berharap gadis itu setuju dengannya.
Anna menggaruk pelipisnya, mengusap rambutnya ke belakang sembali menarik nafas dalam-dalam. “Tak mungkin gratis, bukan? Apa yang kau mau dariku setelah ini?”
Seketika senyum di wajah Eden mengambang. Gadis ini ternyata tau cara bermain.
“Sebelum itu, apa kau tak melupakan undangan dari seseorang?” Dia memastikan kalau gadis yang dimaksud ibunya adalah Anna.
Kening Anna terlipat. Dia sedang tidak ingin main tebak-tebakan. Anna mendesah pelan. “Sekarang apa lagi?”
Sudahlah. Eden pasrah. Sepertinya Anna memang tidak ingat terlepas dirinya yang sudah agak mabuk.
“Baiklah. Karena aku sudah membantumu, jadi kau harus membantuku juga. Hanya sekali.”
Anna pasrah karena sadar harus membalas budi, “membantu apa?”
“Datanglah bersamaku besok,” pinta Eden.
“Besok? Kemana?” Sontak Anna melirik jam di tangannya. Hari sudah tengah malam. Jarum panjang menunjuk angka dua.
“Ya. Pagi. Orang tuaku mengajakmu sarapan bersama,”
“Orang tuamu?” Lagi-lagi ajakan Eden semakin membuat Anna bingung. Buat apa dia bertemu orang tua Eden, laki-laki yang baru dikenalnya kemarin.
“Kau benar-benar tak ingat bertemu dengan ibuku kemarin?” Sekali lagi Eden mencoba membawa ingatan Anna kembali.
“Ibumu?” Anna memiringkan kepalanya. Mencoba menangkap arah pertanyaan Eden. Pria di depannya itu menunggu dengan penuh harap. Sontak tangan Anna terangkat menutupi mulutnya yang ternganga. Matanya juga tak kalah besar. Dia teringat dengan ajakan seorang wanita paruh baya kemarin ketika di halte bus. Eden menebak jika gadis di depannya ini sudah ingat dan paham dengan maksudnya.
“Itu ibuku,” jelas Eden.
“Benarkah? Aku pikir dia ibu Kevin,” ungkap Anna tiba-tiba. Dia masih dalam suasana terkejut.
“Kau belum pernah bertemu dengan ibunya?” Eden berbalik terkejut sekaligus heran. Bukankah kalau sudah berpacaran lama berarti sudah mengenal keluarga masing-masing? Anna memperbaiki raut wajahnya kembali datar. Menepuk-nepuk pelan pipinya agar kembali sadar.
“Intinya, kau harus datang ke rumahku besok pagi.” Eden kembali mengingatkan.
“Kau bercanda? Besok yang kau bicarakan itu hari ini,” terang Anna setengah panik, “tidak biasanya orang mengundang tamu di pagi hari,” gumam Anna.
Tiba-tiba saja Anna mengibaskan kedua tangannya. Seolah dia menolak untuk datang bersama Eden besok pagi. Terlebih lagi kondisinya saat itu sangatlah tidak mendukung. Pakaian yang terbuka dan dalam keadaan mabuk. Anna berbalik meneruskan langkahnya, sesekali jalannya tak lurus. Kepalanya semakin pusing setelah kejadian tadi. Sedangkan Eden menyusulnya di belakang. Berbeda dengan Anna, Eden justru menyimpulkan kalau Anna setuju.
“Apa aku boleh meminta lebih padamu?” pinta Eden lagi, dia sudah berdiri tepat di belakang Anna. Gadis itu pun kembali berhenti dan berbalik. Dia perlahan mendekatkan wajahnya pada wajah Eden. “Minta apa lagi?”
****
Anna tersentak. Dia membuka mata perlahan. Mendapati sebuah jaket menutupi badannya lantas mengedarkan pandangan. Ia melihat Eden juga tengah tertidur di sampingnya. Anna membuka sabuk pengaman. Dia menegakkan badan sambil meringis kesakitan kemudian memegang kepalanya yang masih terasa pusing. Tak sengaja tangan Anna mengenai pundak Eden hingga ia juga tersadar. “Kau sudah bangun?” katanya dengan suara parau sambil meluruskan badan di tempat sempit dari balik kemudi.
Seketika tangan Anna terangkat menutupi wajah. “Hei, kenapa kau tak pakai baju?” seru Anna ketika melihat kain yang menutupi badan Eden terbuka hingga memperlihatkan dada bidang Eden. Anna pun segera melihat pakaian yang melekat di tubuhnya. Untunglah masih sama seperti yang dipakainya tadi malam. Tak terbuka atau diganti sama sekali. Anna mencoba mengingat kejadian yang terjadi padanya semalam. Ingatannya terakhir adalah ketika dia mendekatkan wajahnya pada Eden, namun sayang dia tak bisa mengingat kejadian setelah itu.
Anna mendekatkan wajahnya dengan wajah Eden. Dengan pijakan yang goyah, Anna tak sengaja jatuh ke dalam pelukan Eden. “Apa? Kau bilang apa?” katanya dengan mata setengah terbuka. Eden memegang pinggang Anna agar dirinya tak terjatuh. Mata mereka bertemu. Tapi Anna menunjukkan raut muka aneh. Pipinya menggembung. Sepertinya sesuatu akan meletus.
Benar saja. Dia muntah di pundak Eden.
“Hei,” seru Eden sambil menutup matanya. Dia merasakan sesuatu yang panas memenuhi pundaknya. “Bisa-bisanya kau…” Eden kehabisan kata-kata. Dia terpaku di tempat. Anna menjauhkan badannya dari Eden kemudian kembali berjalan entah kemana. Seolah tak terjadi apa-apa.
Bruk! Anna terjatuh di depan sana. Dia terkapar di lantai, tak lagi sadar. Eden berlari mengejar Anna lalu membopongnya dengan cepat masuk mobilnya yang terparkir tak jauh dari posisi mereka saat itu. Susah payah dia meluruskan badan Anna. “Apa yang kau makan?” gerutu Eden ketika mengangkat badan Anna. Perawakannya memang tak kurus karena cukup berisi, tapi badan Anna tak seberat itu juga.
Eden mengitari mobil lalu dengan cepat masuk mobil. Dia membawa Anna menuju hotel terdekat. Bagaimana bisa dia membawa Anna pulang dengan kondisi seperti itu. Tidak banyak waktu yang tersisa, hanya empat jam menjelang jam sarapan di rumah orang tuanya esok hari. Setelah Eden memesan sebuah kamar, dia menggendong Anna ke dalam sebuah kamar, lalu menidurkannya di kasur. Melihat pakaian Anna yang sangat terbuka. Dia melempar sembarang kain menutupi badan Anna.
Baru saja dia hendak membersihkan diri, rasa ragu menyisip di hatinya. Dia takut kalau Anna tiba-tiba terbangun dan berpikir yang tidak-tidak atau mungkin semakin menguatkan anggapannya tentang pria mesum. Dan yang lebih parah adalah bagaimana jika Anna menolak untuk membantunya? Bisa-bisa semua rencananya gagal dan harus menerima semua pilihan Nyonya Arini.
Akhirnya Eden kembali menggendong Anna menuju basemant. Tempat mobilnya terparkir. Eden membaringkan Anna di bangku penumpang di samping sopir. Eden mendesah ketika sudah kembali duduk di balik kemudi. Dia melirik Anna yang tampak sangat berantakan. Sekilas parasnya memang cantik dengan warna kulit yang tak terlalu putih tapi cukup eksotis. Eden dengan cepat membuka kancing bajunya yang sudah bau dan lembab bekas muntahan Anna. Sesekali dia mengedarkan pandangan, melihat apakah ada orang yang lewat di sekitar mobil mereka. Ketika keadaan sudah aman, barulah dia melepas semua bajunya lalu melemparnya ke bangku belakang. Dia melihat di belakang ada sebuah jas. Eden meraihnya kemudian menutupi badan Anna. Sedangkan Eden menutupi badannya dengan sapu tangan yang tak terlalu besar, tapi cukup untuk menutupi dadanya.
Gadis dengan rambut sebahu itu sepertinya tengah asik bermain di bawah alam sadarnya. Lihatlah sekarang dia tersenyum tak jelas. Dia bahkan tak sadar situasinya sekarang sangat berbahaya. “Apa yang kau lihat?” Anna tersadar.
*****
“Apa yang kau lakukan?” seru Anna lagi sambil menutupi badan Eden dengan jas yang menutupinya tadi. Sontak Anna langsung menyilangkan tangan di dada dan menatap Eden dengan tajam.Eden menunduk menatap dadanya dengan polos kemudian ikut menyilangkan kedua tangan di dada. “Ini karena kau muntah di bajuku.” Eden membela diri.“Apa? Muntah? Aku?” Anna menjadi serba salah, tapi dia tak ingat.Anna melirik Eden sebentar kemudian segera keluar dari mobil. Bagaimanapun permintaan Eden untuk menemui orang tuanya cukup mendadak. Setidaknya dia ingat akan perjanjian tak tertulis mereka semalam.Sontak Eden menjadi panik. Waktu mereka semakin menipis. Dia hanya punya waktu kurang dari satu jam lagi untuk sampai ke rumah orang tuanya. Anna berjalan cepat dengan bertelanjang kaki. Eden pun langsung keluar mobil. Mengejar Anna. Tetapi dia berhenti ketika menyadari badannya yang tak pakai apapun.“Astaga,” gumamnya sambil melirik badan polosnya. “Hei! Kau mau kemana?” Eden kembali ke mob
Suara burung pagi menyapa tak lagi terdengar. Bahkan suara anak-anak yang hendak berangkat ke sekolah yang melewati mereka luruh ke tanah. Mereka terdiam sejenak dengan mata yang saling bertatap tatapan. Namun, tak ada reaksi apapun setelahnya hingga Anna mengalihkan pandangannya. Pertanyaan Eden sangat tiba-tiba dan terkesan blak-blakan. “Apa? Tentu saja tidak,” tolak Anna mentah-mentah.“Makanya itu, buat apa kau memikirkan tanggapan dari orang tuaku nanti,” jelas Eden. “Tapi….” Anna masih beralasan. Dengan sekuat tenaga Eden menarik Anna masuk ke dalam rumah. Kenop pintu di putar. Pintu terbuka. “Ganti dengan ini!” Eden menyodorkan sepasang sandal rumah berwarna abu-abu pada Anna.“Astaga,” seru Anna. Dia membelalak ketika melihat kakinya yang kotor. Dia lupa membersihkannya dengan tisu basah tadi. “Pakai saja,” kata Eden tak peduli. Dia menyarungkan sandal ke kakinya.Anna menahan lengan Eden. “Kenapa lagi?” tanya Eden.“Pinjam kunci mobilmu,
Anna menyelam di tengah gelapnya kamar. Sherin masih belum pulang karena masih pukul delapan malam. Mungkin jam segini masih siang padanya. Gadis yang belum berganti pakaian semenjak siang tadi merebahkan badannya di ranjang. Terlalu malas untuk berjalan ke arah pintu untuk menghidupkan lampu. Berbagai pikiran menjalari benaknya. Langit langit kamar sunyi. Hanya sayub-sayub klakson mobil di jalan bawah sana yang menyelinap masuk. Anna mendesah lantas mengangkat sebelah tangan menutupi wajah. Apakah keputusannya sekarang sudah benar. Jawaban Eden atas pertanyaannya cukup untuk mengoyak hati Anna yang sudah terluka. “Tapi bagaimana jika mereka benar-benar ingin kita menikah?” Anna bertanya setengah panik. Eden terkekeh pelan. “Tidak semua pasangan yang berkencan berakhir dengan pernikahan. Jangan bilang kalau selama ini kau berpikiran seperti itu?” Eden melirik Anna yang menatap lurus ke depan. “Apa kau juga mengharapkan sebuah pernikahan
“Bagaimana kau bisa menemukanku di sini?” Anna dan Eden berbicara empat mata di tempat duduk yang sama. Sementara Sherin sudah tertidur di meja. Baiklah. Anna akan menggendongnya nanti.“Lagi-lagi kau menatapku dengan tatapan penuh curiga seperti itu,” jawab Eden dengan setengah hati.Eden meletakkan sebuah dompet berwarna hitam di atas meja. “Aku ingin menyerahkan ini padamu.”Sontak Anna langsung meraih dompetnya di atas meja dengan mata berbinar. Padahal dia sudah hampir menyerah saat mencari dompetnya sesaat akan keluar rumah tadi. Dia mungkin akan melapor ke polisi jika besok dia tidak kunjung menemukan dompetnya itu.“Syukurlah kau menemukannya,” ungkapnya sambil tersenyum lega pada Eden. “Terima kasih,” lanjutnya lagi.“Kenapa harus repot-repot jauh mengantar ke sini. Kau bisa telfon saja jadi aku akan menjemputnya besok.”Kali ini Eden meletakkan ponselnya di atas meja. “Bagaimana aku bisa menghubungimu jika nomormu saja tidak punya,” celetuk Eden lagi.Ah, betul juga. Pertemu
“Jadi dia – ?” mata Anna bergantian menatap layar ponsel kemudian beralih menatap Sherin. “Tapi dia tidak tampak seperti itu,” lanjut Anna menolak menerima isi dari berita itu. Sherin mengedikkan bahu tak yakin. “Kita memang tidak ada yang tau dalamnya seseorang seperti apa, kan? bisa jadi dia memang pandai menyembunyikan jadi dirinya selama ini. Kau bisa baca juga isi artikel lain yang terkait. Keluarga mereka keluarga terpandang. Seluruh keluarga bekerja di bidang kesehatan. Ibunya Kepala Yayasan pusat rehabilitasi, kakeknya juga Direktur Rumah Sakit besar bahkan kini ayahnya menjadi dosen ahli saraf. Dan dia juga seorang dokter kecantikan. Jadi wajar saja jika dia terkena isu isu miring seperti itu. Ya, bisa jadi juga karena dia tidak pernah terlibat dengan seorang wanita dengan wajah setampan itu. Bukankah itu agak aneh?” Sherin masih asik menyuap nasi goreng buatan Anna. “Tapi – “ “Lagi pula apa hubungannya denganmu jika dia memang gay atau buk
Hari ini Anna mendapatkan tugas mengawasi salah satu gerai pakaian bermerek. Biasanya dia mendapatkan tugas di bagian perhiasan. Hanya saja kali ini dia mendapatkan jadwal rolling. Jabatannya yang hanya sebagai staff biasa, jadi dia tak punya hak untuk membantah. Intinya dia hanya bawahan dari bawahan yang berada di atasnya. Sialnya dia tak beruntung hari itu. Dia justru bertemu salah satu teman sekolahnya dulu yang paling di bencinya. Bukannya benci, dia terlalu tidak suka dengan teman yang suka pamer dan merendahkan. Terlebih temannya itu baru saja menikah dengan salah seorang pengusaha tajir. Tentu saja tingkat kesombongan meningkat hinga level tertinggi. “Oh my god, lihat siapa yang kutemui,” sapa Olive ketika melihat Anna berjaga di dekat kasir. Gayanya sudah seperti artis papan atas lengkap dengan tas jinjing bermerek. “Bukankah ini Anna? Yang katanya akan menikah tapi tak jadi?” sindirnya dengan nada suara yang keras. Anna hanya bisa tersenyum manis deng
Anna menyesap kopinya. Dia berusaha menjaga sikap di depan orang yang tampak begitu tenang di hadapannya kini. Jangan bilang ibu Eden tadi melihat pertengkarannya dengan Olive tadi? Anna membatin. “Kau bekerja di sini?” tanya Nyonya Arini. Dia ikut menyesap kopi dari cangkirnya. Mereka berbincang di café. “Iya bu,” jawab Anna ramah. Dia bingung bagaimana harus bereaksi. Kenapa dia harus bertemu ibu Eden di sini? Bukankah seharusnya Eden yang duduk di hadapannya kini? Anna melirik jam mungil yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Masih tersisa satu jam lagi sebelum janji temu mereka. “Sebagai…” tanya Nyonya Arini lagi memastikan setelah melihat pakaian Anna yang sudah lebih dari cukup menjawab keraguannya. “Iya bu, aku hanya staff biasa,” jawab Anna masih tersenyum. Lagi-lagi dia menyesap kopinya untuk menutupi rasa gugup.“Aku juga sudah lama tidak berbelanja, bagaimana kalau kau menemani ibu berbelanja?” ajak Nyonya Arini tiba-tiba.
Nyonya Arini berjalan cepat menerobos masuk ruangan kerja suaminya. Dia membuka pintu dengan keras hingga mengejutkan semua orang di dalam. Sontak Tuan Teddy terlonjak kaget dari bangku kerjanya dengan tangan terangkat memegangi dada. “Ada apa? Sekarang apa lagi?” “Sepertinya ada yang tidak beres antara Eden dan pacarnya Anna itu.” Nyonya Arini menaruh curiga sambil memicingkan sebelah matanya. “Apanya? Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?” balas suaminya. “Begini…” Nyonya Arini mulai menyusun kata-kata yang akan di ucapkannya. Sekarang dia sudah berdiri di samping meja kerja suaminya. Tuan Teddy pun memutar kursinya hendak mendengarkan penjelasan sang istri dengan seksama. “Pertama, tiba-tiba saja Eden mempunyai kekasih, kedua…” “Bagus dong, bukankah itu yang kau inginkan?” potong Tuan Teddy. “Iya, memang bagus, tapi sangat tiba-tiba. dan mereka bilang sudah berkencan selama seratus hari. Tapi kenapa kita tidak pernah tahu? Maksudku se
“Kau dari mana pagi-pagi sekali?” “Tidak ada, aku keluar memang mau menemuimu,” Eden langsung melingkarkan tangan dan menarik Anna ke dalam dekapannya. “Bohong!” Anna mencubit manja hidung mancung milik Eden. “Mana ada, pakaianmu saja lengkap seperti ini. Kau habis dari mana?” “Rumah orang tuaku,” Anna menjauhkan badan dan mengangkat kepala. “Kenapa? Apa terjadi sesuatu di rumah?” Suara Anna terdengar khawatir. Eden menggeleng. Dia kembali memeluk Anna, kali ini lebih erat. “Bisa izin aja gak hari ini? Kerjanya,” “Tidak bisa, aku sudah terlalu sering tidak masuk. Tidak enak jika terus merepotkan Rian yang harus menggantikan shiftku terus. Tapi memangnya di rumahmu terjadi sesuatu? Sampai-sampai kau harus pulang sepagi ini? Tumben banget.” “Tidak ada. Atau kau mau berhenti bekerja saja?” Eden terus saja mengalihkan topik pembicaraan. “Hei!” Kali ini Anna mendorong tubuh Eden cukup jauh hingg
“Ya. Aku memang bertengkar hebat di Departemen Store waktu itu,” jawab Nyonya Arini dengan suara yang lantang. “Tapi bukan dengan Anna,” lanjutnya lagi, suaranya mulai melunak. “Lalu?” “Aku tidak tau masalah mereka apa, tapi tiba-tiba saja seorang gadis menampar Anna bahkan menjambak rambutnya. Aku tidak terima dia mengatakan hal-hal buruk padanya di tengah keramaian seperti itu.” “Apa?” Eden mendengus tidak percaya. Siapa yang berani beraninya menampar kekasihnya itu. “Bagaimana dengan Anna? Dia tidak mungkin diam saja kan? Apa dia terluka?” “Tentu saja tidak, justru Anna balas menampar gadis itu. Aku segera berlari menghampirinya. Awalnya berniat untuk membantu tapi saat Anna memanggilku dengan sebutan ibu, gadis gila itu justru ikut menarik rambut Anna sambil mengatakan kalau aku tidak mendidik anakku dengan baik.” Nyonya Arini tertawa getir. Dia ingat betul bagaimana kata-kata itu meluncur dari mulut gadis yang berlagak sombong itu.
“Boleh aku bertanya bagaimana perasaanmu lebih jauh?” Sontak Anna langsung menoleh setelah mendengar pertanyaan Eden barusan. Mereka memilih kembali ke salah satu kedai tepi pantai setelah makan malam bersama di rumah Anna. “Hm?” Anna bingung perasaan mana yang dimaksud Eden. Bukankah mereka sudah sama-sama saling mengetahui perasaan masing-masing. “Sudah jauh lebih lega?” “Ah, tentang itu,” sahut Anna mengerti dengan arah pertanyaan Eden. Hampir saja dia salah paham. “Atau masih ada yang kau khawatirkan? Katakan saja padaku, aku akan menyelesaikannya untukmu,” Anna menggeleng. “Tidak ada, kini semuanya terasa lebih lega. Tapi – “ “Tentang ibuku?” Eden menyela lebih dulu. Jika masalah keluarga Anna sudah selesai, berarti hanya tinggal masalah keluarga. Eden pun mengerti tantangan yang akan dihadapi Anna walaupun ibunya sudah memberi restu. Tapi itu masih terasa fana sampai hubungan mereka b
Mereka duduk bertiga di meja makan. Tak ingin melibatkan nenek Anna yang masih asik menonton televisi di ruang tengah. “Maafkan aku bu, semua ini salahku bu. Aku yang meminta Anna untuk berpura-pura menjadi kekasihku untuk membuat ibuku berhenti menyuruhku menikah atau menjodokanku dengan beberapa kenalannya. Tapi sekarang hubungan kami tidak palsu lagi bu. Aku serius dengan Anna dan kami menjalani hubungan sungguhan. Bahkan ibuku juga sudah mengetahui semuanya dan memberi restu pada kami bu,” “Tapi itu – ?” Genggaman tangan Eden mengencang membuat Ana berhenti berbicara. Mereka saling berpengangan tangan untuk menunjukkan keseriusan mereka di depan Ibu Anna. Tapi perkara restu Nyonya Arini itu urusan lain. Ibu Anna cukup hanya tau dengan masalah mendapatkan restu atau tidak. Sebatas itu saja. Untuk masalah sampai mana batasan restu yang mereka dapatkan itu urusan nanti. Yang jelas kini mereka sudah mengatakan yang sebenarnya. Dan Anna menginginkan semuanya ter
Senyum gadis yang mengenakan skirt berwarna putih itu cerah secerah mentari pagi. Dia mendapati pria yang kini tengah tersenyum itu merentangkan tangan. Anna berlari-lari kecil segera menghampiri Eden lalu segera memeluk pria itu. Aroma kayu dan laut berpadu begitu menyegarkan. Eden menyipitkan kedua matanya, menilik penampilan Anna pagi itu dari bawah sampai kepala. “Oh, kau pakai lipstip baru ya? Oh pipimu juga.” Eden menggoda Anna sambil mengelus pelan pipi manis gadisnya itu. “Hei! Jangan merusak penampilanku. Aku harus bangun pagi-pagi untuk dandan dan memilih baju yang paling bagus yang aku punya.” Eden memanyunkan bibirnya pura-pura prihatin dengan perjuangan Anna untuk berdandan demi pertemuan mereka hari ini. “Tumben sekali.” Eden menyelipkan poni Anna ke belakang telinga. “Padahal kau tetap cantik tanpa berdandan, bahkan kau cantik memakai apa saja.”“Dasar pembohong!” Anna menyerngitkan kening. “Aku tau kau pura-pura saat bil
Eden memberikan kecupan pelan. “Hm?” Sebaliknya Anna membalas kecupan Eden. “Jangan malam ini, aku harus pulang.” “Hanya segitu?” Eden pura-pura merajuk layaknya anak kecil umur lima tahun. “Kalau kau mau pulang seharusnya lakukan dengan benar, kan?” Anna mendengus pelan. Dia kembali mendekatkan wajahnya pada Eden. Bibirnya beradu dengan lembutnya bibir milik Eden. Perlahan mulai mengulum dan hanyut dalam di dalamnya. Begitu sebaliknya dengan Eden yang membalas setiap ciuman yang diberikan Anna. Malam semakin gelap. “Kau janji besok akan menginap kan?” Eden tak melepaskan tangan Anna dari genggamannya semenjak mobil mereka meninggalkan gedung klinik. Kini mobil mereka terparkir tepat di depan gedung apartemen milik Anna. Anna mendongakkan kepala, melihat lampu apart di lantai tujuh masih menyala atau masih mati. Hanya ada dua kemungkinan, Sherin belum pulang atau memang dia sudah tidur lebih awal. Sebelah tangan Anna menyentu
Senyum Anna langsung merekah saat dirinya melihat kedatangan pria gagah yang berjalan mendekat ke arahnya. Gelapnya senja tak menghalangi Anna untuk mengenali sosok pria yang berhasil mencuri hatinya belakangan ini. “Jangan berlari,” katanya saat Eden mulai berlari-lari kecil begitu melihat Anna keluar dari pintu. “Sudah lama menunggu?” kata Eden dengan nafas yang masih tersengal setelah berlari. Anna memberi gelengan pelan sebagai jawaban. “Kenapa kau berlari?” Eden meraih tangan Anna lalu mengenggamnya. “Aku ingin segera melihatmu.” “Tapi..” Kepala Anna menoleh ke kanan dan kiri. Mencari sesuatu. “Mana mobilmu?” “Ah itu, aku meninggalkannya di kantor.” “Kenapa?” “Supaya aku bisa menghabiskan lebih banyak waktu denganmu.” Anna meninju pelan pada dada bidang milik Eden. Ada-ada saja kelakuannya. Padahal mereka pasti akan menghabiskan waktu bersama karena Eden pasti mengantar Anna pulang.
“Bagaimana bisa? Kenapa kalian terlihat begitu santai?” Mereka duduk berhadapan di meja makan dengan kedua tangan saling tertaut di atas meja. Sedari tadi Eden tidak melepaskan genggamannya dari tangan Anna. “Aku sudah bilang semuanya pada ibumu,” “Semuanya? Dari mana? Dari awal kita bertemu?” Anna mengangguk. Memang tidak semuanya, tapi secara garis besar mencakup semuanya. “Dia tidak marah?” “Tidak, dia justru menyalahkan dirinya sendiri.” Tampak wajah khawatir dari raut wajah Eden. “Kau yakin? Ibuku orang yang pandai menyembunyikan perasaannya. Kau pasti tau sendiri, kan?” “Kenapa?” tanya Anna ikut khawatir. Dia menangkap raut wajah Eden yang tak fokus dan memikirkan banyak hal. “Firasatku tidak enak,” jawab Eden pelan. Ibunya bukan orang yang mudah berubah. Terlebih jika menyangkut masalah dirinya. Aneh sekali jika tiba-tiba ibunya memberi restu setelah sebelumny
Suara tombol pintu di luar membuat Anna tersentak dan membuka mata. Matanya menangkap Eden yang masih terlelap di sampingnya. Seulas senyum tersungging di wajahnya. Digesernya tangan Eden yang mendekapnya semalaman. Kali ini suara pintu terbuka berhasil membuat Anna bangun dan menapakkan kakinya di lantai. Anna terperanjat bukan main saat mendapati Nyonya Arini sudah berdiri di depan pintu kamar mereka. Ya. Semalam Anna menginap di rumah Eden dan disinilah dia berakhir. “Ibu,” kata Anna pelan. Dia kembali menjadi seperti anak kecil berusia lima tahun yang baru saja dimarahi ibunya karena mencuri permen setelah di larang beberpa hari terakhir. Nyonya Arini melengos dan berjalan ke arah sofa di ruang tengah, seperti sudah menduga kejadian seperti ini akan terjadi. “Kau sudah nyaman sekali rupanya.” Anna mengikuti langkah Nyonya Arini di belakang, tapi langkahnya tertahan dan terhenti saat wanita paruh baya itu duduk menyilangka