Anna terkekeh pelan. “Balas dendam?” Anna berhenti tertawa, sedetik kemudian wajahnya kembali serius. Dia memang terluka, tapi tak pernah terpikirkan untuk balas dendam. Anna lebih memilih untuk melepaskan Kevin sepenuhnya dan tak berurusan lagi dengannya.
“Sudahlah, aku tak tertarik untuk balas dendam seperti yang kau katakan. Mengurus hidupku saja sudah sangat sulit, terlalu melelahkan jika harus memikirkan orang lain juga. Untuk kali ini, aku akan berterima kasih atas bantuanmu tadi dengan tulus. Aku tak mau lagi dicap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun. Kalau begitu, aku pamit dulu.” Anna membungkukkan badannya sembilan puluh derajat kemudian berbalik, berjalan mengabaikan Eden.
Eden mengeluh dalam hati. Keras kepala sekali gadis ini. Eden melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, sudah pukul satu malam. Hanya beberapa jam sebelum matahari terbit.
Eden menyusul Anna yang sudah agak jauh. “Dengarkan aku dulu,” dia menahan lengan Anna. “Begini…”
“Sudah kubilang aku tak tertarik.” Anna menyela lebih dulu dan kembali menurunkan tangan Eden, tapi gagal karena cengkraman Eden semakin kuat. “Sekarang apa lagi?”
“Aku bisa membuatnya tergila-gila padamu. Disaat dia sudah tulus, kau bisa mencampakkannya seperti yang dia lakukan padamu. Aku bisa membantumu untuk balas dendam, bahkan lebih dari yang kau bayangkan. Sejujurnya..” Eden berhenti sebentar sambil memasang wajah iba. “Aku tak suka jika kau diperlakukan seperti itu, tapi kau membiarkannya begitu saja?”
Anna menghela nafas dengan kasar. Beberapa kalimat Eden membuatnya bimbang. Memang betul dia sangat marah pada Kevin, tapi balas dendam? Apa itu tidak berlebihan?
“Bagaimana?” Eden menilik raut wajah Anna. Berharap gadis itu setuju dengannya.
Anna menggaruk pelipisnya, mengusap rambutnya ke belakang sembali menarik nafas dalam-dalam. “Tak mungkin gratis, bukan? Apa yang kau mau dariku setelah ini?”
Seketika senyum di wajah Eden mengambang. Gadis ini ternyata tau cara bermain.
“Sebelum itu, apa kau tak melupakan undangan dari seseorang?” Dia memastikan kalau gadis yang dimaksud ibunya adalah Anna.
Kening Anna terlipat. Dia sedang tidak ingin main tebak-tebakan. Anna mendesah pelan. “Sekarang apa lagi?”
Sudahlah. Eden pasrah. Sepertinya Anna memang tidak ingat terlepas dirinya yang sudah agak mabuk.
“Baiklah. Karena aku sudah membantumu, jadi kau harus membantuku juga. Hanya sekali.”
Anna pasrah karena sadar harus membalas budi, “membantu apa?”
“Datanglah bersamaku besok,” pinta Eden.
“Besok? Kemana?” Sontak Anna melirik jam di tangannya. Hari sudah tengah malam. Jarum panjang menunjuk angka dua.
“Ya. Pagi. Orang tuaku mengajakmu sarapan bersama,”
“Orang tuamu?” Lagi-lagi ajakan Eden semakin membuat Anna bingung. Buat apa dia bertemu orang tua Eden, laki-laki yang baru dikenalnya kemarin.
“Kau benar-benar tak ingat bertemu dengan ibuku kemarin?” Sekali lagi Eden mencoba membawa ingatan Anna kembali.
“Ibumu?” Anna memiringkan kepalanya. Mencoba menangkap arah pertanyaan Eden. Pria di depannya itu menunggu dengan penuh harap. Sontak tangan Anna terangkat menutupi mulutnya yang ternganga. Matanya juga tak kalah besar. Dia teringat dengan ajakan seorang wanita paruh baya kemarin ketika di halte bus. Eden menebak jika gadis di depannya ini sudah ingat dan paham dengan maksudnya.
“Itu ibuku,” jelas Eden.
“Benarkah? Aku pikir dia ibu Kevin,” ungkap Anna tiba-tiba. Dia masih dalam suasana terkejut.
“Kau belum pernah bertemu dengan ibunya?” Eden berbalik terkejut sekaligus heran. Bukankah kalau sudah berpacaran lama berarti sudah mengenal keluarga masing-masing? Anna memperbaiki raut wajahnya kembali datar. Menepuk-nepuk pelan pipinya agar kembali sadar.
“Intinya, kau harus datang ke rumahku besok pagi.” Eden kembali mengingatkan.
“Kau bercanda? Besok yang kau bicarakan itu hari ini,” terang Anna setengah panik, “tidak biasanya orang mengundang tamu di pagi hari,” gumam Anna.
Tiba-tiba saja Anna mengibaskan kedua tangannya. Seolah dia menolak untuk datang bersama Eden besok pagi. Terlebih lagi kondisinya saat itu sangatlah tidak mendukung. Pakaian yang terbuka dan dalam keadaan mabuk. Anna berbalik meneruskan langkahnya, sesekali jalannya tak lurus. Kepalanya semakin pusing setelah kejadian tadi. Sedangkan Eden menyusulnya di belakang. Berbeda dengan Anna, Eden justru menyimpulkan kalau Anna setuju.
“Apa aku boleh meminta lebih padamu?” pinta Eden lagi, dia sudah berdiri tepat di belakang Anna. Gadis itu pun kembali berhenti dan berbalik. Dia perlahan mendekatkan wajahnya pada wajah Eden. “Minta apa lagi?”
****
Anna tersentak. Dia membuka mata perlahan. Mendapati sebuah jaket menutupi badannya lantas mengedarkan pandangan. Ia melihat Eden juga tengah tertidur di sampingnya. Anna membuka sabuk pengaman. Dia menegakkan badan sambil meringis kesakitan kemudian memegang kepalanya yang masih terasa pusing. Tak sengaja tangan Anna mengenai pundak Eden hingga ia juga tersadar. “Kau sudah bangun?” katanya dengan suara parau sambil meluruskan badan di tempat sempit dari balik kemudi.
Seketika tangan Anna terangkat menutupi wajah. “Hei, kenapa kau tak pakai baju?” seru Anna ketika melihat kain yang menutupi badan Eden terbuka hingga memperlihatkan dada bidang Eden. Anna pun segera melihat pakaian yang melekat di tubuhnya. Untunglah masih sama seperti yang dipakainya tadi malam. Tak terbuka atau diganti sama sekali. Anna mencoba mengingat kejadian yang terjadi padanya semalam. Ingatannya terakhir adalah ketika dia mendekatkan wajahnya pada Eden, namun sayang dia tak bisa mengingat kejadian setelah itu.
Anna mendekatkan wajahnya dengan wajah Eden. Dengan pijakan yang goyah, Anna tak sengaja jatuh ke dalam pelukan Eden. “Apa? Kau bilang apa?” katanya dengan mata setengah terbuka. Eden memegang pinggang Anna agar dirinya tak terjatuh. Mata mereka bertemu. Tapi Anna menunjukkan raut muka aneh. Pipinya menggembung. Sepertinya sesuatu akan meletus.
Benar saja. Dia muntah di pundak Eden.
“Hei,” seru Eden sambil menutup matanya. Dia merasakan sesuatu yang panas memenuhi pundaknya. “Bisa-bisanya kau…” Eden kehabisan kata-kata. Dia terpaku di tempat. Anna menjauhkan badannya dari Eden kemudian kembali berjalan entah kemana. Seolah tak terjadi apa-apa.
Bruk! Anna terjatuh di depan sana. Dia terkapar di lantai, tak lagi sadar. Eden berlari mengejar Anna lalu membopongnya dengan cepat masuk mobilnya yang terparkir tak jauh dari posisi mereka saat itu. Susah payah dia meluruskan badan Anna. “Apa yang kau makan?” gerutu Eden ketika mengangkat badan Anna. Perawakannya memang tak kurus karena cukup berisi, tapi badan Anna tak seberat itu juga.
Eden mengitari mobil lalu dengan cepat masuk mobil. Dia membawa Anna menuju hotel terdekat. Bagaimana bisa dia membawa Anna pulang dengan kondisi seperti itu. Tidak banyak waktu yang tersisa, hanya empat jam menjelang jam sarapan di rumah orang tuanya esok hari. Setelah Eden memesan sebuah kamar, dia menggendong Anna ke dalam sebuah kamar, lalu menidurkannya di kasur. Melihat pakaian Anna yang sangat terbuka. Dia melempar sembarang kain menutupi badan Anna.
Baru saja dia hendak membersihkan diri, rasa ragu menyisip di hatinya. Dia takut kalau Anna tiba-tiba terbangun dan berpikir yang tidak-tidak atau mungkin semakin menguatkan anggapannya tentang pria mesum. Dan yang lebih parah adalah bagaimana jika Anna menolak untuk membantunya? Bisa-bisa semua rencananya gagal dan harus menerima semua pilihan Nyonya Arini.
Akhirnya Eden kembali menggendong Anna menuju basemant. Tempat mobilnya terparkir. Eden membaringkan Anna di bangku penumpang di samping sopir. Eden mendesah ketika sudah kembali duduk di balik kemudi. Dia melirik Anna yang tampak sangat berantakan. Sekilas parasnya memang cantik dengan warna kulit yang tak terlalu putih tapi cukup eksotis. Eden dengan cepat membuka kancing bajunya yang sudah bau dan lembab bekas muntahan Anna. Sesekali dia mengedarkan pandangan, melihat apakah ada orang yang lewat di sekitar mobil mereka. Ketika keadaan sudah aman, barulah dia melepas semua bajunya lalu melemparnya ke bangku belakang. Dia melihat di belakang ada sebuah jas. Eden meraihnya kemudian menutupi badan Anna. Sedangkan Eden menutupi badannya dengan sapu tangan yang tak terlalu besar, tapi cukup untuk menutupi dadanya.
Gadis dengan rambut sebahu itu sepertinya tengah asik bermain di bawah alam sadarnya. Lihatlah sekarang dia tersenyum tak jelas. Dia bahkan tak sadar situasinya sekarang sangat berbahaya. “Apa yang kau lihat?” Anna tersadar.
*****
“Apa yang kau lakukan?” seru Anna lagi sambil menutupi badan Eden dengan jas yang menutupinya tadi. Sontak Anna langsung menyilangkan tangan di dada dan menatap Eden dengan tajam.Eden menunduk menatap dadanya dengan polos kemudian ikut menyilangkan kedua tangan di dada. “Ini karena kau muntah di bajuku.” Eden membela diri.“Apa? Muntah? Aku?” Anna menjadi serba salah, tapi dia tak ingat.Anna melirik Eden sebentar kemudian segera keluar dari mobil. Bagaimanapun permintaan Eden untuk menemui orang tuanya cukup mendadak. Setidaknya dia ingat akan perjanjian tak tertulis mereka semalam.Sontak Eden menjadi panik. Waktu mereka semakin menipis. Dia hanya punya waktu kurang dari satu jam lagi untuk sampai ke rumah orang tuanya. Anna berjalan cepat dengan bertelanjang kaki. Eden pun langsung keluar mobil. Mengejar Anna. Tetapi dia berhenti ketika menyadari badannya yang tak pakai apapun.“Astaga,” gumamnya sambil melirik badan polosnya. “Hei! Kau mau kemana?” Eden kembali ke mob
Suara burung pagi menyapa tak lagi terdengar. Bahkan suara anak-anak yang hendak berangkat ke sekolah yang melewati mereka luruh ke tanah. Mereka terdiam sejenak dengan mata yang saling bertatap tatapan. Namun, tak ada reaksi apapun setelahnya hingga Anna mengalihkan pandangannya. Pertanyaan Eden sangat tiba-tiba dan terkesan blak-blakan. “Apa? Tentu saja tidak,” tolak Anna mentah-mentah.“Makanya itu, buat apa kau memikirkan tanggapan dari orang tuaku nanti,” jelas Eden. “Tapi….” Anna masih beralasan. Dengan sekuat tenaga Eden menarik Anna masuk ke dalam rumah. Kenop pintu di putar. Pintu terbuka. “Ganti dengan ini!” Eden menyodorkan sepasang sandal rumah berwarna abu-abu pada Anna.“Astaga,” seru Anna. Dia membelalak ketika melihat kakinya yang kotor. Dia lupa membersihkannya dengan tisu basah tadi. “Pakai saja,” kata Eden tak peduli. Dia menyarungkan sandal ke kakinya.Anna menahan lengan Eden. “Kenapa lagi?” tanya Eden.“Pinjam kunci mobilmu,
Anna menyelam di tengah gelapnya kamar. Sherin masih belum pulang karena masih pukul delapan malam. Mungkin jam segini masih siang padanya. Gadis yang belum berganti pakaian semenjak siang tadi merebahkan badannya di ranjang. Terlalu malas untuk berjalan ke arah pintu untuk menghidupkan lampu. Berbagai pikiran menjalari benaknya. Langit langit kamar sunyi. Hanya sayub-sayub klakson mobil di jalan bawah sana yang menyelinap masuk. Anna mendesah lantas mengangkat sebelah tangan menutupi wajah. Apakah keputusannya sekarang sudah benar. Jawaban Eden atas pertanyaannya cukup untuk mengoyak hati Anna yang sudah terluka. “Tapi bagaimana jika mereka benar-benar ingin kita menikah?” Anna bertanya setengah panik. Eden terkekeh pelan. “Tidak semua pasangan yang berkencan berakhir dengan pernikahan. Jangan bilang kalau selama ini kau berpikiran seperti itu?” Eden melirik Anna yang menatap lurus ke depan. “Apa kau juga mengharapkan sebuah pernikahan
“Bagaimana kau bisa menemukanku di sini?” Anna dan Eden berbicara empat mata di tempat duduk yang sama. Sementara Sherin sudah tertidur di meja. Baiklah. Anna akan menggendongnya nanti.“Lagi-lagi kau menatapku dengan tatapan penuh curiga seperti itu,” jawab Eden dengan setengah hati.Eden meletakkan sebuah dompet berwarna hitam di atas meja. “Aku ingin menyerahkan ini padamu.”Sontak Anna langsung meraih dompetnya di atas meja dengan mata berbinar. Padahal dia sudah hampir menyerah saat mencari dompetnya sesaat akan keluar rumah tadi. Dia mungkin akan melapor ke polisi jika besok dia tidak kunjung menemukan dompetnya itu.“Syukurlah kau menemukannya,” ungkapnya sambil tersenyum lega pada Eden. “Terima kasih,” lanjutnya lagi.“Kenapa harus repot-repot jauh mengantar ke sini. Kau bisa telfon saja jadi aku akan menjemputnya besok.”Kali ini Eden meletakkan ponselnya di atas meja. “Bagaimana aku bisa menghubungimu jika nomormu saja tidak punya,” celetuk Eden lagi.Ah, betul juga. Pertemu
“Jadi dia – ?” mata Anna bergantian menatap layar ponsel kemudian beralih menatap Sherin. “Tapi dia tidak tampak seperti itu,” lanjut Anna menolak menerima isi dari berita itu. Sherin mengedikkan bahu tak yakin. “Kita memang tidak ada yang tau dalamnya seseorang seperti apa, kan? bisa jadi dia memang pandai menyembunyikan jadi dirinya selama ini. Kau bisa baca juga isi artikel lain yang terkait. Keluarga mereka keluarga terpandang. Seluruh keluarga bekerja di bidang kesehatan. Ibunya Kepala Yayasan pusat rehabilitasi, kakeknya juga Direktur Rumah Sakit besar bahkan kini ayahnya menjadi dosen ahli saraf. Dan dia juga seorang dokter kecantikan. Jadi wajar saja jika dia terkena isu isu miring seperti itu. Ya, bisa jadi juga karena dia tidak pernah terlibat dengan seorang wanita dengan wajah setampan itu. Bukankah itu agak aneh?” Sherin masih asik menyuap nasi goreng buatan Anna. “Tapi – “ “Lagi pula apa hubungannya denganmu jika dia memang gay atau buk
Hari ini Anna mendapatkan tugas mengawasi salah satu gerai pakaian bermerek. Biasanya dia mendapatkan tugas di bagian perhiasan. Hanya saja kali ini dia mendapatkan jadwal rolling. Jabatannya yang hanya sebagai staff biasa, jadi dia tak punya hak untuk membantah. Intinya dia hanya bawahan dari bawahan yang berada di atasnya. Sialnya dia tak beruntung hari itu. Dia justru bertemu salah satu teman sekolahnya dulu yang paling di bencinya. Bukannya benci, dia terlalu tidak suka dengan teman yang suka pamer dan merendahkan. Terlebih temannya itu baru saja menikah dengan salah seorang pengusaha tajir. Tentu saja tingkat kesombongan meningkat hinga level tertinggi. “Oh my god, lihat siapa yang kutemui,” sapa Olive ketika melihat Anna berjaga di dekat kasir. Gayanya sudah seperti artis papan atas lengkap dengan tas jinjing bermerek. “Bukankah ini Anna? Yang katanya akan menikah tapi tak jadi?” sindirnya dengan nada suara yang keras. Anna hanya bisa tersenyum manis deng
Anna menyesap kopinya. Dia berusaha menjaga sikap di depan orang yang tampak begitu tenang di hadapannya kini. Jangan bilang ibu Eden tadi melihat pertengkarannya dengan Olive tadi? Anna membatin. “Kau bekerja di sini?” tanya Nyonya Arini. Dia ikut menyesap kopi dari cangkirnya. Mereka berbincang di café. “Iya bu,” jawab Anna ramah. Dia bingung bagaimana harus bereaksi. Kenapa dia harus bertemu ibu Eden di sini? Bukankah seharusnya Eden yang duduk di hadapannya kini? Anna melirik jam mungil yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Masih tersisa satu jam lagi sebelum janji temu mereka. “Sebagai…” tanya Nyonya Arini lagi memastikan setelah melihat pakaian Anna yang sudah lebih dari cukup menjawab keraguannya. “Iya bu, aku hanya staff biasa,” jawab Anna masih tersenyum. Lagi-lagi dia menyesap kopinya untuk menutupi rasa gugup.“Aku juga sudah lama tidak berbelanja, bagaimana kalau kau menemani ibu berbelanja?” ajak Nyonya Arini tiba-tiba.
Nyonya Arini berjalan cepat menerobos masuk ruangan kerja suaminya. Dia membuka pintu dengan keras hingga mengejutkan semua orang di dalam. Sontak Tuan Teddy terlonjak kaget dari bangku kerjanya dengan tangan terangkat memegangi dada. “Ada apa? Sekarang apa lagi?” “Sepertinya ada yang tidak beres antara Eden dan pacarnya Anna itu.” Nyonya Arini menaruh curiga sambil memicingkan sebelah matanya. “Apanya? Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?” balas suaminya. “Begini…” Nyonya Arini mulai menyusun kata-kata yang akan di ucapkannya. Sekarang dia sudah berdiri di samping meja kerja suaminya. Tuan Teddy pun memutar kursinya hendak mendengarkan penjelasan sang istri dengan seksama. “Pertama, tiba-tiba saja Eden mempunyai kekasih, kedua…” “Bagus dong, bukankah itu yang kau inginkan?” potong Tuan Teddy. “Iya, memang bagus, tapi sangat tiba-tiba. dan mereka bilang sudah berkencan selama seratus hari. Tapi kenapa kita tidak pernah tahu? Maksudku se
Tiga orang waiters baru saja menyelesaikan sajian makan malam di sebuah ruangan privat hotel bintang lima itu. Akhirnya pertemuan keluarga itu terlaksana. Sesuai perkataan Eden beberapa hari yang lalu. Kedua keluarga saling duduk berhadapan. Anna duduk bersebelahan dengan Eden yang berada di sisi keluarga Anna. Sementara di sisi seberang Eden duduk Nyonya Arini, Tuan Teddy dan juga nenek Eden. Di samping Anna ada ibu, nenek dan juga Ayah Anna. Persamaan kombinasi yang cukup mengejutkan saat mereka pertama kali memasuki ruangan itu. “Terima kasih sudah menjamu kami makan malam Tuan.” Ayah Anna memulai percakapan di meja makan. Dia tampak jauh lebih santai dibanding Ibu Anna dan juga ibu mertuanya. “Ah, tidak usah bilang seperti itu. Anggap saja ini seperti pertemuan keluarga,” sahut Ayah Eden tak kalah ramah. “Mari makan,” tangannya mulai bergerak mengambil mangkuk soto yang tersaji di atas meja. Mereka memang makan di hotel bintang lima, tapi menu m
Anna menarik lengan Eden agar pria itu menghentikan langkahnya. “Eden,” panggilnya. Usaha pertamanya gagal, pria yang dipanggilnya itu terus saja berjalan meninggalkan rumah dengan tangan yang masih berpegangan erat.“Eden!” Akhirnya Anna berhasil melepaskan tangannya dari Eden hingga pria itu membalikkan badan. “Kenapa?” katanya dengan suara yang mulai meninggi. Awalnya Anna sedikit terlonjak kaget. Itu pertama kalinya Eden meninggikan suara padanya. Tapi dia tak boleh teralihkan. Masalah utama mereka sekarang adalah ucapan dari Tuan Teddy beberapa menit yang lalu. “Kau tidak boleh seperti itu. Setidaknya kau harus mendengarkan penjelasan ayahmu dulu!” seru Anna balas berteriak. Eden terlonjak kaget saat Anna berseru marah. Keningnya berkerut mencoba memahami situasi saat ini. Jangan bilang kalau gadis di depannya ini setuju dengan pendapat orang tuanya? “Kau setuju dengan rencana ayah?” “Rencana apa?”
“Selamat pagi semuanya,” seru Eden dari depan pintu. Suaranya terdengar penuh semangat, suasana hatinya cerah, secerah mentari pagi di luar sana. Ya. Hari libur adalah kesempatan Anna dan Eden berkunjung ke rumah orang tuanya. Ada hal penting yang harus segera di lakukan. Terlepas dari acara resmi yang memang harus mereka persiapkan. “Oh kalian sudah tiba?” Ayah Eden, Teddy sudah berada di depan pintu menyambut kedatangan Eden dan Anna. “Ibu mana ayah?” Eden melihat sekeliling rumah namun tidak menemukan orang yang dicarinya itu. “Jangan bilang ibu sudah berada di kantor di hari libur ini dan sepagi ini?” Eden menebak asal mengingat kejadian terakhir kali saat pulang ke rumah. “Selamat datang juga Anna,” sapa Tuan Teddy beralih pada calon menantunya itu sambil merentangkan kedua tangan yang disambut sebuah pelukan hangat oleh Anna. Harus Anna akui bahwa Eden memiliki keluarga yang penuh dengan kehangatan jika kita menghilangkan unsur tra
“Jadi kau bekerja dimana tadi?” sela ayah Anna lagi di tengah perbincangan santai mereka yang berhasil membuat Eden tersedak. “Ayah,” sahut Anna mengingatkan. Ayahnya itu sudah bertanya untuk yang ketiga kali. Entahlah apa karena dia tak yakin setelah melihat penampilan Eden atau mungkin dia hanya butuh validasi demi masa depan putrinya itu. “Dokter ayah,” terang Eden sekali lagi. Setelahnya dia meneguk air putih di gelasnya hingga kosong. “Ah iya, dokter. Hebat sekali.” Dan itu adalah pujian yang ketiga kalinya. “Sudahlah ayah, jangan bahas tentang pekerjaan lagi.” “Baiklah. Ayah mengerti.” Ayahnya tersenyum menyudahi interogasi mini untuk calon menantunya itu. “Ngomong-ngomong kapan kita bisa bertemu dengan keluargamu?” Ayah Anna mengedikkan bahu. “Lebih cepat lebih baik bukan?” “Oh tentu saja ayah. Aku akan menjadwalkan secepatnya.” “Bukankah ayah harus bertemu dengan ibu lebih dulu?” An
“Sepertinya suasana hatinya sedang bagus sekali,” gumam Eden pelan. Eden bersandar pada mobilnya yang terparkir di depan gedung apartemen Anna. Senyumnya merekah saat mendapati seorang gadis memasuki halaman gedung. Anna segera berlari dan memeluk pria yang sudah lebih dulu membentangkan kedua tangannya. “Sudah lama? Kenapa tidak menelfonku, kan jadinya kau menunggu lama di sini.” Gadis itu membenamkan kepalanya pada dada bidang milik Eden. Aroma parfum Eden yang khas begitu menenangkan. “Tak masalah. Aku tidak ingin mengganggu waktumu yang berharga.” Kening Anna terlipat. “Kau tau aku pergi menemui siapa?” “Tentu tidak. Tapi kau bilang kau akan menemui orang penting, jadi ya.. aku tak ingin menganggumu.” Anna tersenyum lalu menggenggam tangan Eden. “Mau jalan-jalan sebentar?” “Kau tidak lelah?” tanya Eden sambil merapikan rambut Anna yang sedikit berantakan. Anna menggeleng. “Ada yang ingin kubilang,”
Langkah kaki Anna terasa berat namun badannya enggan untuk berbalik. Ada perasaan takut yang bersarang di dalam hati kecilnya. Bercampur dengan rasa marah yang hendak meledak kapan saja jika menatap wajah pria yang masih setiap berdiri di belakangnya itu. Namun gadis yang mengenakan skirt itu terlonjak kaget saat pria paruh baya itu sudah tiba dihadapannya. Pupilnya bergetar tapi masih belum berani menatap wajah pria itu. “Maaf kau salah orang,” katanya pelan hendak pergi meninggalkan tempat itu secepatnya. Hanya itu yang bisa diucapkannya, padahal banyak hal yang ingin dikatakannya. “Tidak.” Jawaban pria itu kembali berhasil menghentikan langkahnya. “Kau putriku, Anna,” panggil pria itu lagi. Tanpa sadar air mata Anna sudah menetes membasahi pipi. Sebenarnya dia tak ingin bertemu dengan orang yang sudah meninggalkannya dan juga ibunya. Dia tak ingin lagi berurusan dengan orang tak bertanggung jawab ini. Tapi demi Eden dan juga keluargany
“Kau dari mana pagi-pagi sekali?” “Tidak ada, aku keluar memang mau menemuimu,” Eden langsung melingkarkan tangan dan menarik Anna ke dalam dekapannya. “Bohong!” Anna mencubit manja hidung mancung milik Eden. “Mana ada, pakaianmu saja lengkap seperti ini. Kau habis dari mana?” “Rumah orang tuaku,” Anna menjauhkan badan dan mengangkat kepala. “Kenapa? Apa terjadi sesuatu di rumah?” Suara Anna terdengar khawatir. Eden menggeleng. Dia kembali memeluk Anna, kali ini lebih erat. “Bisa izin aja gak hari ini? Kerjanya,” “Tidak bisa, aku sudah terlalu sering tidak masuk. Tidak enak jika terus merepotkan Rian yang harus menggantikan shiftku terus. Tapi memangnya di rumahmu terjadi sesuatu? Sampai-sampai kau harus pulang sepagi ini? Tumben banget.” “Tidak ada. Atau kau mau berhenti bekerja saja?” Eden terus saja mengalihkan topik pembicaraan. “Hei!” Kali ini Anna mendorong tubuh Eden cukup jauh hingg
“Ya. Aku memang bertengkar hebat di Departemen Store waktu itu,” jawab Nyonya Arini dengan suara yang lantang. “Tapi bukan dengan Anna,” lanjutnya lagi, suaranya mulai melunak. “Lalu?” “Aku tidak tau masalah mereka apa, tapi tiba-tiba saja seorang gadis menampar Anna bahkan menjambak rambutnya. Aku tidak terima dia mengatakan hal-hal buruk padanya di tengah keramaian seperti itu.” “Apa?” Eden mendengus tidak percaya. Siapa yang berani beraninya menampar kekasihnya itu. “Bagaimana dengan Anna? Dia tidak mungkin diam saja kan? Apa dia terluka?” “Tentu saja tidak, justru Anna balas menampar gadis itu. Aku segera berlari menghampirinya. Awalnya berniat untuk membantu tapi saat Anna memanggilku dengan sebutan ibu, gadis gila itu justru ikut menarik rambut Anna sambil mengatakan kalau aku tidak mendidik anakku dengan baik.” Nyonya Arini tertawa getir. Dia ingat betul bagaimana kata-kata itu meluncur dari mulut gadis yang berlagak sombong itu.
“Boleh aku bertanya bagaimana perasaanmu lebih jauh?” Sontak Anna langsung menoleh setelah mendengar pertanyaan Eden barusan. Mereka memilih kembali ke salah satu kedai tepi pantai setelah makan malam bersama di rumah Anna. “Hm?” Anna bingung perasaan mana yang dimaksud Eden. Bukankah mereka sudah sama-sama saling mengetahui perasaan masing-masing. “Sudah jauh lebih lega?” “Ah, tentang itu,” sahut Anna mengerti dengan arah pertanyaan Eden. Hampir saja dia salah paham. “Atau masih ada yang kau khawatirkan? Katakan saja padaku, aku akan menyelesaikannya untukmu,” Anna menggeleng. “Tidak ada, kini semuanya terasa lebih lega. Tapi – “ “Tentang ibuku?” Eden menyela lebih dulu. Jika masalah keluarga Anna sudah selesai, berarti hanya tinggal masalah keluarga. Eden pun mengerti tantangan yang akan dihadapi Anna walaupun ibunya sudah memberi restu. Tapi itu masih terasa fana sampai hubungan mereka b