Anna terkekeh pelan. “Balas dendam?” Anna berhenti tertawa, sedetik kemudian wajahnya kembali serius. Dia memang terluka, tapi tak pernah terpikirkan untuk balas dendam. Anna lebih memilih untuk melepaskan Kevin sepenuhnya dan tak berurusan lagi dengannya.
“Sudahlah, aku tak tertarik untuk balas dendam seperti yang kau katakan. Mengurus hidupku saja sudah sangat sulit, terlalu melelahkan jika harus memikirkan orang lain juga. Untuk kali ini, aku akan berterima kasih atas bantuanmu tadi dengan tulus. Aku tak mau lagi dicap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun. Kalau begitu, aku pamit dulu.” Anna membungkukkan badannya sembilan puluh derajat kemudian berbalik, berjalan mengabaikan Eden.
Eden mengeluh dalam hati. Keras kepala sekali gadis ini. Eden melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, sudah pukul satu malam. Hanya beberapa jam sebelum matahari terbit.
Eden menyusul Anna yang sudah agak jauh. “Dengarkan aku dulu,” dia menahan lengan Anna. “Begini…”
“Sudah kubilang aku tak tertarik.” Anna menyela lebih dulu dan kembali menurunkan tangan Eden, tapi gagal karena cengkraman Eden semakin kuat. “Sekarang apa lagi?”
“Aku bisa membuatnya tergila-gila padamu. Disaat dia sudah tulus, kau bisa mencampakkannya seperti yang dia lakukan padamu. Aku bisa membantumu untuk balas dendam, bahkan lebih dari yang kau bayangkan. Sejujurnya..” Eden berhenti sebentar sambil memasang wajah iba. “Aku tak suka jika kau diperlakukan seperti itu, tapi kau membiarkannya begitu saja?”
Anna menghela nafas dengan kasar. Beberapa kalimat Eden membuatnya bimbang. Memang betul dia sangat marah pada Kevin, tapi balas dendam? Apa itu tidak berlebihan?
“Bagaimana?” Eden menilik raut wajah Anna. Berharap gadis itu setuju dengannya.
Anna menggaruk pelipisnya, mengusap rambutnya ke belakang sembali menarik nafas dalam-dalam. “Tak mungkin gratis, bukan? Apa yang kau mau dariku setelah ini?”
Seketika senyum di wajah Eden mengambang. Gadis ini ternyata tau cara bermain.
“Sebelum itu, apa kau tak melupakan undangan dari seseorang?” Dia memastikan kalau gadis yang dimaksud ibunya adalah Anna.
Kening Anna terlipat. Dia sedang tidak ingin main tebak-tebakan. Anna mendesah pelan. “Sekarang apa lagi?”
Sudahlah. Eden pasrah. Sepertinya Anna memang tidak ingat terlepas dirinya yang sudah agak mabuk.
“Baiklah. Karena aku sudah membantumu, jadi kau harus membantuku juga. Hanya sekali.”
Anna pasrah karena sadar harus membalas budi, “membantu apa?”
“Datanglah bersamaku besok,” pinta Eden.
“Besok? Kemana?” Sontak Anna melirik jam di tangannya. Hari sudah tengah malam. Jarum panjang menunjuk angka dua.
“Ya. Pagi. Orang tuaku mengajakmu sarapan bersama,”
“Orang tuamu?” Lagi-lagi ajakan Eden semakin membuat Anna bingung. Buat apa dia bertemu orang tua Eden, laki-laki yang baru dikenalnya kemarin.
“Kau benar-benar tak ingat bertemu dengan ibuku kemarin?” Sekali lagi Eden mencoba membawa ingatan Anna kembali.
“Ibumu?” Anna memiringkan kepalanya. Mencoba menangkap arah pertanyaan Eden. Pria di depannya itu menunggu dengan penuh harap. Sontak tangan Anna terangkat menutupi mulutnya yang ternganga. Matanya juga tak kalah besar. Dia teringat dengan ajakan seorang wanita paruh baya kemarin ketika di halte bus. Eden menebak jika gadis di depannya ini sudah ingat dan paham dengan maksudnya.
“Itu ibuku,” jelas Eden.
“Benarkah? Aku pikir dia ibu Kevin,” ungkap Anna tiba-tiba. Dia masih dalam suasana terkejut.
“Kau belum pernah bertemu dengan ibunya?” Eden berbalik terkejut sekaligus heran. Bukankah kalau sudah berpacaran lama berarti sudah mengenal keluarga masing-masing? Anna memperbaiki raut wajahnya kembali datar. Menepuk-nepuk pelan pipinya agar kembali sadar.
“Intinya, kau harus datang ke rumahku besok pagi.” Eden kembali mengingatkan.
“Kau bercanda? Besok yang kau bicarakan itu hari ini,” terang Anna setengah panik, “tidak biasanya orang mengundang tamu di pagi hari,” gumam Anna.
Tiba-tiba saja Anna mengibaskan kedua tangannya. Seolah dia menolak untuk datang bersama Eden besok pagi. Terlebih lagi kondisinya saat itu sangatlah tidak mendukung. Pakaian yang terbuka dan dalam keadaan mabuk. Anna berbalik meneruskan langkahnya, sesekali jalannya tak lurus. Kepalanya semakin pusing setelah kejadian tadi. Sedangkan Eden menyusulnya di belakang. Berbeda dengan Anna, Eden justru menyimpulkan kalau Anna setuju.
“Apa aku boleh meminta lebih padamu?” pinta Eden lagi, dia sudah berdiri tepat di belakang Anna. Gadis itu pun kembali berhenti dan berbalik. Dia perlahan mendekatkan wajahnya pada wajah Eden. “Minta apa lagi?”
****
Anna tersentak. Dia membuka mata perlahan. Mendapati sebuah jaket menutupi badannya lantas mengedarkan pandangan. Ia melihat Eden juga tengah tertidur di sampingnya. Anna membuka sabuk pengaman. Dia menegakkan badan sambil meringis kesakitan kemudian memegang kepalanya yang masih terasa pusing. Tak sengaja tangan Anna mengenai pundak Eden hingga ia juga tersadar. “Kau sudah bangun?” katanya dengan suara parau sambil meluruskan badan di tempat sempit dari balik kemudi.
Seketika tangan Anna terangkat menutupi wajah. “Hei, kenapa kau tak pakai baju?” seru Anna ketika melihat kain yang menutupi badan Eden terbuka hingga memperlihatkan dada bidang Eden. Anna pun segera melihat pakaian yang melekat di tubuhnya. Untunglah masih sama seperti yang dipakainya tadi malam. Tak terbuka atau diganti sama sekali. Anna mencoba mengingat kejadian yang terjadi padanya semalam. Ingatannya terakhir adalah ketika dia mendekatkan wajahnya pada Eden, namun sayang dia tak bisa mengingat kejadian setelah itu.
Anna mendekatkan wajahnya dengan wajah Eden. Dengan pijakan yang goyah, Anna tak sengaja jatuh ke dalam pelukan Eden. “Apa? Kau bilang apa?” katanya dengan mata setengah terbuka. Eden memegang pinggang Anna agar dirinya tak terjatuh. Mata mereka bertemu. Tapi Anna menunjukkan raut muka aneh. Pipinya menggembung. Sepertinya sesuatu akan meletus.
Benar saja. Dia muntah di pundak Eden.
“Hei,” seru Eden sambil menutup matanya. Dia merasakan sesuatu yang panas memenuhi pundaknya. “Bisa-bisanya kau…” Eden kehabisan kata-kata. Dia terpaku di tempat. Anna menjauhkan badannya dari Eden kemudian kembali berjalan entah kemana. Seolah tak terjadi apa-apa.
Bruk! Anna terjatuh di depan sana. Dia terkapar di lantai, tak lagi sadar. Eden berlari mengejar Anna lalu membopongnya dengan cepat masuk mobilnya yang terparkir tak jauh dari posisi mereka saat itu. Susah payah dia meluruskan badan Anna. “Apa yang kau makan?” gerutu Eden ketika mengangkat badan Anna. Perawakannya memang tak kurus karena cukup berisi, tapi badan Anna tak seberat itu juga.
Eden mengitari mobil lalu dengan cepat masuk mobil. Dia membawa Anna menuju hotel terdekat. Bagaimana bisa dia membawa Anna pulang dengan kondisi seperti itu. Tidak banyak waktu yang tersisa, hanya empat jam menjelang jam sarapan di rumah orang tuanya esok hari. Setelah Eden memesan sebuah kamar, dia menggendong Anna ke dalam sebuah kamar, lalu menidurkannya di kasur. Melihat pakaian Anna yang sangat terbuka. Dia melempar sembarang kain menutupi badan Anna.
Baru saja dia hendak membersihkan diri, rasa ragu menyisip di hatinya. Dia takut kalau Anna tiba-tiba terbangun dan berpikir yang tidak-tidak atau mungkin semakin menguatkan anggapannya tentang pria mesum. Dan yang lebih parah adalah bagaimana jika Anna menolak untuk membantunya? Bisa-bisa semua rencananya gagal dan harus menerima semua pilihan Nyonya Arini.
Akhirnya Eden kembali menggendong Anna menuju basemant. Tempat mobilnya terparkir. Eden membaringkan Anna di bangku penumpang di samping sopir. Eden mendesah ketika sudah kembali duduk di balik kemudi. Dia melirik Anna yang tampak sangat berantakan. Sekilas parasnya memang cantik dengan warna kulit yang tak terlalu putih tapi cukup eksotis. Eden dengan cepat membuka kancing bajunya yang sudah bau dan lembab bekas muntahan Anna. Sesekali dia mengedarkan pandangan, melihat apakah ada orang yang lewat di sekitar mobil mereka. Ketika keadaan sudah aman, barulah dia melepas semua bajunya lalu melemparnya ke bangku belakang. Dia melihat di belakang ada sebuah jas. Eden meraihnya kemudian menutupi badan Anna. Sedangkan Eden menutupi badannya dengan sapu tangan yang tak terlalu besar, tapi cukup untuk menutupi dadanya.
Gadis dengan rambut sebahu itu sepertinya tengah asik bermain di bawah alam sadarnya. Lihatlah sekarang dia tersenyum tak jelas. Dia bahkan tak sadar situasinya sekarang sangat berbahaya. “Apa yang kau lihat?” Anna tersadar.
*****
“Apa yang kau lakukan?” seru Anna lagi sambil menutupi badan Eden dengan jas yang menutupinya tadi. Sontak Anna langsung menyilangkan tangan di dada dan menatap Eden dengan tajam.Eden menunduk menatap dadanya dengan polos kemudian ikut menyilangkan kedua tangan di dada. “Ini karena kau muntah di bajuku.” Eden membela diri.“Apa? Muntah? Aku?” Anna menjadi serba salah, tapi dia tak ingat.Anna melirik Eden sebentar kemudian segera keluar dari mobil. Bagaimanapun permintaan Eden untuk menemui orang tuanya cukup mendadak. Setidaknya dia ingat akan perjanjian tak tertulis mereka semalam.Sontak Eden menjadi panik. Waktu mereka semakin menipis. Dia hanya punya waktu kurang dari satu jam lagi untuk sampai ke rumah orang tuanya. Anna berjalan cepat dengan bertelanjang kaki. Eden pun langsung keluar mobil. Mengejar Anna. Tetapi dia berhenti ketika menyadari badannya yang tak pakai apapun.“Astaga,” gumamnya sambil melirik badan polosnya. “Hei! Kau mau kemana?” Eden kembali ke mob
Suara burung pagi menyapa tak lagi terdengar. Bahkan suara anak-anak yang hendak berangkat ke sekolah yang melewati mereka luruh ke tanah. Mereka terdiam sejenak dengan mata yang saling bertatap tatapan. Namun, tak ada reaksi apapun setelahnya hingga Anna mengalihkan pandangannya. Pertanyaan Eden sangat tiba-tiba dan terkesan blak-blakan. “Apa? Tentu saja tidak,” tolak Anna mentah-mentah.“Makanya itu, buat apa kau memikirkan tanggapan dari orang tuaku nanti,” jelas Eden. “Tapi….” Anna masih beralasan. Dengan sekuat tenaga Eden menarik Anna masuk ke dalam rumah. Kenop pintu di putar. Pintu terbuka. “Ganti dengan ini!” Eden menyodorkan sepasang sandal rumah berwarna abu-abu pada Anna.“Astaga,” seru Anna. Dia membelalak ketika melihat kakinya yang kotor. Dia lupa membersihkannya dengan tisu basah tadi. “Pakai saja,” kata Eden tak peduli. Dia menyarungkan sandal ke kakinya.Anna menahan lengan Eden. “Kenapa lagi?” tanya Eden.“Pinjam kunci mobilmu,
Anna menyelam di tengah gelapnya kamar. Sherin masih belum pulang karena masih pukul delapan malam. Mungkin jam segini masih siang padanya. Gadis yang belum berganti pakaian semenjak siang tadi merebahkan badannya di ranjang. Terlalu malas untuk berjalan ke arah pintu untuk menghidupkan lampu. Berbagai pikiran menjalari benaknya. Langit langit kamar sunyi. Hanya sayub-sayub klakson mobil di jalan bawah sana yang menyelinap masuk. Anna mendesah lantas mengangkat sebelah tangan menutupi wajah. Apakah keputusannya sekarang sudah benar. Jawaban Eden atas pertanyaannya cukup untuk mengoyak hati Anna yang sudah terluka. “Tapi bagaimana jika mereka benar-benar ingin kita menikah?” Anna bertanya setengah panik. Eden terkekeh pelan. “Tidak semua pasangan yang berkencan berakhir dengan pernikahan. Jangan bilang kalau selama ini kau berpikiran seperti itu?” Eden melirik Anna yang menatap lurus ke depan. “Apa kau juga mengharapkan sebuah pernikahan
“Bagaimana kau bisa menemukanku di sini?” Anna dan Eden berbicara empat mata di tempat duduk yang sama. Sementara Sherin sudah tertidur di meja. Baiklah. Anna akan menggendongnya nanti.“Lagi-lagi kau menatapku dengan tatapan penuh curiga seperti itu,” jawab Eden dengan setengah hati.Eden meletakkan sebuah dompet berwarna hitam di atas meja. “Aku ingin menyerahkan ini padamu.”Sontak Anna langsung meraih dompetnya di atas meja dengan mata berbinar. Padahal dia sudah hampir menyerah saat mencari dompetnya sesaat akan keluar rumah tadi. Dia mungkin akan melapor ke polisi jika besok dia tidak kunjung menemukan dompetnya itu.“Syukurlah kau menemukannya,” ungkapnya sambil tersenyum lega pada Eden. “Terima kasih,” lanjutnya lagi.“Kenapa harus repot-repot jauh mengantar ke sini. Kau bisa telfon saja jadi aku akan menjemputnya besok.”Kali ini Eden meletakkan ponselnya di atas meja. “Bagaimana aku bisa menghubungimu jika nomormu saja tidak punya,” celetuk Eden lagi.Ah, betul juga. Pertemu
“Jadi dia – ?” mata Anna bergantian menatap layar ponsel kemudian beralih menatap Sherin. “Tapi dia tidak tampak seperti itu,” lanjut Anna menolak menerima isi dari berita itu. Sherin mengedikkan bahu tak yakin. “Kita memang tidak ada yang tau dalamnya seseorang seperti apa, kan? bisa jadi dia memang pandai menyembunyikan jadi dirinya selama ini. Kau bisa baca juga isi artikel lain yang terkait. Keluarga mereka keluarga terpandang. Seluruh keluarga bekerja di bidang kesehatan. Ibunya Kepala Yayasan pusat rehabilitasi, kakeknya juga Direktur Rumah Sakit besar bahkan kini ayahnya menjadi dosen ahli saraf. Dan dia juga seorang dokter kecantikan. Jadi wajar saja jika dia terkena isu isu miring seperti itu. Ya, bisa jadi juga karena dia tidak pernah terlibat dengan seorang wanita dengan wajah setampan itu. Bukankah itu agak aneh?” Sherin masih asik menyuap nasi goreng buatan Anna. “Tapi – “ “Lagi pula apa hubungannya denganmu jika dia memang gay atau buk
Hari ini Anna mendapatkan tugas mengawasi salah satu gerai pakaian bermerek. Biasanya dia mendapatkan tugas di bagian perhiasan. Hanya saja kali ini dia mendapatkan jadwal rolling. Jabatannya yang hanya sebagai staff biasa, jadi dia tak punya hak untuk membantah. Intinya dia hanya bawahan dari bawahan yang berada di atasnya. Sialnya dia tak beruntung hari itu. Dia justru bertemu salah satu teman sekolahnya dulu yang paling di bencinya. Bukannya benci, dia terlalu tidak suka dengan teman yang suka pamer dan merendahkan. Terlebih temannya itu baru saja menikah dengan salah seorang pengusaha tajir. Tentu saja tingkat kesombongan meningkat hinga level tertinggi. “Oh my god, lihat siapa yang kutemui,” sapa Olive ketika melihat Anna berjaga di dekat kasir. Gayanya sudah seperti artis papan atas lengkap dengan tas jinjing bermerek. “Bukankah ini Anna? Yang katanya akan menikah tapi tak jadi?” sindirnya dengan nada suara yang keras. Anna hanya bisa tersenyum manis deng
Anna menyesap kopinya. Dia berusaha menjaga sikap di depan orang yang tampak begitu tenang di hadapannya kini. Jangan bilang ibu Eden tadi melihat pertengkarannya dengan Olive tadi? Anna membatin. “Kau bekerja di sini?” tanya Nyonya Arini. Dia ikut menyesap kopi dari cangkirnya. Mereka berbincang di café. “Iya bu,” jawab Anna ramah. Dia bingung bagaimana harus bereaksi. Kenapa dia harus bertemu ibu Eden di sini? Bukankah seharusnya Eden yang duduk di hadapannya kini? Anna melirik jam mungil yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Masih tersisa satu jam lagi sebelum janji temu mereka. “Sebagai…” tanya Nyonya Arini lagi memastikan setelah melihat pakaian Anna yang sudah lebih dari cukup menjawab keraguannya. “Iya bu, aku hanya staff biasa,” jawab Anna masih tersenyum. Lagi-lagi dia menyesap kopinya untuk menutupi rasa gugup.“Aku juga sudah lama tidak berbelanja, bagaimana kalau kau menemani ibu berbelanja?” ajak Nyonya Arini tiba-tiba.
Nyonya Arini berjalan cepat menerobos masuk ruangan kerja suaminya. Dia membuka pintu dengan keras hingga mengejutkan semua orang di dalam. Sontak Tuan Teddy terlonjak kaget dari bangku kerjanya dengan tangan terangkat memegangi dada. “Ada apa? Sekarang apa lagi?” “Sepertinya ada yang tidak beres antara Eden dan pacarnya Anna itu.” Nyonya Arini menaruh curiga sambil memicingkan sebelah matanya. “Apanya? Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?” balas suaminya. “Begini…” Nyonya Arini mulai menyusun kata-kata yang akan di ucapkannya. Sekarang dia sudah berdiri di samping meja kerja suaminya. Tuan Teddy pun memutar kursinya hendak mendengarkan penjelasan sang istri dengan seksama. “Pertama, tiba-tiba saja Eden mempunyai kekasih, kedua…” “Bagus dong, bukankah itu yang kau inginkan?” potong Tuan Teddy. “Iya, memang bagus, tapi sangat tiba-tiba. dan mereka bilang sudah berkencan selama seratus hari. Tapi kenapa kita tidak pernah tahu? Maksudku se
Anna berkomat-kamit sendiri sambil memikirkan apa yang harus dilakukannya. Matanya membesar ketika melihat Eden hendak kembali ke meja, jadi dia bisa segera mengajak Eden beranjak dari sana. Tangan Anna terangkat hendak memanggil, namun senyumnya seketika luntur. Eden justru malah membalas sapaan orang lain. Anna berbalik. Matanya kembali membesar. Eden membalas sapaan seorang pria berusia sekitar tiga puluhan dan pria itu bersama orang yang ingin dihindari oleh Anna tadi. Ya, Oliv. Siapa lagi yang ingin dihindari Anna jikan bukan gadis itu. Tapi Anna menjadi bertanya-tanya apa yang dilakukan Olie dan suaminya di sini? Anna kembali duduk sambil menunduk. Mengeluarkan ponsel lalu pura-pura sibuk mengirim pesan ataupun menelepon seseorang. Tidak lama dia melakukan hal itu, dia kembali bangkit dan beranjak menuju meja lain yang agak jauh dari tempat Eden dan teman-temannya itu. Untuk sementara Anna menyimpulkan beberapa pria yang tampak lebih tua dari kekasihnya itu adalah te
“Kali ini pernikahan temanmu yang mana?” Anna kembali bertanya ketika mereka berada di dalam mobil, menuju gedung pernikahan teman Eden. Pria itu juga sudah mengganti pakaian, dia tampak gagah dengan balutan jas hitam dan potongan rambut dengan model comma style. Gaya rambut yang paling cocok dengan potongan wajah asianya yang khas. “Ada tapi kau tidak kenal.” Eden menjawab singkat. Kali ini suaranya terdengar lebih lembut. Tapi jawaban singkat Eden membuat Anna menjadi bertanya-tanya. Dia tak mengenal Eden. Banyak hal yang tak diketahuinya tentang pria yang tengah mengemudi di sampingnya itu. Beda halnya dengan pria itu yang hampir mengetahui segala tentangnya. Termasuk apa yang berkelibat di kepalanya kini. Lihatlah kini Eden tengah mencuri-curi pandang padanya. Eden melirik Anna, gadis itu terdiam tak lagi bertanya. Tapi justru membuat Eden menjadi tak enak karena sudah menjawab singkat. Dia berdeham sekali mengusir keheningan.“Dia salah satu kenalanku sewa
Kata orang, tiada pertemuan yang tak memiliki arti. Tiada pertemuan yang menjadi sebuah kebetulan karena sejatinya sudah ada yang mengatur dan sudah menjadi rencana alam. Ada orang yang percaya jika bertemu dengan orang asing sebanyak tiga kali dalam waktu berdekatan yang sering kali dikatakan berjodoh. Ada pula orang yang bertemu lebih dari itu dan hubungan mereka tetaplah orang asing. Bagaimana dengan orang asing yang tiba-tiba membantu kita untuk menyebrang di tengah jalan? Lalu dengan orang yang tak sengaja bertemu ketika sama-sama membeli daging ayam di supermarket atau mungkin orang yang tak sengaja tersenyum ketika berpapasan saat menyebrangi lampu merah? Keesokannya kita masih bertemu dan bertemu, namun hubungannya tidak lebih dari sebatas kenalan biasa. Kalian tahu? Terlalu banyak faktor yang harus dipertimbangkan untuk mengatakan jikalau sebuah pertemuan itu adalah kebetulan. Pertemuan Anna dan Eden mungkin bisa dikatakan sebagai sebuah kebetulan. Anggap saja ibu
“Kau?” Jari telunjuk Anna spontan terangkat, menunjuk lurus ke arah pria yang mengenakan kemeja dengan potongan leher rendah di salah satu meja café.Pria yang di tunjuk itu menunjukkan seulas senyum yang menampakkan deretan giginya yang putih.“Apa yang kau lakukan di sini?”“Masa muda yang mana yang kau rindukan?” Zeno kembali mengingatkan celoteh Anna beberapa menit yang lalu tepat setelah dua anak sekolah meninggalkan café.Anna berdecak kesal dan sedikit frustasi. “Seingatku aku sudah memberitahumu kalau aku tidak mau bertemu denganmu lagi bukan? Kenapa kau datang lagi ke sini, huh? Seharusnya kau sudah berada di Swiss sekarang?”Zeno mendengus. Dia tidak lupa dengan perkataan Anna. Lebih tepatnya ancaman Anna. Karena ucapan Anna waktu itu penuh tekanan.“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, tapi rasanya tidak enak jika melalui telfon. Makanya aku mengajakmu bertemu. Sebentar saja.”Anna menghubungi Zeno kembali setelah pertemuan mereka siang itu di café milik Anna setelah Oliv m
Sinar matahari menyelinap masuk melewati celah celah ventilasi.“Kau mau aku buatkan sarapan dulu?” tanya Sherin berbasa-basi. Dia tengah memanggang beberapa toast di dapur.“Tidak usah,” jawab Anna sambil sibuk mengemasi barangnya yang berserakan di ruang tengah semalam.“Setidaknya minumlah ini,” sahut Sherin lagi sambil menyerahkan segelas jus apel di atas meja makan. “Supaya pencernaanmu lancar,”Gadis yang mengenakan skirt sebatis itu menurut. Dia berjalan menghampiri meja dan meminum jus buatan Sherin. “Terima kasih jusnya, aku merasa segar.”Sherin hanya tersenyum hangat sebagai balasan atasan pujian Anna. “Hubungi aku jika terjadi sesuatu! Jangan tiba-tiba pulang sambil nangis dan berantakan kayak semalam. Kau mengerti kan?”“Astaga! Kau mulai lagi, baiklah aku mengerti.” Anna sudah maklum dengan omelan sahabatnya itu. Dia tau kalau Sherin khawatir dan dia tidak boleh membuat sahabat satu-satunya itu diselimuti rasa kekhawatiran yang tak jelas. “Aku berangkat dulu, sampai jump
“Siapa yang cemburu?” Eden menjadi salah tingkah. Dia mengusap rambutnya ke belakang dengan kedua tangan.“Lalu mengapa sikapmu yang berlebih seperti ini?”“Aku tidak berlebihan, hanya saja merasa kesal setelah melihatmu kembali bersikap bodoh saat di depan pria brengsek itu. Berapa kali harus kubilang, huh? Dia bukan pria baik-baik. Tidak cukup mempermalukanmu sekali waktu itu di café, sekarang kau ingin membiarkannya melakukannya lagi?”Anna menghela nafas panjang. Disatu sisi, dia merasa wajar melihat Eden murka dan juga geram melihat gadis bodoh yang terlalu mudah termakan omoongan manis dari cinta pertamanya. Dia menatap Eden lamat-lamat dengan mulut terkunci.“Berhentilah menatapku seperti itu.” Eden kembali mengingatkan Anna yang terdiam memperhatikannya untuk beberapa menit. Mereka duduk berhadapan yang dipisahkan oleh meja kecil yang di penuhi oleh kepulan asap sup yang baru saja tiba. “Aku tidak melihatmu.” Anna langsung mengalihkan pandangannya. “Pokoknya, urusa
Terik matahari di luar ikut masuk menyelinap ke dalam hatinya yang terasa panas dan sesak sedari tadi. Semalam dia sudah menerima tawaran Oliv untuk bertemu pria yang paling ingin dihindarinya. Entah apa yang dipikirkannya semalam saat menerima tawaran semalam, alhasil kini hatinya penuh gejolak. Setengah karena rasa penasaran, setengah lagi penuh dengan rasa sakit.Anna hendak berganti pakaian karena sudah jamnya untuk pulang. Eh, tidak. Dia harus menemui Zeno sore itu di tempat kerjanya pula. Anna melirik jam dinding. Seharusnya dia sudah berada di sini. “Kau menungguku?” Suara itu membuat Anna menoleh. Ya. Itu Zeno. Orang yang di tunggunya sudah tiba. Tampak jelas perasaan cemas terpampang jelas di wajah Anna, tapi dia masih berusaha menyunggingkan seulas senyumnya, takut membuat Zeno merasa tidak nyaman. Ah, sial. Anna mengutuk dirinya dalam hati karena masih saja mencemaskan pria itu. Mereka duduk di salah satu meja café. Anna memesankan pesanan sembarang
Anna menoleh. Sepasang matanya memindai penampilan Eden yang begitu kacaud an berantakan. Malam itu pertama kalinya Anna melihat sisi itu dari Eden. Seberapa kacau pikirannya sampai seperti ini, pikir Anna dalam hati. Dia kembali menatap Eden yang berbaring dengan mata terpejam.Anna mengambil selimut hendak menutupi tubuh Eden. Namun gerak tangannya terhenti ketika suara serak Eden mengatakan sesuatu dengan pelan. “Aku merasa bersalah.” Eden bergumam pelan. “Maafkan aku,” lanjutnya lagi. “Untuk apa?” Anna duduk di lantai, di sisi sofa tempat Eden berbaring. Dia membiarkan tangan Eden yang memegang ujung lengan bajunya. “Semuanya.” Eden menghela nafas. “Aku benar-benar minta maaf.” Anna melepaskan tangan Eden. “Aku tidak bisa menerima permintaan maafmu.” Anna malah menjawab perkataan Eden dengan tenang. Bukannya karena kesal atau marah pada pria itu, tapi karena Anna juga merasa bersalah pada Eden. Hanya saja dia tidak menampakkannya sam
Eden hanya bisa menatap punggung Anna saat berjalan menjauh. Ingin hatinya untuk segera berlari untuk mengejar gadis itu, namun langkah kakinya terasa berat. Ada perasaan semacam tak pantas yang terbersit di hatinya saat itu. Setelah semua yang telah dilakukannya pada Anna. Anna belum mabuk saat meninggalkan meja, Eden hanya berharap kekhawatirannya akan sia-sia karena Anna pasti bisa pulang dengan selamat. Toh tempat mereka minum tidak jauh dari apartemen milik Anna. Botol terakhir telah kosong. Kepalanya mulai terasa berat. Namun dia merasa masih belum mabuk. Eden ingin sekali mabuk setidaknya beban pikirannya akan hilang walau hanya semalam. Eden meninggalkan beberapa lembar uang kertas di meja lantas mulai berjalan gontai keluar. Pijakannya tidak pasti dan sedikit terhuyung huyung, tapi badannya masih bisa berdiri dan berjalan menuju minimarket terdekat. Salah seorang pelayan toko memberinya sebotol obat pengar agar dirinya bisa sege