Share

5. MALAM PERTAMA

Anna terkekeh pelan. “Balas dendam?” Anna berhenti tertawa, sedetik kemudian wajahnya kembali serius. Dia memang terluka, tapi tak pernah terpikirkan untuk balas dendam. Anna lebih memilih untuk melepaskan Kevin sepenuhnya dan tak berurusan lagi dengannya.

“Sudahlah, aku tak tertarik untuk balas dendam seperti yang kau katakan. Mengurus hidupku saja sudah sangat sulit, terlalu melelahkan jika harus memikirkan orang lain juga. Untuk kali ini, aku akan berterima kasih atas bantuanmu tadi dengan tulus. Aku tak mau lagi dicap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun. Kalau begitu, aku pamit dulu.” Anna membungkukkan badannya sembilan puluh derajat kemudian berbalik, berjalan mengabaikan Eden.

Eden mengeluh dalam hati. Keras kepala sekali gadis ini. Eden melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, sudah pukul satu malam. Hanya beberapa jam sebelum matahari terbit.

Eden menyusul Anna yang sudah agak jauh. “Dengarkan aku dulu,” dia menahan lengan Anna. “Begini…”

            “Sudah kubilang aku tak tertarik.” Anna menyela lebih dulu dan kembali menurunkan tangan Eden, tapi gagal karena cengkraman Eden semakin kuat. “Sekarang apa lagi?”

“Aku bisa membuatnya tergila-gila padamu. Disaat dia sudah tulus, kau bisa mencampakkannya seperti yang dia lakukan padamu. Aku bisa membantumu untuk balas dendam, bahkan lebih dari yang kau bayangkan. Sejujurnya..” Eden berhenti sebentar sambil memasang wajah iba. “Aku tak suka jika kau diperlakukan seperti itu, tapi kau membiarkannya begitu saja?”

Anna menghela nafas dengan kasar. Beberapa kalimat Eden membuatnya bimbang. Memang betul dia sangat marah pada Kevin, tapi balas dendam? Apa itu tidak berlebihan?

“Bagaimana?” Eden menilik raut wajah Anna. Berharap gadis itu setuju dengannya.

Anna menggaruk pelipisnya, mengusap rambutnya ke belakang sembali menarik nafas dalam-dalam. “Tak mungkin gratis, bukan? Apa yang kau mau dariku setelah ini?”

Seketika senyum di wajah Eden mengambang. Gadis ini ternyata tau cara bermain.

“Sebelum itu, apa kau tak melupakan undangan dari seseorang?” Dia memastikan kalau gadis yang dimaksud ibunya adalah Anna.

Kening Anna terlipat. Dia sedang tidak ingin main tebak-tebakan. Anna mendesah pelan. “Sekarang apa lagi?”

Sudahlah. Eden pasrah. Sepertinya Anna memang tidak ingat terlepas dirinya yang sudah agak mabuk.

“Baiklah. Karena aku sudah membantumu, jadi kau harus membantuku juga. Hanya sekali.”

Anna pasrah karena sadar harus membalas budi, “membantu apa?”

“Datanglah bersamaku besok,” pinta Eden.

            “Besok? Kemana?” Sontak Anna melirik jam di tangannya. Hari sudah tengah malam. Jarum panjang menunjuk angka dua.

            “Ya. Pagi. Orang tuaku mengajakmu sarapan bersama,”

            “Orang tuamu?” Lagi-lagi ajakan Eden semakin membuat Anna bingung. Buat apa dia bertemu orang tua Eden, laki-laki yang baru dikenalnya kemarin.

            “Kau benar-benar tak ingat bertemu dengan ibuku kemarin?” Sekali lagi Eden mencoba membawa ingatan Anna kembali.

“Ibumu?” Anna memiringkan kepalanya. Mencoba menangkap arah pertanyaan Eden. Pria di depannya itu menunggu dengan penuh harap. Sontak tangan Anna terangkat menutupi mulutnya yang ternganga. Matanya juga tak kalah besar. Dia teringat dengan ajakan seorang wanita paruh baya kemarin ketika di halte bus. Eden menebak jika gadis di depannya ini sudah ingat dan paham dengan maksudnya.

            “Itu ibuku,” jelas Eden.

            “Benarkah? Aku pikir dia ibu Kevin,” ungkap Anna tiba-tiba. Dia masih dalam suasana terkejut.

            “Kau belum pernah bertemu dengan ibunya?” Eden berbalik terkejut sekaligus heran. Bukankah kalau sudah berpacaran lama berarti sudah mengenal keluarga masing-masing? Anna memperbaiki raut wajahnya kembali datar. Menepuk-nepuk pelan pipinya agar kembali sadar.

            “Intinya, kau harus datang ke rumahku besok pagi.” Eden kembali mengingatkan.

            “Kau bercanda? Besok yang kau bicarakan itu hari ini,” terang Anna setengah panik, “tidak biasanya orang mengundang tamu di pagi hari,” gumam Anna.

Tiba-tiba saja Anna mengibaskan kedua tangannya. Seolah dia menolak untuk datang bersama Eden besok pagi. Terlebih lagi kondisinya saat itu sangatlah tidak mendukung. Pakaian yang terbuka dan dalam keadaan mabuk. Anna berbalik meneruskan langkahnya, sesekali jalannya tak lurus. Kepalanya semakin pusing setelah kejadian tadi. Sedangkan Eden menyusulnya di belakang. Berbeda dengan Anna, Eden justru menyimpulkan kalau Anna setuju.

            “Apa aku boleh meminta lebih padamu?” pinta Eden lagi, dia sudah berdiri tepat di belakang Anna. Gadis itu pun kembali berhenti dan berbalik. Dia perlahan mendekatkan wajahnya pada wajah Eden. “Minta apa lagi?”

****

            Anna tersentak. Dia membuka mata perlahan. Mendapati sebuah jaket menutupi badannya lantas mengedarkan pandangan. Ia melihat Eden juga tengah tertidur di sampingnya. Anna membuka sabuk pengaman. Dia menegakkan badan sambil meringis kesakitan kemudian memegang kepalanya yang masih terasa pusing. Tak sengaja tangan Anna mengenai pundak Eden hingga ia juga tersadar. “Kau sudah bangun?” katanya dengan suara parau sambil meluruskan badan di tempat sempit dari balik kemudi.

            Seketika tangan Anna terangkat menutupi wajah. “Hei, kenapa kau tak pakai baju?” seru Anna ketika melihat kain yang menutupi badan Eden terbuka hingga memperlihatkan dada bidang Eden. Anna pun segera melihat pakaian yang melekat di tubuhnya. Untunglah masih sama seperti yang dipakainya tadi malam. Tak terbuka atau diganti sama sekali. Anna mencoba mengingat kejadian yang terjadi padanya semalam. Ingatannya terakhir adalah ketika dia mendekatkan wajahnya pada Eden, namun sayang dia tak bisa mengingat kejadian setelah itu.

            Anna mendekatkan wajahnya dengan wajah Eden. Dengan pijakan yang goyah, Anna tak sengaja jatuh ke dalam pelukan Eden. “Apa? Kau bilang apa?” katanya dengan mata setengah terbuka. Eden memegang pinggang Anna agar dirinya tak terjatuh. Mata mereka bertemu. Tapi Anna menunjukkan raut muka aneh. Pipinya menggembung. Sepertinya sesuatu akan meletus.

Benar saja. Dia muntah di pundak Eden.

            “Hei,” seru Eden sambil menutup matanya. Dia merasakan sesuatu yang panas memenuhi pundaknya. “Bisa-bisanya kau…” Eden kehabisan kata-kata. Dia terpaku di tempat.  Anna menjauhkan badannya dari Eden kemudian kembali berjalan entah kemana. Seolah tak terjadi apa-apa.

Bruk! Anna terjatuh di depan sana. Dia terkapar di lantai, tak lagi sadar. Eden berlari mengejar Anna lalu membopongnya dengan cepat masuk mobilnya yang terparkir tak jauh dari posisi mereka saat itu. Susah payah dia meluruskan badan Anna. “Apa yang kau makan?” gerutu Eden ketika mengangkat badan Anna. Perawakannya memang tak kurus karena cukup berisi, tapi badan Anna tak seberat itu juga.

            Eden mengitari mobil lalu dengan cepat masuk mobil. Dia membawa Anna menuju hotel terdekat. Bagaimana bisa dia membawa Anna pulang dengan kondisi seperti itu. Tidak banyak waktu yang tersisa, hanya empat jam menjelang jam sarapan di rumah orang tuanya esok hari. Setelah Eden memesan sebuah kamar, dia menggendong Anna ke dalam sebuah kamar, lalu menidurkannya di kasur. Melihat pakaian Anna yang sangat terbuka. Dia melempar sembarang kain menutupi badan Anna.

            Baru saja dia hendak membersihkan diri, rasa ragu menyisip di hatinya. Dia takut kalau Anna tiba-tiba terbangun dan berpikir yang tidak-tidak atau mungkin semakin menguatkan anggapannya tentang pria mesum. Dan yang lebih parah adalah bagaimana jika Anna menolak untuk membantunya? Bisa-bisa semua rencananya gagal dan harus menerima semua pilihan Nyonya Arini.

Akhirnya Eden kembali menggendong Anna menuju basemant. Tempat mobilnya terparkir. Eden membaringkan Anna di bangku penumpang di samping sopir. Eden mendesah ketika sudah kembali duduk di balik kemudi. Dia melirik Anna yang tampak sangat berantakan. Sekilas parasnya memang cantik dengan warna kulit yang tak terlalu putih tapi cukup eksotis. Eden dengan cepat membuka kancing bajunya yang sudah bau dan lembab bekas muntahan Anna. Sesekali dia mengedarkan pandangan, melihat apakah ada orang yang lewat di sekitar mobil mereka. Ketika keadaan sudah aman, barulah dia melepas semua bajunya lalu melemparnya ke bangku belakang. Dia melihat di belakang ada sebuah jas. Eden meraihnya kemudian menutupi badan Anna. Sedangkan Eden menutupi badannya dengan sapu tangan yang tak terlalu besar, tapi cukup untuk menutupi dadanya.

 Gadis dengan rambut sebahu itu sepertinya tengah asik bermain di bawah alam sadarnya. Lihatlah sekarang dia tersenyum tak jelas. Dia bahkan tak sadar situasinya sekarang sangat berbahaya. “Apa yang kau lihat?” Anna tersadar.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status