Langkah Anna terhuyung-huyung ketika berjalan menuju kamar mandi dengan sebelah tangan memegangi kepala. Sesekali dia mengerjap. Mencoba kembali tersadar. Tetapi keseimbangannya hilang ketika tak sengaja menubruk punggung seseorang di depannya. Kakinya tak lagi kuat menahan tubuhnya hingga badannya terjatuh dan terhempas ke lantai. Anna terduduk di lantai dengan rambut berantakan menutupi wajah.
“Maaf, kamu tidak apa-apa?” Pria yang ditabrak Anna tadi membantunya kembali berdiri. Bukannya berterima kasih, tetapi Anna malah menatap pria yang menolongnya itu dengan tatapan tak suka. Tak ingin terlibat lagi dengan pria itu, Anna memilih untuk berbalik.
“Anna?” Kevin memanggilnya pelan. Dari semua tempat, kenapa mereka harus bertemu di sini.
“Apa yang kau lakukan di sini? Tidak seperti biasanya. Bukannya kau tak suka dengan tempat-tempat seperti ini? Jangan bilang kau sampai harus datang ke sini karena tak bisa melupakanku?” Kevin menaruh curiga pada Anna sambil berkacak pinggang. Dia tahu Anna tak suka tempat-tempat seperti itu. Pernah beberapa kali Kevin mengajak semasa mereka masih berkencan, tetapi Anna selalu menolak.
Anna membalikkan badan. “Aku tidak perlu melapor padamu bukan? Lagi pula, hubungan kita sudah berakhir, buat apa aku masih memikirkanmu,” bantah Anna berlalu melewati Kevin. Rasa mabuknya luruh ke lantai, dia berjalan dengan normal.
“Lalu kau bilang ini sebuah kebetulan?” lanjut Kevin sambil menarik lengan Anna, menghentikannya.
“Apa yang terjadi?” Tepat saat itu Sherin sudah berdiri di samping Anna. Sherin melepaskan tangan Kevin dari lengan Anna dengan kasar.
“Singkirkan tangan kotormu itu! Jangan bilang kau mengikuti kami ke sini,” tuduh Sherin pada Kevin. Dia ikut kesal melihat Kevin yang bersikap seenaknya saja terhadap temannya itu.
Beberapa orang di sekitar mereka berhenti menari dan menaruh perhatian pada Anna dan Kevin. Anna mengusap kepalanya dengan kedua tangan, lelah berhadapan lagi dengan pria yang sudah menyakitinya. Melihatnya saja sudah cukup membuat Anna marah, sekarang pria yang mengenakan jaket kulit hitam itu bahkan kembali mencari-cari kesalahannya.
“Kau mau mencari cinta satu malammu di sini?” tuduh Kevin.
Anna mendengus. Tentu saja Anna tak terima dengan tuduhan Kevin. Ini sudah kedua kalinya Kevin mempermalukan Anna di tempat umum seperti ini. Hatinya sangat terenyuh ketika mendapat perlakuan buruk seperti itu. Apakah dia masih punya sedikit harapan pada Kevin? Mata Anna mulai berkaca-kaca. Dengan sekuat tenaga ia menahan air matanya agar tak jatuh.
“Tutup mulutmu itu!” Sherin menanggapi. Dia maju selangkah melindungi Anna di belakangnya.
“Kau tidak usah ikut campur!” balas Kevin kemudian beralih menatap Anna. “Anna, ada apa denganmu?” Kevin menatap Anna dengan iba. Dia bermain dengan perasaan Anna yang masih tersisa untuknya.
“Bukankah kau datang ke sini juga untuk mendapatkan cinta satu malam? Kenapa kau sibuk dengan urusanku.” Akhirnya Anna bersuara, membalas dengan cara yang sama. “Kau boleh sedangkan aku tak boleh, begitu?”
“Haruskah aku melaporkannya ke polisi?” celetuk Sherin di samping Anna.
“Apa? Polisi?” sahut Kevin. “Begini saja. Katakan saja alasan kau datang ke sini kerena apa.”
“Kenapa pula Anna harus mengatakan alasannya padamu, huh?” Sherin yang menimpali tak terima. Dia masih berusaha menjadi tameng bagi Anna. Mungkin dia terlihat kuat dari luar, tapi sungguh hatinya sudah pecah berkeping-keping di dalam. “Semua ini gara-gara kelakuanmu.” Sherin menunjuk wajah Kevin dengan jari telunjuk terangkat. Dia sudah tidak tahan lagi melihat wajah Kevin yang bertingkah seolah-olah dialah yang paling terluka.
“Jika alasanmu adalah karenaku, pasti….”
Anna mendorong pelan Sherin ke samping. “Memangnya kenapa? Apa aku tidak boleh datang ke club, sedangkan kau boleh? Apa datang ke club melanggar hukum? Memangnya kau siapa bisa melarangku ini itu, dan apa urusanmu, huh!” Anna memukul bahu Kevin berulang-ulang. “Jika aku tau kau ada di sini, sungguh aku tidak akan kesini. Sumpah, aku sudah muak melihat wajahmu itu,” kata Anna dengan rahang mengeras, geram dan juga rasa marahnya sudah mencapai ubun-ubun.
Kedua bola mata mereka bertemu namun tak bersuara.
Hening sejenak. Menyisakan suara musik yang masih berdentum keras. Sebagian orang di sana juga mulai mengabaikan mereka, tak lagi tertarik.
“Astaga, kau kemana saja? Aku sudah mencarimu sedari tadi.” Eden tiba-tiba saja sudah tiba di samping Anna dan merangkulnya mendekat. Kevin terdiam. Dia sepertinya lupa apa yang ingin di sampaikannya tadi.
“Hallo,” sapa Eden sambil memaksakan seulas ramah. “Maaf membuat keributan. Perkenalkan aku kekasih gadis ini. Tampaknya dia mabuk berat.” Eden membuat pengumuman sehingga orang-orang yang masih memperhatikan mereka mengalihkan pandangan dan sibuk dengan kegiatan mereka lagi. Sedangkan Anna hanya diam sambil menoleh menatap Eden yang sedang membungkukkan badan ke segala arah. Meminta maaf karena telah membuat keributan.
“Kau yang…” Kevin mengingat-ngingat kejadian di hotel kemarin.
“Ya.” Eden menjabat tangan Kevin yang terangkat menunjuknya. “Saya pacar baru Anna. Kalau begitu saya permisi,” tutup Eden.
Tak kalah terkejut, Sherin bahkan ternganga mendengar pengakuan Eden. Ternyata hubungan Anna dan Eden jauh lebih dekat dari apa yang dibayangkannya. Sherin sekilas menatap ke arah Anna meminta penjelasan, namun temannya itu juga kelihatan kehabisan akal. Gadis itu melepaskan rangkulan Eden lalu berjalan keluar menyibak kerumunan.
“Anna,” panggil Eden dari dalam berusaha mengejar Anna yang terus berlari mengabaikannya hingga tiba di luar. Dia menahan tangan Anna dan membalikkan badan gadis yang sudah bercucuran air mata. Tetapi Anna menepis tangan Eden dan terus berjalan.
“Kau pergi begitu saja? Kau mau membuat dirimu tampak bodoh lagi di depan pria brengsek itu?” kata Eden geram.
Anna berhenti dan menyeka pipinya sebelum berbalik. “Kenapa kau membantuku lagi? Aku tak pernah memintanya, lagi pula kau sepertinya tak suka berurusan dengan orang sepertiku, yang sudah menuduhmu tanpa bukti.”
Eden mendengus. Jarak mereka terpisah lima langkah. “Memangnya harus ada alasan untuk membantu orang lain?” terang Eden santai. “Aku bisa membantumu lebih dari yang tadi,” lanjut Eden lagi. “Balas dendam mungkin?”
Anna terdiam sejenak, memikirkan banyak pilihan yang muncul dari satu tawaran yang diberikan oleh pria yang tersenyum tipis di depannya kini.
Anna terkekeh pelan. “Balas dendam?” Anna berhenti tertawa, sedetik kemudian wajahnya kembali serius. Dia memang terluka, tapi tak pernah terpikirkan untuk balas dendam. Anna lebih memilih untuk melepaskan Kevin sepenuhnya dan tak berurusan lagi dengannya.“Sudahlah, aku tak tertarik untuk balas dendam seperti yang kau katakan. Mengurus hidupku saja sudah sangat sulit, terlalu melelahkan jika harus memikirkan orang lain juga. Untuk kali ini, aku akan berterima kasih atas bantuanmu tadi dengan tulus. Aku tak mau lagi dicap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun. Kalau begitu, aku pamit dulu.” Anna membungkukkan badannya sembilan puluh derajat kemudian berbalik, berjalan mengabaikan Eden.Eden mengeluh dalam hati. Keras kepala sekali gadis ini. Eden melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, sudah pukul satu malam. Hanya beberapa jam sebelum matahari terbit.Eden menyusul Anna yang sudah agak jauh. “Dengarkan aku dulu,” dia menahan lengan Anna. “Begini…”
“Apa yang kau lakukan?” seru Anna lagi sambil menutupi badan Eden dengan jas yang menutupinya tadi. Sontak Anna langsung menyilangkan tangan di dada dan menatap Eden dengan tajam.Eden menunduk menatap dadanya dengan polos kemudian ikut menyilangkan kedua tangan di dada. “Ini karena kau muntah di bajuku.” Eden membela diri.“Apa? Muntah? Aku?” Anna menjadi serba salah, tapi dia tak ingat.Anna melirik Eden sebentar kemudian segera keluar dari mobil. Bagaimanapun permintaan Eden untuk menemui orang tuanya cukup mendadak. Setidaknya dia ingat akan perjanjian tak tertulis mereka semalam.Sontak Eden menjadi panik. Waktu mereka semakin menipis. Dia hanya punya waktu kurang dari satu jam lagi untuk sampai ke rumah orang tuanya. Anna berjalan cepat dengan bertelanjang kaki. Eden pun langsung keluar mobil. Mengejar Anna. Tetapi dia berhenti ketika menyadari badannya yang tak pakai apapun.“Astaga,” gumamnya sambil melirik badan polosnya. “Hei! Kau mau kemana?” Eden kembali ke mob
Suara burung pagi menyapa tak lagi terdengar. Bahkan suara anak-anak yang hendak berangkat ke sekolah yang melewati mereka luruh ke tanah. Mereka terdiam sejenak dengan mata yang saling bertatap tatapan. Namun, tak ada reaksi apapun setelahnya hingga Anna mengalihkan pandangannya. Pertanyaan Eden sangat tiba-tiba dan terkesan blak-blakan. “Apa? Tentu saja tidak,” tolak Anna mentah-mentah.“Makanya itu, buat apa kau memikirkan tanggapan dari orang tuaku nanti,” jelas Eden. “Tapi….” Anna masih beralasan. Dengan sekuat tenaga Eden menarik Anna masuk ke dalam rumah. Kenop pintu di putar. Pintu terbuka. “Ganti dengan ini!” Eden menyodorkan sepasang sandal rumah berwarna abu-abu pada Anna.“Astaga,” seru Anna. Dia membelalak ketika melihat kakinya yang kotor. Dia lupa membersihkannya dengan tisu basah tadi. “Pakai saja,” kata Eden tak peduli. Dia menyarungkan sandal ke kakinya.Anna menahan lengan Eden. “Kenapa lagi?” tanya Eden.“Pinjam kunci mobilmu,
Anna menyelam di tengah gelapnya kamar. Sherin masih belum pulang karena masih pukul delapan malam. Mungkin jam segini masih siang padanya. Gadis yang belum berganti pakaian semenjak siang tadi merebahkan badannya di ranjang. Terlalu malas untuk berjalan ke arah pintu untuk menghidupkan lampu. Berbagai pikiran menjalari benaknya. Langit langit kamar sunyi. Hanya sayub-sayub klakson mobil di jalan bawah sana yang menyelinap masuk. Anna mendesah lantas mengangkat sebelah tangan menutupi wajah. Apakah keputusannya sekarang sudah benar. Jawaban Eden atas pertanyaannya cukup untuk mengoyak hati Anna yang sudah terluka. “Tapi bagaimana jika mereka benar-benar ingin kita menikah?” Anna bertanya setengah panik. Eden terkekeh pelan. “Tidak semua pasangan yang berkencan berakhir dengan pernikahan. Jangan bilang kalau selama ini kau berpikiran seperti itu?” Eden melirik Anna yang menatap lurus ke depan. “Apa kau juga mengharapkan sebuah pernikahan
“Bagaimana kau bisa menemukanku di sini?” Anna dan Eden berbicara empat mata di tempat duduk yang sama. Sementara Sherin sudah tertidur di meja. Baiklah. Anna akan menggendongnya nanti.“Lagi-lagi kau menatapku dengan tatapan penuh curiga seperti itu,” jawab Eden dengan setengah hati.Eden meletakkan sebuah dompet berwarna hitam di atas meja. “Aku ingin menyerahkan ini padamu.”Sontak Anna langsung meraih dompetnya di atas meja dengan mata berbinar. Padahal dia sudah hampir menyerah saat mencari dompetnya sesaat akan keluar rumah tadi. Dia mungkin akan melapor ke polisi jika besok dia tidak kunjung menemukan dompetnya itu.“Syukurlah kau menemukannya,” ungkapnya sambil tersenyum lega pada Eden. “Terima kasih,” lanjutnya lagi.“Kenapa harus repot-repot jauh mengantar ke sini. Kau bisa telfon saja jadi aku akan menjemputnya besok.”Kali ini Eden meletakkan ponselnya di atas meja. “Bagaimana aku bisa menghubungimu jika nomormu saja tidak punya,” celetuk Eden lagi.Ah, betul juga. Pertemu
“Jadi dia – ?” mata Anna bergantian menatap layar ponsel kemudian beralih menatap Sherin. “Tapi dia tidak tampak seperti itu,” lanjut Anna menolak menerima isi dari berita itu. Sherin mengedikkan bahu tak yakin. “Kita memang tidak ada yang tau dalamnya seseorang seperti apa, kan? bisa jadi dia memang pandai menyembunyikan jadi dirinya selama ini. Kau bisa baca juga isi artikel lain yang terkait. Keluarga mereka keluarga terpandang. Seluruh keluarga bekerja di bidang kesehatan. Ibunya Kepala Yayasan pusat rehabilitasi, kakeknya juga Direktur Rumah Sakit besar bahkan kini ayahnya menjadi dosen ahli saraf. Dan dia juga seorang dokter kecantikan. Jadi wajar saja jika dia terkena isu isu miring seperti itu. Ya, bisa jadi juga karena dia tidak pernah terlibat dengan seorang wanita dengan wajah setampan itu. Bukankah itu agak aneh?” Sherin masih asik menyuap nasi goreng buatan Anna. “Tapi – “ “Lagi pula apa hubungannya denganmu jika dia memang gay atau buk
Hari ini Anna mendapatkan tugas mengawasi salah satu gerai pakaian bermerek. Biasanya dia mendapatkan tugas di bagian perhiasan. Hanya saja kali ini dia mendapatkan jadwal rolling. Jabatannya yang hanya sebagai staff biasa, jadi dia tak punya hak untuk membantah. Intinya dia hanya bawahan dari bawahan yang berada di atasnya. Sialnya dia tak beruntung hari itu. Dia justru bertemu salah satu teman sekolahnya dulu yang paling di bencinya. Bukannya benci, dia terlalu tidak suka dengan teman yang suka pamer dan merendahkan. Terlebih temannya itu baru saja menikah dengan salah seorang pengusaha tajir. Tentu saja tingkat kesombongan meningkat hinga level tertinggi. “Oh my god, lihat siapa yang kutemui,” sapa Olive ketika melihat Anna berjaga di dekat kasir. Gayanya sudah seperti artis papan atas lengkap dengan tas jinjing bermerek. “Bukankah ini Anna? Yang katanya akan menikah tapi tak jadi?” sindirnya dengan nada suara yang keras. Anna hanya bisa tersenyum manis deng
Anna menyesap kopinya. Dia berusaha menjaga sikap di depan orang yang tampak begitu tenang di hadapannya kini. Jangan bilang ibu Eden tadi melihat pertengkarannya dengan Olive tadi? Anna membatin. “Kau bekerja di sini?” tanya Nyonya Arini. Dia ikut menyesap kopi dari cangkirnya. Mereka berbincang di café. “Iya bu,” jawab Anna ramah. Dia bingung bagaimana harus bereaksi. Kenapa dia harus bertemu ibu Eden di sini? Bukankah seharusnya Eden yang duduk di hadapannya kini? Anna melirik jam mungil yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Masih tersisa satu jam lagi sebelum janji temu mereka. “Sebagai…” tanya Nyonya Arini lagi memastikan setelah melihat pakaian Anna yang sudah lebih dari cukup menjawab keraguannya. “Iya bu, aku hanya staff biasa,” jawab Anna masih tersenyum. Lagi-lagi dia menyesap kopinya untuk menutupi rasa gugup.“Aku juga sudah lama tidak berbelanja, bagaimana kalau kau menemani ibu berbelanja?” ajak Nyonya Arini tiba-tiba.