Share

4. TIMBAL BALIK

Langkah Anna terhuyung-huyung ketika berjalan menuju kamar mandi dengan sebelah tangan memegangi kepala. Sesekali dia mengerjap. Mencoba kembali tersadar. Tetapi keseimbangannya hilang ketika tak sengaja menubruk punggung seseorang di depannya. Kakinya tak lagi kuat menahan tubuhnya hingga badannya terjatuh dan terhempas ke lantai. Anna terduduk di lantai dengan rambut berantakan menutupi wajah.

            “Maaf, kamu tidak apa-apa?” Pria yang ditabrak Anna tadi membantunya kembali berdiri. Bukannya berterima kasih, tetapi Anna malah menatap pria yang menolongnya itu dengan tatapan tak suka. Tak ingin terlibat lagi dengan pria itu, Anna memilih untuk berbalik.

            “Anna?” Kevin memanggilnya pelan. Dari semua tempat, kenapa mereka harus bertemu di sini.

            “Apa yang kau lakukan di sini? Tidak seperti biasanya. Bukannya kau tak suka dengan tempat-tempat seperti ini? Jangan bilang kau sampai harus datang ke sini karena tak bisa melupakanku?” Kevin menaruh curiga pada Anna sambil berkacak pinggang. Dia tahu Anna tak suka tempat-tempat seperti itu. Pernah beberapa kali Kevin mengajak semasa mereka masih berkencan, tetapi Anna selalu menolak.

            Anna membalikkan badan. “Aku tidak perlu melapor padamu bukan? Lagi pula, hubungan kita sudah berakhir, buat apa aku masih memikirkanmu,” bantah Anna berlalu melewati Kevin. Rasa mabuknya luruh ke lantai, dia berjalan dengan normal.

            “Lalu kau bilang ini sebuah kebetulan?” lanjut Kevin sambil menarik lengan Anna, menghentikannya.

            “Apa yang terjadi?” Tepat saat itu Sherin sudah berdiri di samping Anna. Sherin melepaskan tangan Kevin dari lengan Anna dengan kasar.

            “Singkirkan tangan kotormu itu! Jangan bilang kau mengikuti kami ke sini,” tuduh Sherin pada Kevin. Dia ikut kesal melihat Kevin yang bersikap seenaknya saja terhadap temannya itu.

            Beberapa orang di sekitar mereka berhenti menari dan menaruh perhatian pada Anna dan Kevin. Anna mengusap kepalanya dengan kedua tangan, lelah berhadapan lagi dengan pria yang sudah menyakitinya. Melihatnya saja sudah cukup membuat Anna marah, sekarang pria yang mengenakan jaket kulit hitam itu bahkan kembali mencari-cari kesalahannya.

            “Kau mau mencari cinta satu malammu di sini?” tuduh Kevin.

Anna mendengus. Tentu saja Anna tak terima dengan tuduhan Kevin. Ini sudah kedua kalinya Kevin mempermalukan Anna di tempat umum seperti ini. Hatinya sangat terenyuh ketika mendapat perlakuan buruk seperti itu. Apakah dia masih punya sedikit harapan pada Kevin? Mata Anna mulai berkaca-kaca. Dengan sekuat tenaga ia menahan air matanya agar tak jatuh.

“Tutup mulutmu itu!” Sherin menanggapi. Dia maju selangkah melindungi Anna di belakangnya.

            “Kau tidak usah ikut campur!” balas Kevin kemudian beralih menatap Anna. “Anna, ada apa denganmu?” Kevin menatap Anna dengan iba. Dia bermain dengan perasaan Anna yang masih tersisa untuknya.

            “Bukankah kau datang ke sini juga untuk mendapatkan cinta satu malam? Kenapa kau sibuk dengan urusanku.” Akhirnya Anna bersuara, membalas dengan cara yang sama. “Kau boleh sedangkan aku tak boleh, begitu?”

            “Haruskah aku melaporkannya ke polisi?” celetuk Sherin di samping Anna.

            “Apa? Polisi?” sahut Kevin. “Begini saja. Katakan saja alasan kau datang ke sini kerena apa.”

            “Kenapa pula Anna harus mengatakan alasannya padamu, huh?” Sherin yang menimpali tak terima. Dia masih berusaha menjadi tameng bagi Anna. Mungkin dia terlihat kuat dari luar, tapi sungguh hatinya sudah pecah berkeping-keping di dalam. “Semua ini gara-gara kelakuanmu.” Sherin menunjuk wajah Kevin dengan jari telunjuk terangkat. Dia sudah tidak tahan lagi melihat wajah Kevin yang bertingkah seolah-olah dialah yang paling terluka.

            “Jika alasanmu adalah karenaku, pasti….”

            Anna mendorong pelan Sherin ke samping. “Memangnya kenapa? Apa aku tidak boleh datang ke club, sedangkan kau boleh? Apa datang ke club melanggar hukum? Memangnya kau siapa bisa melarangku ini itu, dan apa urusanmu, huh!” Anna memukul bahu Kevin berulang-ulang. “Jika aku tau kau ada di sini, sungguh aku tidak akan kesini. Sumpah, aku sudah muak melihat wajahmu itu,” kata Anna dengan rahang mengeras, geram dan juga rasa marahnya sudah mencapai ubun-ubun.

            Kedua bola mata mereka bertemu namun tak bersuara.

            Hening sejenak. Menyisakan suara musik yang masih berdentum keras. Sebagian orang di sana juga mulai mengabaikan mereka, tak lagi tertarik.

            “Astaga, kau kemana saja? Aku sudah mencarimu sedari tadi.” Eden tiba-tiba saja sudah tiba di samping Anna dan merangkulnya mendekat. Kevin terdiam. Dia sepertinya lupa apa yang ingin di sampaikannya tadi.

            “Hallo,” sapa Eden sambil memaksakan seulas ramah. “Maaf membuat keributan. Perkenalkan aku kekasih gadis ini. Tampaknya dia mabuk berat.” Eden membuat pengumuman sehingga orang-orang yang masih memperhatikan mereka mengalihkan pandangan dan sibuk dengan kegiatan mereka lagi. Sedangkan Anna hanya diam sambil menoleh menatap Eden yang sedang membungkukkan badan ke segala arah. Meminta maaf karena telah membuat keributan.

            “Kau yang…” Kevin mengingat-ngingat kejadian di hotel kemarin.

            “Ya.” Eden menjabat tangan Kevin yang terangkat menunjuknya. “Saya pacar baru Anna. Kalau begitu saya permisi,” tutup Eden.

Tak kalah terkejut, Sherin bahkan ternganga mendengar pengakuan Eden. Ternyata hubungan Anna dan Eden jauh lebih dekat dari apa yang dibayangkannya. Sherin sekilas menatap ke arah Anna meminta penjelasan, namun temannya itu juga kelihatan kehabisan akal. Gadis itu melepaskan rangkulan Eden lalu berjalan keluar menyibak kerumunan.

            “Anna,” panggil Eden dari dalam berusaha mengejar Anna yang terus berlari mengabaikannya hingga tiba di luar. Dia menahan tangan Anna dan membalikkan badan gadis yang sudah bercucuran air mata. Tetapi Anna menepis tangan Eden dan terus berjalan.

            “Kau pergi begitu saja? Kau mau membuat dirimu tampak bodoh lagi di depan pria brengsek itu?” kata Eden geram.

            Anna berhenti dan menyeka pipinya sebelum berbalik. “Kenapa kau membantuku lagi? Aku tak pernah memintanya, lagi pula kau sepertinya tak suka berurusan dengan orang sepertiku, yang sudah menuduhmu tanpa bukti.”

Eden mendengus. Jarak mereka terpisah lima langkah. “Memangnya harus ada alasan untuk membantu orang lain?” terang Eden santai. “Aku bisa membantumu lebih dari yang tadi,” lanjut Eden lagi. “Balas dendam mungkin?”

            Anna terdiam sejenak, memikirkan banyak pilihan yang muncul dari satu tawaran yang diberikan oleh pria yang tersenyum tipis di depannya kini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status