Share

3. CLUB

“Ya, aku bisa melihatmu.” Anna menutup panggilan dari Sherin. Dia melihat sebuah mobil SUV berwarna hitam mendekat. Gadis berambut panjang bergelombang di dalam mobil itu membuka kaca mobil. “Ayo,” katanya. Anna langsung masuk mobil ketika mobil sudah berhenti. 

            Mobil melaju membelah jalanan kota yang ditemani langit senja. Mereka tiba di sebuah club paling terkenal di kota, Channel A Bar and Club. Suasananya sangat ramai dan berisik. “Ingat! Tidak ada kata sedih. Kita di sini bersenang-senang. Oke?” Sherin kembali mengingatkan sebelum mereka melangkah masuk.

            Suara musik yang begitu keras langsung terdengar. Lampu yang redup dan berkilauan sudah menyadarkan Anna kalau mereka memang tengah berada di club.

“Ayo!” Sherin menarik lengan Anna ke tengah kerumunan, menari hingga puas melampiaskan semua rasa sakitnya lalu kembali ke meja. Mereka langsung menenggak segelas wiski lagi dalam sekali tegukan.

 “Oh ya, tadi seorang pria mengajakku berkenalan, kau mau minum bareng?” tanya Sherin semangat. Entah dari mana dia mendapatkan semangat seperti itu.

            Anna menggeleng-geleng sambil mengibas-ngibaskan tangan, tak tertarik. Pandangannya mulai kabur. Sepertinya dia mulai kehilangan kesadarannya perlahan. Dentuman musik luruh ke lantai, terabaikan. Kepalanya sudah terhuyung-huyung meskipun dia berusaha menopangnya dengan sebelah tangan. “Aku anggap kau setuju ya,” ungkap Sherin memutuskan sepihak. Dia segera bangkit. Berlari-lari kecil menemui kembali pria yang mengajaknya tadi.

            “Kau tidak mabukkan?” Bisikan Sherin kembali menyadarkan Anna setelah temannya itu kembali duduk di sampingnya. Anna melihat dua orang pria sudah duduk di depan mereka. Satu berpakaian formal mengenakan jas. Satu lagi berpakaian casual dengan balutan kemeja hitam berleher rendah.  Anna menyerngitkan kening mencoba memfokuskan penglihatannya. Dia melihat seorang pria yang tak asing. Matanya membesar. Anna menggosok-gosok matanya dengan tangan, memastikan penglihatannya tak salah. “Kau…”

            “Kalian saling kenal?” Sherin jauh lebih senang dibandingkan Anna karena dia tak perlu repot-repot untuk mengenalkan mereka.

“Tidak kenal!”

“Tentu!”

Anna dan Eden menjawab serentak dengan jawaban yang berbeda. Sontak Sherin tersenyum dalam diam. Kesempatan bagus untuk menggoda temannya itu lebih jauh.

“Kalau begitu kalian bisa mengobrol lebih lama,” ucap Sherin sambil bangkit dan mengajak pria lain yang bersama mereka. Sontak Anna menoleh pada Sherin. Bisa-bisanya temannya itu meninggalkan mereka berdua saja di sana. Sungguh Anna mengutuk Sherin dalam hati.

            Sebelum pergi, Sherin mendekatkan wajahnya pada telinga pria yang di kenal Anna itu. “Temanku ini agak kesepian, jadi perlakukan dia dengan baik, oke?” bisik Sherin sambil tersenyum picik kemudian berlalu. “Hei,” teriak Anna mengalahkan suara music club.

            “Sepertinya kau tak senang bertemu denganku,” kata Eden santai sambil bersandar dan melipat tangan di dada. Anna menoleh tapi tak berani menatap matanya karena bingung dan juga canggung. Terlebih kesadarannya sekarang sudah mulai menipis.

Anna kembali menenggak wiski di gelasnya. Tak tertarik dengan Eden yang terus menatapnya sedari tadi. “Apa?” Gertak Anna kemudian bangkit. Dia ingin pergi ke kamar mandi.

            “Sudah mau pergi?” tanya Eden terdengar seperti menggoda Anna. “Padahal aku mau mengajakmu ke hotel,” desisnya.

            “Apa?” Anna merasa geli lalu segera meninggalkan Eden di sana. “Dasar mesum!” gumam Anna pelan.

Tak lama setelah Anna menjauh, ponsel Eden bergetar di meja. Ia meraihnya. Panggilan tak terjawab dari Nyonya Arini. Tidak sekali tetapi lima kali. Wajar saja jika ia tak mendengar ponselnya yang berbunyi mengingat musik club yang begitu keras. Eden berdiri dan berjalan agak dekat dengan pintu keluar. Tempat dimana musik tak terdengar begitu keras. Dia menghubungi kembali Nyonya Arini. Jika tidak, bisa-bisa ibunya ngamuk lagi.

            “Hallo,” sapa Eden ramah. Sebelah tangannya terangkat menutup telinganya yang tak ditempeli ponsel.

            “Kenapa tak mengangkat panggilan ibu dari tadi?” teriak ibunya dari seberang sana. “Kau dimana? Berisik sekali.”

            “Club,” jawab Eden singkat. “Kenapa Ibu meneleponku?” tanya Eden tak berbasa-basi.

            “Oh ya, jangan datang malam ini ya, ibu dan ayahmu masih sibuk mengurus pekerjaan kantor. Aku takut nanti pulang kemalaman, datang besok pagi saja, kita sarapan bersama atau mungkin mengajaknya minum teh bersama,” terang ibunya.

            “Apanya? Aku tak pernah bilang mau datang.” Eden bingung dengan permintaan ibunya. Seingatnya dia tak membuat janji akan pulang ke rumah dengan Nyonya Arini atau pun Tuan Teddy.

            “Aku sudah mengundang gadismu ke rumah. Oh ya, sampaikan juga permintaan maaf ibu padanya karena menunda perjanjian awal, padahal ibu yang mengajaknya,” jelas ibunya lagi terdengar sedikit kecewa.

            “Apa? Ga-gadisku?” Eden semakin bingung. Kini dia keluar dari club agar bisa mendengar ibunya dengan jelas. Sekarang scenario apa lagi yang dilakukan oleh Nyonya Arini. Ibunya tak pernah kapok jika sudah menyangkut pernikahan Eden.

            “Apa maksud ibu? Gadis siapa?”

            “Gadis yang bersamamu di hotel kemarin.”

            “Hm? Siapa? Aku tak bersa…..” Kalimat Eden terpotong. Dia teringat kejadian kemarin. Jangan-jangan ibunya melihat Anna masuk ke mobilnya kemarin. Eden memijat-mijat pelipisnya. “Dia bukan gadisku, bu.” Eden berusaha menjelaskan agar ibunya tak terus salah paham.

            “Oh ya? Ibu lihat kemarin dia masuk ke mobilmu, tapi kenapa kau menurunkannya di tepi jalan? Ibu sampai melihatnya menangis kemarin.”

            “Ibu mengikutiku?” Eden semakin terkejut dengan ibunya yang terdengar seperti mengetahui persis kejadian kemarin.

            “Masalah itu tak terlalu penting, pastikan saja kau membawanya pulang besok pagi, akan ibu siapkan sarapan terbaik untuknya,” pinta ibunya. Kini suaranya terdengar lebih tegas dan serius.

            “Sepertinya ibu salah paham, aku tak bisa membawanya pulang, aku bahkan tak begitu mengenalnya,” tolak Eden masih tak terlalu peduli dengan permintaan ibunya. 

            “Begitukah? Baiklah, begini saja, kalau kau bisa membawanya pulang besok pagi, aku berjanji tak akan memaksamu untuk menikah lagi. Seperti yang kau inginkan, aku tak akan ikut campur lagi. Bagaimana?” Nyonya Arini memberi pilihan dari balik ponsel.

            Hening sejenak, tawaran ibunya terdengar begitu menarik. Ini juga kesempatan baginya agar bisa lepas dari ibunya, tapi ia tak bisa membawa Anna dengan mudah. Siapa yang mau diajak pulang oleh orang asing? Tidak ada yang mau kecuali dia sudah kehilangan akal sehat.

“Eden! Kau mendengarku?” Nyonya Arini memastikan kalau ia masih terhubung dengan putranya. “Bagaimana? Kalau kau tidak bisa, maka kau harus ikut kencan buta yang ibu atur lusa.”

“Ibu!” seru Eden spontan. Ibunya selalu melakukan hal-hal yang tak pernah disetujuinya. Dengan berat hati, akhirnya Eden menuruti kemauan ibunya. Setidaknya dia harus mencoba terlepas dari apa hasilnya nanti. “Baiklah. Pastikan saja ibu menepati janji ibu.” Eden memutus percakapan. Dia berjalan mondar-mandir di depan club. Memikirkan bagaimana caranya agar bisa membawa Anna pulang besok pagi.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status