“Ya, aku bisa melihatmu.” Anna menutup panggilan dari Sherin. Dia melihat sebuah mobil SUV berwarna hitam mendekat. Gadis berambut panjang bergelombang di dalam mobil itu membuka kaca mobil. “Ayo,” katanya. Anna langsung masuk mobil ketika mobil sudah berhenti.
Mobil melaju membelah jalanan kota yang ditemani langit senja. Mereka tiba di sebuah club paling terkenal di kota, Channel A Bar and Club. Suasananya sangat ramai dan berisik. “Ingat! Tidak ada kata sedih. Kita di sini bersenang-senang. Oke?” Sherin kembali mengingatkan sebelum mereka melangkah masuk.
Suara musik yang begitu keras langsung terdengar. Lampu yang redup dan berkilauan sudah menyadarkan Anna kalau mereka memang tengah berada di club.
“Ayo!” Sherin menarik lengan Anna ke tengah kerumunan, menari hingga puas melampiaskan semua rasa sakitnya lalu kembali ke meja. Mereka langsung menenggak segelas wiski lagi dalam sekali tegukan.
“Oh ya, tadi seorang pria mengajakku berkenalan, kau mau minum bareng?” tanya Sherin semangat. Entah dari mana dia mendapatkan semangat seperti itu.
Anna menggeleng-geleng sambil mengibas-ngibaskan tangan, tak tertarik. Pandangannya mulai kabur. Sepertinya dia mulai kehilangan kesadarannya perlahan. Dentuman musik luruh ke lantai, terabaikan. Kepalanya sudah terhuyung-huyung meskipun dia berusaha menopangnya dengan sebelah tangan. “Aku anggap kau setuju ya,” ungkap Sherin memutuskan sepihak. Dia segera bangkit. Berlari-lari kecil menemui kembali pria yang mengajaknya tadi.
“Kau tidak mabukkan?” Bisikan Sherin kembali menyadarkan Anna setelah temannya itu kembali duduk di sampingnya. Anna melihat dua orang pria sudah duduk di depan mereka. Satu berpakaian formal mengenakan jas. Satu lagi berpakaian casual dengan balutan kemeja hitam berleher rendah. Anna menyerngitkan kening mencoba memfokuskan penglihatannya. Dia melihat seorang pria yang tak asing. Matanya membesar. Anna menggosok-gosok matanya dengan tangan, memastikan penglihatannya tak salah. “Kau…”
“Kalian saling kenal?” Sherin jauh lebih senang dibandingkan Anna karena dia tak perlu repot-repot untuk mengenalkan mereka.
“Tidak kenal!”
“Tentu!”
Anna dan Eden menjawab serentak dengan jawaban yang berbeda. Sontak Sherin tersenyum dalam diam. Kesempatan bagus untuk menggoda temannya itu lebih jauh.
“Kalau begitu kalian bisa mengobrol lebih lama,” ucap Sherin sambil bangkit dan mengajak pria lain yang bersama mereka. Sontak Anna menoleh pada Sherin. Bisa-bisanya temannya itu meninggalkan mereka berdua saja di sana. Sungguh Anna mengutuk Sherin dalam hati.
Sebelum pergi, Sherin mendekatkan wajahnya pada telinga pria yang di kenal Anna itu. “Temanku ini agak kesepian, jadi perlakukan dia dengan baik, oke?” bisik Sherin sambil tersenyum picik kemudian berlalu. “Hei,” teriak Anna mengalahkan suara music club.
“Sepertinya kau tak senang bertemu denganku,” kata Eden santai sambil bersandar dan melipat tangan di dada. Anna menoleh tapi tak berani menatap matanya karena bingung dan juga canggung. Terlebih kesadarannya sekarang sudah mulai menipis.
Anna kembali menenggak wiski di gelasnya. Tak tertarik dengan Eden yang terus menatapnya sedari tadi. “Apa?” Gertak Anna kemudian bangkit. Dia ingin pergi ke kamar mandi.
“Sudah mau pergi?” tanya Eden terdengar seperti menggoda Anna. “Padahal aku mau mengajakmu ke hotel,” desisnya.
“Apa?” Anna merasa geli lalu segera meninggalkan Eden di sana. “Dasar mesum!” gumam Anna pelan.
Tak lama setelah Anna menjauh, ponsel Eden bergetar di meja. Ia meraihnya. Panggilan tak terjawab dari Nyonya Arini. Tidak sekali tetapi lima kali. Wajar saja jika ia tak mendengar ponselnya yang berbunyi mengingat musik club yang begitu keras. Eden berdiri dan berjalan agak dekat dengan pintu keluar. Tempat dimana musik tak terdengar begitu keras. Dia menghubungi kembali Nyonya Arini. Jika tidak, bisa-bisa ibunya ngamuk lagi.
“Hallo,” sapa Eden ramah. Sebelah tangannya terangkat menutup telinganya yang tak ditempeli ponsel.
“Kenapa tak mengangkat panggilan ibu dari tadi?” teriak ibunya dari seberang sana. “Kau dimana? Berisik sekali.”
“Club,” jawab Eden singkat. “Kenapa Ibu meneleponku?” tanya Eden tak berbasa-basi.
“Oh ya, jangan datang malam ini ya, ibu dan ayahmu masih sibuk mengurus pekerjaan kantor. Aku takut nanti pulang kemalaman, datang besok pagi saja, kita sarapan bersama atau mungkin mengajaknya minum teh bersama,” terang ibunya.
“Apanya? Aku tak pernah bilang mau datang.” Eden bingung dengan permintaan ibunya. Seingatnya dia tak membuat janji akan pulang ke rumah dengan Nyonya Arini atau pun Tuan Teddy.
“Aku sudah mengundang gadismu ke rumah. Oh ya, sampaikan juga permintaan maaf ibu padanya karena menunda perjanjian awal, padahal ibu yang mengajaknya,” jelas ibunya lagi terdengar sedikit kecewa.
“Apa? Ga-gadisku?” Eden semakin bingung. Kini dia keluar dari club agar bisa mendengar ibunya dengan jelas. Sekarang scenario apa lagi yang dilakukan oleh Nyonya Arini. Ibunya tak pernah kapok jika sudah menyangkut pernikahan Eden.
“Apa maksud ibu? Gadis siapa?”
“Gadis yang bersamamu di hotel kemarin.”
“Hm? Siapa? Aku tak bersa…..” Kalimat Eden terpotong. Dia teringat kejadian kemarin. Jangan-jangan ibunya melihat Anna masuk ke mobilnya kemarin. Eden memijat-mijat pelipisnya. “Dia bukan gadisku, bu.” Eden berusaha menjelaskan agar ibunya tak terus salah paham.
“Oh ya? Ibu lihat kemarin dia masuk ke mobilmu, tapi kenapa kau menurunkannya di tepi jalan? Ibu sampai melihatnya menangis kemarin.”
“Ibu mengikutiku?” Eden semakin terkejut dengan ibunya yang terdengar seperti mengetahui persis kejadian kemarin.
“Masalah itu tak terlalu penting, pastikan saja kau membawanya pulang besok pagi, akan ibu siapkan sarapan terbaik untuknya,” pinta ibunya. Kini suaranya terdengar lebih tegas dan serius.
“Sepertinya ibu salah paham, aku tak bisa membawanya pulang, aku bahkan tak begitu mengenalnya,” tolak Eden masih tak terlalu peduli dengan permintaan ibunya.
“Begitukah? Baiklah, begini saja, kalau kau bisa membawanya pulang besok pagi, aku berjanji tak akan memaksamu untuk menikah lagi. Seperti yang kau inginkan, aku tak akan ikut campur lagi. Bagaimana?” Nyonya Arini memberi pilihan dari balik ponsel.
Hening sejenak, tawaran ibunya terdengar begitu menarik. Ini juga kesempatan baginya agar bisa lepas dari ibunya, tapi ia tak bisa membawa Anna dengan mudah. Siapa yang mau diajak pulang oleh orang asing? Tidak ada yang mau kecuali dia sudah kehilangan akal sehat.
“Eden! Kau mendengarku?” Nyonya Arini memastikan kalau ia masih terhubung dengan putranya. “Bagaimana? Kalau kau tidak bisa, maka kau harus ikut kencan buta yang ibu atur lusa.”
“Ibu!” seru Eden spontan. Ibunya selalu melakukan hal-hal yang tak pernah disetujuinya. Dengan berat hati, akhirnya Eden menuruti kemauan ibunya. Setidaknya dia harus mencoba terlepas dari apa hasilnya nanti. “Baiklah. Pastikan saja ibu menepati janji ibu.” Eden memutus percakapan. Dia berjalan mondar-mandir di depan club. Memikirkan bagaimana caranya agar bisa membawa Anna pulang besok pagi.
****
Langkah Anna terhuyung-huyung ketika berjalan menuju kamar mandi dengan sebelah tangan memegangi kepala. Sesekali dia mengerjap. Mencoba kembali tersadar. Tetapi keseimbangannya hilang ketika tak sengaja menubruk punggung seseorang di depannya. Kakinya tak lagi kuat menahan tubuhnya hingga badannya terjatuh dan terhempas ke lantai. Anna terduduk di lantai dengan rambut berantakan menutupi wajah. “Maaf, kamu tidak apa-apa?” Pria yang ditabrak Anna tadi membantunya kembali berdiri. Bukannya berterima kasih, tetapi Anna malah menatap pria yang menolongnya itu dengan tatapan tak suka. Tak ingin terlibat lagi dengan pria itu, Anna memilih untuk berbalik. “Anna?” Kevin memanggilnya pelan. Dari semua tempat, kenapa mereka harus bertemu di sini. “Apa yang kau lakukan di sini? Tidak seperti biasanya. Bukannya kau tak suka dengan tempat-tempat seperti ini? Jangan bilang kau sampai harus datang ke sini karena tak bisa melupakanku?” Kevin menaruh curiga pada An
Anna terkekeh pelan. “Balas dendam?” Anna berhenti tertawa, sedetik kemudian wajahnya kembali serius. Dia memang terluka, tapi tak pernah terpikirkan untuk balas dendam. Anna lebih memilih untuk melepaskan Kevin sepenuhnya dan tak berurusan lagi dengannya.“Sudahlah, aku tak tertarik untuk balas dendam seperti yang kau katakan. Mengurus hidupku saja sudah sangat sulit, terlalu melelahkan jika harus memikirkan orang lain juga. Untuk kali ini, aku akan berterima kasih atas bantuanmu tadi dengan tulus. Aku tak mau lagi dicap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun. Kalau begitu, aku pamit dulu.” Anna membungkukkan badannya sembilan puluh derajat kemudian berbalik, berjalan mengabaikan Eden.Eden mengeluh dalam hati. Keras kepala sekali gadis ini. Eden melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, sudah pukul satu malam. Hanya beberapa jam sebelum matahari terbit.Eden menyusul Anna yang sudah agak jauh. “Dengarkan aku dulu,” dia menahan lengan Anna. “Begini…”
“Apa yang kau lakukan?” seru Anna lagi sambil menutupi badan Eden dengan jas yang menutupinya tadi. Sontak Anna langsung menyilangkan tangan di dada dan menatap Eden dengan tajam.Eden menunduk menatap dadanya dengan polos kemudian ikut menyilangkan kedua tangan di dada. “Ini karena kau muntah di bajuku.” Eden membela diri.“Apa? Muntah? Aku?” Anna menjadi serba salah, tapi dia tak ingat.Anna melirik Eden sebentar kemudian segera keluar dari mobil. Bagaimanapun permintaan Eden untuk menemui orang tuanya cukup mendadak. Setidaknya dia ingat akan perjanjian tak tertulis mereka semalam.Sontak Eden menjadi panik. Waktu mereka semakin menipis. Dia hanya punya waktu kurang dari satu jam lagi untuk sampai ke rumah orang tuanya. Anna berjalan cepat dengan bertelanjang kaki. Eden pun langsung keluar mobil. Mengejar Anna. Tetapi dia berhenti ketika menyadari badannya yang tak pakai apapun.“Astaga,” gumamnya sambil melirik badan polosnya. “Hei! Kau mau kemana?” Eden kembali ke mob
Suara burung pagi menyapa tak lagi terdengar. Bahkan suara anak-anak yang hendak berangkat ke sekolah yang melewati mereka luruh ke tanah. Mereka terdiam sejenak dengan mata yang saling bertatap tatapan. Namun, tak ada reaksi apapun setelahnya hingga Anna mengalihkan pandangannya. Pertanyaan Eden sangat tiba-tiba dan terkesan blak-blakan. “Apa? Tentu saja tidak,” tolak Anna mentah-mentah.“Makanya itu, buat apa kau memikirkan tanggapan dari orang tuaku nanti,” jelas Eden. “Tapi….” Anna masih beralasan. Dengan sekuat tenaga Eden menarik Anna masuk ke dalam rumah. Kenop pintu di putar. Pintu terbuka. “Ganti dengan ini!” Eden menyodorkan sepasang sandal rumah berwarna abu-abu pada Anna.“Astaga,” seru Anna. Dia membelalak ketika melihat kakinya yang kotor. Dia lupa membersihkannya dengan tisu basah tadi. “Pakai saja,” kata Eden tak peduli. Dia menyarungkan sandal ke kakinya.Anna menahan lengan Eden. “Kenapa lagi?” tanya Eden.“Pinjam kunci mobilmu,
Anna menyelam di tengah gelapnya kamar. Sherin masih belum pulang karena masih pukul delapan malam. Mungkin jam segini masih siang padanya. Gadis yang belum berganti pakaian semenjak siang tadi merebahkan badannya di ranjang. Terlalu malas untuk berjalan ke arah pintu untuk menghidupkan lampu. Berbagai pikiran menjalari benaknya. Langit langit kamar sunyi. Hanya sayub-sayub klakson mobil di jalan bawah sana yang menyelinap masuk. Anna mendesah lantas mengangkat sebelah tangan menutupi wajah. Apakah keputusannya sekarang sudah benar. Jawaban Eden atas pertanyaannya cukup untuk mengoyak hati Anna yang sudah terluka. “Tapi bagaimana jika mereka benar-benar ingin kita menikah?” Anna bertanya setengah panik. Eden terkekeh pelan. “Tidak semua pasangan yang berkencan berakhir dengan pernikahan. Jangan bilang kalau selama ini kau berpikiran seperti itu?” Eden melirik Anna yang menatap lurus ke depan. “Apa kau juga mengharapkan sebuah pernikahan
“Bagaimana kau bisa menemukanku di sini?” Anna dan Eden berbicara empat mata di tempat duduk yang sama. Sementara Sherin sudah tertidur di meja. Baiklah. Anna akan menggendongnya nanti.“Lagi-lagi kau menatapku dengan tatapan penuh curiga seperti itu,” jawab Eden dengan setengah hati.Eden meletakkan sebuah dompet berwarna hitam di atas meja. “Aku ingin menyerahkan ini padamu.”Sontak Anna langsung meraih dompetnya di atas meja dengan mata berbinar. Padahal dia sudah hampir menyerah saat mencari dompetnya sesaat akan keluar rumah tadi. Dia mungkin akan melapor ke polisi jika besok dia tidak kunjung menemukan dompetnya itu.“Syukurlah kau menemukannya,” ungkapnya sambil tersenyum lega pada Eden. “Terima kasih,” lanjutnya lagi.“Kenapa harus repot-repot jauh mengantar ke sini. Kau bisa telfon saja jadi aku akan menjemputnya besok.”Kali ini Eden meletakkan ponselnya di atas meja. “Bagaimana aku bisa menghubungimu jika nomormu saja tidak punya,” celetuk Eden lagi.Ah, betul juga. Pertemu
“Jadi dia – ?” mata Anna bergantian menatap layar ponsel kemudian beralih menatap Sherin. “Tapi dia tidak tampak seperti itu,” lanjut Anna menolak menerima isi dari berita itu. Sherin mengedikkan bahu tak yakin. “Kita memang tidak ada yang tau dalamnya seseorang seperti apa, kan? bisa jadi dia memang pandai menyembunyikan jadi dirinya selama ini. Kau bisa baca juga isi artikel lain yang terkait. Keluarga mereka keluarga terpandang. Seluruh keluarga bekerja di bidang kesehatan. Ibunya Kepala Yayasan pusat rehabilitasi, kakeknya juga Direktur Rumah Sakit besar bahkan kini ayahnya menjadi dosen ahli saraf. Dan dia juga seorang dokter kecantikan. Jadi wajar saja jika dia terkena isu isu miring seperti itu. Ya, bisa jadi juga karena dia tidak pernah terlibat dengan seorang wanita dengan wajah setampan itu. Bukankah itu agak aneh?” Sherin masih asik menyuap nasi goreng buatan Anna. “Tapi – “ “Lagi pula apa hubungannya denganmu jika dia memang gay atau buk
Hari ini Anna mendapatkan tugas mengawasi salah satu gerai pakaian bermerek. Biasanya dia mendapatkan tugas di bagian perhiasan. Hanya saja kali ini dia mendapatkan jadwal rolling. Jabatannya yang hanya sebagai staff biasa, jadi dia tak punya hak untuk membantah. Intinya dia hanya bawahan dari bawahan yang berada di atasnya. Sialnya dia tak beruntung hari itu. Dia justru bertemu salah satu teman sekolahnya dulu yang paling di bencinya. Bukannya benci, dia terlalu tidak suka dengan teman yang suka pamer dan merendahkan. Terlebih temannya itu baru saja menikah dengan salah seorang pengusaha tajir. Tentu saja tingkat kesombongan meningkat hinga level tertinggi. “Oh my god, lihat siapa yang kutemui,” sapa Olive ketika melihat Anna berjaga di dekat kasir. Gayanya sudah seperti artis papan atas lengkap dengan tas jinjing bermerek. “Bukankah ini Anna? Yang katanya akan menikah tapi tak jadi?” sindirnya dengan nada suara yang keras. Anna hanya bisa tersenyum manis deng
Anna berkomat-kamit sendiri sambil memikirkan apa yang harus dilakukannya. Matanya membesar ketika melihat Eden hendak kembali ke meja, jadi dia bisa segera mengajak Eden beranjak dari sana. Tangan Anna terangkat hendak memanggil, namun senyumnya seketika luntur. Eden justru malah membalas sapaan orang lain. Anna berbalik. Matanya kembali membesar. Eden membalas sapaan seorang pria berusia sekitar tiga puluhan dan pria itu bersama orang yang ingin dihindari oleh Anna tadi. Ya, Oliv. Siapa lagi yang ingin dihindari Anna jikan bukan gadis itu. Tapi Anna menjadi bertanya-tanya apa yang dilakukan Olie dan suaminya di sini? Anna kembali duduk sambil menunduk. Mengeluarkan ponsel lalu pura-pura sibuk mengirim pesan ataupun menelepon seseorang. Tidak lama dia melakukan hal itu, dia kembali bangkit dan beranjak menuju meja lain yang agak jauh dari tempat Eden dan teman-temannya itu. Untuk sementara Anna menyimpulkan beberapa pria yang tampak lebih tua dari kekasihnya itu adalah te
“Kali ini pernikahan temanmu yang mana?” Anna kembali bertanya ketika mereka berada di dalam mobil, menuju gedung pernikahan teman Eden. Pria itu juga sudah mengganti pakaian, dia tampak gagah dengan balutan jas hitam dan potongan rambut dengan model comma style. Gaya rambut yang paling cocok dengan potongan wajah asianya yang khas. “Ada tapi kau tidak kenal.” Eden menjawab singkat. Kali ini suaranya terdengar lebih lembut. Tapi jawaban singkat Eden membuat Anna menjadi bertanya-tanya. Dia tak mengenal Eden. Banyak hal yang tak diketahuinya tentang pria yang tengah mengemudi di sampingnya itu. Beda halnya dengan pria itu yang hampir mengetahui segala tentangnya. Termasuk apa yang berkelibat di kepalanya kini. Lihatlah kini Eden tengah mencuri-curi pandang padanya. Eden melirik Anna, gadis itu terdiam tak lagi bertanya. Tapi justru membuat Eden menjadi tak enak karena sudah menjawab singkat. Dia berdeham sekali mengusir keheningan.“Dia salah satu kenalanku sewa
Kata orang, tiada pertemuan yang tak memiliki arti. Tiada pertemuan yang menjadi sebuah kebetulan karena sejatinya sudah ada yang mengatur dan sudah menjadi rencana alam. Ada orang yang percaya jika bertemu dengan orang asing sebanyak tiga kali dalam waktu berdekatan yang sering kali dikatakan berjodoh. Ada pula orang yang bertemu lebih dari itu dan hubungan mereka tetaplah orang asing. Bagaimana dengan orang asing yang tiba-tiba membantu kita untuk menyebrang di tengah jalan? Lalu dengan orang yang tak sengaja bertemu ketika sama-sama membeli daging ayam di supermarket atau mungkin orang yang tak sengaja tersenyum ketika berpapasan saat menyebrangi lampu merah? Keesokannya kita masih bertemu dan bertemu, namun hubungannya tidak lebih dari sebatas kenalan biasa. Kalian tahu? Terlalu banyak faktor yang harus dipertimbangkan untuk mengatakan jikalau sebuah pertemuan itu adalah kebetulan. Pertemuan Anna dan Eden mungkin bisa dikatakan sebagai sebuah kebetulan. Anggap saja ibu
“Kau?” Jari telunjuk Anna spontan terangkat, menunjuk lurus ke arah pria yang mengenakan kemeja dengan potongan leher rendah di salah satu meja café.Pria yang di tunjuk itu menunjukkan seulas senyum yang menampakkan deretan giginya yang putih.“Apa yang kau lakukan di sini?”“Masa muda yang mana yang kau rindukan?” Zeno kembali mengingatkan celoteh Anna beberapa menit yang lalu tepat setelah dua anak sekolah meninggalkan café.Anna berdecak kesal dan sedikit frustasi. “Seingatku aku sudah memberitahumu kalau aku tidak mau bertemu denganmu lagi bukan? Kenapa kau datang lagi ke sini, huh? Seharusnya kau sudah berada di Swiss sekarang?”Zeno mendengus. Dia tidak lupa dengan perkataan Anna. Lebih tepatnya ancaman Anna. Karena ucapan Anna waktu itu penuh tekanan.“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, tapi rasanya tidak enak jika melalui telfon. Makanya aku mengajakmu bertemu. Sebentar saja.”Anna menghubungi Zeno kembali setelah pertemuan mereka siang itu di café milik Anna setelah Oliv m
Sinar matahari menyelinap masuk melewati celah celah ventilasi.“Kau mau aku buatkan sarapan dulu?” tanya Sherin berbasa-basi. Dia tengah memanggang beberapa toast di dapur.“Tidak usah,” jawab Anna sambil sibuk mengemasi barangnya yang berserakan di ruang tengah semalam.“Setidaknya minumlah ini,” sahut Sherin lagi sambil menyerahkan segelas jus apel di atas meja makan. “Supaya pencernaanmu lancar,”Gadis yang mengenakan skirt sebatis itu menurut. Dia berjalan menghampiri meja dan meminum jus buatan Sherin. “Terima kasih jusnya, aku merasa segar.”Sherin hanya tersenyum hangat sebagai balasan atasan pujian Anna. “Hubungi aku jika terjadi sesuatu! Jangan tiba-tiba pulang sambil nangis dan berantakan kayak semalam. Kau mengerti kan?”“Astaga! Kau mulai lagi, baiklah aku mengerti.” Anna sudah maklum dengan omelan sahabatnya itu. Dia tau kalau Sherin khawatir dan dia tidak boleh membuat sahabat satu-satunya itu diselimuti rasa kekhawatiran yang tak jelas. “Aku berangkat dulu, sampai jump
“Siapa yang cemburu?” Eden menjadi salah tingkah. Dia mengusap rambutnya ke belakang dengan kedua tangan.“Lalu mengapa sikapmu yang berlebih seperti ini?”“Aku tidak berlebihan, hanya saja merasa kesal setelah melihatmu kembali bersikap bodoh saat di depan pria brengsek itu. Berapa kali harus kubilang, huh? Dia bukan pria baik-baik. Tidak cukup mempermalukanmu sekali waktu itu di café, sekarang kau ingin membiarkannya melakukannya lagi?”Anna menghela nafas panjang. Disatu sisi, dia merasa wajar melihat Eden murka dan juga geram melihat gadis bodoh yang terlalu mudah termakan omoongan manis dari cinta pertamanya. Dia menatap Eden lamat-lamat dengan mulut terkunci.“Berhentilah menatapku seperti itu.” Eden kembali mengingatkan Anna yang terdiam memperhatikannya untuk beberapa menit. Mereka duduk berhadapan yang dipisahkan oleh meja kecil yang di penuhi oleh kepulan asap sup yang baru saja tiba. “Aku tidak melihatmu.” Anna langsung mengalihkan pandangannya. “Pokoknya, urusa
Terik matahari di luar ikut masuk menyelinap ke dalam hatinya yang terasa panas dan sesak sedari tadi. Semalam dia sudah menerima tawaran Oliv untuk bertemu pria yang paling ingin dihindarinya. Entah apa yang dipikirkannya semalam saat menerima tawaran semalam, alhasil kini hatinya penuh gejolak. Setengah karena rasa penasaran, setengah lagi penuh dengan rasa sakit.Anna hendak berganti pakaian karena sudah jamnya untuk pulang. Eh, tidak. Dia harus menemui Zeno sore itu di tempat kerjanya pula. Anna melirik jam dinding. Seharusnya dia sudah berada di sini. “Kau menungguku?” Suara itu membuat Anna menoleh. Ya. Itu Zeno. Orang yang di tunggunya sudah tiba. Tampak jelas perasaan cemas terpampang jelas di wajah Anna, tapi dia masih berusaha menyunggingkan seulas senyumnya, takut membuat Zeno merasa tidak nyaman. Ah, sial. Anna mengutuk dirinya dalam hati karena masih saja mencemaskan pria itu. Mereka duduk di salah satu meja café. Anna memesankan pesanan sembarang
Anna menoleh. Sepasang matanya memindai penampilan Eden yang begitu kacaud an berantakan. Malam itu pertama kalinya Anna melihat sisi itu dari Eden. Seberapa kacau pikirannya sampai seperti ini, pikir Anna dalam hati. Dia kembali menatap Eden yang berbaring dengan mata terpejam.Anna mengambil selimut hendak menutupi tubuh Eden. Namun gerak tangannya terhenti ketika suara serak Eden mengatakan sesuatu dengan pelan. “Aku merasa bersalah.” Eden bergumam pelan. “Maafkan aku,” lanjutnya lagi. “Untuk apa?” Anna duduk di lantai, di sisi sofa tempat Eden berbaring. Dia membiarkan tangan Eden yang memegang ujung lengan bajunya. “Semuanya.” Eden menghela nafas. “Aku benar-benar minta maaf.” Anna melepaskan tangan Eden. “Aku tidak bisa menerima permintaan maafmu.” Anna malah menjawab perkataan Eden dengan tenang. Bukannya karena kesal atau marah pada pria itu, tapi karena Anna juga merasa bersalah pada Eden. Hanya saja dia tidak menampakkannya sam
Eden hanya bisa menatap punggung Anna saat berjalan menjauh. Ingin hatinya untuk segera berlari untuk mengejar gadis itu, namun langkah kakinya terasa berat. Ada perasaan semacam tak pantas yang terbersit di hatinya saat itu. Setelah semua yang telah dilakukannya pada Anna. Anna belum mabuk saat meninggalkan meja, Eden hanya berharap kekhawatirannya akan sia-sia karena Anna pasti bisa pulang dengan selamat. Toh tempat mereka minum tidak jauh dari apartemen milik Anna. Botol terakhir telah kosong. Kepalanya mulai terasa berat. Namun dia merasa masih belum mabuk. Eden ingin sekali mabuk setidaknya beban pikirannya akan hilang walau hanya semalam. Eden meninggalkan beberapa lembar uang kertas di meja lantas mulai berjalan gontai keluar. Pijakannya tidak pasti dan sedikit terhuyung huyung, tapi badannya masih bisa berdiri dan berjalan menuju minimarket terdekat. Salah seorang pelayan toko memberinya sebotol obat pengar agar dirinya bisa sege