Dulu Eden mempunyai pemikiran yang sama dengan Anna. Memikirkan akan hidup bersama orang yang dicintainya saja sudah cukup untuk membuatnya merona. Tapi itu dulu. Tiba-tiba saja kenangan lima tahun lalu kembali melintas di benak Eden. Seolah kejadian itu baru terjadi kemarin. Waktu itu Eden menuruti kemauan ibunya untuk mengikuti kencan buta untuk pertama kalinya. Pertemuan pertama dengan gadis yang dipilih ibunya tidaklah buruk. Saat itu, Eden merasa beruntung dipertemukan dengan gadis cantik bernama Evelyn Lee. Sama seperti namanya, gadis itu berparas cantik, kulit putih, tinggi dan pekerjaan yang mumpuni yaitu menjadi seorang psikiater. Dia juga berasal dari keluarga yang setara dengan Eden. Dia langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Suaranya, senyumnya, semuanya. Saat pertemuan pertama, Eden tak banyak bicara karena ia tak terlalu pandai menunjukkan perasaan.“Aku dengar kau dokter kecantikan terkenal di kota, itu mengagumkan,” puji Evelyn memulai topik pembicaraan. Mereka b
Tangan Anna selalu sibuk setiap pagi seperti biasanya. Jari jemarinya bergerak cepat mengulir layar ponselnya untuk memeriksa jadwal kerjanya. Dia termasuk orang yang pelupa jika tidak menggunakan pengingat, jadi dia harus membuat jadwal sedemikian rupa jika tak ingin dipecat dari pekerjaannya yang sekarang. Dia sangat tahu kalau mencari pekerjaan di tengah kota Jakarta sangatlah susah. Ibarat mencari jarum dalam jerami. Mata Anna membelalak ketika membaca salah satu jadwalnya. Nanti malam di sebuah gedung opera, pukul enam sore dia akan menghadiri resital pianis terkenal dari negara ginseng merah, Korea Selatan – Hwang Jun. Namanya sudah berlalu lalang di televisi dan selalu menjadi topik utama di majalah ternama. Pianis muda yang mendapatkan penghargaan kelas dunia. Hobi Anna memang tidak bisa dikatakan murah. Dia harus menabung berbulan-bulan sebelum berhasil mendapatkan tiket yang sulitnya minta ampun karena selalu habis dalam sepersekian detik.
Mereka tiba di gedung opera. Eden berjalan lebih dulu dan Anna mengikutinya di belakang. Anna tak bisa menutup mulutnya yang ternganga saking kagumnya ketika melihat betapa megahnya gedung yang dipijakinya kini. “Tidak bisakah kau menutup mulut? Lalat besar bisa saja masuk kesana lalu membuat rumah di dalamnya,” ledek Eden ketika mereka tiba di depan lift. Dia melihat Anna yang tertinggal beberapa langkah darinya.Anna tertegun. Dia segera menutup mulut dan menyusul Eden di depan. “Kau pasti sering ke sini ya?” tebak Anna karena Eden terlihat santai saja ketika memasuki gedung. Tak seperti dirinya yang terlihat sangat kampungan. Tak bisa dipungkiri, itu memang pertama kalinya bagi Anna. Jadi wajar saja dia begitu takjub.Mereka duduk di bangku yang paling tengah. Tempat duduk yang sangat strategis sehingga bisa menyaksikan sang pianis dengan jelas. Anna tampak sangat bersemangat dan antusias ketika lampu mulai dimatikan. Sebentar lagi pertunjukan akan di mulai. Eden pun melirik Anna d
“Maafkan aku," kata Anna menyudahi tangis sambil membuang ingus pada sapu tangan milik Eden tadi."Kau tak perlu minta maaf, toh tidak ada yang harus di maafkan. Menangis bukanlah suatu kejahatan." Eden menaruh pandangan pada Anna yang masih sibuk membersihkan wajahnya."Aku menangis karena musik Hwang Jun, bukan karena pria itu," tegas Anna pelan. Tak ingin disalah pahami bahwa dia sudah usai dengan Kevin dan tak ada yang perlu ditangisi lagi tentangnya. Setidaknya itu yang diinginkannya.Eden mengulum senyum. Tiba-tiba saja sikap Anna menjadi lucu di matanya. “Aku tidak mengatakan apa pun, jadi ya..” kalimat Eden terhenti dengan bahu terangkat. “Kau bisa menangis sepuasnya,” tutupnya sambil memalingkan pandangan. “Aku akan pura-pura tida melihatnya.”Anna mengusap wajah dengan kedua tangan kemudian merapikan poninya yang berantakan. Sapu tangan tadi di simpannya di dalam tas. “Ini akan ku kembalikan besok,” tukasnya masih sambil mematut-matut wajahnya pada kaca kecil yang menggantun
Anna kembali ditugaskan dibagian pakaian wanita. Dia berdiri di dekat kasir sembari menunggu pelanggan berbelanja. Lelah? Iya. Tapi dia sudah terbiasa karena pekerjaannya memang tidak pernah duduk. Terkadang dia harus berlari kesana kemari, belum lagi naik turun tangga. “Permisi,” seorang pelanggan menepuk pundak Anna dari belakang. Anna berbalik dan mendapati seorang gadis yang seumuran dengannya tengah tersenyum manja. “Ada yang bisa saya bantu?” Anna menawarkan diri dengan ramah – lebih tepatnya berpura-pura ramah. “Nanti malam, kita ada reunian. Aku harap kau bisa datang,” pinta Olive. “Banyak dari yang lain menanyakan kabarmu karena aku bilang bertemu denganmu kemarin, jadi mereka meminta agar kau datang,” Anna menghela napas. “Aku tak bisa. Kau tak lihat aku sibuk untuk menghasilkan uang?” kata Anna kembali berbalik badan membelakangi Olive. “Aku sudah mengirimkan alamatnya. Pastikan saja kalau kau datang. Aku dengar Zeno juga datang,” bisik O
Semua mata masih tertuju pada pria bertubuh tinggi dengan mata sipitnya itu. Sontak Anna langsung berdiri dari kursi, membiarkan Eden terus menggenggam tangannya. Matanya melotot pada Eden menuntut sebuah jawaban. Seingatnya dia tak pernah menyebutkan tempat pertemuan reuninya saat berbicara ditelfon tadi. Tapi bagaimana pria itu bisa menemukannya di sana? Pada waktu yang tepat pula. “Apa aku terlambat, sayang?” tanya Eden pelan. “Ti-tidak juga, tapi bagaimana kau bisa ada di sini?” “Astaga!” Telunjuk Eden merapikan ujung poni Anna ke belakang telinga yang membuat Anna langsung menutup mata untuk sepersekian detik. “Kau lupa kalau memintaku pergi bersama tapi malah pergi sendirian lebih dulu?” Eden melemparkan tawa pelan yang terkesan agak dipaksakan. “Aku?” Anna balik bertanya dengan suara yang dikecilkan, telunjuk Anna terangkat menunjuk dirinya. “Kau kekasih Anna?” Olive bertanya memecah pusat perhatian semua orang. Termas
Pukul sembilan pagi. “Kau tidak sarapan dulu?” ajak Sherin dari meja mini bar di dapur. Dia tengah menyantap roti bakar sambil melihat Anna yang sibuk sedari tadi. “Tidak usah, ini salahmu! Aku tidak punya waktu untuk sarapan karena kau tidak membangunkanku,” rengek Anna karena dia sudah terlambat. Huft. Dia kesulitan memakai sepatu sneakers yang akan dia pakai untuk berlari setelah ini. “Kenapa menjadi salahku? Tentu salahmu, kau sendiri yang tidak meninggalkan pesan padaku sebelum tidur,” balas Sherin sewot. Dia tak terima disalahkan begitu saja. “Lagi pula tingkahmu memang sudah aneh sejak semalam. Jadi wajar saja kau terlambat pagi ini,” “Ah, sudahlah. Aku berangkat dulu,” ucap Anna langsung meluncur keluar dari apartement mereka. Secepat kilat dia berlari. Terpaksa kali ini menggunakan taksi untuk menghemat waktu. Lebih baik daripada dia harus kehilangan pekerjaan. Anna memijat-mijat kakinya di ruang ganti ketika jam istirahat. Har
Anna tampil cantik mengenakan dress sebatis berwarna kuning. Dia menunjukkan beberapa pose andalannya. Tapi…. “Ganti,” kata Eden singkat. Dia duduk di sofa empuk sembari menunggu Anna keluar dari ruang ganti. Dia memberi isyarat pada pelayan toko untuk memberikan sepasang baju lain. Anna memanyunkan bibir. Padahal dia cukup suka dengan dress yang melekat di badannya kini. Dia kembali memasuki ruang ganti di belakang. Tidak lama. Tirai ruang ganti kembali dibuka. Anna keluar dengan blouse berwarna pastel cerah dengan rok kembang. Dia kembali berpose sambil tersenyum. Tetapi Eden tampak tak suka. “Ganti,” katanya lagi. Raut wajah Anna berubah datar dan berjalan kembali memasuki ruang ganti sambil menghentakkan kaki. Ini sudah pakaian yang ke-tujuh. Dia tak mengerti dengan selera Eden. Dia bilang ingin membantu Anna balas dendam. Tapi sepertinya Edenlah yang balas dendam padanya. Terlepas dari apapun salahnya.Kali ini Anna keluar dengan balutan terusan sebatis be