Pukul sembilan pagi. “Kau tidak sarapan dulu?” ajak Sherin dari meja mini bar di dapur. Dia tengah menyantap roti bakar sambil melihat Anna yang sibuk sedari tadi. “Tidak usah, ini salahmu! Aku tidak punya waktu untuk sarapan karena kau tidak membangunkanku,” rengek Anna karena dia sudah terlambat. Huft. Dia kesulitan memakai sepatu sneakers yang akan dia pakai untuk berlari setelah ini. “Kenapa menjadi salahku? Tentu salahmu, kau sendiri yang tidak meninggalkan pesan padaku sebelum tidur,” balas Sherin sewot. Dia tak terima disalahkan begitu saja. “Lagi pula tingkahmu memang sudah aneh sejak semalam. Jadi wajar saja kau terlambat pagi ini,” “Ah, sudahlah. Aku berangkat dulu,” ucap Anna langsung meluncur keluar dari apartement mereka. Secepat kilat dia berlari. Terpaksa kali ini menggunakan taksi untuk menghemat waktu. Lebih baik daripada dia harus kehilangan pekerjaan. Anna memijat-mijat kakinya di ruang ganti ketika jam istirahat. Har
Anna tampil cantik mengenakan dress sebatis berwarna kuning. Dia menunjukkan beberapa pose andalannya. Tapi…. “Ganti,” kata Eden singkat. Dia duduk di sofa empuk sembari menunggu Anna keluar dari ruang ganti. Dia memberi isyarat pada pelayan toko untuk memberikan sepasang baju lain. Anna memanyunkan bibir. Padahal dia cukup suka dengan dress yang melekat di badannya kini. Dia kembali memasuki ruang ganti di belakang. Tidak lama. Tirai ruang ganti kembali dibuka. Anna keluar dengan blouse berwarna pastel cerah dengan rok kembang. Dia kembali berpose sambil tersenyum. Tetapi Eden tampak tak suka. “Ganti,” katanya lagi. Raut wajah Anna berubah datar dan berjalan kembali memasuki ruang ganti sambil menghentakkan kaki. Ini sudah pakaian yang ke-tujuh. Dia tak mengerti dengan selera Eden. Dia bilang ingin membantu Anna balas dendam. Tapi sepertinya Edenlah yang balas dendam padanya. Terlepas dari apapun salahnya.Kali ini Anna keluar dengan balutan terusan sebatis be
Siapa yang bisa melupakan cinta pertama mereka? Sebuah perasaan nano-nano masa remaja yang masih membekas di hati. Banyak orang yang mengatakan jika seseorang tak akan pernah berhasil dengan cinta pertama mereka. Tapi tiada yang tahu isi hati. Siapa yang bisa menjamin hal itu?Anna memutar kepala mencari sumber suara yang baru saja memanggilnya. Di dapati seorang pria tengah berjalan ke arahnya, semakin dekat.“Sungguh semesta tampaknya mendukung, cinta pertamamu ada di sini,” bisik Eden pelan tepat sebelum Eden tiba tepat di depan mereka.“Hei! Apa yang kau lakukan di sini?” Anna berbasa-basi. Mengabaikan ocehan Eden barusan.“Ya, tentu saja menghadiri pesta pernikahan,” jawab Zeno diiringi ketawa hambar.Anna mengutuk dirinya untuk menanyakan hal bodoh yang sudah jelas-jelas jawabanya. Sementara itu, diam-diam saat itu, Eden meraih dan menggenggam tangan Anna. Mode kekasihnya baru saja diaktifkan secara otomatis yang berhasil membuat perhatian Zenno tersita. Anna sedikit
Pupil Anna membesar. Jangan bilang kalau Zeno akan mengungkit cerita masa lalunya.“Zeno!” potong Anna dengan cepat. Masalah itu tak perlu di bahas di sana.“Hutang apa? Seingatku kau tak pernah berhutang padaku,” kata Anna berpura-pura.Pria yang disebut namanya itu seketika terdiam. Keningnya terlipat melihat sikap Anna yang tiba-tiba menjadi panik. “Sepertinya itu hutang yang besar, ya? Sampai kau menjadi panik begitu?” bisik Eden pelan sambil mencongkankan wajahnya ke balik telinga Anna. Anna hanya bisa memberi isyarat melalui sorot mata. Tak ingin ucapannya ikut terdengar oleh Zeno.“Sepertinya kami sudah selesai menikmati hidangannya, kalau begitu kami pergi dulu ya,” Anna bangkit lebih dulu. Dia ikut menarik lengan Eden agar ikut bangkit dengannya. Anna mengirim isyarat melalui mata pada Eden. Kemudian dia beralih menatap Zeno. “Aku akan menelfonmu nanti,” kata Anna sambil menempelkan sebelah tangan di telinga. Lalu dia menarik lengan Eden segera keluar
Anna merapikan beberapa baju di rak sambil berjalan mengelilingi toko yang ramai dengan pelanggan. Kemudian dia kembali berdiri di dekat ruang ganti. “Siapa gadis yang bernama Anna?” teriak salah seorang wanita yang berdiri sambil berkacak pinggang di pintu masuk toko. Dia cantik, dengan rambut blonde bergelombang. Gayanya sangat anggun mengenakan dress dan heels. Begitu pula suaranya yang keras. Suaranya memenuhi langit-langit hingga mengundang perhatian seisi pelanggan bahkan setiap orang yang lewat.Anna terbelalak ketika namanya disebut. Dia langsung menghampiri wanita itu dengan wajah bingung. Namun wanita itu menatap Anna dengan garang. Seperti Anna telah mencuri sesuatu darinya.“Oooo jadi kau gadis yang selingkuh dengan suami saya, iya?” kata wanita itu lagi dengan suara lantang. Mulai terdengar riuh di sekelilingnya. Ada pula yang menatap jijik pada Anna.“Maaf bu, saya tidak mengerti dengan apa yang ibu bicarakan,” balas Anna masih berusaha tenang. Sesekali melih
Tawaran Eden berhasil mengukir senyuman di wajah Anna. Anna tau Eden tidak serius, tapi tetap saja tawarannya sangat tiba-tiba untuk seseorang yang baru saja dipecat dari pekerjaannya. “Sudah agak baikan?” Eden menemani Anna yang duduk di halte bus. Anna bersikeras untuk pulang sendiri sore itu. Tentu saja pria itu menolak. Dia tak ingin kejadian yang lama terulang lagi. Semua ini bermula saat Eden menurunkan Anna di tepi jalan sambil menganis pula. Angin berhembus cukup kencang sore itu, ditambah mobil dan bus yang berlalu lalang. Penghuni halte yang silih berganti saat bus tujuan mereka berhenti tepat di depan halte. Eden melirik Anna yang masih menutupi seluruh wajahnya dengan kedua tangan. Tak lama dia menurunkannya tangan dan menampakkan wajahnya yang sudah basah dengan air mata. Dengan sigap Eden menyodorkan sapu tangan. Miliknya yang kedua kali. Sebelah tangan Anna meraih sapu tangan Eden. Mengusapkannya ke pipi dan seluruh wajah.
Raut wajah Anna berubah tegang semenjak mereka duduk di restoran pasta yang katanya paling enak di kota. “Tidak usah tegang begitu,” bisik Eden pelan. Dia melirik buku-buku kuku Anna yang sudah memutih karena gadis itu terus saja menekannya agar rasa tegang yang menyelimutinya bisa sirna. “Bagaimana aku bisa tenang. Aku yang diawasi seperti ini membuatku sangat tidak nyaman,” Eden menyentuh tangan Anna yang terletak bebas di atas meja. “Abaikan saja! Tidak akan ada yang terjadi, dan itu hanyalah ibuku yang penasaran. Lupakan saja! Anggap saja kita hanya makan berdua seperti biasa. Jangan anggap ada orang lain di dalam ruangan ini selain kita,” ungkap Eden dengan suara nan lembut. Perlahan tangan Anna melonggar. Aliran darahnya kembali lancar dan warna kuku bukunya kembali normal. Entahlah karena dia merasa sedikit lebih tenang karena kalimat Eden atau mungkin karena sentuhan Eden yang tiba-tiba menjadi romantis. Anna menarik
Gadis dengan rambut berantakan itu mengerjap. Anna tersentak. Dia berbalik dan betapa terkejutnya dia yang mendapati Eden tengah tertidur di sampingnya. Dia langsung bangun dan duduk. Sambil kebingungan, Anna bangkit dan meraih tas yang tergeletak di lantai. Anna merapikan rambut dan berjalan keluar rumah secara diam-diam. Sesekali dia melirik Eden yang masih terlelap. Anna menyandarkan badan ke pintu ketika sudah berada di luar. Lalu dia bergegas berlari menuju lift. Namun gerak kakinya terhenti tepat ketika pintu lift terbuka. “Tunggu!” katanya sambil memiringkan kepala, menyadari sesuatu. “Ini kan rumahku, kenapa aku yang kabur seperti ini,” ujar Anna berbalik menuju apartemennya. Dia berdiri mematung menatap Eden yang masih terbaring di lantai. Berusaha memikirkan apa yang terjadi semalam dan kenapa Eden bisa tertidur di rumahnya. Kenop pintu berbunyi lalu diputar. Beberapa kali kode keamanan berbunyi nyaring karena kata sandi yang dimasukkan s
Anna berkomat-kamit sendiri sambil memikirkan apa yang harus dilakukannya. Matanya membesar ketika melihat Eden hendak kembali ke meja, jadi dia bisa segera mengajak Eden beranjak dari sana. Tangan Anna terangkat hendak memanggil, namun senyumnya seketika luntur. Eden justru malah membalas sapaan orang lain. Anna berbalik. Matanya kembali membesar. Eden membalas sapaan seorang pria berusia sekitar tiga puluhan dan pria itu bersama orang yang ingin dihindari oleh Anna tadi. Ya, Oliv. Siapa lagi yang ingin dihindari Anna jikan bukan gadis itu. Tapi Anna menjadi bertanya-tanya apa yang dilakukan Olie dan suaminya di sini? Anna kembali duduk sambil menunduk. Mengeluarkan ponsel lalu pura-pura sibuk mengirim pesan ataupun menelepon seseorang. Tidak lama dia melakukan hal itu, dia kembali bangkit dan beranjak menuju meja lain yang agak jauh dari tempat Eden dan teman-temannya itu. Untuk sementara Anna menyimpulkan beberapa pria yang tampak lebih tua dari kekasihnya itu adalah te
“Kali ini pernikahan temanmu yang mana?” Anna kembali bertanya ketika mereka berada di dalam mobil, menuju gedung pernikahan teman Eden. Pria itu juga sudah mengganti pakaian, dia tampak gagah dengan balutan jas hitam dan potongan rambut dengan model comma style. Gaya rambut yang paling cocok dengan potongan wajah asianya yang khas. “Ada tapi kau tidak kenal.” Eden menjawab singkat. Kali ini suaranya terdengar lebih lembut. Tapi jawaban singkat Eden membuat Anna menjadi bertanya-tanya. Dia tak mengenal Eden. Banyak hal yang tak diketahuinya tentang pria yang tengah mengemudi di sampingnya itu. Beda halnya dengan pria itu yang hampir mengetahui segala tentangnya. Termasuk apa yang berkelibat di kepalanya kini. Lihatlah kini Eden tengah mencuri-curi pandang padanya. Eden melirik Anna, gadis itu terdiam tak lagi bertanya. Tapi justru membuat Eden menjadi tak enak karena sudah menjawab singkat. Dia berdeham sekali mengusir keheningan.“Dia salah satu kenalanku sewa
Kata orang, tiada pertemuan yang tak memiliki arti. Tiada pertemuan yang menjadi sebuah kebetulan karena sejatinya sudah ada yang mengatur dan sudah menjadi rencana alam. Ada orang yang percaya jika bertemu dengan orang asing sebanyak tiga kali dalam waktu berdekatan yang sering kali dikatakan berjodoh. Ada pula orang yang bertemu lebih dari itu dan hubungan mereka tetaplah orang asing. Bagaimana dengan orang asing yang tiba-tiba membantu kita untuk menyebrang di tengah jalan? Lalu dengan orang yang tak sengaja bertemu ketika sama-sama membeli daging ayam di supermarket atau mungkin orang yang tak sengaja tersenyum ketika berpapasan saat menyebrangi lampu merah? Keesokannya kita masih bertemu dan bertemu, namun hubungannya tidak lebih dari sebatas kenalan biasa. Kalian tahu? Terlalu banyak faktor yang harus dipertimbangkan untuk mengatakan jikalau sebuah pertemuan itu adalah kebetulan. Pertemuan Anna dan Eden mungkin bisa dikatakan sebagai sebuah kebetulan. Anggap saja ibu
“Kau?” Jari telunjuk Anna spontan terangkat, menunjuk lurus ke arah pria yang mengenakan kemeja dengan potongan leher rendah di salah satu meja café.Pria yang di tunjuk itu menunjukkan seulas senyum yang menampakkan deretan giginya yang putih.“Apa yang kau lakukan di sini?”“Masa muda yang mana yang kau rindukan?” Zeno kembali mengingatkan celoteh Anna beberapa menit yang lalu tepat setelah dua anak sekolah meninggalkan café.Anna berdecak kesal dan sedikit frustasi. “Seingatku aku sudah memberitahumu kalau aku tidak mau bertemu denganmu lagi bukan? Kenapa kau datang lagi ke sini, huh? Seharusnya kau sudah berada di Swiss sekarang?”Zeno mendengus. Dia tidak lupa dengan perkataan Anna. Lebih tepatnya ancaman Anna. Karena ucapan Anna waktu itu penuh tekanan.“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, tapi rasanya tidak enak jika melalui telfon. Makanya aku mengajakmu bertemu. Sebentar saja.”Anna menghubungi Zeno kembali setelah pertemuan mereka siang itu di café milik Anna setelah Oliv m
Sinar matahari menyelinap masuk melewati celah celah ventilasi.“Kau mau aku buatkan sarapan dulu?” tanya Sherin berbasa-basi. Dia tengah memanggang beberapa toast di dapur.“Tidak usah,” jawab Anna sambil sibuk mengemasi barangnya yang berserakan di ruang tengah semalam.“Setidaknya minumlah ini,” sahut Sherin lagi sambil menyerahkan segelas jus apel di atas meja makan. “Supaya pencernaanmu lancar,”Gadis yang mengenakan skirt sebatis itu menurut. Dia berjalan menghampiri meja dan meminum jus buatan Sherin. “Terima kasih jusnya, aku merasa segar.”Sherin hanya tersenyum hangat sebagai balasan atasan pujian Anna. “Hubungi aku jika terjadi sesuatu! Jangan tiba-tiba pulang sambil nangis dan berantakan kayak semalam. Kau mengerti kan?”“Astaga! Kau mulai lagi, baiklah aku mengerti.” Anna sudah maklum dengan omelan sahabatnya itu. Dia tau kalau Sherin khawatir dan dia tidak boleh membuat sahabat satu-satunya itu diselimuti rasa kekhawatiran yang tak jelas. “Aku berangkat dulu, sampai jump
“Siapa yang cemburu?” Eden menjadi salah tingkah. Dia mengusap rambutnya ke belakang dengan kedua tangan.“Lalu mengapa sikapmu yang berlebih seperti ini?”“Aku tidak berlebihan, hanya saja merasa kesal setelah melihatmu kembali bersikap bodoh saat di depan pria brengsek itu. Berapa kali harus kubilang, huh? Dia bukan pria baik-baik. Tidak cukup mempermalukanmu sekali waktu itu di café, sekarang kau ingin membiarkannya melakukannya lagi?”Anna menghela nafas panjang. Disatu sisi, dia merasa wajar melihat Eden murka dan juga geram melihat gadis bodoh yang terlalu mudah termakan omoongan manis dari cinta pertamanya. Dia menatap Eden lamat-lamat dengan mulut terkunci.“Berhentilah menatapku seperti itu.” Eden kembali mengingatkan Anna yang terdiam memperhatikannya untuk beberapa menit. Mereka duduk berhadapan yang dipisahkan oleh meja kecil yang di penuhi oleh kepulan asap sup yang baru saja tiba. “Aku tidak melihatmu.” Anna langsung mengalihkan pandangannya. “Pokoknya, urusa
Terik matahari di luar ikut masuk menyelinap ke dalam hatinya yang terasa panas dan sesak sedari tadi. Semalam dia sudah menerima tawaran Oliv untuk bertemu pria yang paling ingin dihindarinya. Entah apa yang dipikirkannya semalam saat menerima tawaran semalam, alhasil kini hatinya penuh gejolak. Setengah karena rasa penasaran, setengah lagi penuh dengan rasa sakit.Anna hendak berganti pakaian karena sudah jamnya untuk pulang. Eh, tidak. Dia harus menemui Zeno sore itu di tempat kerjanya pula. Anna melirik jam dinding. Seharusnya dia sudah berada di sini. “Kau menungguku?” Suara itu membuat Anna menoleh. Ya. Itu Zeno. Orang yang di tunggunya sudah tiba. Tampak jelas perasaan cemas terpampang jelas di wajah Anna, tapi dia masih berusaha menyunggingkan seulas senyumnya, takut membuat Zeno merasa tidak nyaman. Ah, sial. Anna mengutuk dirinya dalam hati karena masih saja mencemaskan pria itu. Mereka duduk di salah satu meja café. Anna memesankan pesanan sembarang
Anna menoleh. Sepasang matanya memindai penampilan Eden yang begitu kacaud an berantakan. Malam itu pertama kalinya Anna melihat sisi itu dari Eden. Seberapa kacau pikirannya sampai seperti ini, pikir Anna dalam hati. Dia kembali menatap Eden yang berbaring dengan mata terpejam.Anna mengambil selimut hendak menutupi tubuh Eden. Namun gerak tangannya terhenti ketika suara serak Eden mengatakan sesuatu dengan pelan. “Aku merasa bersalah.” Eden bergumam pelan. “Maafkan aku,” lanjutnya lagi. “Untuk apa?” Anna duduk di lantai, di sisi sofa tempat Eden berbaring. Dia membiarkan tangan Eden yang memegang ujung lengan bajunya. “Semuanya.” Eden menghela nafas. “Aku benar-benar minta maaf.” Anna melepaskan tangan Eden. “Aku tidak bisa menerima permintaan maafmu.” Anna malah menjawab perkataan Eden dengan tenang. Bukannya karena kesal atau marah pada pria itu, tapi karena Anna juga merasa bersalah pada Eden. Hanya saja dia tidak menampakkannya sam
Eden hanya bisa menatap punggung Anna saat berjalan menjauh. Ingin hatinya untuk segera berlari untuk mengejar gadis itu, namun langkah kakinya terasa berat. Ada perasaan semacam tak pantas yang terbersit di hatinya saat itu. Setelah semua yang telah dilakukannya pada Anna. Anna belum mabuk saat meninggalkan meja, Eden hanya berharap kekhawatirannya akan sia-sia karena Anna pasti bisa pulang dengan selamat. Toh tempat mereka minum tidak jauh dari apartemen milik Anna. Botol terakhir telah kosong. Kepalanya mulai terasa berat. Namun dia merasa masih belum mabuk. Eden ingin sekali mabuk setidaknya beban pikirannya akan hilang walau hanya semalam. Eden meninggalkan beberapa lembar uang kertas di meja lantas mulai berjalan gontai keluar. Pijakannya tidak pasti dan sedikit terhuyung huyung, tapi badannya masih bisa berdiri dan berjalan menuju minimarket terdekat. Salah seorang pelayan toko memberinya sebotol obat pengar agar dirinya bisa sege