Pupil Anna membesar. Jangan bilang kalau Zeno akan mengungkit cerita masa lalunya.“Zeno!” potong Anna dengan cepat. Masalah itu tak perlu di bahas di sana.“Hutang apa? Seingatku kau tak pernah berhutang padaku,” kata Anna berpura-pura.Pria yang disebut namanya itu seketika terdiam. Keningnya terlipat melihat sikap Anna yang tiba-tiba menjadi panik. “Sepertinya itu hutang yang besar, ya? Sampai kau menjadi panik begitu?” bisik Eden pelan sambil mencongkankan wajahnya ke balik telinga Anna. Anna hanya bisa memberi isyarat melalui sorot mata. Tak ingin ucapannya ikut terdengar oleh Zeno.“Sepertinya kami sudah selesai menikmati hidangannya, kalau begitu kami pergi dulu ya,” Anna bangkit lebih dulu. Dia ikut menarik lengan Eden agar ikut bangkit dengannya. Anna mengirim isyarat melalui mata pada Eden. Kemudian dia beralih menatap Zeno. “Aku akan menelfonmu nanti,” kata Anna sambil menempelkan sebelah tangan di telinga. Lalu dia menarik lengan Eden segera keluar
Anna merapikan beberapa baju di rak sambil berjalan mengelilingi toko yang ramai dengan pelanggan. Kemudian dia kembali berdiri di dekat ruang ganti. “Siapa gadis yang bernama Anna?” teriak salah seorang wanita yang berdiri sambil berkacak pinggang di pintu masuk toko. Dia cantik, dengan rambut blonde bergelombang. Gayanya sangat anggun mengenakan dress dan heels. Begitu pula suaranya yang keras. Suaranya memenuhi langit-langit hingga mengundang perhatian seisi pelanggan bahkan setiap orang yang lewat.Anna terbelalak ketika namanya disebut. Dia langsung menghampiri wanita itu dengan wajah bingung. Namun wanita itu menatap Anna dengan garang. Seperti Anna telah mencuri sesuatu darinya.“Oooo jadi kau gadis yang selingkuh dengan suami saya, iya?” kata wanita itu lagi dengan suara lantang. Mulai terdengar riuh di sekelilingnya. Ada pula yang menatap jijik pada Anna.“Maaf bu, saya tidak mengerti dengan apa yang ibu bicarakan,” balas Anna masih berusaha tenang. Sesekali melih
Tawaran Eden berhasil mengukir senyuman di wajah Anna. Anna tau Eden tidak serius, tapi tetap saja tawarannya sangat tiba-tiba untuk seseorang yang baru saja dipecat dari pekerjaannya. “Sudah agak baikan?” Eden menemani Anna yang duduk di halte bus. Anna bersikeras untuk pulang sendiri sore itu. Tentu saja pria itu menolak. Dia tak ingin kejadian yang lama terulang lagi. Semua ini bermula saat Eden menurunkan Anna di tepi jalan sambil menganis pula. Angin berhembus cukup kencang sore itu, ditambah mobil dan bus yang berlalu lalang. Penghuni halte yang silih berganti saat bus tujuan mereka berhenti tepat di depan halte. Eden melirik Anna yang masih menutupi seluruh wajahnya dengan kedua tangan. Tak lama dia menurunkannya tangan dan menampakkan wajahnya yang sudah basah dengan air mata. Dengan sigap Eden menyodorkan sapu tangan. Miliknya yang kedua kali. Sebelah tangan Anna meraih sapu tangan Eden. Mengusapkannya ke pipi dan seluruh wajah.
Raut wajah Anna berubah tegang semenjak mereka duduk di restoran pasta yang katanya paling enak di kota. “Tidak usah tegang begitu,” bisik Eden pelan. Dia melirik buku-buku kuku Anna yang sudah memutih karena gadis itu terus saja menekannya agar rasa tegang yang menyelimutinya bisa sirna. “Bagaimana aku bisa tenang. Aku yang diawasi seperti ini membuatku sangat tidak nyaman,” Eden menyentuh tangan Anna yang terletak bebas di atas meja. “Abaikan saja! Tidak akan ada yang terjadi, dan itu hanyalah ibuku yang penasaran. Lupakan saja! Anggap saja kita hanya makan berdua seperti biasa. Jangan anggap ada orang lain di dalam ruangan ini selain kita,” ungkap Eden dengan suara nan lembut. Perlahan tangan Anna melonggar. Aliran darahnya kembali lancar dan warna kuku bukunya kembali normal. Entahlah karena dia merasa sedikit lebih tenang karena kalimat Eden atau mungkin karena sentuhan Eden yang tiba-tiba menjadi romantis. Anna menarik
Gadis dengan rambut berantakan itu mengerjap. Anna tersentak. Dia berbalik dan betapa terkejutnya dia yang mendapati Eden tengah tertidur di sampingnya. Dia langsung bangun dan duduk. Sambil kebingungan, Anna bangkit dan meraih tas yang tergeletak di lantai. Anna merapikan rambut dan berjalan keluar rumah secara diam-diam. Sesekali dia melirik Eden yang masih terlelap. Anna menyandarkan badan ke pintu ketika sudah berada di luar. Lalu dia bergegas berlari menuju lift. Namun gerak kakinya terhenti tepat ketika pintu lift terbuka. “Tunggu!” katanya sambil memiringkan kepala, menyadari sesuatu. “Ini kan rumahku, kenapa aku yang kabur seperti ini,” ujar Anna berbalik menuju apartemennya. Dia berdiri mematung menatap Eden yang masih terbaring di lantai. Berusaha memikirkan apa yang terjadi semalam dan kenapa Eden bisa tertidur di rumahnya. Kenop pintu berbunyi lalu diputar. Beberapa kali kode keamanan berbunyi nyaring karena kata sandi yang dimasukkan s
“Maaf sudah membuat keributan di pagi hari,” kata Eden sambil membungkukkan badan. Kini dirinya dan Anna bersiap untuk pergi. Eden berjanji akan mengantar Anna pulang hari ini. “Dan juga terima kasih untuk sarapannya,” lanjut Eden. “Tidak usah sungkan. Lagi pula kau kan kekasih Anna,” balas Sherin sambil menatap Anna. Jauh dalam lubuk hati Anna, dia merasa bersalah karena sudah membohongi Sherin seperti ini. Tetapi dia terpaksa harus berbohong karena tidak ada yang tahu apa yang akan dilakukan oleh Ibu Eden. Bisa-bisa dia juga mendatangi Sherin secara tiba-tiba. Anna menggeleng-geleng untuk membuyarkan pikirannya. Membayangkan saja sudah membuatnya geli. “Mungkin aku akan pulang malam lagi, jangan lupa makan malam,” pesan Anna sebelum meninggalkan Sherin. “Jangan pulang malam, lebih baik pulang pagi saja,” celetuk Sherin mengusili Anna sambil memicingkan sebelah mata. Lihatlah wajah Anna yang mulai memerah. Dia kesal bercampur merona. “A
Gadis yang mengenakan skirt jeans sebatis itu segera berlari memasuki lobi utama rumah sakit. Dipikirannya kini hanya ada sang kakek. Anna tiba di lobi utama. Begitu pula dengan Eden yang sudah berdiri di sampingnya. “Di sana!” Eden mengajak Anna menuju meja informasi. Menanyakan ruangan nenek Anna.“Terima kasih!” kata Eden pada salah satu perawat yang berjaga. Dia segera membawa Anna yang sangat cemas dan penuh kekhawatiran. Gadis itu mengatupkan kedua tangan di bawah dagu dengan mata yang sudah berkaca-kaca sedari tadi.“Aku yakin nenekmu akan baik-baik saja,” ujar Eden mencoba menenangkan Anna yang tak menjawab. Akhirnya mereka tiba di lorong yang di sebutkan perawat tadi. Tepat saat itu Anna melihat ibunya keluar dari salah satu kamar.“Ibu!” serunya. Sontak ibunya terlonjak kaget ketika melihat putrinya sudah berdiri di depannya. Anna segera berlari menghampiri wanita paruh baya itu. “Bagaimana dengan nenek?” tanya Anna setelah memeluk ibunya sekali lagi. Dengan cepat Anna juga
“Nenek baik-baik saja, sebaiknya kau segera kembali ke kota,” ucap ibu Anna. Sambil memasang wajah kecewa, Anna berkata pelan, “tidak masalah bu, aku bisa kembali besok,” “Bagaimana dengan nak Eden?” Ibunya justru mengkhawatirkan Eden. Banyak hal yang dipertimbangkan Ibu Anna saat melihat Eden pertama kali. Potongan wajah nan tegas, wajah bersih, tinggi dan berpakaian rapi. Jelas dia bukan berasal dari keluarga biasa sama halnya seperti mereka. “Aku akan bicara dengannya nanti bu, kau tidak usah khawatir.” Anna memeluk ibunya sekali lalu berbalik meninggalkan ibunya di pintu kamar rumah sakit. Langkah Anna terhenti ketika mendapati seorang pria jangkung yang turut berjalan mendekatinya. “Kau mau kemana? Ayo makan bersama,” ucap Eden sambil mengangkat kedua tangannya yang penuh dengan kantong berisi makanan. “Aku tidak tau ibumu suka yang mana, jadi aku beli semuanya,” lanjut Eden lagi. Anna bisa melihat ketulusan yang terpanca