Tawaran Eden berhasil mengukir senyuman di wajah Anna. Anna tau Eden tidak serius, tapi tetap saja tawarannya sangat tiba-tiba untuk seseorang yang baru saja dipecat dari pekerjaannya. “Sudah agak baikan?” Eden menemani Anna yang duduk di halte bus. Anna bersikeras untuk pulang sendiri sore itu. Tentu saja pria itu menolak. Dia tak ingin kejadian yang lama terulang lagi. Semua ini bermula saat Eden menurunkan Anna di tepi jalan sambil menganis pula. Angin berhembus cukup kencang sore itu, ditambah mobil dan bus yang berlalu lalang. Penghuni halte yang silih berganti saat bus tujuan mereka berhenti tepat di depan halte. Eden melirik Anna yang masih menutupi seluruh wajahnya dengan kedua tangan. Tak lama dia menurunkannya tangan dan menampakkan wajahnya yang sudah basah dengan air mata. Dengan sigap Eden menyodorkan sapu tangan. Miliknya yang kedua kali. Sebelah tangan Anna meraih sapu tangan Eden. Mengusapkannya ke pipi dan seluruh wajah.
Raut wajah Anna berubah tegang semenjak mereka duduk di restoran pasta yang katanya paling enak di kota. “Tidak usah tegang begitu,” bisik Eden pelan. Dia melirik buku-buku kuku Anna yang sudah memutih karena gadis itu terus saja menekannya agar rasa tegang yang menyelimutinya bisa sirna. “Bagaimana aku bisa tenang. Aku yang diawasi seperti ini membuatku sangat tidak nyaman,” Eden menyentuh tangan Anna yang terletak bebas di atas meja. “Abaikan saja! Tidak akan ada yang terjadi, dan itu hanyalah ibuku yang penasaran. Lupakan saja! Anggap saja kita hanya makan berdua seperti biasa. Jangan anggap ada orang lain di dalam ruangan ini selain kita,” ungkap Eden dengan suara nan lembut. Perlahan tangan Anna melonggar. Aliran darahnya kembali lancar dan warna kuku bukunya kembali normal. Entahlah karena dia merasa sedikit lebih tenang karena kalimat Eden atau mungkin karena sentuhan Eden yang tiba-tiba menjadi romantis. Anna menarik
Gadis dengan rambut berantakan itu mengerjap. Anna tersentak. Dia berbalik dan betapa terkejutnya dia yang mendapati Eden tengah tertidur di sampingnya. Dia langsung bangun dan duduk. Sambil kebingungan, Anna bangkit dan meraih tas yang tergeletak di lantai. Anna merapikan rambut dan berjalan keluar rumah secara diam-diam. Sesekali dia melirik Eden yang masih terlelap. Anna menyandarkan badan ke pintu ketika sudah berada di luar. Lalu dia bergegas berlari menuju lift. Namun gerak kakinya terhenti tepat ketika pintu lift terbuka. “Tunggu!” katanya sambil memiringkan kepala, menyadari sesuatu. “Ini kan rumahku, kenapa aku yang kabur seperti ini,” ujar Anna berbalik menuju apartemennya. Dia berdiri mematung menatap Eden yang masih terbaring di lantai. Berusaha memikirkan apa yang terjadi semalam dan kenapa Eden bisa tertidur di rumahnya. Kenop pintu berbunyi lalu diputar. Beberapa kali kode keamanan berbunyi nyaring karena kata sandi yang dimasukkan s
“Maaf sudah membuat keributan di pagi hari,” kata Eden sambil membungkukkan badan. Kini dirinya dan Anna bersiap untuk pergi. Eden berjanji akan mengantar Anna pulang hari ini. “Dan juga terima kasih untuk sarapannya,” lanjut Eden. “Tidak usah sungkan. Lagi pula kau kan kekasih Anna,” balas Sherin sambil menatap Anna. Jauh dalam lubuk hati Anna, dia merasa bersalah karena sudah membohongi Sherin seperti ini. Tetapi dia terpaksa harus berbohong karena tidak ada yang tahu apa yang akan dilakukan oleh Ibu Eden. Bisa-bisa dia juga mendatangi Sherin secara tiba-tiba. Anna menggeleng-geleng untuk membuyarkan pikirannya. Membayangkan saja sudah membuatnya geli. “Mungkin aku akan pulang malam lagi, jangan lupa makan malam,” pesan Anna sebelum meninggalkan Sherin. “Jangan pulang malam, lebih baik pulang pagi saja,” celetuk Sherin mengusili Anna sambil memicingkan sebelah mata. Lihatlah wajah Anna yang mulai memerah. Dia kesal bercampur merona. “A
Gadis yang mengenakan skirt jeans sebatis itu segera berlari memasuki lobi utama rumah sakit. Dipikirannya kini hanya ada sang kakek. Anna tiba di lobi utama. Begitu pula dengan Eden yang sudah berdiri di sampingnya. “Di sana!” Eden mengajak Anna menuju meja informasi. Menanyakan ruangan nenek Anna.“Terima kasih!” kata Eden pada salah satu perawat yang berjaga. Dia segera membawa Anna yang sangat cemas dan penuh kekhawatiran. Gadis itu mengatupkan kedua tangan di bawah dagu dengan mata yang sudah berkaca-kaca sedari tadi.“Aku yakin nenekmu akan baik-baik saja,” ujar Eden mencoba menenangkan Anna yang tak menjawab. Akhirnya mereka tiba di lorong yang di sebutkan perawat tadi. Tepat saat itu Anna melihat ibunya keluar dari salah satu kamar.“Ibu!” serunya. Sontak ibunya terlonjak kaget ketika melihat putrinya sudah berdiri di depannya. Anna segera berlari menghampiri wanita paruh baya itu. “Bagaimana dengan nenek?” tanya Anna setelah memeluk ibunya sekali lagi. Dengan cepat Anna juga
“Nenek baik-baik saja, sebaiknya kau segera kembali ke kota,” ucap ibu Anna. Sambil memasang wajah kecewa, Anna berkata pelan, “tidak masalah bu, aku bisa kembali besok,” “Bagaimana dengan nak Eden?” Ibunya justru mengkhawatirkan Eden. Banyak hal yang dipertimbangkan Ibu Anna saat melihat Eden pertama kali. Potongan wajah nan tegas, wajah bersih, tinggi dan berpakaian rapi. Jelas dia bukan berasal dari keluarga biasa sama halnya seperti mereka. “Aku akan bicara dengannya nanti bu, kau tidak usah khawatir.” Anna memeluk ibunya sekali lalu berbalik meninggalkan ibunya di pintu kamar rumah sakit. Langkah Anna terhenti ketika mendapati seorang pria jangkung yang turut berjalan mendekatinya. “Kau mau kemana? Ayo makan bersama,” ucap Eden sambil mengangkat kedua tangannya yang penuh dengan kantong berisi makanan. “Aku tidak tau ibumu suka yang mana, jadi aku beli semuanya,” lanjut Eden lagi. Anna bisa melihat ketulusan yang terpanca
Anna mengemasi seluruh barangnya dari loker. Entahlah. Nafasnya terasa berat. Kenapa pula dia harus melakukan hal bodoh waktu itu. Tidak. Sebenarnya ini semua karena wanita gila itu. Tidak. Semua ini karena Kevin, laki-laki brengsek itu. Sampai kini masih sangat menyebalkan jika harus membahas Kevin. Anna membanting pintu lokernya dengan keras. “Makanya, kenapa kau melakukan hal bodoh seperti itu?” Ela muncul dari balik pintu loker yang membuat Anna terlonjak kaget. Dia ketakutan setengah mati setelah melihat raut wajah Ela yang datar dan tatapan kosong. “Astaga kau mengejutkanku!” pekik Anna. “Aku hampir saja kehilangan sepuluh tahun umurku,” celetuk Anna asal. “Eh tidak! Aku tarik ucapanku barusan,” Anna menggeleng-geleng menyesali ucapannya barusan. Dia meyakini setiap kata adalah doa, tetapi tetap tak bisa mengontrol setiap kata yang meluncur begitu saja dari mulutnya. “Makanya.” Anna menimpali Ela. “Ah, sudahlah. Yeay! Akhirnya aku punya waktu libur,” bala
“Masih ada janji rapat dengan klien?” tanya Eden pada asisten yang bertugas di kantor. “Seharusnya sudah tidak ada lagi,” jawabnya lagi sendiri. “Anda punya janji, ya? Tak biasanya anda terlihat sesenang ini, bahkan tersenyum,” asisten yang sudah bekerja lama dengan Eden menyadari perubahan suasana hati bosnya. “Oh? Benarkah?” “Apa sesuatu yang baik terjadi pada anda?” pertanyaan asisten itu tiba-tiba membuat potret wajah Anna melintas di benaknya sekilas. Sudut bibirnya otomatis melengkung tanpa disadari. Apakah gadis itu yang membuatnya merasakan suasana hati yang senang itu? “Hmm….. mungkin karena hari ini aku tak punya banyak kerjaan?” balas Eden sambil tersenyum centil. Dia bangkit, bersiap untuk pulang. “Kalian juga bisa pulang lebih awal,” lanjutnya lagi sambil meraih melangkah keluar ruangan. “Terima kasih atas kerja kerasmu hari ini,” kata Eden pada seluruh pegawai kantornya lalu melenggak keluar meninggalkan asisten yang masih
Tiga orang waiters baru saja menyelesaikan sajian makan malam di sebuah ruangan privat hotel bintang lima itu. Akhirnya pertemuan keluarga itu terlaksana. Sesuai perkataan Eden beberapa hari yang lalu. Kedua keluarga saling duduk berhadapan. Anna duduk bersebelahan dengan Eden yang berada di sisi keluarga Anna. Sementara di sisi seberang Eden duduk Nyonya Arini, Tuan Teddy dan juga nenek Eden. Di samping Anna ada ibu, nenek dan juga Ayah Anna. Persamaan kombinasi yang cukup mengejutkan saat mereka pertama kali memasuki ruangan itu. “Terima kasih sudah menjamu kami makan malam Tuan.” Ayah Anna memulai percakapan di meja makan. Dia tampak jauh lebih santai dibanding Ibu Anna dan juga ibu mertuanya. “Ah, tidak usah bilang seperti itu. Anggap saja ini seperti pertemuan keluarga,” sahut Ayah Eden tak kalah ramah. “Mari makan,” tangannya mulai bergerak mengambil mangkuk soto yang tersaji di atas meja. Mereka memang makan di hotel bintang lima, tapi menu m
Anna menarik lengan Eden agar pria itu menghentikan langkahnya. “Eden,” panggilnya. Usaha pertamanya gagal, pria yang dipanggilnya itu terus saja berjalan meninggalkan rumah dengan tangan yang masih berpegangan erat.“Eden!” Akhirnya Anna berhasil melepaskan tangannya dari Eden hingga pria itu membalikkan badan. “Kenapa?” katanya dengan suara yang mulai meninggi. Awalnya Anna sedikit terlonjak kaget. Itu pertama kalinya Eden meninggikan suara padanya. Tapi dia tak boleh teralihkan. Masalah utama mereka sekarang adalah ucapan dari Tuan Teddy beberapa menit yang lalu. “Kau tidak boleh seperti itu. Setidaknya kau harus mendengarkan penjelasan ayahmu dulu!” seru Anna balas berteriak. Eden terlonjak kaget saat Anna berseru marah. Keningnya berkerut mencoba memahami situasi saat ini. Jangan bilang kalau gadis di depannya ini setuju dengan pendapat orang tuanya? “Kau setuju dengan rencana ayah?” “Rencana apa?”
“Selamat pagi semuanya,” seru Eden dari depan pintu. Suaranya terdengar penuh semangat, suasana hatinya cerah, secerah mentari pagi di luar sana. Ya. Hari libur adalah kesempatan Anna dan Eden berkunjung ke rumah orang tuanya. Ada hal penting yang harus segera di lakukan. Terlepas dari acara resmi yang memang harus mereka persiapkan. “Oh kalian sudah tiba?” Ayah Eden, Teddy sudah berada di depan pintu menyambut kedatangan Eden dan Anna. “Ibu mana ayah?” Eden melihat sekeliling rumah namun tidak menemukan orang yang dicarinya itu. “Jangan bilang ibu sudah berada di kantor di hari libur ini dan sepagi ini?” Eden menebak asal mengingat kejadian terakhir kali saat pulang ke rumah. “Selamat datang juga Anna,” sapa Tuan Teddy beralih pada calon menantunya itu sambil merentangkan kedua tangan yang disambut sebuah pelukan hangat oleh Anna. Harus Anna akui bahwa Eden memiliki keluarga yang penuh dengan kehangatan jika kita menghilangkan unsur tra
“Jadi kau bekerja dimana tadi?” sela ayah Anna lagi di tengah perbincangan santai mereka yang berhasil membuat Eden tersedak. “Ayah,” sahut Anna mengingatkan. Ayahnya itu sudah bertanya untuk yang ketiga kali. Entahlah apa karena dia tak yakin setelah melihat penampilan Eden atau mungkin dia hanya butuh validasi demi masa depan putrinya itu. “Dokter ayah,” terang Eden sekali lagi. Setelahnya dia meneguk air putih di gelasnya hingga kosong. “Ah iya, dokter. Hebat sekali.” Dan itu adalah pujian yang ketiga kalinya. “Sudahlah ayah, jangan bahas tentang pekerjaan lagi.” “Baiklah. Ayah mengerti.” Ayahnya tersenyum menyudahi interogasi mini untuk calon menantunya itu. “Ngomong-ngomong kapan kita bisa bertemu dengan keluargamu?” Ayah Anna mengedikkan bahu. “Lebih cepat lebih baik bukan?” “Oh tentu saja ayah. Aku akan menjadwalkan secepatnya.” “Bukankah ayah harus bertemu dengan ibu lebih dulu?” An
“Sepertinya suasana hatinya sedang bagus sekali,” gumam Eden pelan. Eden bersandar pada mobilnya yang terparkir di depan gedung apartemen Anna. Senyumnya merekah saat mendapati seorang gadis memasuki halaman gedung. Anna segera berlari dan memeluk pria yang sudah lebih dulu membentangkan kedua tangannya. “Sudah lama? Kenapa tidak menelfonku, kan jadinya kau menunggu lama di sini.” Gadis itu membenamkan kepalanya pada dada bidang milik Eden. Aroma parfum Eden yang khas begitu menenangkan. “Tak masalah. Aku tidak ingin mengganggu waktumu yang berharga.” Kening Anna terlipat. “Kau tau aku pergi menemui siapa?” “Tentu tidak. Tapi kau bilang kau akan menemui orang penting, jadi ya.. aku tak ingin menganggumu.” Anna tersenyum lalu menggenggam tangan Eden. “Mau jalan-jalan sebentar?” “Kau tidak lelah?” tanya Eden sambil merapikan rambut Anna yang sedikit berantakan. Anna menggeleng. “Ada yang ingin kubilang,”
Langkah kaki Anna terasa berat namun badannya enggan untuk berbalik. Ada perasaan takut yang bersarang di dalam hati kecilnya. Bercampur dengan rasa marah yang hendak meledak kapan saja jika menatap wajah pria yang masih setiap berdiri di belakangnya itu. Namun gadis yang mengenakan skirt itu terlonjak kaget saat pria paruh baya itu sudah tiba dihadapannya. Pupilnya bergetar tapi masih belum berani menatap wajah pria itu. “Maaf kau salah orang,” katanya pelan hendak pergi meninggalkan tempat itu secepatnya. Hanya itu yang bisa diucapkannya, padahal banyak hal yang ingin dikatakannya. “Tidak.” Jawaban pria itu kembali berhasil menghentikan langkahnya. “Kau putriku, Anna,” panggil pria itu lagi. Tanpa sadar air mata Anna sudah menetes membasahi pipi. Sebenarnya dia tak ingin bertemu dengan orang yang sudah meninggalkannya dan juga ibunya. Dia tak ingin lagi berurusan dengan orang tak bertanggung jawab ini. Tapi demi Eden dan juga keluargany
“Kau dari mana pagi-pagi sekali?” “Tidak ada, aku keluar memang mau menemuimu,” Eden langsung melingkarkan tangan dan menarik Anna ke dalam dekapannya. “Bohong!” Anna mencubit manja hidung mancung milik Eden. “Mana ada, pakaianmu saja lengkap seperti ini. Kau habis dari mana?” “Rumah orang tuaku,” Anna menjauhkan badan dan mengangkat kepala. “Kenapa? Apa terjadi sesuatu di rumah?” Suara Anna terdengar khawatir. Eden menggeleng. Dia kembali memeluk Anna, kali ini lebih erat. “Bisa izin aja gak hari ini? Kerjanya,” “Tidak bisa, aku sudah terlalu sering tidak masuk. Tidak enak jika terus merepotkan Rian yang harus menggantikan shiftku terus. Tapi memangnya di rumahmu terjadi sesuatu? Sampai-sampai kau harus pulang sepagi ini? Tumben banget.” “Tidak ada. Atau kau mau berhenti bekerja saja?” Eden terus saja mengalihkan topik pembicaraan. “Hei!” Kali ini Anna mendorong tubuh Eden cukup jauh hingg
“Ya. Aku memang bertengkar hebat di Departemen Store waktu itu,” jawab Nyonya Arini dengan suara yang lantang. “Tapi bukan dengan Anna,” lanjutnya lagi, suaranya mulai melunak. “Lalu?” “Aku tidak tau masalah mereka apa, tapi tiba-tiba saja seorang gadis menampar Anna bahkan menjambak rambutnya. Aku tidak terima dia mengatakan hal-hal buruk padanya di tengah keramaian seperti itu.” “Apa?” Eden mendengus tidak percaya. Siapa yang berani beraninya menampar kekasihnya itu. “Bagaimana dengan Anna? Dia tidak mungkin diam saja kan? Apa dia terluka?” “Tentu saja tidak, justru Anna balas menampar gadis itu. Aku segera berlari menghampirinya. Awalnya berniat untuk membantu tapi saat Anna memanggilku dengan sebutan ibu, gadis gila itu justru ikut menarik rambut Anna sambil mengatakan kalau aku tidak mendidik anakku dengan baik.” Nyonya Arini tertawa getir. Dia ingat betul bagaimana kata-kata itu meluncur dari mulut gadis yang berlagak sombong itu.
“Boleh aku bertanya bagaimana perasaanmu lebih jauh?” Sontak Anna langsung menoleh setelah mendengar pertanyaan Eden barusan. Mereka memilih kembali ke salah satu kedai tepi pantai setelah makan malam bersama di rumah Anna. “Hm?” Anna bingung perasaan mana yang dimaksud Eden. Bukankah mereka sudah sama-sama saling mengetahui perasaan masing-masing. “Sudah jauh lebih lega?” “Ah, tentang itu,” sahut Anna mengerti dengan arah pertanyaan Eden. Hampir saja dia salah paham. “Atau masih ada yang kau khawatirkan? Katakan saja padaku, aku akan menyelesaikannya untukmu,” Anna menggeleng. “Tidak ada, kini semuanya terasa lebih lega. Tapi – “ “Tentang ibuku?” Eden menyela lebih dulu. Jika masalah keluarga Anna sudah selesai, berarti hanya tinggal masalah keluarga. Eden pun mengerti tantangan yang akan dihadapi Anna walaupun ibunya sudah memberi restu. Tapi itu masih terasa fana sampai hubungan mereka b