“Nenek baik-baik saja, sebaiknya kau segera kembali ke kota,” ucap ibu Anna. Sambil memasang wajah kecewa, Anna berkata pelan, “tidak masalah bu, aku bisa kembali besok,” “Bagaimana dengan nak Eden?” Ibunya justru mengkhawatirkan Eden. Banyak hal yang dipertimbangkan Ibu Anna saat melihat Eden pertama kali. Potongan wajah nan tegas, wajah bersih, tinggi dan berpakaian rapi. Jelas dia bukan berasal dari keluarga biasa sama halnya seperti mereka. “Aku akan bicara dengannya nanti bu, kau tidak usah khawatir.” Anna memeluk ibunya sekali lalu berbalik meninggalkan ibunya di pintu kamar rumah sakit. Langkah Anna terhenti ketika mendapati seorang pria jangkung yang turut berjalan mendekatinya. “Kau mau kemana? Ayo makan bersama,” ucap Eden sambil mengangkat kedua tangannya yang penuh dengan kantong berisi makanan. “Aku tidak tau ibumu suka yang mana, jadi aku beli semuanya,” lanjut Eden lagi. Anna bisa melihat ketulusan yang terpanca
Anna mengemasi seluruh barangnya dari loker. Entahlah. Nafasnya terasa berat. Kenapa pula dia harus melakukan hal bodoh waktu itu. Tidak. Sebenarnya ini semua karena wanita gila itu. Tidak. Semua ini karena Kevin, laki-laki brengsek itu. Sampai kini masih sangat menyebalkan jika harus membahas Kevin. Anna membanting pintu lokernya dengan keras. “Makanya, kenapa kau melakukan hal bodoh seperti itu?” Ela muncul dari balik pintu loker yang membuat Anna terlonjak kaget. Dia ketakutan setengah mati setelah melihat raut wajah Ela yang datar dan tatapan kosong. “Astaga kau mengejutkanku!” pekik Anna. “Aku hampir saja kehilangan sepuluh tahun umurku,” celetuk Anna asal. “Eh tidak! Aku tarik ucapanku barusan,” Anna menggeleng-geleng menyesali ucapannya barusan. Dia meyakini setiap kata adalah doa, tetapi tetap tak bisa mengontrol setiap kata yang meluncur begitu saja dari mulutnya. “Makanya.” Anna menimpali Ela. “Ah, sudahlah. Yeay! Akhirnya aku punya waktu libur,” bala
“Masih ada janji rapat dengan klien?” tanya Eden pada asisten yang bertugas di kantor. “Seharusnya sudah tidak ada lagi,” jawabnya lagi sendiri. “Anda punya janji, ya? Tak biasanya anda terlihat sesenang ini, bahkan tersenyum,” asisten yang sudah bekerja lama dengan Eden menyadari perubahan suasana hati bosnya. “Oh? Benarkah?” “Apa sesuatu yang baik terjadi pada anda?” pertanyaan asisten itu tiba-tiba membuat potret wajah Anna melintas di benaknya sekilas. Sudut bibirnya otomatis melengkung tanpa disadari. Apakah gadis itu yang membuatnya merasakan suasana hati yang senang itu? “Hmm….. mungkin karena hari ini aku tak punya banyak kerjaan?” balas Eden sambil tersenyum centil. Dia bangkit, bersiap untuk pulang. “Kalian juga bisa pulang lebih awal,” lanjutnya lagi sambil meraih melangkah keluar ruangan. “Terima kasih atas kerja kerasmu hari ini,” kata Eden pada seluruh pegawai kantornya lalu melenggak keluar meninggalkan asisten yang masih
Anna terpaksa menyudahi pertemuannya yang singkat dengan Zeno karena janji lain yang tidak bisa dipungkiri.Sesuai janji, Eden akan menjemput Anna pukul tujuh. Anna melirik jam dinding. Dua menit menuju angka tujuh. Anna meraih tas salempang di sofa kemudian berjalan keluar. Di luar dia tak sengaja langsung bertemu dengan Eden yang baru saja tiba. Dia laki-laki yang tepat waktu. “Kenapa dengan raut wajahmu?” tanya Eden sambil merendahkan wajahnya agar sejajar dengan wajah Anna. “Bukankah seharusnya kau senang sekarang? Karena baru saja bertemu dengan cinta pertamamu,” lanjut Eden kembali menegakkan badannya. Menyamakan ritme langkahnya dengan Anna dengan kedua tangan berada di saku. “Apa yang kau lakukan di sana tadi?” tanya Anna mengintrogasi. “Apa lagi? Ya…. Berbelanja,” jawab Eden sedikit salah tingkah. Dia terlalu malu untuk mengakui kalau dia datang untuk menjemput Anna. “Kau memang punya janji bertemu dengan dia di sana?” Eden balik bertanya.
“Kau sudah gila? Padahal kau tau betul kalau aku tidak punya ayah!” ungkap Anna tidak habis pikir. Anna menyesali kelakukan Eden setelah mereka sudah berada di dalam mobil. Sambil duduk berhadapan. “Bukan itu,” “Lalu apa?” Bagaimana jika nanti ibumu ingin bertemu dengan ayahku? Lalu aku bilang kalau aku tidak punya ayah dan ternyata selama ini aku berbohong padanya. Kau ingin membuatku tampak lebih menyedihkan daripada seorang anak yang tidak mempunyai ayah? Dan ibumu pasti akan menganggapku gadis penipu setelah semua ini.” “Tenanglah dulu!” “Bagaimana aku bisa tenang. Kebohongan ini akan semakin membesar dan terus berlanjut. Dan besok aku harus melakukan fitting baju pengantin dengan ibumu. Menurutmu sampai dimana kebohongan ini akan bertahan, huh? Aku seperti membawa bom waktu yang bisa meledak kapan saja.”Anna terus saja mengeluarkan isi kepalanya termasuk segala kekhawatirannya. Ia seolah bisa melihat akhir dari semua ini.“Anna!” P
Anna berjalan dengan mengaitkan kedua tangan ke depan agar terlihat sopan. Dia mengikuti Nyonya Arini yang tengah memilih milih gaun pengantin yang berjejer. Mereka mengunjungi salah satu butik terkenal di kota. Gaun pengantin yang tersedia sangatlah menawan dan tampak anggun dengan bermacam-macam model. Ada yang pendek, sedang, bahkan ada yang panjangnya hingga lima meter, tergantung permintaan. “Menurutmu ini bagaimana?” Nyonya Arini menunjuk gaun putih tanpa lengan yang melekat pada sebuah patung. Ada payet putih yang mengelilingi pinggangnya yang dibuat agak ramping. Anna menoleh ke arah gaun yang ditunjuk. “Bagus,” katanya sambil tersenyum. “Kalau begitu cobalah!” Nyonya Arini mengintruksi. “Ya?” balas Anna yang kebingungan. Sedari tadi dia sibuk memikirkan bagaimana caranya agar bisa keluar dari tempat mengerikan ini. “Mari saya antar,” salah satu pegawai toko mengantarkan Anna menuju ruang ganti. Bahkan di dalam ruangan ganti sudah ada dua or
Eden kembali mengerjap setelah mendengar bel pintu berbunyi. Dia bangkit dengan malas. “Ibu!” geramnya. Dia menebak karena tidak ada lagi yang akan datang ke rumahnya selain dari Nyonya Arini. “Tadaaa!!” seru Anna dengan senyum yang merekah begitu pintu terbuka. Dia langsung menerobos masuk tanpa izin dari Eden. “Hei! Apa-apaan ini?” kata Eden tak terima. Tapi dia tak bisa lagi mencegah karena gadis itu sudah tiba di ruang tamu. Pertanyaannya adalah bagaimana Anna bisa tahu rumahnya? Dia memiringkan kepala untuk mencari ide, namun gagal karena gadis itu sudah memanggilnya dari dalam. Anna takjub dengan perabotan di rumah Eden. Anna sangat bersemangat ketika menemukan kursi pijat di sudut ruang tamu. Lagi-lagi. Dia langsung mencobanya tanpa persetujuan sang pemilik. Anna menghempaskan badannya pada kursi pijat lalu menekan tombol on pada remot kendali. Sambil memejamkan mata, Anna bisa merasakan getaran pada seluruh badannya. “Enaknya!! Kau harus tahu betapa lel
Anna mengerjap. Meraih ponsel yang sedari tadi berdering di atas meja nakas. Tapi kini ponselnya malah terjatuh ke lantai. Terpaksa dia menggerakkan seluruh badan untuk mendapatkan benda yang masih bergetar itu. “Kau sudah bangun?” suara seorang pria terdengar dari seberang sana. Siapa lagi kalau bukan Eden. Dia mengingatkan Anna, khawatir jika gadis itu melupakan hari penting itu. “Hei! Kau masih di sana?” tanya Eden lagi memastikan jika lawan bicaranya masih terhubung. “Baiklah. Jangan salahkan aku jika semuanya berantakan,” tutup Eden tanpa mendapatkan jawaban dari Anna. Memutus percakapan. Hari itu adalah hari perayaan pernikahan orang tua Eden, Nyonya Arini dan Tuan Teddy. Anna bersungut-sungut dalam hati. Kenapa dia malah menawarkan diri untuk membantu di pagi hari. Padahal dia sendiri kurang tidur dan cukup lelah untuk bangun lebih awal. Dia butuh waktu untuk tidur lebih lama. Anna menggeliat di balik selimut sambil menendang angi
“Kau dari mana pagi-pagi sekali?” “Tidak ada, aku keluar memang mau menemuimu,” Eden langsung melingkarkan tangan dan menarik Anna ke dalam dekapannya. “Bohong!” Anna mencubit manja hidung mancung milik Eden. “Mana ada, pakaianmu saja lengkap seperti ini. Kau habis dari mana?” “Rumah orang tuaku,” Anna menjauhkan badan dan mengangkat kepala. “Kenapa? Apa terjadi sesuatu di rumah?” Suara Anna terdengar khawatir. Eden menggeleng. Dia kembali memeluk Anna, kali ini lebih erat. “Bisa izin aja gak hari ini? Kerjanya,” “Tidak bisa, aku sudah terlalu sering tidak masuk. Tidak enak jika terus merepotkan Rian yang harus menggantikan shiftku terus. Tapi memangnya di rumahmu terjadi sesuatu? Sampai-sampai kau harus pulang sepagi ini? Tumben banget.” “Tidak ada. Atau kau mau berhenti bekerja saja?” Eden terus saja mengalihkan topik pembicaraan. “Hei!” Kali ini Anna mendorong tubuh Eden cukup jauh hingg
“Ya. Aku memang bertengkar hebat di Departemen Store waktu itu,” jawab Nyonya Arini dengan suara yang lantang. “Tapi bukan dengan Anna,” lanjutnya lagi, suaranya mulai melunak. “Lalu?” “Aku tidak tau masalah mereka apa, tapi tiba-tiba saja seorang gadis menampar Anna bahkan menjambak rambutnya. Aku tidak terima dia mengatakan hal-hal buruk padanya di tengah keramaian seperti itu.” “Apa?” Eden mendengus tidak percaya. Siapa yang berani beraninya menampar kekasihnya itu. “Bagaimana dengan Anna? Dia tidak mungkin diam saja kan? Apa dia terluka?” “Tentu saja tidak, justru Anna balas menampar gadis itu. Aku segera berlari menghampirinya. Awalnya berniat untuk membantu tapi saat Anna memanggilku dengan sebutan ibu, gadis gila itu justru ikut menarik rambut Anna sambil mengatakan kalau aku tidak mendidik anakku dengan baik.” Nyonya Arini tertawa getir. Dia ingat betul bagaimana kata-kata itu meluncur dari mulut gadis yang berlagak sombong itu.
“Boleh aku bertanya bagaimana perasaanmu lebih jauh?” Sontak Anna langsung menoleh setelah mendengar pertanyaan Eden barusan. Mereka memilih kembali ke salah satu kedai tepi pantai setelah makan malam bersama di rumah Anna. “Hm?” Anna bingung perasaan mana yang dimaksud Eden. Bukankah mereka sudah sama-sama saling mengetahui perasaan masing-masing. “Sudah jauh lebih lega?” “Ah, tentang itu,” sahut Anna mengerti dengan arah pertanyaan Eden. Hampir saja dia salah paham. “Atau masih ada yang kau khawatirkan? Katakan saja padaku, aku akan menyelesaikannya untukmu,” Anna menggeleng. “Tidak ada, kini semuanya terasa lebih lega. Tapi – “ “Tentang ibuku?” Eden menyela lebih dulu. Jika masalah keluarga Anna sudah selesai, berarti hanya tinggal masalah keluarga. Eden pun mengerti tantangan yang akan dihadapi Anna walaupun ibunya sudah memberi restu. Tapi itu masih terasa fana sampai hubungan mereka b
Mereka duduk bertiga di meja makan. Tak ingin melibatkan nenek Anna yang masih asik menonton televisi di ruang tengah. “Maafkan aku bu, semua ini salahku bu. Aku yang meminta Anna untuk berpura-pura menjadi kekasihku untuk membuat ibuku berhenti menyuruhku menikah atau menjodokanku dengan beberapa kenalannya. Tapi sekarang hubungan kami tidak palsu lagi bu. Aku serius dengan Anna dan kami menjalani hubungan sungguhan. Bahkan ibuku juga sudah mengetahui semuanya dan memberi restu pada kami bu,” “Tapi itu – ?” Genggaman tangan Eden mengencang membuat Ana berhenti berbicara. Mereka saling berpengangan tangan untuk menunjukkan keseriusan mereka di depan Ibu Anna. Tapi perkara restu Nyonya Arini itu urusan lain. Ibu Anna cukup hanya tau dengan masalah mendapatkan restu atau tidak. Sebatas itu saja. Untuk masalah sampai mana batasan restu yang mereka dapatkan itu urusan nanti. Yang jelas kini mereka sudah mengatakan yang sebenarnya. Dan Anna menginginkan semuanya ter
Senyum gadis yang mengenakan skirt berwarna putih itu cerah secerah mentari pagi. Dia mendapati pria yang kini tengah tersenyum itu merentangkan tangan. Anna berlari-lari kecil segera menghampiri Eden lalu segera memeluk pria itu. Aroma kayu dan laut berpadu begitu menyegarkan. Eden menyipitkan kedua matanya, menilik penampilan Anna pagi itu dari bawah sampai kepala. “Oh, kau pakai lipstip baru ya? Oh pipimu juga.” Eden menggoda Anna sambil mengelus pelan pipi manis gadisnya itu. “Hei! Jangan merusak penampilanku. Aku harus bangun pagi-pagi untuk dandan dan memilih baju yang paling bagus yang aku punya.” Eden memanyunkan bibirnya pura-pura prihatin dengan perjuangan Anna untuk berdandan demi pertemuan mereka hari ini. “Tumben sekali.” Eden menyelipkan poni Anna ke belakang telinga. “Padahal kau tetap cantik tanpa berdandan, bahkan kau cantik memakai apa saja.”“Dasar pembohong!” Anna menyerngitkan kening. “Aku tau kau pura-pura saat bil
Eden memberikan kecupan pelan. “Hm?” Sebaliknya Anna membalas kecupan Eden. “Jangan malam ini, aku harus pulang.” “Hanya segitu?” Eden pura-pura merajuk layaknya anak kecil umur lima tahun. “Kalau kau mau pulang seharusnya lakukan dengan benar, kan?” Anna mendengus pelan. Dia kembali mendekatkan wajahnya pada Eden. Bibirnya beradu dengan lembutnya bibir milik Eden. Perlahan mulai mengulum dan hanyut dalam di dalamnya. Begitu sebaliknya dengan Eden yang membalas setiap ciuman yang diberikan Anna. Malam semakin gelap. “Kau janji besok akan menginap kan?” Eden tak melepaskan tangan Anna dari genggamannya semenjak mobil mereka meninggalkan gedung klinik. Kini mobil mereka terparkir tepat di depan gedung apartemen milik Anna. Anna mendongakkan kepala, melihat lampu apart di lantai tujuh masih menyala atau masih mati. Hanya ada dua kemungkinan, Sherin belum pulang atau memang dia sudah tidur lebih awal. Sebelah tangan Anna menyentu
Senyum Anna langsung merekah saat dirinya melihat kedatangan pria gagah yang berjalan mendekat ke arahnya. Gelapnya senja tak menghalangi Anna untuk mengenali sosok pria yang berhasil mencuri hatinya belakangan ini. “Jangan berlari,” katanya saat Eden mulai berlari-lari kecil begitu melihat Anna keluar dari pintu. “Sudah lama menunggu?” kata Eden dengan nafas yang masih tersengal setelah berlari. Anna memberi gelengan pelan sebagai jawaban. “Kenapa kau berlari?” Eden meraih tangan Anna lalu mengenggamnya. “Aku ingin segera melihatmu.” “Tapi..” Kepala Anna menoleh ke kanan dan kiri. Mencari sesuatu. “Mana mobilmu?” “Ah itu, aku meninggalkannya di kantor.” “Kenapa?” “Supaya aku bisa menghabiskan lebih banyak waktu denganmu.” Anna meninju pelan pada dada bidang milik Eden. Ada-ada saja kelakuannya. Padahal mereka pasti akan menghabiskan waktu bersama karena Eden pasti mengantar Anna pulang.
“Bagaimana bisa? Kenapa kalian terlihat begitu santai?” Mereka duduk berhadapan di meja makan dengan kedua tangan saling tertaut di atas meja. Sedari tadi Eden tidak melepaskan genggamannya dari tangan Anna. “Aku sudah bilang semuanya pada ibumu,” “Semuanya? Dari mana? Dari awal kita bertemu?” Anna mengangguk. Memang tidak semuanya, tapi secara garis besar mencakup semuanya. “Dia tidak marah?” “Tidak, dia justru menyalahkan dirinya sendiri.” Tampak wajah khawatir dari raut wajah Eden. “Kau yakin? Ibuku orang yang pandai menyembunyikan perasaannya. Kau pasti tau sendiri, kan?” “Kenapa?” tanya Anna ikut khawatir. Dia menangkap raut wajah Eden yang tak fokus dan memikirkan banyak hal. “Firasatku tidak enak,” jawab Eden pelan. Ibunya bukan orang yang mudah berubah. Terlebih jika menyangkut masalah dirinya. Aneh sekali jika tiba-tiba ibunya memberi restu setelah sebelumny
Suara tombol pintu di luar membuat Anna tersentak dan membuka mata. Matanya menangkap Eden yang masih terlelap di sampingnya. Seulas senyum tersungging di wajahnya. Digesernya tangan Eden yang mendekapnya semalaman. Kali ini suara pintu terbuka berhasil membuat Anna bangun dan menapakkan kakinya di lantai. Anna terperanjat bukan main saat mendapati Nyonya Arini sudah berdiri di depan pintu kamar mereka. Ya. Semalam Anna menginap di rumah Eden dan disinilah dia berakhir. “Ibu,” kata Anna pelan. Dia kembali menjadi seperti anak kecil berusia lima tahun yang baru saja dimarahi ibunya karena mencuri permen setelah di larang beberpa hari terakhir. Nyonya Arini melengos dan berjalan ke arah sofa di ruang tengah, seperti sudah menduga kejadian seperti ini akan terjadi. “Kau sudah nyaman sekali rupanya.” Anna mengikuti langkah Nyonya Arini di belakang, tapi langkahnya tertahan dan terhenti saat wanita paruh baya itu duduk menyilangka