“Masih ada janji rapat dengan klien?” tanya Eden pada asisten yang bertugas di kantor. “Seharusnya sudah tidak ada lagi,” jawabnya lagi sendiri. “Anda punya janji, ya? Tak biasanya anda terlihat sesenang ini, bahkan tersenyum,” asisten yang sudah bekerja lama dengan Eden menyadari perubahan suasana hati bosnya. “Oh? Benarkah?” “Apa sesuatu yang baik terjadi pada anda?” pertanyaan asisten itu tiba-tiba membuat potret wajah Anna melintas di benaknya sekilas. Sudut bibirnya otomatis melengkung tanpa disadari. Apakah gadis itu yang membuatnya merasakan suasana hati yang senang itu? “Hmm….. mungkin karena hari ini aku tak punya banyak kerjaan?” balas Eden sambil tersenyum centil. Dia bangkit, bersiap untuk pulang. “Kalian juga bisa pulang lebih awal,” lanjutnya lagi sambil meraih melangkah keluar ruangan. “Terima kasih atas kerja kerasmu hari ini,” kata Eden pada seluruh pegawai kantornya lalu melenggak keluar meninggalkan asisten yang masih
Anna terpaksa menyudahi pertemuannya yang singkat dengan Zeno karena janji lain yang tidak bisa dipungkiri.Sesuai janji, Eden akan menjemput Anna pukul tujuh. Anna melirik jam dinding. Dua menit menuju angka tujuh. Anna meraih tas salempang di sofa kemudian berjalan keluar. Di luar dia tak sengaja langsung bertemu dengan Eden yang baru saja tiba. Dia laki-laki yang tepat waktu. “Kenapa dengan raut wajahmu?” tanya Eden sambil merendahkan wajahnya agar sejajar dengan wajah Anna. “Bukankah seharusnya kau senang sekarang? Karena baru saja bertemu dengan cinta pertamamu,” lanjut Eden kembali menegakkan badannya. Menyamakan ritme langkahnya dengan Anna dengan kedua tangan berada di saku. “Apa yang kau lakukan di sana tadi?” tanya Anna mengintrogasi. “Apa lagi? Ya…. Berbelanja,” jawab Eden sedikit salah tingkah. Dia terlalu malu untuk mengakui kalau dia datang untuk menjemput Anna. “Kau memang punya janji bertemu dengan dia di sana?” Eden balik bertanya.
“Kau sudah gila? Padahal kau tau betul kalau aku tidak punya ayah!” ungkap Anna tidak habis pikir. Anna menyesali kelakukan Eden setelah mereka sudah berada di dalam mobil. Sambil duduk berhadapan. “Bukan itu,” “Lalu apa?” Bagaimana jika nanti ibumu ingin bertemu dengan ayahku? Lalu aku bilang kalau aku tidak punya ayah dan ternyata selama ini aku berbohong padanya. Kau ingin membuatku tampak lebih menyedihkan daripada seorang anak yang tidak mempunyai ayah? Dan ibumu pasti akan menganggapku gadis penipu setelah semua ini.” “Tenanglah dulu!” “Bagaimana aku bisa tenang. Kebohongan ini akan semakin membesar dan terus berlanjut. Dan besok aku harus melakukan fitting baju pengantin dengan ibumu. Menurutmu sampai dimana kebohongan ini akan bertahan, huh? Aku seperti membawa bom waktu yang bisa meledak kapan saja.”Anna terus saja mengeluarkan isi kepalanya termasuk segala kekhawatirannya. Ia seolah bisa melihat akhir dari semua ini.“Anna!” P
Anna berjalan dengan mengaitkan kedua tangan ke depan agar terlihat sopan. Dia mengikuti Nyonya Arini yang tengah memilih milih gaun pengantin yang berjejer. Mereka mengunjungi salah satu butik terkenal di kota. Gaun pengantin yang tersedia sangatlah menawan dan tampak anggun dengan bermacam-macam model. Ada yang pendek, sedang, bahkan ada yang panjangnya hingga lima meter, tergantung permintaan. “Menurutmu ini bagaimana?” Nyonya Arini menunjuk gaun putih tanpa lengan yang melekat pada sebuah patung. Ada payet putih yang mengelilingi pinggangnya yang dibuat agak ramping. Anna menoleh ke arah gaun yang ditunjuk. “Bagus,” katanya sambil tersenyum. “Kalau begitu cobalah!” Nyonya Arini mengintruksi. “Ya?” balas Anna yang kebingungan. Sedari tadi dia sibuk memikirkan bagaimana caranya agar bisa keluar dari tempat mengerikan ini. “Mari saya antar,” salah satu pegawai toko mengantarkan Anna menuju ruang ganti. Bahkan di dalam ruangan ganti sudah ada dua or
Eden kembali mengerjap setelah mendengar bel pintu berbunyi. Dia bangkit dengan malas. “Ibu!” geramnya. Dia menebak karena tidak ada lagi yang akan datang ke rumahnya selain dari Nyonya Arini. “Tadaaa!!” seru Anna dengan senyum yang merekah begitu pintu terbuka. Dia langsung menerobos masuk tanpa izin dari Eden. “Hei! Apa-apaan ini?” kata Eden tak terima. Tapi dia tak bisa lagi mencegah karena gadis itu sudah tiba di ruang tamu. Pertanyaannya adalah bagaimana Anna bisa tahu rumahnya? Dia memiringkan kepala untuk mencari ide, namun gagal karena gadis itu sudah memanggilnya dari dalam. Anna takjub dengan perabotan di rumah Eden. Anna sangat bersemangat ketika menemukan kursi pijat di sudut ruang tamu. Lagi-lagi. Dia langsung mencobanya tanpa persetujuan sang pemilik. Anna menghempaskan badannya pada kursi pijat lalu menekan tombol on pada remot kendali. Sambil memejamkan mata, Anna bisa merasakan getaran pada seluruh badannya. “Enaknya!! Kau harus tahu betapa lel
Anna mengerjap. Meraih ponsel yang sedari tadi berdering di atas meja nakas. Tapi kini ponselnya malah terjatuh ke lantai. Terpaksa dia menggerakkan seluruh badan untuk mendapatkan benda yang masih bergetar itu. “Kau sudah bangun?” suara seorang pria terdengar dari seberang sana. Siapa lagi kalau bukan Eden. Dia mengingatkan Anna, khawatir jika gadis itu melupakan hari penting itu. “Hei! Kau masih di sana?” tanya Eden lagi memastikan jika lawan bicaranya masih terhubung. “Baiklah. Jangan salahkan aku jika semuanya berantakan,” tutup Eden tanpa mendapatkan jawaban dari Anna. Memutus percakapan. Hari itu adalah hari perayaan pernikahan orang tua Eden, Nyonya Arini dan Tuan Teddy. Anna bersungut-sungut dalam hati. Kenapa dia malah menawarkan diri untuk membantu di pagi hari. Padahal dia sendiri kurang tidur dan cukup lelah untuk bangun lebih awal. Dia butuh waktu untuk tidur lebih lama. Anna menggeliat di balik selimut sambil menendang angi
Jjeon terakhir sudah selesai dicetak. Panci adonan sudah kosong. Beberapa masakan lain juga sudah matang. Kimchi, bulgogi dan juga menu lainnya. Tak hayal semua menunya menyajikan makanan khas dari negara ginseng merah nun jauh di sana, mengingat Eden memiliki darah korea dar garis keturun ayahnya. Anna menyeka peluh di dahi. Wajahnya sangat berantakan. Jangan tanya rambutnya yang sudah basah dan sedikit mengambang. Sedari tadi dia melaksanakan perintah Nyonya Arini tanpa membantah. Anehnya dia menurut saja. Sekarang dia justru bertanya apa yang sedang dilakukannya di sana? Padahal mereka adalah orang asing. Lamunan Anna pecah ketika suara bel terdengar. Anna bergegas menuju layar mini yang menempel di dinding dekat dengan pintu masuk. Dia melihat wajah-wajah baru di layar. “Bukakan pintu untuk mereka!” Anna menoleh ketika mendengar suara Nyonya Arini dari dalam. “Baik bu.” Anna menjawab singkat lalu menekan tombol buka pada layar.
“Tutup mulutmu itu. Sudah kubilang berpikir dulu sebelum bicara.” Nyonya Arini berkata geram dengan suara setengah berberbisik pada Anna. Mereka sudah berada di dapur setelah Nyonya Arini berhasil menariknya keluar dari ruang tamu beberapa menit lalu. “Mana bisa aku diam saja saat mereka bicara hal-hal buruk tentangku dan juga ibu.” Anna menjawab membela diri. Dengan kepribadian Anna yang seperti itu mana bisa dia diam saja setelah mendengar percakapan keluarga Tuan Teddy. “Tetap saja kau tidak seharusnya seperti itu. Apa orang tuamu di rumah tidak mengajarkan sopan santun?” Nyonya Arini masih saja mengomeli Anna. Pupil mata Anna bergetar untuk sesaat. Dia merasa kalah telak. Dirinya tidak punya ayah dan memang tidak pernah diajarkan sopan santun dari seorang ayah. Jadi Anna merasa dia tak bersalah walaupun bertingkah seperti itu. Tapi lihatlah mereka. “Apa mereka juga tidak diajarkan sopan santun oleh orang tua mereka?” Anna balas mempe
Anna berkomat-kamit sendiri sambil memikirkan apa yang harus dilakukannya. Matanya membesar ketika melihat Eden hendak kembali ke meja, jadi dia bisa segera mengajak Eden beranjak dari sana. Tangan Anna terangkat hendak memanggil, namun senyumnya seketika luntur. Eden justru malah membalas sapaan orang lain. Anna berbalik. Matanya kembali membesar. Eden membalas sapaan seorang pria berusia sekitar tiga puluhan dan pria itu bersama orang yang ingin dihindari oleh Anna tadi. Ya, Oliv. Siapa lagi yang ingin dihindari Anna jikan bukan gadis itu. Tapi Anna menjadi bertanya-tanya apa yang dilakukan Olie dan suaminya di sini? Anna kembali duduk sambil menunduk. Mengeluarkan ponsel lalu pura-pura sibuk mengirim pesan ataupun menelepon seseorang. Tidak lama dia melakukan hal itu, dia kembali bangkit dan beranjak menuju meja lain yang agak jauh dari tempat Eden dan teman-temannya itu. Untuk sementara Anna menyimpulkan beberapa pria yang tampak lebih tua dari kekasihnya itu adalah te
“Kali ini pernikahan temanmu yang mana?” Anna kembali bertanya ketika mereka berada di dalam mobil, menuju gedung pernikahan teman Eden. Pria itu juga sudah mengganti pakaian, dia tampak gagah dengan balutan jas hitam dan potongan rambut dengan model comma style. Gaya rambut yang paling cocok dengan potongan wajah asianya yang khas. “Ada tapi kau tidak kenal.” Eden menjawab singkat. Kali ini suaranya terdengar lebih lembut. Tapi jawaban singkat Eden membuat Anna menjadi bertanya-tanya. Dia tak mengenal Eden. Banyak hal yang tak diketahuinya tentang pria yang tengah mengemudi di sampingnya itu. Beda halnya dengan pria itu yang hampir mengetahui segala tentangnya. Termasuk apa yang berkelibat di kepalanya kini. Lihatlah kini Eden tengah mencuri-curi pandang padanya. Eden melirik Anna, gadis itu terdiam tak lagi bertanya. Tapi justru membuat Eden menjadi tak enak karena sudah menjawab singkat. Dia berdeham sekali mengusir keheningan.“Dia salah satu kenalanku sewa
Kata orang, tiada pertemuan yang tak memiliki arti. Tiada pertemuan yang menjadi sebuah kebetulan karena sejatinya sudah ada yang mengatur dan sudah menjadi rencana alam. Ada orang yang percaya jika bertemu dengan orang asing sebanyak tiga kali dalam waktu berdekatan yang sering kali dikatakan berjodoh. Ada pula orang yang bertemu lebih dari itu dan hubungan mereka tetaplah orang asing. Bagaimana dengan orang asing yang tiba-tiba membantu kita untuk menyebrang di tengah jalan? Lalu dengan orang yang tak sengaja bertemu ketika sama-sama membeli daging ayam di supermarket atau mungkin orang yang tak sengaja tersenyum ketika berpapasan saat menyebrangi lampu merah? Keesokannya kita masih bertemu dan bertemu, namun hubungannya tidak lebih dari sebatas kenalan biasa. Kalian tahu? Terlalu banyak faktor yang harus dipertimbangkan untuk mengatakan jikalau sebuah pertemuan itu adalah kebetulan. Pertemuan Anna dan Eden mungkin bisa dikatakan sebagai sebuah kebetulan. Anggap saja ibu
“Kau?” Jari telunjuk Anna spontan terangkat, menunjuk lurus ke arah pria yang mengenakan kemeja dengan potongan leher rendah di salah satu meja café.Pria yang di tunjuk itu menunjukkan seulas senyum yang menampakkan deretan giginya yang putih.“Apa yang kau lakukan di sini?”“Masa muda yang mana yang kau rindukan?” Zeno kembali mengingatkan celoteh Anna beberapa menit yang lalu tepat setelah dua anak sekolah meninggalkan café.Anna berdecak kesal dan sedikit frustasi. “Seingatku aku sudah memberitahumu kalau aku tidak mau bertemu denganmu lagi bukan? Kenapa kau datang lagi ke sini, huh? Seharusnya kau sudah berada di Swiss sekarang?”Zeno mendengus. Dia tidak lupa dengan perkataan Anna. Lebih tepatnya ancaman Anna. Karena ucapan Anna waktu itu penuh tekanan.“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, tapi rasanya tidak enak jika melalui telfon. Makanya aku mengajakmu bertemu. Sebentar saja.”Anna menghubungi Zeno kembali setelah pertemuan mereka siang itu di café milik Anna setelah Oliv m
Sinar matahari menyelinap masuk melewati celah celah ventilasi.“Kau mau aku buatkan sarapan dulu?” tanya Sherin berbasa-basi. Dia tengah memanggang beberapa toast di dapur.“Tidak usah,” jawab Anna sambil sibuk mengemasi barangnya yang berserakan di ruang tengah semalam.“Setidaknya minumlah ini,” sahut Sherin lagi sambil menyerahkan segelas jus apel di atas meja makan. “Supaya pencernaanmu lancar,”Gadis yang mengenakan skirt sebatis itu menurut. Dia berjalan menghampiri meja dan meminum jus buatan Sherin. “Terima kasih jusnya, aku merasa segar.”Sherin hanya tersenyum hangat sebagai balasan atasan pujian Anna. “Hubungi aku jika terjadi sesuatu! Jangan tiba-tiba pulang sambil nangis dan berantakan kayak semalam. Kau mengerti kan?”“Astaga! Kau mulai lagi, baiklah aku mengerti.” Anna sudah maklum dengan omelan sahabatnya itu. Dia tau kalau Sherin khawatir dan dia tidak boleh membuat sahabat satu-satunya itu diselimuti rasa kekhawatiran yang tak jelas. “Aku berangkat dulu, sampai jump
“Siapa yang cemburu?” Eden menjadi salah tingkah. Dia mengusap rambutnya ke belakang dengan kedua tangan.“Lalu mengapa sikapmu yang berlebih seperti ini?”“Aku tidak berlebihan, hanya saja merasa kesal setelah melihatmu kembali bersikap bodoh saat di depan pria brengsek itu. Berapa kali harus kubilang, huh? Dia bukan pria baik-baik. Tidak cukup mempermalukanmu sekali waktu itu di café, sekarang kau ingin membiarkannya melakukannya lagi?”Anna menghela nafas panjang. Disatu sisi, dia merasa wajar melihat Eden murka dan juga geram melihat gadis bodoh yang terlalu mudah termakan omoongan manis dari cinta pertamanya. Dia menatap Eden lamat-lamat dengan mulut terkunci.“Berhentilah menatapku seperti itu.” Eden kembali mengingatkan Anna yang terdiam memperhatikannya untuk beberapa menit. Mereka duduk berhadapan yang dipisahkan oleh meja kecil yang di penuhi oleh kepulan asap sup yang baru saja tiba. “Aku tidak melihatmu.” Anna langsung mengalihkan pandangannya. “Pokoknya, urusa
Terik matahari di luar ikut masuk menyelinap ke dalam hatinya yang terasa panas dan sesak sedari tadi. Semalam dia sudah menerima tawaran Oliv untuk bertemu pria yang paling ingin dihindarinya. Entah apa yang dipikirkannya semalam saat menerima tawaran semalam, alhasil kini hatinya penuh gejolak. Setengah karena rasa penasaran, setengah lagi penuh dengan rasa sakit.Anna hendak berganti pakaian karena sudah jamnya untuk pulang. Eh, tidak. Dia harus menemui Zeno sore itu di tempat kerjanya pula. Anna melirik jam dinding. Seharusnya dia sudah berada di sini. “Kau menungguku?” Suara itu membuat Anna menoleh. Ya. Itu Zeno. Orang yang di tunggunya sudah tiba. Tampak jelas perasaan cemas terpampang jelas di wajah Anna, tapi dia masih berusaha menyunggingkan seulas senyumnya, takut membuat Zeno merasa tidak nyaman. Ah, sial. Anna mengutuk dirinya dalam hati karena masih saja mencemaskan pria itu. Mereka duduk di salah satu meja café. Anna memesankan pesanan sembarang
Anna menoleh. Sepasang matanya memindai penampilan Eden yang begitu kacaud an berantakan. Malam itu pertama kalinya Anna melihat sisi itu dari Eden. Seberapa kacau pikirannya sampai seperti ini, pikir Anna dalam hati. Dia kembali menatap Eden yang berbaring dengan mata terpejam.Anna mengambil selimut hendak menutupi tubuh Eden. Namun gerak tangannya terhenti ketika suara serak Eden mengatakan sesuatu dengan pelan. “Aku merasa bersalah.” Eden bergumam pelan. “Maafkan aku,” lanjutnya lagi. “Untuk apa?” Anna duduk di lantai, di sisi sofa tempat Eden berbaring. Dia membiarkan tangan Eden yang memegang ujung lengan bajunya. “Semuanya.” Eden menghela nafas. “Aku benar-benar minta maaf.” Anna melepaskan tangan Eden. “Aku tidak bisa menerima permintaan maafmu.” Anna malah menjawab perkataan Eden dengan tenang. Bukannya karena kesal atau marah pada pria itu, tapi karena Anna juga merasa bersalah pada Eden. Hanya saja dia tidak menampakkannya sam
Eden hanya bisa menatap punggung Anna saat berjalan menjauh. Ingin hatinya untuk segera berlari untuk mengejar gadis itu, namun langkah kakinya terasa berat. Ada perasaan semacam tak pantas yang terbersit di hatinya saat itu. Setelah semua yang telah dilakukannya pada Anna. Anna belum mabuk saat meninggalkan meja, Eden hanya berharap kekhawatirannya akan sia-sia karena Anna pasti bisa pulang dengan selamat. Toh tempat mereka minum tidak jauh dari apartemen milik Anna. Botol terakhir telah kosong. Kepalanya mulai terasa berat. Namun dia merasa masih belum mabuk. Eden ingin sekali mabuk setidaknya beban pikirannya akan hilang walau hanya semalam. Eden meninggalkan beberapa lembar uang kertas di meja lantas mulai berjalan gontai keluar. Pijakannya tidak pasti dan sedikit terhuyung huyung, tapi badannya masih bisa berdiri dan berjalan menuju minimarket terdekat. Salah seorang pelayan toko memberinya sebotol obat pengar agar dirinya bisa sege