“Kau sudah gila? Padahal kau tau betul kalau aku tidak punya ayah!” ungkap Anna tidak habis pikir. Anna menyesali kelakukan Eden setelah mereka sudah berada di dalam mobil. Sambil duduk berhadapan. “Bukan itu,” “Lalu apa?” Bagaimana jika nanti ibumu ingin bertemu dengan ayahku? Lalu aku bilang kalau aku tidak punya ayah dan ternyata selama ini aku berbohong padanya. Kau ingin membuatku tampak lebih menyedihkan daripada seorang anak yang tidak mempunyai ayah? Dan ibumu pasti akan menganggapku gadis penipu setelah semua ini.” “Tenanglah dulu!” “Bagaimana aku bisa tenang. Kebohongan ini akan semakin membesar dan terus berlanjut. Dan besok aku harus melakukan fitting baju pengantin dengan ibumu. Menurutmu sampai dimana kebohongan ini akan bertahan, huh? Aku seperti membawa bom waktu yang bisa meledak kapan saja.”Anna terus saja mengeluarkan isi kepalanya termasuk segala kekhawatirannya. Ia seolah bisa melihat akhir dari semua ini.“Anna!” P
Anna berjalan dengan mengaitkan kedua tangan ke depan agar terlihat sopan. Dia mengikuti Nyonya Arini yang tengah memilih milih gaun pengantin yang berjejer. Mereka mengunjungi salah satu butik terkenal di kota. Gaun pengantin yang tersedia sangatlah menawan dan tampak anggun dengan bermacam-macam model. Ada yang pendek, sedang, bahkan ada yang panjangnya hingga lima meter, tergantung permintaan. “Menurutmu ini bagaimana?” Nyonya Arini menunjuk gaun putih tanpa lengan yang melekat pada sebuah patung. Ada payet putih yang mengelilingi pinggangnya yang dibuat agak ramping. Anna menoleh ke arah gaun yang ditunjuk. “Bagus,” katanya sambil tersenyum. “Kalau begitu cobalah!” Nyonya Arini mengintruksi. “Ya?” balas Anna yang kebingungan. Sedari tadi dia sibuk memikirkan bagaimana caranya agar bisa keluar dari tempat mengerikan ini. “Mari saya antar,” salah satu pegawai toko mengantarkan Anna menuju ruang ganti. Bahkan di dalam ruangan ganti sudah ada dua or
Eden kembali mengerjap setelah mendengar bel pintu berbunyi. Dia bangkit dengan malas. “Ibu!” geramnya. Dia menebak karena tidak ada lagi yang akan datang ke rumahnya selain dari Nyonya Arini. “Tadaaa!!” seru Anna dengan senyum yang merekah begitu pintu terbuka. Dia langsung menerobos masuk tanpa izin dari Eden. “Hei! Apa-apaan ini?” kata Eden tak terima. Tapi dia tak bisa lagi mencegah karena gadis itu sudah tiba di ruang tamu. Pertanyaannya adalah bagaimana Anna bisa tahu rumahnya? Dia memiringkan kepala untuk mencari ide, namun gagal karena gadis itu sudah memanggilnya dari dalam. Anna takjub dengan perabotan di rumah Eden. Anna sangat bersemangat ketika menemukan kursi pijat di sudut ruang tamu. Lagi-lagi. Dia langsung mencobanya tanpa persetujuan sang pemilik. Anna menghempaskan badannya pada kursi pijat lalu menekan tombol on pada remot kendali. Sambil memejamkan mata, Anna bisa merasakan getaran pada seluruh badannya. “Enaknya!! Kau harus tahu betapa lel
Anna mengerjap. Meraih ponsel yang sedari tadi berdering di atas meja nakas. Tapi kini ponselnya malah terjatuh ke lantai. Terpaksa dia menggerakkan seluruh badan untuk mendapatkan benda yang masih bergetar itu. “Kau sudah bangun?” suara seorang pria terdengar dari seberang sana. Siapa lagi kalau bukan Eden. Dia mengingatkan Anna, khawatir jika gadis itu melupakan hari penting itu. “Hei! Kau masih di sana?” tanya Eden lagi memastikan jika lawan bicaranya masih terhubung. “Baiklah. Jangan salahkan aku jika semuanya berantakan,” tutup Eden tanpa mendapatkan jawaban dari Anna. Memutus percakapan. Hari itu adalah hari perayaan pernikahan orang tua Eden, Nyonya Arini dan Tuan Teddy. Anna bersungut-sungut dalam hati. Kenapa dia malah menawarkan diri untuk membantu di pagi hari. Padahal dia sendiri kurang tidur dan cukup lelah untuk bangun lebih awal. Dia butuh waktu untuk tidur lebih lama. Anna menggeliat di balik selimut sambil menendang angi
Jjeon terakhir sudah selesai dicetak. Panci adonan sudah kosong. Beberapa masakan lain juga sudah matang. Kimchi, bulgogi dan juga menu lainnya. Tak hayal semua menunya menyajikan makanan khas dari negara ginseng merah nun jauh di sana, mengingat Eden memiliki darah korea dar garis keturun ayahnya. Anna menyeka peluh di dahi. Wajahnya sangat berantakan. Jangan tanya rambutnya yang sudah basah dan sedikit mengambang. Sedari tadi dia melaksanakan perintah Nyonya Arini tanpa membantah. Anehnya dia menurut saja. Sekarang dia justru bertanya apa yang sedang dilakukannya di sana? Padahal mereka adalah orang asing. Lamunan Anna pecah ketika suara bel terdengar. Anna bergegas menuju layar mini yang menempel di dinding dekat dengan pintu masuk. Dia melihat wajah-wajah baru di layar. “Bukakan pintu untuk mereka!” Anna menoleh ketika mendengar suara Nyonya Arini dari dalam. “Baik bu.” Anna menjawab singkat lalu menekan tombol buka pada layar.
“Tutup mulutmu itu. Sudah kubilang berpikir dulu sebelum bicara.” Nyonya Arini berkata geram dengan suara setengah berberbisik pada Anna. Mereka sudah berada di dapur setelah Nyonya Arini berhasil menariknya keluar dari ruang tamu beberapa menit lalu. “Mana bisa aku diam saja saat mereka bicara hal-hal buruk tentangku dan juga ibu.” Anna menjawab membela diri. Dengan kepribadian Anna yang seperti itu mana bisa dia diam saja setelah mendengar percakapan keluarga Tuan Teddy. “Tetap saja kau tidak seharusnya seperti itu. Apa orang tuamu di rumah tidak mengajarkan sopan santun?” Nyonya Arini masih saja mengomeli Anna. Pupil mata Anna bergetar untuk sesaat. Dia merasa kalah telak. Dirinya tidak punya ayah dan memang tidak pernah diajarkan sopan santun dari seorang ayah. Jadi Anna merasa dia tak bersalah walaupun bertingkah seperti itu. Tapi lihatlah mereka. “Apa mereka juga tidak diajarkan sopan santun oleh orang tua mereka?” Anna balas mempe
Eden langsung pulang setelah menyelesaikan rapat yang terjadwal hari itu. Dia merasa tidak enak jika harus membuat Anna di rumah keluarganya sendirian. Eden yakin jika gadis itu sudah diomeli habis-habisan oleh ibunya di rumah. Dia berencana akan meminta maaf pada Anna setelah acara keluarganya ini berakhir nanti malam dan mengatakan kalau dia sudah bekerja keras hari itu. Pria yang mengenakan setelan jas itu mendorong kenop pintu dan memakai sandal rumah. Dia sudah tiba beberapa menit yang lalu. Eden melewati ruang tengah. Di sana sudah ada keluarga ayahnya. Sudah kewajiban bagi Eden untuk menyapa dan memberi salam. “Ayah sudah pulang?” Eden bertanya hanya untuk berbasa-basi. “Dia masih ada pekerjaan kantor,” jawab bibi Eden terdengar ketus. Eden menilik raut wajah setiap penghuni ruang tengah yang tampak tak ramah. Mereka seperti kesal akan suatu hal. “Apa terjadi sesuatu sebelum aku tiba?” Eden bertanya dengan sopan. Menya
Acara peringatan pernikahan keluarga di mulai. Sebenarnya ini lebih seperti acara peringatan kematian dari kakek Eden. Namun nenek Eden tak ingin mengingat hari kematian suaminya sebagai hari yang sedih, jadi dia memilih untuk selalu memperingatinya sebagai peringatan pernikahan. Tidak ada yang spesial. Hanya makan malam dan setelah itu berdoa bersama. Anna duduk paling belakang di samping Eden saat mereka berdoa bersama. Anna merasakan sakit yang amat pada kaki kirinya kerena sudah duduk terlalu lama. Dia tak pernah duduk bersimpuh di lantai selama ini sebelumnya. Jadi Anna terlihat tak nyaman dan terus merubah posisi duduknya. Eden menyikut Anna. Gadis itu terus menimbulkan suara saat merubah posisi duduknya. Hal itu membuat seluruh keluarga menoleh pada mereka. Anna langsung memasang wajah datar ketika dia menjadi pusat perhatian, seolah tak terjadi apa-apa. Barulah mereka kembali menghadap ke depan. Melanjutkan berdoa. “Perbaiki dudukmu.” Eden b
“Kau dari mana pagi-pagi sekali?” “Tidak ada, aku keluar memang mau menemuimu,” Eden langsung melingkarkan tangan dan menarik Anna ke dalam dekapannya. “Bohong!” Anna mencubit manja hidung mancung milik Eden. “Mana ada, pakaianmu saja lengkap seperti ini. Kau habis dari mana?” “Rumah orang tuaku,” Anna menjauhkan badan dan mengangkat kepala. “Kenapa? Apa terjadi sesuatu di rumah?” Suara Anna terdengar khawatir. Eden menggeleng. Dia kembali memeluk Anna, kali ini lebih erat. “Bisa izin aja gak hari ini? Kerjanya,” “Tidak bisa, aku sudah terlalu sering tidak masuk. Tidak enak jika terus merepotkan Rian yang harus menggantikan shiftku terus. Tapi memangnya di rumahmu terjadi sesuatu? Sampai-sampai kau harus pulang sepagi ini? Tumben banget.” “Tidak ada. Atau kau mau berhenti bekerja saja?” Eden terus saja mengalihkan topik pembicaraan. “Hei!” Kali ini Anna mendorong tubuh Eden cukup jauh hingg
“Ya. Aku memang bertengkar hebat di Departemen Store waktu itu,” jawab Nyonya Arini dengan suara yang lantang. “Tapi bukan dengan Anna,” lanjutnya lagi, suaranya mulai melunak. “Lalu?” “Aku tidak tau masalah mereka apa, tapi tiba-tiba saja seorang gadis menampar Anna bahkan menjambak rambutnya. Aku tidak terima dia mengatakan hal-hal buruk padanya di tengah keramaian seperti itu.” “Apa?” Eden mendengus tidak percaya. Siapa yang berani beraninya menampar kekasihnya itu. “Bagaimana dengan Anna? Dia tidak mungkin diam saja kan? Apa dia terluka?” “Tentu saja tidak, justru Anna balas menampar gadis itu. Aku segera berlari menghampirinya. Awalnya berniat untuk membantu tapi saat Anna memanggilku dengan sebutan ibu, gadis gila itu justru ikut menarik rambut Anna sambil mengatakan kalau aku tidak mendidik anakku dengan baik.” Nyonya Arini tertawa getir. Dia ingat betul bagaimana kata-kata itu meluncur dari mulut gadis yang berlagak sombong itu.
“Boleh aku bertanya bagaimana perasaanmu lebih jauh?” Sontak Anna langsung menoleh setelah mendengar pertanyaan Eden barusan. Mereka memilih kembali ke salah satu kedai tepi pantai setelah makan malam bersama di rumah Anna. “Hm?” Anna bingung perasaan mana yang dimaksud Eden. Bukankah mereka sudah sama-sama saling mengetahui perasaan masing-masing. “Sudah jauh lebih lega?” “Ah, tentang itu,” sahut Anna mengerti dengan arah pertanyaan Eden. Hampir saja dia salah paham. “Atau masih ada yang kau khawatirkan? Katakan saja padaku, aku akan menyelesaikannya untukmu,” Anna menggeleng. “Tidak ada, kini semuanya terasa lebih lega. Tapi – “ “Tentang ibuku?” Eden menyela lebih dulu. Jika masalah keluarga Anna sudah selesai, berarti hanya tinggal masalah keluarga. Eden pun mengerti tantangan yang akan dihadapi Anna walaupun ibunya sudah memberi restu. Tapi itu masih terasa fana sampai hubungan mereka b
Mereka duduk bertiga di meja makan. Tak ingin melibatkan nenek Anna yang masih asik menonton televisi di ruang tengah. “Maafkan aku bu, semua ini salahku bu. Aku yang meminta Anna untuk berpura-pura menjadi kekasihku untuk membuat ibuku berhenti menyuruhku menikah atau menjodokanku dengan beberapa kenalannya. Tapi sekarang hubungan kami tidak palsu lagi bu. Aku serius dengan Anna dan kami menjalani hubungan sungguhan. Bahkan ibuku juga sudah mengetahui semuanya dan memberi restu pada kami bu,” “Tapi itu – ?” Genggaman tangan Eden mengencang membuat Ana berhenti berbicara. Mereka saling berpengangan tangan untuk menunjukkan keseriusan mereka di depan Ibu Anna. Tapi perkara restu Nyonya Arini itu urusan lain. Ibu Anna cukup hanya tau dengan masalah mendapatkan restu atau tidak. Sebatas itu saja. Untuk masalah sampai mana batasan restu yang mereka dapatkan itu urusan nanti. Yang jelas kini mereka sudah mengatakan yang sebenarnya. Dan Anna menginginkan semuanya ter
Senyum gadis yang mengenakan skirt berwarna putih itu cerah secerah mentari pagi. Dia mendapati pria yang kini tengah tersenyum itu merentangkan tangan. Anna berlari-lari kecil segera menghampiri Eden lalu segera memeluk pria itu. Aroma kayu dan laut berpadu begitu menyegarkan. Eden menyipitkan kedua matanya, menilik penampilan Anna pagi itu dari bawah sampai kepala. “Oh, kau pakai lipstip baru ya? Oh pipimu juga.” Eden menggoda Anna sambil mengelus pelan pipi manis gadisnya itu. “Hei! Jangan merusak penampilanku. Aku harus bangun pagi-pagi untuk dandan dan memilih baju yang paling bagus yang aku punya.” Eden memanyunkan bibirnya pura-pura prihatin dengan perjuangan Anna untuk berdandan demi pertemuan mereka hari ini. “Tumben sekali.” Eden menyelipkan poni Anna ke belakang telinga. “Padahal kau tetap cantik tanpa berdandan, bahkan kau cantik memakai apa saja.”“Dasar pembohong!” Anna menyerngitkan kening. “Aku tau kau pura-pura saat bil
Eden memberikan kecupan pelan. “Hm?” Sebaliknya Anna membalas kecupan Eden. “Jangan malam ini, aku harus pulang.” “Hanya segitu?” Eden pura-pura merajuk layaknya anak kecil umur lima tahun. “Kalau kau mau pulang seharusnya lakukan dengan benar, kan?” Anna mendengus pelan. Dia kembali mendekatkan wajahnya pada Eden. Bibirnya beradu dengan lembutnya bibir milik Eden. Perlahan mulai mengulum dan hanyut dalam di dalamnya. Begitu sebaliknya dengan Eden yang membalas setiap ciuman yang diberikan Anna. Malam semakin gelap. “Kau janji besok akan menginap kan?” Eden tak melepaskan tangan Anna dari genggamannya semenjak mobil mereka meninggalkan gedung klinik. Kini mobil mereka terparkir tepat di depan gedung apartemen milik Anna. Anna mendongakkan kepala, melihat lampu apart di lantai tujuh masih menyala atau masih mati. Hanya ada dua kemungkinan, Sherin belum pulang atau memang dia sudah tidur lebih awal. Sebelah tangan Anna menyentu
Senyum Anna langsung merekah saat dirinya melihat kedatangan pria gagah yang berjalan mendekat ke arahnya. Gelapnya senja tak menghalangi Anna untuk mengenali sosok pria yang berhasil mencuri hatinya belakangan ini. “Jangan berlari,” katanya saat Eden mulai berlari-lari kecil begitu melihat Anna keluar dari pintu. “Sudah lama menunggu?” kata Eden dengan nafas yang masih tersengal setelah berlari. Anna memberi gelengan pelan sebagai jawaban. “Kenapa kau berlari?” Eden meraih tangan Anna lalu mengenggamnya. “Aku ingin segera melihatmu.” “Tapi..” Kepala Anna menoleh ke kanan dan kiri. Mencari sesuatu. “Mana mobilmu?” “Ah itu, aku meninggalkannya di kantor.” “Kenapa?” “Supaya aku bisa menghabiskan lebih banyak waktu denganmu.” Anna meninju pelan pada dada bidang milik Eden. Ada-ada saja kelakuannya. Padahal mereka pasti akan menghabiskan waktu bersama karena Eden pasti mengantar Anna pulang.
“Bagaimana bisa? Kenapa kalian terlihat begitu santai?” Mereka duduk berhadapan di meja makan dengan kedua tangan saling tertaut di atas meja. Sedari tadi Eden tidak melepaskan genggamannya dari tangan Anna. “Aku sudah bilang semuanya pada ibumu,” “Semuanya? Dari mana? Dari awal kita bertemu?” Anna mengangguk. Memang tidak semuanya, tapi secara garis besar mencakup semuanya. “Dia tidak marah?” “Tidak, dia justru menyalahkan dirinya sendiri.” Tampak wajah khawatir dari raut wajah Eden. “Kau yakin? Ibuku orang yang pandai menyembunyikan perasaannya. Kau pasti tau sendiri, kan?” “Kenapa?” tanya Anna ikut khawatir. Dia menangkap raut wajah Eden yang tak fokus dan memikirkan banyak hal. “Firasatku tidak enak,” jawab Eden pelan. Ibunya bukan orang yang mudah berubah. Terlebih jika menyangkut masalah dirinya. Aneh sekali jika tiba-tiba ibunya memberi restu setelah sebelumny
Suara tombol pintu di luar membuat Anna tersentak dan membuka mata. Matanya menangkap Eden yang masih terlelap di sampingnya. Seulas senyum tersungging di wajahnya. Digesernya tangan Eden yang mendekapnya semalaman. Kali ini suara pintu terbuka berhasil membuat Anna bangun dan menapakkan kakinya di lantai. Anna terperanjat bukan main saat mendapati Nyonya Arini sudah berdiri di depan pintu kamar mereka. Ya. Semalam Anna menginap di rumah Eden dan disinilah dia berakhir. “Ibu,” kata Anna pelan. Dia kembali menjadi seperti anak kecil berusia lima tahun yang baru saja dimarahi ibunya karena mencuri permen setelah di larang beberpa hari terakhir. Nyonya Arini melengos dan berjalan ke arah sofa di ruang tengah, seperti sudah menduga kejadian seperti ini akan terjadi. “Kau sudah nyaman sekali rupanya.” Anna mengikuti langkah Nyonya Arini di belakang, tapi langkahnya tertahan dan terhenti saat wanita paruh baya itu duduk menyilangka