“Padahal kau punya menantu yang lain dan juga anak perempuanmu yang manja ini.” Anna menunjuk tante Eden dengan matanya. “Memangnya menantumu hanya Ibu Eden? Dan kenapa pula menyuruh ibu melakukan semua ini sendiri? Kalian tahu seberapa berat pekerjaan ibu hari ini?” “Anna, kembali duduk!” Nyonya Arini kembali menyahut karena Anna sudah berdiri dari kursi tanpa sadar. Meja makan lengang seketika. Anna menoleh ketika Eden meraih tangannya. “Sayang, duduklah! Kendalikan emosimu.” Eden ikut berusaha menenangkan dan menyuruh gadis yang tersulut emosi itu untuk duduk. Baiklah Anna akan menurut. Anna membalas Eden dengan tatapan yang kecewa dan kembali duduk. Dia menepis tangan Eden lalu mengambil sendok lalu menyuap nasi ke mulut dengan kasar. Tidak peduli dengan suasana yang sudah diciptakannya. Dia menatap nenek Eden saat mengunyah makanan. Eden berusaha menyembunyikan gelaknya di balik wajah datar. Entahlah apa dia harus merasa
Eden mengusap rambut sambil menghela nafas panjang. Bukankah ini yang diinginkannya? Tapi kenapa menjadi seperti ini. Dia kembali ke rumah. Mendatangi ruang tengah yang masih lengang. Eden berpapasan dengan Nyonya Arini, namun dia melewatinya begitu saja. Eden hanya ingin mengambil jas yang dipakainya tadi di atas sofa. Kemudian berlalu keluar rumah. “Kau tidak menghabiskan makananmu dulu?” Tuan Teddy berseru ketika Eden sudah sampai di pintu. Anaknya itu tidak menjawab sama sekali. “Lihatlah anakmu itu. Dia masih saja kurang ajar pada orang tua.” Nenek Eden menyahut. “Cukup bu.” Tuan Teddy tak ingin memperpanjang perdebatan mereka di meja makan sore itu. “Jika ibu tak menyinggung masalah tentang Anna, Eden tidak akan seperti itu.” “Astaga, sekarang kau ikut menyalahkan ibu?” Nenek Eden mendengus tak terima dengan tuduhan putra sulungnya. Nyonya Arini kembali ke meja makan. Langsung duduk. Tak banyak bersuara.
Eden mendatangi taman kota. Mencari gadis yang memakai piyama hitam. Dia tidak mungkin sudah berganti pakaian bukan? Eden membatin. Matanya menyusuri setiap sudut taman di tengah keramaian yang semakin memuncak. Langit malam tampak indah berhiaskan ribuan bintang. Bulan juga tampak menawan walau hanya setengah. Taman kota ramai meski sudah malam. Banyak orang yang berlalu lalang untuk melepas penat selepas pulang kerja. Ada yang sendiri, berdua bersama pasangan, keluarga kecil atau mungkin bersama teman. Seperti sekelompok anak gadis yang baru saja dilewati Eden. Eden terus menyusuri jalan kecil yang membelah taman hingga tiba di sisi sebelah jalan. Sepertinya Anna tidak ada di sini. Eden kemudian melewati setiap rumah minum atau bar mini di sepanjang jalan di tepi trotoar. Berharap akan menemukan yang dicarinya di sana sesuai saran dari Sherin tadi. Beberapa kali dia keluar masuk rumah minum, dia tetap tak melihat ada Anna di sana. Entah apa yang membuat Eden
“Mengapa kau mengikutiku? Pulanglah sana!” ucap Anna saat menyadari Eden mengikutinya di belakang. Benda kotak itu mendesing halus bergerak naik. Mereka tengah berada di dalam lift menuju lantai tujuh. Hanya ada mereka berdua di dalamnya. Wajar saja mengingat sudah hampir tengah malam. “Tadi aku tak sengaja bertemu dengan teman rumahmu.” Kata Eden menjawab singkat. Tentu saja itu bukanlah jawaban yang tepat untuk pertanyaan yang dilontarkan Anna satu menit lalu.Pintu lift terbuka. Anna menoleh sebelum keluar. “Sherin? Dimana?”“Di sini.”Anna melangkah keluar lalu berkata, “kau sudah ke sini tadi? Kenapa?”“Buat apa lagi? Ya untuk memberikan obat itu.” Eden melirik kantong obat di tangan Anna.Mereka sudah tiba di depan pintu. “Lalu apa hubungannya kau mengikutiku dengan kau yang bertemu Sherin tadi.”“Hm?” Eden menjadi salah tangkah. Kakinya melangkah begitu saja mengikuti Anna semenjak gadis itu meninggalkan mobilnya tadi. “Ya…. Aku ingin menyapa temanmu lag
Anna mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Mengusap pelan bagian sisi kiri dan kanan sambil duduk di tempat tidur. Sekarang dia agak kesulitan untuk tersenyum karena pipinya masih terasa kebas. Rasa sakitnya semakin menjadi semenjak bangun tidur pagi itu. Gadis dengan baju tidur berwarna putih itu menghela nafas pelan. Melirik ponselnya di atas meja nakas. Dia lupa akan benda kecil itu semenjak kemarin. Wajah Anna diterpa cahaya layar ponsel. Dia menyergit karena silau. Dua panggilan tak terjawab dari Eden dan juga satu panggilan tak terjawab dari Kevin. ‘ “Ah, kenapa pria brengsek ini meneleponku?” Anna bergumam pelan. Dia berdecak kesal. Sebuah pesan masuk membuat mata Anna melotot. Hei. Itu dari Zeno. Dia kembali mengajak Anna jika punya waktu senggang besok. Yang berarti hari ini. Baiklah. Dia langsung setuju dengan ajakan Zeno. Lagi pula hubungan Anna sudah berakhir dengan Eden, jadi dia sudah boleh pergi kemana pu
Anna bergegas turun dari bis. Dia sudah menempuh perjalanan selama satu jam. Sekarang dia masih harus naik taksi sekitar sepuluh menit jika ingin tiba lebih cepat. Dia harus segera tiba di rumah. Hanya Eden yang ada di benaknya sekarang. Anna tak bisa berpkir jernih memikirkan apa yang sedang dilakukan Eden di sana. Semua rencananya menjadi gagal. Baik Zeno dan juga Eden. Entah apa yang dipikirkan Eden tiba-tiba datang ke rumahnya. Anna segera berlari ke rumah dan membuka sepatunya dengan cepat lalu berganti sandal rumah. Seketika langkahnya berhenti ketika melihat ibu dan neneknya tengah tertawa lepas bersama dengan Eden. Mereka tampak begitu bahagia tengah menyantap makan siang di tengah rumah. Gadis dengan rambut yang dikuncir kuda itu termangu di tempat. Menatap ibunya lamat-lamat. Dia sudah lupa kapan terakhir kali melihat ibunya bisa tertawa lepas seperti itu. Selama ini hanya rasa khawatir yang terpancar dari raut wajah sendu wanita paruh b
Anna merapikan baju dan rambutnya yang agak kusut kemudian berbalik. Dia mendapati Zeno yang duduk di antara tiga orang pria lainnya. Senyum di wajahnya hilang. Bukan karena tidak senang setelah mengetahui karena Zeno masih di sana menunggunya, tapi karena Zeno tidak sendiri. Bukankah dia bilang ingin mengajaknya makan malam itu artinya hanya berdua? Jika tau begini, Anna tidak akan merasa khawatir sepanjang perjalanan ini. Zeno bangkit dari kursi dan segera menghampiri Anna. “Kau akhirnya datang juga,”“Maaf aku datang terlambat.” Anna hanya bisa tersenyum canggung. Sesekali melirik ketiga pria yang ikut memusatkan perhatian mereka padanya dari balik punggung Zeno.Zenno meraih tangan Anna untuk mengajaknya segera duduk dan bergabung di meja. Tentu saja hal itu membuat Anna menjadi salah tingkah sekaligus bingung. Semenjak kapan mereka menjadi sedekat ini sampai-sampai Zeno berani menyentuh tangannya tanpa izin?Anna termasuk gadis yang konservatif meskipun telah disakiti
Seluruh pengunjung café di lantai dua berseru riuh. Mereka bergidik ngeri ketika Anna baru saja mendapatkan sebuah tamparan yang keras. Namun mereka tidak ada yang mengambil tindakan selain menonton dan mengeluarkan ponsel lalu mengambil beberapa gambar. “Kau marah bukan? Itu artinya kekasihku bisa lebih marah dibandingkan dirimu.” Anna menantang Jun. Tiada rasa takut dalam dirinya meski berhadapan dengan tiga orang laki-laki dan juga Zeno yang hanya diam melihat dirinya diperlakukan buruk seperti itu. Anna beralih menatap Zeno. “Jika kau memang punya sedikit rasa padaku. Kau tidak akan pernah melakukan hal ini padaku.” Anna berbalik hendak meninggalkan ketiga orang yang menjengkelkan itu. “Kau mau kemana setelah mempermalukan kami? Huh?” Jun balik menahan lengan Anna. Dia menarik gadis itu kembali ke tempat duduk. Anna berusaha menepis tangan Jun, tapi Hyun malah memegangi sebelah tangannya yang bebas. Alhasil Anna kembali ke tempat semu
“Kau dari mana pagi-pagi sekali?” “Tidak ada, aku keluar memang mau menemuimu,” Eden langsung melingkarkan tangan dan menarik Anna ke dalam dekapannya. “Bohong!” Anna mencubit manja hidung mancung milik Eden. “Mana ada, pakaianmu saja lengkap seperti ini. Kau habis dari mana?” “Rumah orang tuaku,” Anna menjauhkan badan dan mengangkat kepala. “Kenapa? Apa terjadi sesuatu di rumah?” Suara Anna terdengar khawatir. Eden menggeleng. Dia kembali memeluk Anna, kali ini lebih erat. “Bisa izin aja gak hari ini? Kerjanya,” “Tidak bisa, aku sudah terlalu sering tidak masuk. Tidak enak jika terus merepotkan Rian yang harus menggantikan shiftku terus. Tapi memangnya di rumahmu terjadi sesuatu? Sampai-sampai kau harus pulang sepagi ini? Tumben banget.” “Tidak ada. Atau kau mau berhenti bekerja saja?” Eden terus saja mengalihkan topik pembicaraan. “Hei!” Kali ini Anna mendorong tubuh Eden cukup jauh hingg
“Ya. Aku memang bertengkar hebat di Departemen Store waktu itu,” jawab Nyonya Arini dengan suara yang lantang. “Tapi bukan dengan Anna,” lanjutnya lagi, suaranya mulai melunak. “Lalu?” “Aku tidak tau masalah mereka apa, tapi tiba-tiba saja seorang gadis menampar Anna bahkan menjambak rambutnya. Aku tidak terima dia mengatakan hal-hal buruk padanya di tengah keramaian seperti itu.” “Apa?” Eden mendengus tidak percaya. Siapa yang berani beraninya menampar kekasihnya itu. “Bagaimana dengan Anna? Dia tidak mungkin diam saja kan? Apa dia terluka?” “Tentu saja tidak, justru Anna balas menampar gadis itu. Aku segera berlari menghampirinya. Awalnya berniat untuk membantu tapi saat Anna memanggilku dengan sebutan ibu, gadis gila itu justru ikut menarik rambut Anna sambil mengatakan kalau aku tidak mendidik anakku dengan baik.” Nyonya Arini tertawa getir. Dia ingat betul bagaimana kata-kata itu meluncur dari mulut gadis yang berlagak sombong itu.
“Boleh aku bertanya bagaimana perasaanmu lebih jauh?” Sontak Anna langsung menoleh setelah mendengar pertanyaan Eden barusan. Mereka memilih kembali ke salah satu kedai tepi pantai setelah makan malam bersama di rumah Anna. “Hm?” Anna bingung perasaan mana yang dimaksud Eden. Bukankah mereka sudah sama-sama saling mengetahui perasaan masing-masing. “Sudah jauh lebih lega?” “Ah, tentang itu,” sahut Anna mengerti dengan arah pertanyaan Eden. Hampir saja dia salah paham. “Atau masih ada yang kau khawatirkan? Katakan saja padaku, aku akan menyelesaikannya untukmu,” Anna menggeleng. “Tidak ada, kini semuanya terasa lebih lega. Tapi – “ “Tentang ibuku?” Eden menyela lebih dulu. Jika masalah keluarga Anna sudah selesai, berarti hanya tinggal masalah keluarga. Eden pun mengerti tantangan yang akan dihadapi Anna walaupun ibunya sudah memberi restu. Tapi itu masih terasa fana sampai hubungan mereka b
Mereka duduk bertiga di meja makan. Tak ingin melibatkan nenek Anna yang masih asik menonton televisi di ruang tengah. “Maafkan aku bu, semua ini salahku bu. Aku yang meminta Anna untuk berpura-pura menjadi kekasihku untuk membuat ibuku berhenti menyuruhku menikah atau menjodokanku dengan beberapa kenalannya. Tapi sekarang hubungan kami tidak palsu lagi bu. Aku serius dengan Anna dan kami menjalani hubungan sungguhan. Bahkan ibuku juga sudah mengetahui semuanya dan memberi restu pada kami bu,” “Tapi itu – ?” Genggaman tangan Eden mengencang membuat Ana berhenti berbicara. Mereka saling berpengangan tangan untuk menunjukkan keseriusan mereka di depan Ibu Anna. Tapi perkara restu Nyonya Arini itu urusan lain. Ibu Anna cukup hanya tau dengan masalah mendapatkan restu atau tidak. Sebatas itu saja. Untuk masalah sampai mana batasan restu yang mereka dapatkan itu urusan nanti. Yang jelas kini mereka sudah mengatakan yang sebenarnya. Dan Anna menginginkan semuanya ter
Senyum gadis yang mengenakan skirt berwarna putih itu cerah secerah mentari pagi. Dia mendapati pria yang kini tengah tersenyum itu merentangkan tangan. Anna berlari-lari kecil segera menghampiri Eden lalu segera memeluk pria itu. Aroma kayu dan laut berpadu begitu menyegarkan. Eden menyipitkan kedua matanya, menilik penampilan Anna pagi itu dari bawah sampai kepala. “Oh, kau pakai lipstip baru ya? Oh pipimu juga.” Eden menggoda Anna sambil mengelus pelan pipi manis gadisnya itu. “Hei! Jangan merusak penampilanku. Aku harus bangun pagi-pagi untuk dandan dan memilih baju yang paling bagus yang aku punya.” Eden memanyunkan bibirnya pura-pura prihatin dengan perjuangan Anna untuk berdandan demi pertemuan mereka hari ini. “Tumben sekali.” Eden menyelipkan poni Anna ke belakang telinga. “Padahal kau tetap cantik tanpa berdandan, bahkan kau cantik memakai apa saja.”“Dasar pembohong!” Anna menyerngitkan kening. “Aku tau kau pura-pura saat bil
Eden memberikan kecupan pelan. “Hm?” Sebaliknya Anna membalas kecupan Eden. “Jangan malam ini, aku harus pulang.” “Hanya segitu?” Eden pura-pura merajuk layaknya anak kecil umur lima tahun. “Kalau kau mau pulang seharusnya lakukan dengan benar, kan?” Anna mendengus pelan. Dia kembali mendekatkan wajahnya pada Eden. Bibirnya beradu dengan lembutnya bibir milik Eden. Perlahan mulai mengulum dan hanyut dalam di dalamnya. Begitu sebaliknya dengan Eden yang membalas setiap ciuman yang diberikan Anna. Malam semakin gelap. “Kau janji besok akan menginap kan?” Eden tak melepaskan tangan Anna dari genggamannya semenjak mobil mereka meninggalkan gedung klinik. Kini mobil mereka terparkir tepat di depan gedung apartemen milik Anna. Anna mendongakkan kepala, melihat lampu apart di lantai tujuh masih menyala atau masih mati. Hanya ada dua kemungkinan, Sherin belum pulang atau memang dia sudah tidur lebih awal. Sebelah tangan Anna menyentu
Senyum Anna langsung merekah saat dirinya melihat kedatangan pria gagah yang berjalan mendekat ke arahnya. Gelapnya senja tak menghalangi Anna untuk mengenali sosok pria yang berhasil mencuri hatinya belakangan ini. “Jangan berlari,” katanya saat Eden mulai berlari-lari kecil begitu melihat Anna keluar dari pintu. “Sudah lama menunggu?” kata Eden dengan nafas yang masih tersengal setelah berlari. Anna memberi gelengan pelan sebagai jawaban. “Kenapa kau berlari?” Eden meraih tangan Anna lalu mengenggamnya. “Aku ingin segera melihatmu.” “Tapi..” Kepala Anna menoleh ke kanan dan kiri. Mencari sesuatu. “Mana mobilmu?” “Ah itu, aku meninggalkannya di kantor.” “Kenapa?” “Supaya aku bisa menghabiskan lebih banyak waktu denganmu.” Anna meninju pelan pada dada bidang milik Eden. Ada-ada saja kelakuannya. Padahal mereka pasti akan menghabiskan waktu bersama karena Eden pasti mengantar Anna pulang.
“Bagaimana bisa? Kenapa kalian terlihat begitu santai?” Mereka duduk berhadapan di meja makan dengan kedua tangan saling tertaut di atas meja. Sedari tadi Eden tidak melepaskan genggamannya dari tangan Anna. “Aku sudah bilang semuanya pada ibumu,” “Semuanya? Dari mana? Dari awal kita bertemu?” Anna mengangguk. Memang tidak semuanya, tapi secara garis besar mencakup semuanya. “Dia tidak marah?” “Tidak, dia justru menyalahkan dirinya sendiri.” Tampak wajah khawatir dari raut wajah Eden. “Kau yakin? Ibuku orang yang pandai menyembunyikan perasaannya. Kau pasti tau sendiri, kan?” “Kenapa?” tanya Anna ikut khawatir. Dia menangkap raut wajah Eden yang tak fokus dan memikirkan banyak hal. “Firasatku tidak enak,” jawab Eden pelan. Ibunya bukan orang yang mudah berubah. Terlebih jika menyangkut masalah dirinya. Aneh sekali jika tiba-tiba ibunya memberi restu setelah sebelumny
Suara tombol pintu di luar membuat Anna tersentak dan membuka mata. Matanya menangkap Eden yang masih terlelap di sampingnya. Seulas senyum tersungging di wajahnya. Digesernya tangan Eden yang mendekapnya semalaman. Kali ini suara pintu terbuka berhasil membuat Anna bangun dan menapakkan kakinya di lantai. Anna terperanjat bukan main saat mendapati Nyonya Arini sudah berdiri di depan pintu kamar mereka. Ya. Semalam Anna menginap di rumah Eden dan disinilah dia berakhir. “Ibu,” kata Anna pelan. Dia kembali menjadi seperti anak kecil berusia lima tahun yang baru saja dimarahi ibunya karena mencuri permen setelah di larang beberpa hari terakhir. Nyonya Arini melengos dan berjalan ke arah sofa di ruang tengah, seperti sudah menduga kejadian seperti ini akan terjadi. “Kau sudah nyaman sekali rupanya.” Anna mengikuti langkah Nyonya Arini di belakang, tapi langkahnya tertahan dan terhenti saat wanita paruh baya itu duduk menyilangka