Anna bergegas turun dari bis. Dia sudah menempuh perjalanan selama satu jam. Sekarang dia masih harus naik taksi sekitar sepuluh menit jika ingin tiba lebih cepat. Dia harus segera tiba di rumah. Hanya Eden yang ada di benaknya sekarang. Anna tak bisa berpkir jernih memikirkan apa yang sedang dilakukan Eden di sana. Semua rencananya menjadi gagal. Baik Zeno dan juga Eden. Entah apa yang dipikirkan Eden tiba-tiba datang ke rumahnya. Anna segera berlari ke rumah dan membuka sepatunya dengan cepat lalu berganti sandal rumah. Seketika langkahnya berhenti ketika melihat ibu dan neneknya tengah tertawa lepas bersama dengan Eden. Mereka tampak begitu bahagia tengah menyantap makan siang di tengah rumah. Gadis dengan rambut yang dikuncir kuda itu termangu di tempat. Menatap ibunya lamat-lamat. Dia sudah lupa kapan terakhir kali melihat ibunya bisa tertawa lepas seperti itu. Selama ini hanya rasa khawatir yang terpancar dari raut wajah sendu wanita paruh b
Anna merapikan baju dan rambutnya yang agak kusut kemudian berbalik. Dia mendapati Zeno yang duduk di antara tiga orang pria lainnya. Senyum di wajahnya hilang. Bukan karena tidak senang setelah mengetahui karena Zeno masih di sana menunggunya, tapi karena Zeno tidak sendiri. Bukankah dia bilang ingin mengajaknya makan malam itu artinya hanya berdua? Jika tau begini, Anna tidak akan merasa khawatir sepanjang perjalanan ini. Zeno bangkit dari kursi dan segera menghampiri Anna. “Kau akhirnya datang juga,”“Maaf aku datang terlambat.” Anna hanya bisa tersenyum canggung. Sesekali melirik ketiga pria yang ikut memusatkan perhatian mereka padanya dari balik punggung Zeno.Zenno meraih tangan Anna untuk mengajaknya segera duduk dan bergabung di meja. Tentu saja hal itu membuat Anna menjadi salah tingkah sekaligus bingung. Semenjak kapan mereka menjadi sedekat ini sampai-sampai Zeno berani menyentuh tangannya tanpa izin?Anna termasuk gadis yang konservatif meskipun telah disakiti
Seluruh pengunjung café di lantai dua berseru riuh. Mereka bergidik ngeri ketika Anna baru saja mendapatkan sebuah tamparan yang keras. Namun mereka tidak ada yang mengambil tindakan selain menonton dan mengeluarkan ponsel lalu mengambil beberapa gambar. “Kau marah bukan? Itu artinya kekasihku bisa lebih marah dibandingkan dirimu.” Anna menantang Jun. Tiada rasa takut dalam dirinya meski berhadapan dengan tiga orang laki-laki dan juga Zeno yang hanya diam melihat dirinya diperlakukan buruk seperti itu. Anna beralih menatap Zeno. “Jika kau memang punya sedikit rasa padaku. Kau tidak akan pernah melakukan hal ini padaku.” Anna berbalik hendak meninggalkan ketiga orang yang menjengkelkan itu. “Kau mau kemana setelah mempermalukan kami? Huh?” Jun balik menahan lengan Anna. Dia menarik gadis itu kembali ke tempat duduk. Anna berusaha menepis tangan Jun, tapi Hyun malah memegangi sebelah tangannya yang bebas. Alhasil Anna kembali ke tempat semu
Tiada hari yang tenang bagi Anna. Bertubi-tubi masalah datang padanya. Mulai dari pengkhianatan oleh Kevin, membohongi ibu dan neneknya, bohong akan identitasnya, dipecat dari tempat kerja, hingga dipermalukan oleh Zeno. Jika saja Oliv tak membujuknya untuk datang ke acara reuni sekolah itu, jika saja dia tak pernah berharap lebih saat bertemu kembali dengan Zeno, apakah situasinya mungkin akan berbeda? Eden membawa Anna ke apotek dua puluh empat jam. Sudut bibirnya ternyata mengeluarkan darah yang sudah mengering. “Teganya dia memukul perempuan seperti ini.” Eden ikut meringis kesakitan ketika mengoleskan salep luka pada sudut bibir Anna. “Yang kesakitan itu aku, tapi kenapa raut mukamu yang berlebihan ya?” sindir Anna sambil tertawa. “Aa..” Senyumnya hilang karena lukanya terasa perih. “Sudah kubilang Zeno itu bukan laki-laki yang baik. Kau saja yang tak mendengarkan.” “Kapan?” Anna membalas dengan kening berker
Tangan Anna memegang ujung tangan Eden yang berhasil membuat pria itu terdiam di tempat. “Aku sedang berusaha untuk itu,” kata Eden pelan. Anna terkekeh. Dia sudah hanyut dalam dunia bawah sadarnya. “Kau selalu saja berusaha.” Anna bergumam tak jelas. Eden melepaskan tangan Anna dari ujung lengannya lalu menutup pintu mobil. Eden terdiam sebentar di luar mengamati setiap pejalan kaki yang melintas. Lalu dia menoleh lagi ke belakang melihat Anna yang sudah tertidur nyenyak di jok mobil. Akhirnya Eden mengitar mobil dan masuk. Kini dia sudah duduk di balik kemudi. Eden mencondongkan badannya ke arah Anna lalu menarik sabuk pengaman. Tadi dia gagal memakaikannya karena Anna lebih dulu menghentikan gerak tangannya. Namun siapa sangka jika Anna akan memeluknya. Eden terkesiap lantas mengerjab. Badannya terasa kaku seketika sementara pelukan Anna terasa semakin kencang. “Aku mohon, cintailah aku.” Anna masih menggumamkan hal yang s
Anna membuka mata perlahan. Mentari pagi menelisik masuk kamar melalui celah tirai yang belum terbuka sempurna. Namun kamarnya sudah terang karena matahari sudah bersinar terik di luar sana. Anna melihat sekeliling. Dia menghela nafas lega saat tahu kalau dia berada di kamarnya sendiri, tak menyasar di tempat asing. Dia mengangkat tangan memijit pelan pelipisnya. Kepalanya masih terasa pusing akibat rasa mabuk semalam. Gadis yang masih mengenakan baju kemarin itu menyingkap selimut lantas menapakkan kakinya di lantai kamar. Anna bangkit dan berjalan ke arah pintu. Dia tak melihat Sherin di ruang tengah. Dia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas. Untunglah dia tak lagi bekerja, jadi dia bebas untuk bangun pukul berapa pun itu. Kalau pun tidur seharian, tidak akan ada yang memarahinya. “Kau sudah bangun? Bagaimana dengan rasa pengarmu?” Sherin berjalan di depannya menuju dapur. “Hm.” Anna mengikuti Sherin ke arah dapur. “Tapi aku ma
“Kau berencana melanjutkan semua ini bukan?” Eden kembali memastikan kesepakatannya dengan Anna. Anna mengantar Eden turun ke parkiran. “Memangnya kau bisa membolos setengah hari seperti ini?” Anna bertanya. “Tentu saja. Aku pemilik sekaligus staff di tempatku bekerja.” Anna berdecak sebel. Dia menyumpahi Eden dalam hati. Betapa sombongnya pria di sampingnya ini. Anna langsung membuang muka. “Atau kau mau masuk kerja sekarang saja?” Anna mendesis sebal. “Sudah kubilang aku tak mau. Atau aku tak mau menjadi pasangan pura-puramu lagi?” Anna balik mengancam. Eden kehabisan kata-kata. “Hei!” Pintu lift terbuka. Eden melangkahkan kaki masuk mengikuti Anna yang sudah berdiri sambil melipat tangan di dada. Lift mendesing turun. Lengang sejenak untuk lima belas detik kemudian. Ting! Pintu Lift kembali terbuka. “Kau belum menceritakan kejadian yang sebenarnya pada
Meja Anna hening sejenak. Tidak ada percakapan di antara mereka selama sepuluh detik. Anna menatap gadis di depannya dengan tajam hingga membuat gadis itu salah tingkah. “Begitulah yang kudengar.” Oliv menambahkan sambil memperbaiki posisi duduk, kembali menegakkan punggung. Tak perlu berbasa-basi, “dia yang mengatakannya?” Anna berkata datar langsung berbicara ke intinya. Oliv memang dekat dengan Zeno, jadi bisa saja Zeno yang membeberkan semuanya. Padahal lebih dari siapa pun, pria itu tau kalau dia dan Oliv bukanlah teman dekat untuk bisa saling bertukar rahasia kecil seperti ini. Olive terkekeh. “Astaga. Malang sekali nasibmu. Makanya jangan bersikap seolah kau punya semuanya di depan semua orang.” “Dia yang mengatakannya begitu?” Suara Anna meninggi. Dia kembali bertanya mengabaikan ocehan Oliv. “Tidak. Aku hanya menebaknya.” Oliv menghela nafas. “Tapi melihat bagaimana reaksimu, aku sudah mendapatkan jawaban yang cukup
Seolah mengerti dengan situasi saat itu, Oliv langsung merubah ekspresinya menjadi seramah mungkin sambil memasang senyum termanis di dunia. “Oh hai, Anna, bagaimana kabarmu?” Oliv berusaha menggandeng lengan Anna yang segera ditepis oleh Anna. Sungguh dia sudah muak melihak tingkah temannya itu. “Kami teman semasa sekolah dulu dan cukup dekat, iya kan?” Oliv masih terus berceloteh sesuka hatinya. “Oh benarkah?” suami Oliv terlihat yang paling antusias di antara mereka. Dia seolah bisa melihat bahkan mendapatkan peluang jika istrinya dekat dengan kekasih dari atasannya. “Ya.. begitulah. Tapi kami tidak dekat,” sahut Anna pendek yang berhasil membuat Eden tertawa dalam diam dan tertahan. “Hei, apa maksudmu kita tidak dekat.” Oliv kembali meraih lengan Anna. “Kalau pun tidak dekat, kita bisa menjadi lebih dekat sekarang kan, tidak masalah bagiku.” Oliv tersenyum bangga sementara Anna terlihat risih dan berusaha melepas gandenga
Anna berkomat-kamit sendiri sambil memikirkan apa yang harus dilakukannya. Matanya membesar ketika melihat Eden hendak kembali ke meja, jadi dia bisa segera mengajak Eden beranjak dari sana. Tangan Anna terangkat hendak memanggil, namun senyumnya seketika luntur. Eden justru malah membalas sapaan orang lain. Anna berbalik. Matanya kembali membesar. Eden membalas sapaan seorang pria berusia sekitar tiga puluhan dan pria itu bersama orang yang ingin dihindari oleh Anna tadi. Ya, Oliv. Siapa lagi yang ingin dihindari Anna jikan bukan gadis itu. Tapi Anna menjadi bertanya-tanya apa yang dilakukan Olie dan suaminya di sini? Anna kembali duduk sambil menunduk. Mengeluarkan ponsel lalu pura-pura sibuk mengirim pesan ataupun menelepon seseorang. Tidak lama dia melakukan hal itu, dia kembali bangkit dan beranjak menuju meja lain yang agak jauh dari tempat Eden dan teman-temannya itu. Untuk sementara Anna menyimpulkan beberapa pria yang tampak lebih tua dari kekasihnya itu adalah te
“Kali ini pernikahan temanmu yang mana?” Anna kembali bertanya ketika mereka berada di dalam mobil, menuju gedung pernikahan teman Eden. Pria itu juga sudah mengganti pakaian, dia tampak gagah dengan balutan jas hitam dan potongan rambut dengan model comma style. Gaya rambut yang paling cocok dengan potongan wajah asianya yang khas. “Ada tapi kau tidak kenal.” Eden menjawab singkat. Kali ini suaranya terdengar lebih lembut. Tapi jawaban singkat Eden membuat Anna menjadi bertanya-tanya. Dia tak mengenal Eden. Banyak hal yang tak diketahuinya tentang pria yang tengah mengemudi di sampingnya itu. Beda halnya dengan pria itu yang hampir mengetahui segala tentangnya. Termasuk apa yang berkelibat di kepalanya kini. Lihatlah kini Eden tengah mencuri-curi pandang padanya. Eden melirik Anna, gadis itu terdiam tak lagi bertanya. Tapi justru membuat Eden menjadi tak enak karena sudah menjawab singkat. Dia berdeham sekali mengusir keheningan.“Dia salah satu kenalanku sewa
Kata orang, tiada pertemuan yang tak memiliki arti. Tiada pertemuan yang menjadi sebuah kebetulan karena sejatinya sudah ada yang mengatur dan sudah menjadi rencana alam. Ada orang yang percaya jika bertemu dengan orang asing sebanyak tiga kali dalam waktu berdekatan yang sering kali dikatakan berjodoh. Ada pula orang yang bertemu lebih dari itu dan hubungan mereka tetaplah orang asing. Bagaimana dengan orang asing yang tiba-tiba membantu kita untuk menyebrang di tengah jalan? Lalu dengan orang yang tak sengaja bertemu ketika sama-sama membeli daging ayam di supermarket atau mungkin orang yang tak sengaja tersenyum ketika berpapasan saat menyebrangi lampu merah? Keesokannya kita masih bertemu dan bertemu, namun hubungannya tidak lebih dari sebatas kenalan biasa. Kalian tahu? Terlalu banyak faktor yang harus dipertimbangkan untuk mengatakan jikalau sebuah pertemuan itu adalah kebetulan. Pertemuan Anna dan Eden mungkin bisa dikatakan sebagai sebuah kebetulan. Anggap saja ibu
“Kau?” Jari telunjuk Anna spontan terangkat, menunjuk lurus ke arah pria yang mengenakan kemeja dengan potongan leher rendah di salah satu meja café.Pria yang di tunjuk itu menunjukkan seulas senyum yang menampakkan deretan giginya yang putih.“Apa yang kau lakukan di sini?”“Masa muda yang mana yang kau rindukan?” Zeno kembali mengingatkan celoteh Anna beberapa menit yang lalu tepat setelah dua anak sekolah meninggalkan café.Anna berdecak kesal dan sedikit frustasi. “Seingatku aku sudah memberitahumu kalau aku tidak mau bertemu denganmu lagi bukan? Kenapa kau datang lagi ke sini, huh? Seharusnya kau sudah berada di Swiss sekarang?”Zeno mendengus. Dia tidak lupa dengan perkataan Anna. Lebih tepatnya ancaman Anna. Karena ucapan Anna waktu itu penuh tekanan.“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, tapi rasanya tidak enak jika melalui telfon. Makanya aku mengajakmu bertemu. Sebentar saja.”Anna menghubungi Zeno kembali setelah pertemuan mereka siang itu di café milik Anna setelah Oliv m
Sinar matahari menyelinap masuk melewati celah celah ventilasi.“Kau mau aku buatkan sarapan dulu?” tanya Sherin berbasa-basi. Dia tengah memanggang beberapa toast di dapur.“Tidak usah,” jawab Anna sambil sibuk mengemasi barangnya yang berserakan di ruang tengah semalam.“Setidaknya minumlah ini,” sahut Sherin lagi sambil menyerahkan segelas jus apel di atas meja makan. “Supaya pencernaanmu lancar,”Gadis yang mengenakan skirt sebatis itu menurut. Dia berjalan menghampiri meja dan meminum jus buatan Sherin. “Terima kasih jusnya, aku merasa segar.”Sherin hanya tersenyum hangat sebagai balasan atasan pujian Anna. “Hubungi aku jika terjadi sesuatu! Jangan tiba-tiba pulang sambil nangis dan berantakan kayak semalam. Kau mengerti kan?”“Astaga! Kau mulai lagi, baiklah aku mengerti.” Anna sudah maklum dengan omelan sahabatnya itu. Dia tau kalau Sherin khawatir dan dia tidak boleh membuat sahabat satu-satunya itu diselimuti rasa kekhawatiran yang tak jelas. “Aku berangkat dulu, sampai jump
“Siapa yang cemburu?” Eden menjadi salah tingkah. Dia mengusap rambutnya ke belakang dengan kedua tangan.“Lalu mengapa sikapmu yang berlebih seperti ini?”“Aku tidak berlebihan, hanya saja merasa kesal setelah melihatmu kembali bersikap bodoh saat di depan pria brengsek itu. Berapa kali harus kubilang, huh? Dia bukan pria baik-baik. Tidak cukup mempermalukanmu sekali waktu itu di café, sekarang kau ingin membiarkannya melakukannya lagi?”Anna menghela nafas panjang. Disatu sisi, dia merasa wajar melihat Eden murka dan juga geram melihat gadis bodoh yang terlalu mudah termakan omoongan manis dari cinta pertamanya. Dia menatap Eden lamat-lamat dengan mulut terkunci.“Berhentilah menatapku seperti itu.” Eden kembali mengingatkan Anna yang terdiam memperhatikannya untuk beberapa menit. Mereka duduk berhadapan yang dipisahkan oleh meja kecil yang di penuhi oleh kepulan asap sup yang baru saja tiba. “Aku tidak melihatmu.” Anna langsung mengalihkan pandangannya. “Pokoknya, urusa
Terik matahari di luar ikut masuk menyelinap ke dalam hatinya yang terasa panas dan sesak sedari tadi. Semalam dia sudah menerima tawaran Oliv untuk bertemu pria yang paling ingin dihindarinya. Entah apa yang dipikirkannya semalam saat menerima tawaran semalam, alhasil kini hatinya penuh gejolak. Setengah karena rasa penasaran, setengah lagi penuh dengan rasa sakit.Anna hendak berganti pakaian karena sudah jamnya untuk pulang. Eh, tidak. Dia harus menemui Zeno sore itu di tempat kerjanya pula. Anna melirik jam dinding. Seharusnya dia sudah berada di sini. “Kau menungguku?” Suara itu membuat Anna menoleh. Ya. Itu Zeno. Orang yang di tunggunya sudah tiba. Tampak jelas perasaan cemas terpampang jelas di wajah Anna, tapi dia masih berusaha menyunggingkan seulas senyumnya, takut membuat Zeno merasa tidak nyaman. Ah, sial. Anna mengutuk dirinya dalam hati karena masih saja mencemaskan pria itu. Mereka duduk di salah satu meja café. Anna memesankan pesanan sembarang
Anna menoleh. Sepasang matanya memindai penampilan Eden yang begitu kacaud an berantakan. Malam itu pertama kalinya Anna melihat sisi itu dari Eden. Seberapa kacau pikirannya sampai seperti ini, pikir Anna dalam hati. Dia kembali menatap Eden yang berbaring dengan mata terpejam.Anna mengambil selimut hendak menutupi tubuh Eden. Namun gerak tangannya terhenti ketika suara serak Eden mengatakan sesuatu dengan pelan. “Aku merasa bersalah.” Eden bergumam pelan. “Maafkan aku,” lanjutnya lagi. “Untuk apa?” Anna duduk di lantai, di sisi sofa tempat Eden berbaring. Dia membiarkan tangan Eden yang memegang ujung lengan bajunya. “Semuanya.” Eden menghela nafas. “Aku benar-benar minta maaf.” Anna melepaskan tangan Eden. “Aku tidak bisa menerima permintaan maafmu.” Anna malah menjawab perkataan Eden dengan tenang. Bukannya karena kesal atau marah pada pria itu, tapi karena Anna juga merasa bersalah pada Eden. Hanya saja dia tidak menampakkannya sam