Karena dijebak oleh suaminya sendiri, Joya menghabiskan satu malam panas bersama CEO Diwanggara Group, Alastar. Sejak itu, Joya terpaksa menjadi kekasih gelap Alastar selama enam bulan, sesuai perjanjian utang yang disepakati suaminya. Awalnya, Joya membenci Alastar dan menganggapnya sebagai pria kejam. Namun, perasaan itu lambat laun berubah menjadi cinta karena sikap Alastar yang penuh perhatian dan memperlakukannya bak seorang ratu. Apalagi, Joya memergoki suaminya telah berselingkuh dengan adik kandungnya sendiri. Akankah Joya menyerah pada cinta terlarang bersama Alastar? Atau ia memilih tetap mempertahankan pernikahannya yang ternoda oleh pengkhianatan? Dan mengapa Alastar hanya menginginkan Joya sebagai satu-satunya wanita dalam hidupnya?
View MoreSore hari di rumah sakit terasa begitu panjang bagi Joya. Ia masih duduk di kursi plastik di samping brankar ibu mertuanya, matanya sesekali melirik ke arah monitor yang menunjukkan detak jantung. Ia berusaha mengusir kantuk dengan browsing lowongan pekerjaan di ponsel, meskipun pikirannya melayang ke banyak hal yang lebih berat.Telepon dari Alastar tadi masih terngiang-ngiang di telinganya. Alastar, lelaki yang tak pernah ia sangka akan masuk dalam hidupnya, kini menjadi bayang-bayang yang sulit ia hindari. Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir pikiran tentang pria gila itu.Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka pelan, dan seorang lelaki paruh baya masuk. Wajahnya penuh kekhawatiran, tetapi senyum ramah muncul ketika ia melihat Joya. “Joya, maaf, Om baru bisa datang. Warung makan tadi cukup ramai,” ucapnya seraya mendekat ke arah brankar.“Tidak apa-apa, Om Wildan,” jawab Joya tersenyum tipis. Ia mencoba menyembunyikan kelelahan yang tergurat di wajahnya. “Bagaimana k
Mendengar Joya akan memberinya kesempatan, Denis akhirnya berdiri, wajahnya penuh kelegaan. Lelaki itu bahkan mencoba meraih tangan Joya, tetapi Joya dengan cepat mundur selangkah. “Jangan sentuh aku,” ujar Joya dingin, matanya menatap tajam ke arah Denis. “Nanti kita bicara di rumah. Sekarang, lebih baik kamu kembali ke kantor.” Denis terdiam sejenak, seperti ingin membantah, tetapi akhirnya ia mengangguk patuh. “Baik. Aku akan menunggumu di rumah setelah pulang kantor.” Joya tidak menjawab. Ia berbalik dan bergegas kembali ke lift, meninggalkan Denis yang berdiri diam di lorong, di tengah kerumunan orang yang masih memandang mereka dengan penasaran. Setibanya di kamar rawat, Joya mencoba menenangkan diri. Ia mengatur napas sebelum masuk, memasang senyum kecil untuk ibu mertuanya yang menatapnya dengan penuh kasih sayang. “Sudah makan, Nak?” tanya sang ibu. Joya mengangguk, mengambil posisi duduk di samping ranjang. “Sudah, Bu. Sekarang saya di sini untuk menjaga Ibu.”
Nada suara Denis yang memelas itu membuat Joya merasa muak. Denis tidak pernah berbicara selembut ini sebelumnya, apalagi meminta sesuatu dengan nada penuh kerendahan hati. Pastilah ini hanya kebohongan lain yang keluar dari mulut pria yang telah mengkhianatinya. “Aku tidak peduli, Denis,” jawab Joya dingin, lalu tanpa ragu memutuskan panggilan. Dengan berat hati, Joya meletakkan kopernya kembali ke sudut kamar. Ia memandang benda itu, seakan menyesali keputusannya untuk menunda kepergiannya sementara waktu. Namun kali ini, ia tidak punya pilihan. “Ibu lebih penting,” bisiknya kepada diri sendiri. Sambil menghela napas beberapa kali, Joya merapikan diri, lalu keluar dari kamar untuk memesan taksi. Ia berdiri di ruang tamu yang sepi, menunggu kedatangan kendaraan yang akan membawanya ke rumah sakit. Di luar, langit nampak mendung dengan awan kelabu yang mulai berarak. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Joya terdiam, pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. Haruskah ia tetap
Sementara Joya sibuk dengan pikirannya, Alastar mengambil nasi goreng bagiannya dan duduk di sofa. Ia menyilangkan kaki, menyuap makanan sambil berkirim pesan di ponsel. Aura otoriter yang biasa menyelimuti pria itu sedikit mereda, tetapi Joya tetap merasa waspada. Rasanya, Joya ingin melempar nasi goreng di tangannya ke wajah Alastar. Namun, ia menahan diri untuk tidak melakukan hal itu. Tujuannya saat ini hanya satu, yaitu keluar dari kamar hotel dengan selamat.Setelah makan dengan asal menelan, Joya meletakkan sendoknya dengan keras. “Saya sudah selesai. Saya akan pergi sekarang.”Alastar mengangkat alis tanpa berkata apa-apa. Ia hanya memberi isyarat dengan tangan, seolah mengizinkan Joya pergi. Namun, saat Joya berbalik menuju pintu ia tiba-tiba berkata dengan suara datar.“Ingat, Joya. Kalau aku menghubungimu lagi, kau harus datang.” Joya mendengus, merasa kesal. “Terserah Bapak,” jawabnya pendek sebelum cepat-cepat keluar dari kamar, berharap bisa melupakan pengalaman pahi
Selesai membersihkan diri, Joya keluar dari bathtub dan mendapati dirinya dihadapkan pada masalah baru. Tidak ada pakaian di kamar mandi, bahkan bathrobe pun tidak tersedia. Joya menggigit bibir, mencoba mencari solusi. Dengan terpaksa, ia melilitkan handuk ke tubuhnya, menutupi sebagian besar kulitnya, meski ia tahu ini tidak ideal. Dengan rambut yang masih basah, Joya membuka pintu kamar mandi perlahan. Ia berjalan mengendap-endap, berharap bisa menemukan sesuatu untuk dikenakan tanpa menarik perhatian Alastar. Namun, langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok pria itu sedang berdiri di dekat jendela, berbicara di telepon. Suara rendah Alastar terdengar tegas meski ia berbicara dengan nada santai. Ketika Joya melangkah masuk ke ruangan, Alastar langsung mengakhiri panggilannya, seolah menyadari kehadirannya. Ia menoleh, matanya segera tertuju pada tubuh Joya yang hanya dibalut handuk. Senyum kecil menghiasi wajahnya, membuat darah Joya mendidih seketika.“Kenapa hanya
Joya mencoba menjauh, tetapi tubuhnya terasa lemas. Dengan susah payah, dia mendorong Alastar hingga pria itu mundur selangkah. Namun, rasa panas di tubuhnya semakin menjadi. Tangan Joya mulai bergerak ke arah gaun merah yang melekat di tubuhnya. “Panas sekali … aku nggak tahan,” katanya, suaranya bergetar. Secara refleks, Joya melepaskan gaunnya dengan tangan gemetar, tubuhnya terasa seperti dikuasai oleh sesuatu yang tak bisa ia lawan. Alastar hanya tersenyum tipis, tatapan matanya penuh misteri. Ia mengamati setiap gerakan Joya dengan tenang.Ketika gaun itu terjatuh ke lantai, Alastar segera bergerak mendekati Joya. Di sisa kesadarannya, Joya mencoba menolak, tetapi tubuhnya terlalu lemah. Pria itu menyentuh wajahnya dengan lembut, lalu mengecup bibirnya penuh damba. Ingin rasanya Joya berteriak dan melawan, tetapi tubuhnya tidak merespons. Di dalam hati, Joya hanya bisa menangis saat Alastar menggendongnya menuju ranjang dan meletakkannya di sana. Joya terbaring pasrah, tu
“Pak Alastar?” suara Joya tercekat. Pria bertubuh tegap itu berdiri di ambang pintu dengan senyum tipis yang membuat bulu kuduk Joya berdiri. Matanya yang tajam menatap langsung ke arahnya, seperti serigala yang hendak memangsa seekor kelinci. Joya mencoba mengatur napasnya yang memburu karena terkejut. “Kenapa Anda ada di sini? Ini… ini kamar saya dan suami saya.” Alastar menutup pintu di belakangnya, mengunci dengan santai. “Kamar ini disediakan untukmu, Joya. Dan malam ini, aku akan menghabiskan waktu bersamamu.” Joya membeku. Tubuhnya terasa kaku, dan pikirannya berputar mencari penjelasan. “A-apa maksud Anda? Saya akan teriak kalau Anda mendekat!” Alastar nampak tidak terpengaruh sama sekali dengan ancaman Joya. Ia justru berjalan semakin mendekat. “Tidak ada gunanya kamu berteriak. Apakah suamimu belum menjelaskan semuanya? Dia sendiri yang menyerahkanmu padaku.”Joya menggeleng cepat, tubuhnya mulai gemetar. “Anda pasti salah. Denis tidak akan pernah melakukan perbua
“Pak Alastar?” suara Joya tercekat. Pria bertubuh tegap itu berdiri di ambang pintu dengan senyum tipis yang membuat bulu kuduk Joya berdiri. Matanya yang tajam menatap langsung ke arahnya, seperti serigala yang hendak memangsa seekor kelinci. Joya mencoba mengatur napasnya yang memburu karena terkejut. “Kenapa Anda ada di sini? Ini… ini kamar saya dan suami saya.” Alastar menutup pintu di belakangnya, mengunci dengan santai. “Kamar ini disediakan untukmu, Joya. Dan malam ini, aku akan menghabiskan waktu bersamamu.” Joya membeku. Tubuhnya terasa kaku, dan pikirannya berputar mencari penjelasan. “A-apa maksud Anda? Saya akan teriak kalau Anda mendekat!” Alastar nampak tidak terpengaruh sama sekali dengan ancaman Joya. Ia justru berjalan semakin mendekat. “Tidak ada gunanya kamu berteriak. Apakah suamimu belum menjelaskan semuanya? Dia sendiri yang menyerahkanmu padaku.”Joya menggeleng cepat, tubuhnya mulai gemetar. “Anda pasti salah. Denis tidak akan pernah melakukan perbua...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments