Setelah percakapan dingin itu berakhir, Joya masuk ke kamarnya tanpa menoleh lagi pada Denis. Ia menutup pintu dengan perlahan, seolah berharap ketenangan akan datang bersama gerakannya yang hati-hati. Kamar itu sunyi, hanya suara dengung kipas angin yang menemani. Joya menjatuhkan dirinya di atas kasur, memejamkan mata walau tidur terasa jauh dari jangkauan. Besok adalah hari besar—operasi bypass jantung yang akan menjadi penentuan kesembuhan sang ibu mertua. Apa pun yang terjadi, ia harus ada di sana. Di balik hubungan pernikahannya dengan Denis yang kini terasa seperti racun, Joya tetap memiliki rasa hormat dan kasih terhadap ibu mertuanya. Di kamar yang bersebelahan, Denis duduk di atas tempat tidur dengan ponsel di tangan. Wajahnya tidak menunjukkan penyesalan sama sekali. Sebaliknya, ada kilatan kesibukan di matanya. Jemarinya lincah mengetik pesan, membalas seseorang dengan tergesa. Tidak butuh waktu lama, ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk muncul di layar.Denis me
Mata Joya masih menatap Siena yang sedang memeriksa ponsel baru di tangannya. Bibirnya hampir saja melontarkan tanya, tetapi ia mengurungkan niat tersebut. Bagaimanapun, ia tak ingin menyinggung perasaan adiknya, apalagi merusak kebahagiannya hanya karena rasa ingin tahu.“Aku pergi dulu, Kak Joya,” ujar Siena sambil melangkah ke teras rumah. Ia merapikan tas kecilnya, bersiap untuk pergi ke supermarket.Joya hanya mengangguk. “Hati-hati di jalan,” pesannya sambil mengikuti Siena sampai ke teras. Ia menghela napas, sedikit lega karena tak perlu memulai percakapan yang rumit dengan sang adik.Di sana, Denis masih duduk di kursi kayu sambil menyantap sarapan pagi. Saat Siena hendak menaiki motornya, ia sempat menyapa Denis“Mas Denis, maaf saya tidak bisa ikut ke rumah sakit. Saya doakan Bu Dewi lekas sembuh,” kata Siena sopan, menatap Denis dengan tatapan penuh simpati.Denis mengangguk sambil menelan suapan terakhirnya. “Terima kasih, Siena,” balasnya singkat.Tanpa berkata lebih bany
Denis yang berdiri di sisi ruangan nampak terkejut melihat asisten Alastar memberikan perhatian lebih kepada Joya. Wajahnya berubah tegang, dan ada kilatan ketidaksukaan yang jelas di matanya. “Pak Arman, kenapa Pak Alastar sampai mengirimkan makanan untuk istri saya?” tanyanya mencoba santai.Pak Arman menoleh ke arah Denis, senyumnya tidak luntur. “Pak Alastar hanya ingin memastikan Bu Joya baik-baik saja, terutama di situasi seperti ini.”Joya menelan ludah. Kata-kata itu terdengar manis, tetapi baginya ibarat racun yang membuat hatinya semakin pahit. Ia mengangkat kepala, menatap asisten Alastar itu dengan mata memincing.“Katakan kepada Pak Alastar bahwa saya bisa mengurus diri sendiri,” pungkas Joya, suaranya bergetar meski ia mencoba terdengar tegas.Pak Arman hanya tersenyum. “Anda bisa menyampaikan secara langsung kepada Pak Alastar. Saya hanya menjalankan tugas.” Dengan sangat terpaksa, Joya menerima tas yang diberikan Pak Arman meski hatinya menolak. Ia pun mengangguk kec
Piring di hadapan Joya masih menyisakan sedikit makanan, tetapi ia sudah tak sanggup menghabiskannya. Nafsu makannya mendadak hilang.Dengan berat hati, Joya berdiri, merapikan tasnya, dan melangkah keluar dari kafetaria. Langkah kakinya membawa Joya menuju lift yang akan membawanya ke lantai tiga, tempat ruang pemulihan ibu mertuanya berada.Ketika pintu lift terbuka, Joya melangkah masuk, diikuti oleh pasangan muda. Sang wanita tampak pucat dan bersandar lemah pada bahu suaminya. Sesekali ia mengeluh mual, dan suaminya dengan sabar mengusap punggungnya sambil berkata lembut.“Mungkin ini memang gejala kehamilan, Sayang. Kita pastikan saja nanti setelah pemeriksaan dengan dokter obgyn.”Mendengar percakapan itu, Joya tertegun. Matanya menatap pasangan tersebut dengan perasaan miris. Betapa beruntungnya wanita itu memiliki suami yang begitu perhatian, seolah menjadi pelindung di saat terlemah.Berbeda dengan Denis yang justru menjerumuskannya ke dalam lembah paling kelam. Joya hanya b
Setelah kepergian dua orang penagih utang itu, Joya mengunci pintu dan jendela dengan tergesa-gesa, memastikan semuanya aman. Udara malam terasa semakin dingin, menusuk kulitnya. Langkah Joya menuju kamar mandi terasa berat, seolah ada ribuan beban yang menggantung di pundaknya.Joya berdiri di bawah shower, membiarkan air hangat mengalir ke seluruh tubuhnya. Namun pikirannya tetap berkecamuk. Bagaimana nasibnya nanti jika Denis ternyata tidak bisa membayar utang senilai lima belas juta? Sekarang saja, hidupnya sudah hancur. Denis telah "menjual" dirinya kepada Alastar untuk menjadi penghangat ranjang pria itu. Bagaimana jika ia dijadikan jaminan lagi kepada rentenir? Mungkinkah hidupnya akan terus seperti ini, menjadi korban dari keputusan bodoh suaminya? Joya menggigit bibirnya, mencoba menahan amarah dan ketakutan yang bergemuruh dalam dada. Selesai mandi, ia mengenakan pakaian tidur sederhana dan duduk di tepi ranjang. Tangannya meraih ponsel di meja kecil samping tempat tidur.
Begitu memasuki rumah, Joya tertegun. Ruang tamu itu luar biasa mewah. Dindingnya berlapis marmer putih, dihiasi lukisan pemandangan dengan bingkai emas. Sofa kulit berwarna krem tersusun melingkar di tengah ruangan, menghadap meja kaca yang di atasnya terdapat vas bunga segar.“Silakan duduk, Nona,” ujar pria itu sambil menunjukkan sofa.Joya duduk dengan gugup, merapikan blazernya. Namun, rasa penasaran mendorongnya untuk bertanya, “Apakah Bryan ada di rumah sekarang?”Pria itu tersenyum kecil. “Ada, Nona. Saya akan memanggilnya untuk berkenalan. Mohon tunggu sebentar.”Beberapa menit kemudian, Joya mendengar suara langkah kaki kecil yang menuruni tangga. Ia menoleh, dan matanya langsung menangkap sosok anak laki-laki tampan dengan rambut hitam lebat dan mata bulat. Anak itu mengenakan kaus putih dan celana pendek biru, berjalan sambil ditemani seorang wanita muda yang tampaknya adalah pengasuhnya. “Bryan, jangan berlari di tangga! Itu berbahaya,” tegur pengasuhnya dengan suara lem
Dengan segala tenaga yang ia punya, Joya mencoba melepaskan diri dari Alastar. Namun, pria itu terlalu kuat. Tangannya bahkan melingkari lengan Joya dengan mantap, membuatnya terjebak dalam jarak yang terlalu dekat. Jantung Joya berdetak kencang, bukan hanya karena rasa takut tetapi juga karena ketidakberdayaan yang ia rasakan. "Lepas!" seru Joya dengan nada penuh amarah. Beruntung, suara ceria Bryan memecah ketegangan di ruangan itu. “Om Al, kenapa pegang Miss Joya?” tanyanya polos.Bocah tampan itu berdiri tak jauh dari mereka sambil membawa buku matematika. Di sampingnya, sang pengasuh tampak terkejut melihat situasi tersebut. Joya dan Alastar menoleh serempak. Alastar segera melepaskan Joya dan berbalik ke arah keponakannya, menampilkan senyum santai seolah tidak terjadi apa-apa. “Om memegang Miss Joya karena dia hampir jatuh tadi,” katanya, suaranya tenang. Bryan tampak puas dengan jawaban itu dan mengangguk. Ia berjalan mendekat dengan langkah kecil yang penuh semangat, m
Detak jantung Joya serasa naik turun seperti roller coaster. Ada sesuatu dalam tatapan Alastar yang membuatnya merasa seperti rusa yang terjebak dalam pandangan pemburu. Joya pun mencoba menyusun alasan untuk segera pergi. “Saya akan pulang,” katanya tegas, berharap nada suaranya cukup untuk membuat pria itu tidak mempersulit.Alastar hanya tersenyum miring, sebuah ekspresi yang sulit diterjemahkan. “Kau pikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja?” katanya dengan nada rendah, hampir berbisik. Joya mundur selangkah lagi, tetapi Alastar sudah menggerakkan tubuhnya dengan cepat, berdiri di antara Joya dan tangga. “Sudah aku katakan, aku belum selesai denganmu,” lanjutnya, suaranya tetap tenang.“Minggir, Pak,” desak Joya, mencoba terdengar meyakinkan meskipun suaranya gemetar.Alih-alih menuruti, Alastar menarik tangannya dengan lembut, mengarahkan Joya ke sebuah kamar di sebelah kamar Bryan. Joya ingin memberontak, tetapi Alastar terlalu kuat untuk dilawan.Setelah masuk ke kamar
“Siena?” tanyanya dengan nada heran begitu ia mendekat.Siena menoleh dan tersenyum. “Kak Joya. Aku kebetulan sudah pulang kerja, jadi aku pikir sekalian ikut menjemput Bu Dewi.”Joya mengernyit. Ia tidak menyangka Siena akan ikut dalam perjalanan ini. Seharusnya ia tidak merasa keberatan, tetapi entah mengapa kehadiran Siena membuatnya merasa ada yang janggal. Ia tidak ingin Siena terlalu terlibat dalam urusan rumah tangganya, terutama yang berkaitan dengan Denis.“Kenapa mendadak?” Joya bertanya lagi, matanya bergantian menatap Siena dan Denis.Denis yang sejak tadi hanya diam akhirnya angkat bicara. “Aku yang mengajak Siena, karena kami kebetulan bertemu di lift. Kupikir akan lebih baik jika dia ikut. Nggak ada salahnya, ‘kan?”Joya menghela napas pelan. Tidak ada yang salah, tentu saja. Namun tetap saja, ia merasa kehadiran Siena akan membuatnya lebih sulit untuk menghadapi Denis. Siena melangkah lebih dekat dan menggandeng lengan Joya dengan akrab. “Kak Joya, ayo cepat masuk mob
Joya masih tercengang di tempat, pikirannya berputar menangkap setiap kata yang baru saja diucapkan oleh Alastar. Rumah ini akan menjadi tempat tinggalnya selamanya? Itu mustahil. Alastar hanya bertindak impulsif, seperti biasa. Mana mungkin dia menetap di sini selamanya. Hubungan mereka hanya bersifat sementara, enam bulan dan tidak lebih. Begitu perjanjian itu berakhir, dia akan pergi, dan Alastar akan menikahi wanita lain yang pantas untuknya. Rumah ini pasti akan menjadi milik istri Alastar kelak, bukan dirinya. Joya pun memilih untuk menelan saja semua perkataan Alastar dan menyimpan kunci rumah itu di dalam tas. Lebih baik ia pura-pura menurut dulu, supaya Alastar merasa berada di atas angin. Barulah nanti ia mencari cara agar bisa keluar dari rumah itu.Selang beberapa detik, pria itu merangkul bahunya.“Kita kembali ke kantor sekarang. Aku tidak mau terlambat menghadiri meeting,” ujar Alastar kemudian.Tanpa banyak bicara, Alastar mengajak Joya kembali ke mobil. Di dalam mob
Joya menggeleng, mencoba memahami jalan pikiran Alastar. Ia tahu, ini bukan sekadar rumah melainkan bentuk lain dari kendali Alastar atas hidupnya. Bagaimanapun, ia harus mencari cara untuk keluar dari lingkaran gelap ini."Saya bisa mencari tempat sendiri. Saya tidak butuh rumah yang—""Aku tidak menerima penolakan," potong Alastar tegas.Mobil mewah berwarna hitam pekat itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah megah bergaya Amerika klasik. Rumah itu memiliki dua lantai dengan dominasi kaca yang luas, memungkinkan sinar matahari menerangi hampir seluruh bagian dalamnya.Warna cokelat kayu berpadu sempurna dengan aksen putih di tiang dan jendela, menciptakan kesan hangat. Sebuah balkon kecil di lantai dua tampak menghadap halaman depan, yang dihiasi rumput hijau dan beberapa tanaman hias. Sopir Alastar membunyikan klakson sekali, dan beberapa saat kemudian, gerbang besi hitam perlahan terbuka. Seorang pria berperawakan tegap muncul, membukakan pintu gerbang dengan sikap hormat. Ta
Joya semakin geram mendengar percakapan dua pria di hadapannya, yang menganggap dia seperti barang yang bisa dipindah-tangankan. Seperti biasa, dengan mudahnya Denis menyetujui setiap perintah sang CEO, dan kini tanpa ragu menyepakati bahwa ia akan tinggal bersama Alastar. Sungguh, Denis tak layak lagi dipandang sebagai seorang suami. Di sisi lain, Alastar dengan sewenang-wenang menuntutnya untuk mengikuti perintah tersebut. Namun, Joya menahan diri untuk tidak berbicara dulu. Ia sudah memiliki rencana sendiri untuk melepaskan diri dari dua pria gila ini.“Maaf, Pak. Jadi, hari ini saya masih boleh pulang bersama Joya?” tanya Denis memastikan. “Benar,” jawab Alastar tegas. “Tapi, aku melakukan ini atas permintaan Joya, bukan karena kau. Dan ingat, Joya harus sudah meninggalkan rumahmu paling lambat hari Minggu.”Mendengar hal itu, wajah Denis berubah, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya mengucapkan terima kasih kepada Alastar, lalu mohon diri tanpa berani melayangkan protes
Livia segera berdiri dan tersenyum sopan kepada Denis. "Silakan duduk dulu, Pak Denis. Saya akan menghubungi Pak Alastar."Denis hanya mengangguk singkat, lalu duduk di salah satu kursi tamu tanpa menyapa Joya. Sementara itu, Livia beralih pada Joya, menatapnya dengan sorot mata penuh makna. "Joya, kamu saja yang mengurus ini. Tanyakan dulu kepada Pak Alastar."Joya meneguk ludahnya, sedikit gelisah. Ia tidak tahu apa tujuan Alastar memanggil Denis. Apakah ini ada kaitannya dengan kepulangannya hari ini untuk menjemput ibu mertuanya? Atau justru ada hal lain yang tak ia ketahui?Dengan ragu, Joya pun mengangkat gagang telepon dan menekan tombol sambungan langsung ke ruang CEO. Ia berusaha keras melupakan apa yang baru saja terjadi antara dirinya dan Alastar tadi.Setelah beberapa nada tunggu, suara bariton Alastar terdengar di seberang."Ya, ada apa?"Joya berdeham, berusaha mengontrol nada suaranya agar tetap stabil. "Maaf, Pak Alastar, Pak Denis sudah tiba. Apakah diizinkan masuk?"
Joya duduk di kursinya, sibuk menyusun beberapa laporan yang harus diselesaikan. Sebagai sekretaris, ia harus membuat laporan keuangan mingguan, beberapa memo ke divisi terkait, dan juga laporan kunjungan ke outlet bersama CEO. Jari-jarinya dengan cekatan mengetik di laptop, sesekali memeriksa kembali dokumen-dokumen yang perlu ditandatangani Alastar. Dentuman halus pintu terbuka membuat Joya refleks mengangkat kepala. Matanya menangkap sosok Bianca yang keluar dari ruangan, diikuti oleh Alastar yang mengantarnya hingga ke pintu.Asisten pribadi Bianca pun sudah bersiap menunggu di luar. Namun, yang membuat napas Joya sedikit tercekat adalah ketika Bianca mendadak berbalik dan memeluk Alastar di depan matanya. "Aku akan menunggumu di restoran hotel Crown jam tujuh malam, Al. Jangan lupa," ujar Bianca dengan nada lembut, tetapi cukup lantang untuk didengar Joya dan Livia. Joya dengan cepat menundukkan kepala, menyembunyikan ekspresi yang berkecamuk dalam dirinya. Sementara itu, Alas
Livia tersenyum sopan kepada wanita cantik yang berdiri angkuh di hadapan mereka. "Joya adalah sekretaris baru yang akan menggantikan saya, Bu," jelasnya dengan nada profesional.Bianca mengangkat sebelah alisnya, lalu menyilangkan tangan di depan dada. "Pantas saja dia tidak sopan karena tidak menyapaku lebih dulu," ucapnya dengan nada meremehkan. Mata tajamnya menatap Joya tak berkedip, seolah menilai apakah wanita di hadapannya cukup pantas untuk berdiri di tempat ini.Livia segera memberi isyarat pada Joya agar menyapa Bianca dan memperkenalkan diri. Menyadari dirinya telah melakukan kesalahan, Joya menunduk sedikit sebagai bentuk penghormatan. "Selamat pagi, Bu Bianca. Nama saya Joya, sekretaris baru Pak Alastar."Bianca hanya mengangguk kecil, ada sorot kesombongan di matanya. "Sebagai sekretaris CEO, kau harus belajar menjaga sikap," ujarnya dengan nada dingin. "Apalagi terhadap rekan bisnis penting Alastar, sekaligus orang terdekatnya."Mendengar itu, hati Joya terasa sesak
Suara kicauan burung di luar membangunkan Joya dari mimpi. Wanita itu mengerjapkan mata, mengusir kantuk yang masih menempel, lalu duduk di tepi ranjang. Udara pagi terasa sejuk, dan ia memutuskan untuk segera mandi agar bisa bersiap lebih awal. Dengan langkah ringan, Joya mengambil handuk dan menuju kamar mandi. Setelah menyegarkan diri, Joya keluar dengan aroma sabun yang masih melekat di kulitnya. Namun, ia terkejut saat melihat Siena tiba-tiba berlari menuju kamar mandi dengan tangan menutup mulut. Tanpa sempat bertanya, Siena sudah menutup pintu, dan tak lama kemudian terdengar suara muntah dari dalam. Joya mengernyit khawatir, lalu mengetuk pintu dengan lembut."Siena? Kau baik-baik saja?" tanyanya cemas.Tak ada jawaban. Sebagai gantinya, suara gemericik air terdengar dari dalam kamar mandi, menandakan Siena sudah mulai mandi. Joya menghela napas panjang, memutuskan untuk menunggu hingga adiknya keluar. Setelah beberapa saat, pintu kamar mandi terbuka. Siena melangkah keluar
Siena mendadak terdiam. Matanya sedikit membulat, lalu dengan cepat ia mengalihkan pandangan. Tangannya meraih martabak, meski tadi ia bilang ingin makan nanti. Dengan gerakan agak canggung, ia menarik ujung martabak, lalu menggigitnya kecil-kecil."Mungkin yang dimaksud itu Mas Galih, kakaknya Lita," ujar Siena akhirnya. "Dia sering mengantar Lita ke kosku dan menemani kami untuk mengerjakan skripsi bersama. Kebetulan, dosen pembimbing kami sama.”Joya mengerutkan kening. Jawaban Siena terdengar ganjil. Ia tahu Siena bukan tipe yang mudah dekat dengan pria asing, apalagi jika pria itu bukan bagian dari lingkaran pertemanan dekatnya.“Kenapa sekarang Kak Joya yang banyak bertanya padaku?” tandas Siena dengan sorot mata penuh kewaspadaan. Ia tahu kakaknya tidak akan berhenti bertanya tentang sosok "kakak laki-laki" yang disebut oleh ibu penjaga kos. Maka, sebelum Joya bisa kembali menyelidik, Siena buru-buru menyerang balik sang kakak."Bukankah tadi siang di kafe, Kakak berjanji akan