Dengan segala tenaga yang ia punya, Joya mencoba melepaskan diri dari Alastar. Namun, pria itu terlalu kuat. Tangannya bahkan melingkari lengan Joya dengan mantap, membuatnya terjebak dalam jarak yang terlalu dekat. Jantung Joya berdetak kencang, bukan hanya karena rasa takut tetapi juga karena ketidakberdayaan yang ia rasakan. "Lepas!" seru Joya dengan nada penuh amarah. Beruntung, suara ceria Bryan memecah ketegangan di ruangan itu. “Om Al, kenapa pegang Miss Joya?” tanyanya polos.Bocah tampan itu berdiri tak jauh dari mereka sambil membawa buku matematika. Di sampingnya, sang pengasuh tampak terkejut melihat situasi tersebut. Joya dan Alastar menoleh serempak. Alastar segera melepaskan Joya dan berbalik ke arah keponakannya, menampilkan senyum santai seolah tidak terjadi apa-apa. “Om memegang Miss Joya karena dia hampir jatuh tadi,” katanya, suaranya tenang. Bryan tampak puas dengan jawaban itu dan mengangguk. Ia berjalan mendekat dengan langkah kecil yang penuh semangat, m
Detak jantung Joya serasa naik turun seperti roller coaster. Ada sesuatu dalam tatapan Alastar yang membuatnya merasa seperti rusa yang terjebak dalam pandangan pemburu. Joya pun mencoba menyusun alasan untuk segera pergi. “Saya akan pulang,” katanya tegas, berharap nada suaranya cukup untuk membuat pria itu tidak mempersulit.Alastar hanya tersenyum miring, sebuah ekspresi yang sulit diterjemahkan. “Kau pikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja?” katanya dengan nada rendah, hampir berbisik. Joya mundur selangkah lagi, tetapi Alastar sudah menggerakkan tubuhnya dengan cepat, berdiri di antara Joya dan tangga. “Sudah aku katakan, aku belum selesai denganmu,” lanjutnya, suaranya tetap tenang.“Minggir, Pak,” desak Joya, mencoba terdengar meyakinkan meskipun suaranya gemetar.Alih-alih menuruti, Alastar menarik tangannya dengan lembut, mengarahkan Joya ke sebuah kamar di sebelah kamar Bryan. Joya ingin memberontak, tetapi Alastar terlalu kuat untuk dilawan.Setelah masuk ke kamar
Joya terdiam, wajahnya memerah sekaligus pucat. Perkataan Alastar membuat bulu kuduknya meremang, campuran rasa takut dan sesuatu yang lain yang enggan ia akui.Alastar berdiri di hadapannya, lalu perlahan membalikkan tubuh Joya agar mereka berhadapan. Mata kelamnya menatap lurus ke dalam mata Joya, membuat wanita itu merasa tidak punya tempat untuk bersembunyi.“Kenapa kau tiba-tiba melamar menjadi guru les Bryan?” lanjut Alastar, nada suaranya lebih lembut tetapi tetap memancarkan aura otoritas, “Apa kau butuh uang?”Joya mengernyitkan kening, mencoba melawan intimidasi dari tatapan pria di depannya. “Saya hanya ingin bekerja. Saya ingin menghasilkan uang dari usaha sendiri,” jawabnya, suaranya bergetar tetapi matanya memancarkan keteguhan.Mendengar jawaban Joya, Alastar kemudian mengeluarkan dompet dari saku celananya dengan gerakan santai. Dari dalamnya, pria itu mengambil sebuah kartu berwarna hitam mengilap.“Ambil ini. Pakai untuk apa saja yang kau inginkan,” kata Alastar men
Joya menuruni anak tangga dengan hati berdebar, pikirannya masih berputar pada kejadian di kamar Alastar. Ia menghela napas berat sebelum akhirnya turun ke bawah. Begitu melewati ruang tamu, Joya berpapasan dengan pria paruh baya yang pertama kali membukakan pintu untuknya. Pria paruh baya itu mengangguk hormat, seakan ia adalah seorang nyonya rumah."Nona, Tuan Muda sudah menunggu di dalam mobil," katanya dengan sopan sambil menunjuk ke arah luar.Joya hanya mengangguk singkat, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Dia melangkah keluar, dan mendapati sebuah mobil sport mewah yang berkilau di bawah sinar matahari. Bentuknya aerodinamis dengan warna hitam matte yang elegan. Logo Lamborghini terpampang jelas di kap depan, dan desainnya langsung memancarkan kesan prestise. Tampilan kendaraan tersebut membuat Joya terpana. Biasanya, ia hanya melihat mobil seperti itu lewat layar kaca atau diecast di toko mainan. Tidak pernah sekalipun terbayang bahwa dia akan berada sedekat ini dengan
Joya merasakan detak jantungnya semakin cepat. Ia melihat Siena, adiknya, berdiri di hadapannya dengan dahi berkerut, menunggu jawaban atas pertanyaan yang baru saja dilontarkan. Merasa bingung, Joya menggenggam tali tasnya erat-erat, jari-jarinya sedikit gemetar. Senyuman kecil yang ia paksakan terasa canggung, nyaris tak meyakinkan."Oh... itu," Joya tergagap, lidahnya terasa kelu. "Tadi... aku hanya menumpang," ujarnya pelan, suaranya hampir tak terdengar. "Menumpang?" Siena menyipitkan mata, memancarkan rasa ingin tahu yang semakin dalam. "Dengan siapa?" Joya merasa seperti terpojok. Ia menggoyangkan ujung rambutnya dengan gelisah, mencoba mengalihkan perhatian sang adik. Mustahil, ia mengatakan yang sebenarnya—bahwa mobil itu milik Alastar, CEO sekaligus pemilik perusahaan tempat Siena dan Denis bekerja.Setelah beberapa detik yang terasa hening, sebuah ide melintas di benak Joya.“Aku baru selesai memberikan les privat. Pamannya muridku itu berbaik hati menawarkan tumpangan k
Dalam sepersekian detik, Joya melihat Denis menatap kalung di lehernya, dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada sesuatu di balik tatapan pria itu, tetapi Joya tidak ingin memikirkannya lebih jauh. Ketegangan di antara mereka terasa mencekik, hingga Siena tiba-tiba melangkah maju, mencairkan suasana dengan suara lembutnya. “Mas Denis, biar aku yang bantu menyuapi Bu Dewi,” pintanya sambil mengulurkan tangan. Denis mengangguk, menyerahkan mangkuk bubur yang masih setengah penuh. “Terima kasih, Siena.” Siena duduk di kursi Denis dan mulai menyuapi Bu Dewi dengan hati-hati. Joya memperhatikan adiknya, merasa lega karena Siena tidak menyadari suasana tegang yang sempat terjadi. Namun, hanya dua suapan, Siena buru-buru meletakkan mangkuk di meja dan berdiri. “Siena, ada apa?” tanya Joya, bingung melihat wajah adiknya yang mendadak pucat. Siena hanya menggeleng lemah, lalu berlari menuju kamar mandi di dalam ruangan itu.Joya, yang panik, segera menyusul. Ia berdiri di depan pintu ka
Selepas kepergian Denis dan Siena, Joya membantu Bu Dewi berbaring kembali di brankar dengan perlahan. Tangannya menopang tubuh wanita paruh baya itu, memastikan kenyamanannya sebelum menyelimutinya.Joya kemudian menarik kursi dan duduk di sisi brankar, siap untuk menemani sang ibu mertua.“Joya, tadi waktu Siena muntah-muntah, Ibu jadi sedih,” kata Bu Dewi pelan, wajahnya yang biasanya ceria tampak suram.“Sedih kenapa, Bu?” tanya Joya dengan lembut, alisnya bertaut. Ucapan sang ibu mertua membuatnya tertegun.Bu Dewi menarik napas panjang, lalu menggenggam tangan Joya erat-erat.“Seharusnya yang mengalami mual itu kamu, Joya, tandanya kamu hamil. Ibu benar-benar ingin mendengar kabar baik itu, Nak.”Joya tersentak. Kalimat itu seperti petir yang menyambar benaknya. Matanya membelalak kecil, teringat akan gejala mual yang dialami oleh Siena.Namun, Joya segera menepis pikiran buruk itu. Mustahil adiknya berbadan dua, sementara Siena belum memiliki kekasih. “Ibu... mual belum tentu
Malam itu menjadi malam yang paling menyesakkan bagi Joya. Diliputi rasa takut, mata Joya terus memandang pintu depan rumah yang setengah terbuka, tempat Martin dan dua pria berbadan besar masih berdiri di teras rumah.Tawa Martin yang menjijikkan bergema di telinganya, kata-katanya tadi seolah menghantui. Apalagi, suara melengking dari bos rentenir itu kembali terdengar dari luar.“Ganti pakaianmu dengan yang lebih terbuka dan tipis, Sayang.”Joya menggigit bibir bawahnya, tubuhnya gemetar hebat. Tangannya mencengkeram erat ponsel di genggaman, berpikir keras mencari jalan keluar dari situasi yang mengerikan ini.Jikalau ia menelepon Alastar, harga dirinya pasti akan hancur, tetapi apa yang lebih penting sekarang? Keselamatannya atau egonya?Dengan tangan gemetar, Joya lantas membuka daftar panggilan masuk di ponselnya. Beberapa waktu lalu, Alastar pernah meneleponnya di rumah sakit, dan nomor itu masih tersimpan di riwayat panggilan. Joya tahu betul, Alastar bukanlah pria yang baik,
Pagi itu, kamar Joya dipenuhi wangi bunga melati yang ditata rapi dalam vas, memberikan suasana yang menenangkan. Joya duduk di hadapan cermin besar berbingkai emas, tatapan matanya terpusat pada bayangan dirinya yang tampak berbeda dari biasanya.Gaun putih panjang yang membalut tubuhnya, tampak sempurna dengan perpaduan kalung dan anting yang memancarkan kilau indah.Bu Dewi berdiri di belakang, dengan hati-hati merapikan sanggul rambut Joya. Perempuan paruh baya itu juga menyematkan beberapa helai bunga kecil, untuk mempermanis penampilan sang calon mempelai."Kau benar-benar cantik, Nak. Ibu yakin, Alastar akan terpesona begitu melihatmu," pujinya penuh kekaguman.Joya hanya bisa menggigit bibirnya, menahan gelombang kegugupan yang terus melanda. Jemarinya saling bertaut erat, menandakan bahwa emosinya tengah bergejolak hebat. Rasa gugup, was-was, dan bahagia berbaur menjadi satu di dalam hatinya.Pandangan Joya kemudian beral
Joya tidak mampu menahan cairan bening yang perlahan menggenang di sudut matanya. Ucapan itu begitu berarti baginya. Bayinya telah diakui sebagai bagian dari keluarga besar Diwanggana. Ia tak pernah menyangka Tuan Narendra akan menerima Arion dengan hati yang lapang seperti ini.Tuan Narendra berbalik, menatap Joya dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan."Jangan khawatir, Joya. Jika cucuku yang nakal itu sudah berani menghamilimu, maka ia pasti segera kembali untuk menikahimu. Tunggu saja, itu akan terjadi sebentar lagi."Joya tersentak. Matanya membesar dalam keterkejutan, sekaligus kebahagiaan yang membuncah. Harapannya yang sempat pudar perlahan menyala kembali, memenuhi hatinya dengan kehangatan yang hampir ia lupakan.Dada Joya berdegup begitu cepat, hingga ia merasa jantungnya berdentum di dalam telinganya sendiri. Seakan tak percaya dengan ucapan Tuan Narendra, bibirnya yang semula gemetar kini mencoba mengucapkan sesuatu, walau suaranya nyaris tertelan napasnya sendiri.“Be-
Hampir satu tahun telah berlalu sejak Alastar pergi ke luar negeri untuk menjalani pengobatan. Waktu terasa begitu lambat bagi Joya, setiap detik dipenuhi dengan kerinduan yang menyakitkan. Hanya dua kali Alena mengabari bahwa kondisi Alastar telah membaik, tetapi belum cukup kuat untuk kembali. Berita itu, meski melegakan, tetap menyisakan kehampaan dalam hati Joya. Kini, kehidupannya dipenuhi dengan kesibukan yang tiada henti. Bayinya yang baru berusia dua bulan menjadi pusat dunianya. Si kecil yang lahir dari buah cintanya dengan Alastar, hadir sebagai penguat dalam hari-hari panjang penuh penantian. Selain mengurus bayinya, Joya juga memegang tanggung jawab besar di kantor. Sejak kepergian sang kekasih, ia ditunjuk sebagai penggantinya melalui surat resmi yang dibuat oleh pengacara Alastar. Dengan bantuan Arman, ia menjalankan tugasnya dengan penuh dedikasi, memastikan perusahaan tetap berjalan dengan baik.Kilas balik peristiwa itu kembali melintas dalam benak Joya. Selang sat
Di ruang Instalasi Gawat Darurat, Joya masih duduk di sisi tempat tidur Alastar, menatap wajah pucat pria yang dicintainya dengan sorot mata penuh duka. Tangannya masih menggenggam jemari Alastar yang dingin, seakan berusaha menyalurkan sedikit kekuatan.Namun, kebersamaan singkat itu terganggu oleh kehadiran beberapa perawat yang mendekat. Salah satu dari mereka memeriksa kembali monitor yang masih menunjukkan detak jantung Alastar, sedangkan yang lain mulai melepas satu per satu alat medis yang melekat di tubuh pria itu. Selang infus yang menyalurkan cairan ke dalam tubuhnya dicabut dengan hati-hati, diikuti oleh elektrode yang menempel di dadanya. Satu perawat lainnya membebaskan Alastar dari alat bantu oksigen yang sejak awal menopang pernapasannya, sedangkan seorang lagi sudah bersiap dengan brankar khusus yang akan membawa tubuh lemah itu ke dalam ambulans.Joya menatap semua itu dengan pandangan kosong, perasaan tidak rela merayapi dirinya. Hatinya menjerit melihat pria yang d
Joya berjalan mondar-mandir di depan ruang Instalasi Gawat Darurat, langkahnya tak beraturan, seiring dengan debar jantung yang tak menentu. Matanya yang sejak tadi berkaca-kaca semakin terasa perih. Telapak tangannya terasa dingin dan basah oleh keringat yang tak henti mengalir. Kecemasan menguasai hatinya, menyelimuti setiap tarikan napasnya dengan kekhawatiran yang sulit terjelaskan. Sudah beberapa waktu berlalu, tetapi belum ada satu pun dokter yang keluar untuk memberi kabar tentang kondisi Alastar.Saat Joya hampir kehilangan kesabaran, terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa menghampirinya. Ia menoleh dan melihat Arman, asisten setia Alastar, datang bersama seorang wanita cantik yang mengenakan pakaian elegan. Sekilas, ada garis wajah yang mengingatkan Joya pada Alastar. Dugaan Joya benar. Wanita itu adalah Alena, kakak Alastar.Alena segera menghampiri Joya dengan ekspresi tegang. “Kau Joya, bukan? Aku Alena, kakak Alastar. Apa yang terjadi? Kenapa Alastar bisa pingsa
Usai prosesi pemakaman yang berlangsung khidmat, Joya masih bersimpuh di sisi makam Siena. Tanah merah yang baru saja ditaburkan bunga itu masih lembap, seakan belum sepenuhnya menyadari bahwa kini seorang jiwa telah terbaring abadi di bawahnya. Di sekelilingnya, para pelayat sudah mulai meninggalkan tempat peristirahatan terakhir itu. Hanya menyisakan kesunyian dan desir angin, yang menyapu dedaunan pohon kamboja di sudut pemakaman.Alastar yang berdiri tak jauh dari Joya akhirnya ikut berjongkok. Dengan gerakan lembut, ia menyentuh bahu wanita itu, memberikan sedikit kehangatan di tengah dinginnya udara senja. "Baby, langit sudah mendung," suaranya terdengar lembut. "Kita harus kembali sekarang. Bukankah kau ingin melihat kondisi Bu Dewi di rumah sakit?"Joya mengangkat wajahnya yang sudah basah oleh air mata. Matanya merah dan sembab, tetapi kesedihan yang mendalam masih terpancar jelas dari sana. Ia menoleh ke arah makam Siena sekali lagi, seakan ingin mengukir sosok sang adik d
Mobil melaju dengan tenang di sepanjang jalan yang basah oleh embun pagi, tetapi suasana di dalamnya begitu kelam. Joya bersandar di bahu Alastar, membiarkan kehangatan lelaki itu meresap ke dalam kulitnya yang terasa dingin. Sejak menerima kabar duka, bibir Joya terkunci rapat. Kata-kata seolah tertahan di kerongkongan, dadanya sesak oleh kesedihan yang tak tertahankan. Alastar, yang duduk di samping Joya, tak banyak bicara. Ia hanya mengeratkan pelukan di bahu sang kekasih, sesekali mengecup pucuk kepalanya dengan penuh kasih. Ia tahu, saat ini, tak ada kata-kata yang bisa mengurangi kepedihan yang dirasakan Joya. Di tengah kesunyian, Alastar merasakan kepalanya mulai berdenyut. Pandangannya sempat berkunang, tetapi ia mengerjapkan mata cepat-cepat, berusaha mengabaikan rasa pusing yang kian menguasai kepala. Ini bukan saatnya untuk jatuh sakit. Joya lebih membutuhkan dukungannya sekarang dibanding kapan pun. Alastar pun menggenggam tangan Joya, meremasnya lembut seakan ingin me
Joya terbangun lebih dulu dari Alastar, merasakan kehangatan tubuh pria itu yang masih terlelap di sisinya. Dengan hati-hati, ia menyingkirkan tangan Alastar yang melingkar erat di pinggangnya. Setelah berhasil melepaskan diri, ia turun perlahan dari ranjang, membiarkan kakinya menyentuh lantai dingin.Dengan langkah ringan, Joya menuju meja di mana ponselnya tergeletak. Begitu ia menyalakannya, layar yang redup segera terang, menampilkan sebelas panggilan tak terjawab dari dua nomor berbeda.Kening Joya berkerut, hatinya bertanya-tanya ada urusan penting apa sehingga ia dihubungi terus-menerus. Belum sempat berpikir lebih jauh, matanya tertuju pada dua pesan masuk dari nomor tak dikenal. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat saat ia membuka pesan pertama.{Selamat pagi. Ini dari Kepolisian. Kami meminta Ibu Joya segera datang ke Rumah Sakit Cendana. Adik Anda, Bu Siena, dan suami Anda, Pak Denis Kusuma, mengalami kecelakaan dan saat ini dalam kondisi kritis.]Darah Joya seolah membek
Benturan logam yang dahsyat menggema, tatkala mobil Denis menghantam tiang listrik. Kaca depan retak, bagian kap mobil penyok, dan kepulan asap mulai muncul dari mesin yang ringsek. Suara klakson panjang meraung di udara, seakan menjadi tanda bahaya bagi siapa saja yang berada di sekitar.Siena terkulai di kursi penumpang dengan darah merembes dari dahinya yang terbentur dashboard. Napasnya tersengal, kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya tertutup rapat. Tangannya yang tadi mencengkeram kemudi dengan emosi kini terkulai lemah di pangkuannya. Tubuh gadis itu penuh luka, tetapi yang paling mengkhawatirkan adalah darah yang mengalir deras dari kedua kakinya, membasahi jok mobil dengan warna merah pekat yang mencengangkan.Di sisi lain, Denis tak sadarkan diri dengan luka yang tak kalah parah. Kepala pria itu terantuk keras pada kemudi, menyebabkan robekan di pelipisnya.Kedua kakinya terjepit di antara dashboard dan kursi, membuatnya tak bisa bergerak. Sementara tangan kanan Denis t