Joya menuruni anak tangga dengan hati berdebar, pikirannya masih berputar pada kejadian di kamar Alastar. Ia menghela napas berat sebelum akhirnya turun ke bawah. Begitu melewati ruang tamu, Joya berpapasan dengan pria paruh baya yang pertama kali membukakan pintu untuknya. Pria paruh baya itu mengangguk hormat, seakan ia adalah seorang nyonya rumah."Nona, Tuan Muda sudah menunggu di dalam mobil," katanya dengan sopan sambil menunjuk ke arah luar.Joya hanya mengangguk singkat, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Dia melangkah keluar, dan mendapati sebuah mobil sport mewah yang berkilau di bawah sinar matahari. Bentuknya aerodinamis dengan warna hitam matte yang elegan. Logo Lamborghini terpampang jelas di kap depan, dan desainnya langsung memancarkan kesan prestise. Tampilan kendaraan tersebut membuat Joya terpana. Biasanya, ia hanya melihat mobil seperti itu lewat layar kaca atau diecast di toko mainan. Tidak pernah sekalipun terbayang bahwa dia akan berada sedekat ini dengan
Joya merasakan detak jantungnya semakin cepat. Ia melihat Siena, adiknya, berdiri di hadapannya dengan dahi berkerut, menunggu jawaban atas pertanyaan yang baru saja dilontarkan. Merasa bingung, Joya menggenggam tali tasnya erat-erat, jari-jarinya sedikit gemetar. Senyuman kecil yang ia paksakan terasa canggung, nyaris tak meyakinkan."Oh... itu," Joya tergagap, lidahnya terasa kelu. "Tadi... aku hanya menumpang," ujarnya pelan, suaranya hampir tak terdengar. "Menumpang?" Siena menyipitkan mata, memancarkan rasa ingin tahu yang semakin dalam. "Dengan siapa?" Joya merasa seperti terpojok. Ia menggoyangkan ujung rambutnya dengan gelisah, mencoba mengalihkan perhatian sang adik. Mustahil, ia mengatakan yang sebenarnya—bahwa mobil itu milik Alastar, CEO sekaligus pemilik perusahaan tempat Siena dan Denis bekerja.Setelah beberapa detik yang terasa hening, sebuah ide melintas di benak Joya.“Aku baru selesai memberikan les privat. Pamannya muridku itu berbaik hati menawarkan tumpangan k
Dalam sepersekian detik, Joya melihat Denis menatap kalung di lehernya, dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada sesuatu di balik tatapan pria itu, tetapi Joya tidak ingin memikirkannya lebih jauh. Ketegangan di antara mereka terasa mencekik, hingga Siena tiba-tiba melangkah maju, mencairkan suasana dengan suara lembutnya. “Mas Denis, biar aku yang bantu menyuapi Bu Dewi,” pintanya sambil mengulurkan tangan. Denis mengangguk, menyerahkan mangkuk bubur yang masih setengah penuh. “Terima kasih, Siena.” Siena duduk di kursi Denis dan mulai menyuapi Bu Dewi dengan hati-hati. Joya memperhatikan adiknya, merasa lega karena Siena tidak menyadari suasana tegang yang sempat terjadi. Namun, hanya dua suapan, Siena buru-buru meletakkan mangkuk di meja dan berdiri. “Siena, ada apa?” tanya Joya, bingung melihat wajah adiknya yang mendadak pucat. Siena hanya menggeleng lemah, lalu berlari menuju kamar mandi di dalam ruangan itu.Joya, yang panik, segera menyusul. Ia berdiri di depan pintu ka
Selepas kepergian Denis dan Siena, Joya membantu Bu Dewi berbaring kembali di brankar dengan perlahan. Tangannya menopang tubuh wanita paruh baya itu, memastikan kenyamanannya sebelum menyelimutinya.Joya kemudian menarik kursi dan duduk di sisi brankar, siap untuk menemani sang ibu mertua.“Joya, tadi waktu Siena muntah-muntah, Ibu jadi sedih,” kata Bu Dewi pelan, wajahnya yang biasanya ceria tampak suram.“Sedih kenapa, Bu?” tanya Joya dengan lembut, alisnya bertaut. Ucapan sang ibu mertua membuatnya tertegun.Bu Dewi menarik napas panjang, lalu menggenggam tangan Joya erat-erat.“Seharusnya yang mengalami mual itu kamu, Joya, tandanya kamu hamil. Ibu benar-benar ingin mendengar kabar baik itu, Nak.”Joya tersentak. Kalimat itu seperti petir yang menyambar benaknya. Matanya membelalak kecil, teringat akan gejala mual yang dialami oleh Siena.Namun, Joya segera menepis pikiran buruk itu. Mustahil adiknya berbadan dua, sementara Siena belum memiliki kekasih. “Ibu... mual belum tentu
Malam itu menjadi malam yang paling menyesakkan bagi Joya. Diliputi rasa takut, mata Joya terus memandang pintu depan rumah yang setengah terbuka, tempat Martin dan dua pria berbadan besar masih berdiri di teras rumah.Tawa Martin yang menjijikkan bergema di telinganya, kata-katanya tadi seolah menghantui. Apalagi, suara melengking dari bos rentenir itu kembali terdengar dari luar.“Ganti pakaianmu dengan yang lebih terbuka dan tipis, Sayang.”Joya menggigit bibir bawahnya, tubuhnya gemetar hebat. Tangannya mencengkeram erat ponsel di genggaman, berpikir keras mencari jalan keluar dari situasi yang mengerikan ini.Jikalau ia menelepon Alastar, harga dirinya pasti akan hancur, tetapi apa yang lebih penting sekarang? Keselamatannya atau egonya?Dengan tangan gemetar, Joya lantas membuka daftar panggilan masuk di ponselnya. Beberapa waktu lalu, Alastar pernah meneleponnya di rumah sakit, dan nomor itu masih tersimpan di riwayat panggilan. Joya tahu betul, Alastar bukanlah pria yang baik,
Pesan itu singkat, tetapi membuat Joya merinding. Ia membaca ulang kalimat yang ditulis oleh Alastar beberapa kali, mencoba menenangkan pikirannya yang kembali bergejolak. Apa yang akan diminta Alastar darinya? Sanggupkah ia memenuhi permintaan itu? Joya tahu, ia telah menjual harga dirinya, bahkan mungkin juga kebebasannya kepada Alastar. Dan kali ini, ia melakukannya secara sadar tanpa pemaksaan dari siapapun. Dengan tangan gemetar, Joya meletakkan ponselnya di meja kecil, samping tempat tidur, lalu berbaring di lantai. Tidak ada gunanya menangis sekarang, pikirnya. Ia telah memilih jalan ini, dan tidak ada cara untuk kembali. Yang bisa ia lakukan hanyalah menjalani konsekuensinya dengan kepala tegak, meski hatinya luluh lantak. Sambil merebahkan diri di lantai, Joya sesekali menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Jari-jarinya tanpa sadar mengelus kalung pemberian Alastar yang masih menggantung di lehernya. Benda kecil itu terasa dingin di kulitnya, mengingatkannya pada janji
Ponsel Joya berdering, membangunkannya dari tidur yang baru ia nikmati menjelang subuh. Suara itu terdengar memekakkan telinga di pagi yang hening. Membuat Joya terpaksa bangun, meski matanya masih terasa lengket.Dengan malas, Joya meraba-raba nakas di samping tempat tidur, mencoba menemukan sumber kegaduhan. Setengah terpejam, Joya menyentuh layar ponsel dan menjawab panggilan itu.“Halo?” gumamnya lemah. Namun, suara bariton yang terdengar di seberang membuat seluruh tubuh Joya menegang. “Halo, Baby, bagaimana kabarmu pagi ini?” sapa suara itu dengan nada menggoda. Joya langsung tersentak, tubuhnya mendadak siaga. Kesadarannya yang semula masih setengah kini terkumpul penuh. Ia pun terduduk di tempat tidur, ponsel masih menempel di telinganya. “Pak Alastar?” tanyanya, nyaris terbata-bata. Alastar terkekeh pelan, suara tawanya membuat Joya semakin gugup. “Kau baru bangun tidur? Pantas saja kau tidak mengenali suaraku.” Joya menghela napas pendek, hatinya berdebar. “Iya... sa
Duduk di kursi belakang mobil mewah dengan interior kulit yang halus, Joya merasa perutnya melilit. Tangannya yang memegang tas di pangkuannya berkeringat. Semakin dekat dengan lokasi perkantoran PT. Golden Nutri, ia semakin gugup.Joya teringat latar belakang pendidikannya yang seorang guru. Dulu, ia berkutat di antara buku pelajaran, anak-anak dengan seragam sekolah, dan papan tulis yang penuh coretan spidol. Semua terasa akrab, aman, dan menenangkan. Namun, kini segalanya berbeda. Ia harus menjalani peran baru sebagai seorang sekretaris—profesi yang sama sekali asing baginya. ‘Bagaimana kalau aku melakukan kesalahan? Aku tidak tahu apa-apa soal pekerjaan sekretaris,’ gumamnya dalam hati. Joya menggigit bibir bawah, mencoba menahan kerisauan yang semakin membuncah. Bagaimana mungkin ia bisa menjalani peran ini tanpa bekal apa-apa? Bayangan Alastar dengan tatapan penuh tuntutan melintas di pikirannya. Joya merasa dadanya sesak. Ia tahu, pria itu tidak akan menerima alasan apa p
Mata Siena membelalak seketika. Rahangnya sedikit mengendur, dan ia tampak kesulitan menyembunyikan keterkejutannya."Bukankah itu mobilnya Pak Alastar?"Joya mengangguk, seolah itu bukan hal yang luar biasa. "Iya, tapi sekarang sudah menjadi fasilitasku. Sebagai sekretaris CEO, aku mendapat mobil operasional."Dada Siena tampak naik turun. Ada sesuatu di matanya yang berkedip cepat—seperti perasaan tidak percaya yang bercampur dengan sesuatu yang lebih gelap. Joya bisa melihat bagaimana pikiran adiknya bekerja, bagaimana Siena mulai mencerna informasi itu. Namun, Joya tidak ingin memberinya waktu untuk berpikir terlalu lama.Ia meraih pergelangan tangan Siena dengan lembut, menggenggamnya seolah tak ingin membiarkan adiknya melarikan diri. "Ayo, kita pergi sekarang. Aku sudah lapar." Joya melangkah ringan menuju pintu mobil, tetapi ekor matanya menangkap ekspresi Siena yang masih memandangi kendaraan mewah itu seolah tak percaya. Seiring mereka berjalan, Joya bisa merasakan getara
Setelah berkata demikian, Joya melangkah menuju pintu. Ia mengerti bahwa Alastar memiliki urusan keluarga yang mendesak, tetapi tetap saja ada sedikit kekecewaan yang menyelinap di hatinya.Baru saja ia mengulurkan tangan untuk membuka pintu, tiba-tiba sentuhan hangat menyergap pergelangan tangannya. Dalam sekejap, ia ditarik ke dalam dekapan yang begitu erat dan menenangkan."Aku benar-benar ingin menemanimu, tapi keadaan tidak memungkinkan. Aku ingin kau berhati-hati, Baby,” suara Alastar terdengar dalam keheningan ruangan, penuh dengan ketulusan."Siena ... dia sudah membuktikan kalau dia bisa melakukan hal di luar nalar hanya untuk menyakitimu. Jika kau membongkar semua kebohongannya, siapa tahu apa yang akan dia lakukan selanjutnya?"Dada Joya naik turun perlahan. Ia tidak menyangka Alastar akan sekhawatir ini. Jemari tangannya terangkat, membalas pelukan pria itu."Jangan cemas. Aku sudah menjadi kakaknya selama dua puluh sa
Setelah jam makan siang berlalu, Joya kembali ke meja kerjanya. Livia sudah lebih dahulu tiba dan kini menatapnya dengan sorot mata tajam, seakan memastikan bahwa Joya sudah siap kembali bekerja. Tanpa banyak bicara, Joya segera mengalihkan perhatiannya ke berkas-berkas di atas meja. Sementara itu, Arman kembali memasuki ruangan Alastar dengan membawa beberapa dokumen tambahan. Alastar masih duduk di kursinya, tenggelam dalam lautan laporan yang seolah tiada habisnya. Tangannya bergerak lincah menelusuri angka dan grafik, matanya tajam mengamati setiap detail. Wajahnya masih serius, tetapi samar-samar terlihat gurat kelelahan di sana. Hingga tiba-tiba, ponselnya yang tergeletak di atas meja bergetar dan berdering, menarik perhatiannya dari tumpukan dokumen.Alastar melirik layar ponselnya, dan alisnya sedikit berkerut saat melihat nama yang tertera di sana. Alena. Kakak perempuannya yang masih berada di luar negeri untuk mengikuti pagelaran fashion show. Tidak biasanya Alena menel
Makanan yang dipesan oleh Joya akhirnya tiba, membuat mereka berhenti bekerja. Joya segera bangkit dari kursinya, menerima tas makanan dari kurir lalu kembali ke ruangan Alastar.Aroma makanan sehat yang menggugah selera, menyebar di seluruh sudut ruangan. Joya mulai menyusun makanan di atas meja dengan telaten, membuka kemasan satu per satu dan menyajikannya dengan rapi.Alastar menatap makanan itu sejenak. Bukannya langsung mengambil sendok, pria itu justru menyandarkan punggungnya pada kursi. Ia menatap Joya dengan mata tajam yang menyiratkan sesuatu."Aku tidak mau makan sendirian," ujarnya, nada suaranya terdengar lembut tetapi tak terbantahkan.Joya sempat ragu, matanya melirik jam di dinding. Waktu makan siang mereka tidak banyak, dan ia masih memiliki banyak tugas yang harus diselesaikan. Namun, melihat ekspresi Alastar yang seolah menunggu, ia akhirnya menghela napas kecil dan mengangguk. "Baiklah, aku akan menemanimu makan," katanya, menarik kursi agar lebih dekat.Alastar
Usai menandatangani surat cerai, Joya berusaha fokus lagi dengan pekerjaannya. Ini adalah kesempatan terakhirnya belajar dari Livia, dan ia harus mempelajari semua yang diperlukan. Namun, pikirannya terus-menerus melayang kepada reaksi sang ibu mertua. Entah apa yang terjadi, bila perempuan paruh baya itu mengetahui perceraiannya dengan Denis."Joya, pesan hotel yang ini saja untuk Pak Alastar," suara Livia membuyarkan lamunannya.Joya mengerjapkan mata sebelum buru-buru mengangguk. "Baik."Namun, saat ia hendak melakukan pemesanan, sebuah pikiran melintas di benaknya. “Bu Livia, apakah Pak Alastar harus pergi? Akhir-akhir ini, saya melihat Pak Alastar kurang sehat."Livia menghela napas. "Ini permintaan Beliau sendiri sebelum kau datang. Pak Alastar harus memberikan sambutan dan melakukan pemotongan pita untuk grand opening outlet baru. Selain itu, ada pertemuan penting dengan para pengusaha di sana."Joya menggigit bibirnya, merasa sedikit khawatir. Ia tahu bahwa kesehatan Alastar
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Joya akhirnya menggerakkan pena itu, menuliskan namanya di bagian tanda tangan. Begitu tanda tangan itu terukir, rasanya seperti sebuah beban besar terangkat dari pundaknya—meski sekaligus meninggalkan luka yang tak kasat mata.Usai memberikan persetujuan, Joya menutup map itu dan menyerahkannya kepada Tuan Erlangga. "Sudah, Tuan," ucapnya lirih.Tuan Erlangga menerima dokumen tersebut dengan anggukan kecil. "Baik. Saya akan segera memprosesnya."Joya menunduk, hatinya mendadak diliputi rasa bersalah. Membayangkan kesedihan yang akan dirasakan sang ibu mertua, membuat dada Joya terasa sesak.Ia tahu bahwa setelah ini, ibu mertuanya pasti akan sangat kecewa padanya. Wanita itu telah begitu baik, memperlakukannya seperti anak sendiri. Namun, cepat atau lambat ia memang harus mengambil keputusan.Tak ayal, mata Joya sedikit berkaca-kaca saat ia mengalihkan pandangan kepada Alastar. "Boleh saya keluar? Saya ingin melanjutkan pekerjaan,” pintanya mengg
Dengan langkah lebar, Joya menuju lobi dengan hati yang masih berdebar. Sejak turun dari mobil Alastar, ia merasa was-was jika ada seseorang yang melihat mereka datang bersama. Ternyata, ia berhasil sampai di lobi tanpa ada tatapan curiga dari siapapun.Joya menarik napas, ia berhasil lolos. Tak ada yang mengetahui bahwa pagi ini ia berangkat bersama bosnya, Alastar.Tanpa membuang waktu, Joya bergegas menuju lift. Namun, sebelum pintu lift tertutup, suara familiar menghentikan langkahnya."Joya!"Mendengar suara yang memanggilnya, Joya menoleh. Ia bertemu pandang dengan Livia yang berdiri tak jauh darinya. "Aku sengaja datang pagi," kata Livia sambil tersenyum tipis. "Ini hari terakhirku bekerja di sini, dan aku ingin memberikan pelajaran maksimal untukmu."Joya menelan ludah dan mengangguk. "Baik, Bu Livia."Mereka berdua masuk ke lift, dan suasana di dalam terasa hening. Livia memang selalu tegas dan perfeksionis, tetapi hari ini ada sesuatu yang berbeda dalam sorot matanya. Joya
Denis mendongak, menatap langit yang mulai memutih, tanda matahari sudah mulai merangkak naik. Siena sudah pergi, meninggalkan jejak perasaan yang berkecamuk di hatinya. Ia mengembuskan napas berat sekali lagi, sebelum melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Matanya langsung menangkap sosok sang ibu yang sedang berdiri di dapur, mencuci piring dengan perlahan. Seharusnya ibunya sedang beristirahat, bukan malah beraktivitas seperti ini."Bu, sudah, jangan. Biar aku saja yang mencuci piringnya." Denis melangkah cepat, mendekati Bu Dewi dan mengulurkan tangan, bermaksud mengambil piring dari pegangan ibunya. Namun, Bu Dewi menggeleng pelan sambil tersenyum kecil. "Ibu hanya mencuci sedikit, nggak akan membuat Ibu lelah." Denis masih ingin membujuk, tetapi melihat bagaimana sang ibu tetap melanjutkan pekerjaannya dengan hati-hati, ia mundur selangkah. Tangannya terlipat di depan dada, memperhatikan gerak-gerik ibunya dengan seksama. Beberapa detik berlalu dalam keheningan sebelum B
Denis tidak punya pilihan selain membiarkan Siena masuk ke dalam rumah. Meskipun kedatangannya yang mendadak ini membuatnya merasa canggung, ia tidak mungkin menolaknya begitu saja, terutama saat Siena telah berdiri di depan pintu dengan wajah penuh semangat. Dengan langkah ringan dan senyum lebar, Siena melangkah masuk. Gadis itu bersikap seolah-olah tidak merasakan ketegangan yang merayapi Denis sejak pertama kali melihatnya di depan rumah.Dari dalam kamar, Bu Dewi baru saja keluar, mengenakan daster berwarna lembut dan menyisir rambutnya yang mulai memutih. Saat pandangannya bertemu dengan sosok Siena yang berdiri di ruang tamu, alisnya sedikit berkerut karena terkejut. Ia tak menyangka Siena akan datang sepagi ini. “Siena? Pagi-pagi begini sudah ada di sini?” tanyanya dengan nada heran.Siena segera tersenyum manis, seakan telah menyiapkan kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. “Selamat pagi, Bu Dewi.” Suaranya lembut dan penuh keceriaan. “Saya datang membawa sarapan