Duduk di kursi belakang mobil mewah dengan interior kulit yang halus, Joya merasa perutnya melilit. Tangannya yang memegang tas di pangkuannya berkeringat. Semakin dekat dengan lokasi perkantoran PT. Golden Nutri, ia semakin gugup.Joya teringat latar belakang pendidikannya yang seorang guru. Dulu, ia berkutat di antara buku pelajaran, anak-anak dengan seragam sekolah, dan papan tulis yang penuh coretan spidol. Semua terasa akrab, aman, dan menenangkan. Namun, kini segalanya berbeda. Ia harus menjalani peran baru sebagai seorang sekretaris—profesi yang sama sekali asing baginya. ‘Bagaimana kalau aku melakukan kesalahan? Aku tidak tahu apa-apa soal pekerjaan sekretaris,’ gumamnya dalam hati. Joya menggigit bibir bawah, mencoba menahan kerisauan yang semakin membuncah. Bagaimana mungkin ia bisa menjalani peran ini tanpa bekal apa-apa? Bayangan Alastar dengan tatapan penuh tuntutan melintas di pikirannya. Joya merasa dadanya sesak. Ia tahu, pria itu tidak akan menerima alasan apa p
Joya merasakan matanya mulai memanas. Perasaan sedih dan tersinggung bercampur menjadi satu, membuat dadanya terasa semakin berat. Namun, ia tahu ini bukan tempat untuk menunjukkan kelemahannya. Sementara, Livia mendengus pelan, tampak puas dengan reaksi Joya. “Tapi, baiklah,” katanya sambil melipat tangan di depan dada. “Saya akan coba mengajarkanmu selama satu hari ini. Kalau ternyata kamu tidak bisa mengikuti, saya sendiri yang akan melapor kepada Pak Alastar.” Nada suaranya terdengar begitu angkuh, seolah yakin Joya akan gagal. Joya mengangguk kecil. “Terima kasih, Bu,” katanya pelan. Wanita itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia berbalik dan melangkah menuju lift, seolah memberi isyarat agar Joya mengikutinya. Saat mereka masuk ke dalam lift, suasana terasa sangat canggung. Livia berdiri diam sambil menekan tombol menuju lantai sembilan, lantai tertinggi di gedung ini. Joya berdiri sedikit di belakangnya, merasa kecil di samping Livia. Ia hanya bisa menatap nomor-nomor lantai
Joya hanya bisa menunggu dengan harap-harap cemas di ruangan itu. Sambil duduk di kursi, ia memandangi jam di layar ponselnya, menyadari bahwa waktu terus berjalan tanpa ada kejelasan. Jantungnya berdebar tak menentu. Dalam pikirannya, ia membayangkan segala kemungkinan terburuk yang bisa terjadi. Jika pihak HRD memutuskan untuk membatalkan pekerjaannya sebagai sekretaris CEO, mungkin itu justru hal terbaik. Dengan begitu, ia tidak perlu berdekatan dengan Alastar setiap hari, sesuatu yang sebenarnya ingin ia hindari sejak awal. Namun, di sisi lain, ia merasa takut bila Alastar akan menganggapnya ingkar janji atau tidak kompeten. Apalagi, Joya teringat akan ancaman hukuman yang sempat diucapkan oleh Alastar tempo hari.Detik demi detik telah berlalu tanpa kejelasan. Hampir satu jam berdiam diri, Joya mulai merasa lelah menunggu.Penantiannya baru berakhir ketika Livia masuk bersama seorang pria berjas rapi, berusia empat puluhan akhir. Dari penampilannya yang penuh wibawa, Joya meneb
Selesai makan siang di kantin, Joya kembali ke lift untuk menuju ke ruang CEO di lantai sembilan. Suasana hatinya bercampur aduk, antara rasa cemas dan sedikit lega setelah berbincang dengan dua karyawan dari bagian marketing.Ketika tiba di lantai sembilan, Joya melangkah pelan menuju mejanya. Ia duduk kembali di kursi dan segera mengambil tisu dari dalam tas. Dengan hati-hati, Joya mengusap noda kuah soto yang masih terlihat di lengan kemejanya. Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar mendekat. Livia datang dengan membawa tablet di tangannya, wajahnya terlihat serius seperti biasa. Pandangan wanita itu langsung tertuju pada lengan kemeja Joya yang bernoda. “Kenapa kemejamu kotor begitu?” tanya Livia dengan nada tajam, menghentikan langkahnya di depan meja Joya.Joya mengangkat wajahnya, sedikit gugup. “Tadi waktu makan siang, ada karyawan yang tidak sengaja menyenggol saya. Kuah sotonya tumpah,” jawabnya pelan.Livia mendengus pelan, lalu menegur, “Kamu harus lebih hati-ha
Sepuluh menit berlalu begitu cepat, bagaikan kilatan petir yang terlihat di depan matanya. Ketika Arman, asisten pribadi Alastar, keluar dari ruang CEO, jantung Joya seolah melompat-lompat. Ia tahu sesuatu akan terjadi. Benar saja, tidak lama kemudian, Arman mendekat dengan langkah cepat."Bu Joya, silakan masuk ke ruangan Pak Alastar sekarang," katanya singkat tanpa memberi kesempatan bagi Joya untuk bertanya. Joya hanya bisa menelan ludah dan mengangguk, mencoba menyembunyikan kecemasan yang menjalari tubuhnya. Namun, gemetar di ujung jemarinya tak dapat ia kendalikan.Ketika Joya berdiri, ia berusaha tetap tenang kendati ia merasa seperti seekor rusa yang terjebak dalam perangkap pemburu. Langkahnya terasa berat saat ia menuju pintu kaca tebal itu. Dari sudut matanya, Joya melihat Arman mendekati Livia dan meminta wanita itu ikut dengannya meninggalkan ruang CEO. Livia tampak terkejut sesaat, tetapi ia menurut tanpa banyak bicara. Melihat mereka berdua pergi, kecemasan Joya sema
Joya tidak perlu mendengar dua kali. Ia langsung melangkah keluar secepat kilat, hampir seperti melarikan diri dari ruangan itu. Jantungnya masih berdegup kencang, dan pipinya terasa panas. Begitu tiba di luar, ia menghela napas panjang, merasa seperti baru saja terbebas dari cengkeraman buaya besar.Langkah Joya bergegas menuju lift. Ia menekan tombol untuk turun ke basement, berharap bisa menenangkan dirinya sejenak sebelum harus menghadapi Alastar lagi. Pikirannya terus bergulat dengan kejadian barusan. Mengapa dia harus menuruti keinginan Alastar? Namun, apa pilihan lain yang ia punya? Pintu lift terbuka, dan Joya melangkah masuk. Di dalam, ia merapatkan kemejanya, seolah-olah ingin menghapus jejak sentuhan Alastaryang masih terasa di kulitnya. Pria itu layaknya teka-teki yang sangat sulit dipecahkan.Begitu lift mencapai basement, Joya melangkah keluar dan mencari tempat untuk menunggu. Ia memilih berdiri di dekat tiang besar, mencoba menyembunyikan diri. Matanya segera menyapu
Setelah meninggalkan butik, Alastar menggiring Joya kembali ke lift. Kali ini, dia menekan tombol lantai yang lebih atas. Terpaksa, Joya mengikuti langkah Alastar tanpa berkata apa-apa. Ketika pintu lift terbuka, mereka tiba di lantai yang lebih eksklusif, dengan deretan toko-toko premium yang memamerkan barang mewah di etalase. Alastar menggandeng Joya berkeliling, hingga mereka berhenti di depan sebuah counter makeup dari merk luar negeri yang terkenal.Alastar melepaskan tangannya dari pinggang Joya dan menunjuk ke arah counter tersebut.“Masuklah. Konsultasikan apa yang kamu butuhkan dan pilih sendiri makeup yang cocok. Aku sebagai pria tidak mengerti soal itu,” katanya dengan nada santai. Dia mengeluarkan black card dari dompetnya dan menyerahkannya pada Joya. “Gunakan ini.”Joya menggeleng dengan cepat. “Tidak perlu, saya tidak butuh sebanyak itu,” katanya sambil mundur sedikit.Alastar mengangkat alis. “Kalau begitu, pakai saja uang seratus juta yang aku transfer ke rekeningmu
Joya meremas ponselnya, menahan perasaan yang bercampur aduk di dalam hati. Ia merasa miris, terluka, dan marah sekaligus. Bagaimana bisa Denis dengan mudah menyerahkan dirinya kepada pria lain? Bahkan tanpa sedikit pun keberatan?Sudah jelas bahwa Denis adalah seorang suami pengecut, yang hanya peduli pada uang dan kedudukan, bukan pada perasaannya. Lelaki itu menganggapnya bagaikan barang yang bisa dipindahtangankan dengan mudah.Alastar mengamati Joya dari seberang meja. Ia tahu wanita itu tengah bergulat dengan perasaannya, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Sebaliknya, ia malah memotong daging steak dengan santai.“Joya, aku tidak akan membiarkanmu kembali pada pria seperti itu. Mulai sekarang, kau hanya milikku.”Joya mendongak, matanya bertemu dengan tatapan tajam Alastar. Ia ingin membantah, ingin mengatakan bahwa ia bukan milik siapapun. Namun, kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya. Entah mengapa, ada sesuatu dalam cara Alastar berbicara yang membuatnya tidak bisa melaw
Joya menggigit bibirnya, bingung harus merespon seperti apa. Tak bisa dipungkiri bahwa hatinya terguncang mendengar pernyataan Alastar, bahwa ia adalah wanita pertama yang disentuh pria itu. Entah mengapa ada rasa bersalah yang melandanya, saat menatap sorot kecewa di mata Alastar.Namun, ia tidak boleh terpengaruh. Ini bukan tentang cinta atau hubungan jangka panjang. Ini hanya tentang … sesuatu yang seharusnya tidak pernah terjadi.Ia yakin Alastar hanya berbohong untuk merayunya, membuatnya semakin terjebak dalam pesona lelaki itu. Bagaimana mungkin pria tampan, kaya, dan masih bujangan—tidak pernah menyentuh wanita mana pun sebelumnya? Untungnya, Alastar tidak menuntut jawaban. Pria itu kembali memejamkan mata dan membiarkan Joya memijatnya. Napasnya perlahan menjadi teratur, menunjukkan bahwa ia telah masuk ke dunia mimpi.Sejenak, Joya menghentikan pijatan lembutnya. Ia menggerakkan tangan ke atas dan ke bawah, memastikan bahwa kelopak mata Alastar tidak bergerak. Jika Alastar
Setiba di mobil, Joya menatap Alastar dengan ragu. Ia menghela napas sejenak sebelum bertanya kepada lelaki itu."Bapak sanggup mengemudikan mobil sampai ke apartemen?"Alastar, yang baru saja memasang sabuk pengaman, melirik Joya lewat kaca spion."Kalau aku tidak bisa, memangnya kau yang akan menggantikan?" tanyanya dengan nada menyebalkan. "Apakah kau bisa mengemudikan mobil?"Joya langsung mengerucutkan bibirnya, merasa kesal dengan nada meledek pria itu. Ia hanya ingin memastikan kondisi Alastar, bukan memberi celah bagi pria itu untuk mengejeknya. "Tentu saja tidak," jawabnya jengkel. “Saya hanya bisa mengendarai motor."Alastar mengangguk dengan ekspresi puas, seolah menikmati reaksi Joya. "Jangan khawatir. Setelah makan siang tadi, aku merasa bugar kembali."Joya mengembuskan napas pelan. Ia tak ingin berdebat lebih jauh, jadi ia memilih untuk diam dan membiarkan Alastar mengemudikan mobil. Ketika mereka melewati kompleks pertokoan, mata Joya menangkap papan nama supermarket
Joya menundukkan kepala dalam-dalam, berharap keajaiban terjadi agar adiknya tidak melihat keberadaannya di kafe ini. Namun, tampaknya takdir berkata lain. Harapannya seketika sirna saat mendengar suara familiar menyapanya.Perlahan, Joya mengangkat kepala dan melihat Siena berdiri di dekat mejanya, menatapnya dengan mata penuh tanya.“Kak Joya? Kakak di sini?" Siena mengamati penampilan Joya sambil mengernyitkan dahi. "Kenapa pakai baju kantor?"Joya menelan ludah kasar, berusaha mencari jawaban yang tepat. Sebelum ia sempat membuka mulut, mata Siena terarah pada pria yang duduk di hadapan Joya. Seketika, wajah Siena berubah drastis. Terperanjat, ia menatap Alastar yang tengah menikmati makanannya dengan santai."Pak… Pak Alastar?" Suaranya tercekat. "Selamat siang, Pak. Maaf mengganggu makan siang Bapak. Saya Siena, karyawan magang di bagian Customer Service," sapanya memperkenalkan diri.Alastar mengangkat kepalanya sejenak dan mengangguk. "Selamat siang."Tatapan Siena semakin ta
Sejenak, waktu terasa berhenti. Mata Joya membelalak, dan pipinya mendadak memanas. "Apa?!"Alastar tersenyum, seolah menikmati keterkejutan Joya. "Kau mendengarnya, ‘kan? Aku hanya penasaran. Seandainya kau menikah denganku, berapa anak yang kau inginkan?"Wajah Joya semakin merah. "Itu... itu pertanyaan macam apa?" "Aku hanya ingin tahu,” ucap Alastar, ada tatapan serius di matanya. “Kalau kau tidak mau menjawab sekarang, tidak apa-apa," kata Alastar akhirnya, nadanya sedikit lebih lembut.Tenggorokan Joya mendadak kering kerontang. Ia tidak tahu harus bagaimana menanggapi pertanyaan Alastar yang begitu tiba-tiba. Joya pun mengalihkan pandangan, pura-pura sibuk memperhatikan produk-produk di rak."Lebih baik kita lanjutkan pekerjaan, Pak," ujar Joya, mencoba mengalihkan topik.Ia kemudian memilih keluar dari tempat itu, menghirup udara segar sambil menenangkan debaran jantungnya. Langkahnya cepat, seolah ingin melarikan diri dari situasi yang baru saja terjadi. Sementara Alastar ha
Joya tertegun mendengar pertanyaan Alastar. Darahnya berdesir cepat dan hatinya bergetar. Ia tidak menyangka Alastar akan melontarkan pertanyaan semacam itu. Alastar masih menatapnya dengan tajam, menunggu jawaban. “Kau pantas mendapatkan yang lebih baik,” lanjutnya, kali ini dengan suara yang lebih lembut. “Apa kau masih mencintai Denis?”Joya tidak segera menjawab. Ada perasaan yang berkecamuk dalam dirinya. Cinta? Mungkin dulu ia mencintai Denis, tetapi kini yang tersisa hanyalah luka dan kehancuran. Ia masih bertahan sejauh ini hanya demi kesehatan ibu mertuanya. Namun, pantang bagi Joya untuk mengakui hal itu di hadapan Alastar. Lagi pula, ia tidak memiliki kewajiban untuk memberikan penjelasan, karena hubungan mereka hanya bersifat sementara.Alastar menatapnya tajam, lalu bertanya, "Kenapa diam?”Joya menarik napas dalam, berusaha menahan gejolak yang berkecamuk di dadanya. "Saya tidak perlu menjawab," ujarnya. "Masalah rumah tangga saya bukan urusan Anda. Saya bercerai ata
Merasa hampir kehilangan napas, Joya menarik diri. Dadanya naik turun dengan cepat seiring kesadarannya yang perlahan kembali. Ia melepaskan genggamannya dari kaos Alastar, seolah tersadar dari kegilaan sesaat yang baru saja mereka bagi. Joya merasakan getar halus di tubuhnya yang belum sepenuhnya mereda. Malu merayapi dirinya saat ia membalikkan tubuh, membelakangi Alastar yang masih berbaring di sampingnya.Apa yang baru saja ia lakukan? Ia telah bertindak lebih dulu, mencium Alastar tanpa pikir panjang. Dan kini, rasa canggung dan penyesalan menyergapnya tanpa ampun.Sejenak keheningan menyelimuti ruangan, hanya suara napas mereka yang terdengar. Namun, sebelum Joya bisa menenangkan diri, ia merasakan dekapan hangat melingkupi tubuhnya dari belakang. Alastar memeluknya begitu erat, hingga Joya bisa merasakan denyut jantung pria itu yang berdetak kuat di punggungnya."Setelah berani menggoda, kau ingin meninggalkan aku begitu saja?" bisik Alastar di ceruk leher Joya. Nada suaranya
Alastar mengernyit. Ia menyandarkan tangannya di meja, menatap piring Joya yang masih menyisakan banyak makanan. Pikiran lelaki itu menerka-nerka, kenapa Joya meninggalkan meja makan dengan tergesa-gesa?Ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang jelas bukan sekadar karena Joya kekenyangan atau tidak menyukai makanannya.Dengan cepat, Alastar meletakkan sendoknya dan bangkit dari kursi. "Joya!" panggilnya tegas.Namun, Joya tidak menghentikan langkahnya. Ia terus berjalan menuju kamar, berusaha melarikan diri dari segala emosi yang tengah mencabik hatinya. Jika ia tetap berada di sana, ia takut akan semakin rapuh, semakin larut dalam luka yang berusaha ia pendam sekuat tenaga. Joya terus melangkah ke dalam kamar, mengabaikan perasaannya yang kacau balau. Suara langkah kaki Alastar yang menyusulnya, membuat Joya berbelok ke kamar mandi dan menutup pintu rapat-rapat. Tangannya bergetar saat memutar keran wastafel, membiarkan air mengalir deras. Dengan kedua telapak tangannya, Joya menampung
Joya menatap kosong ke luar jendela taksi, pikirannya masih bergelayut pada pesan singkat yang tadi sempat ia baca di ponsel Denis. Ia tidak mengerti, bagaimana mungkin pria yang selama ini menjadi suaminya tega mengkhianatinya? Dan yang lebih menyakitkan, perselingkuhan itu sepertinya telah berlangsung lama.Lamunan Joya buyar ketika suara sopir taksi menegurnya. “Bu, kita sudah sampai.”Joya tersentak dan bergegas turun dari taksi, menghembuskan napas panjang sebelum melangkah menuju lobi apartemen. Begitu masuk, ia segera mencari toilet. Ya, sebelum bertemu dengan Alastar, ia harus memastikan dirinya terlihat sesuai keinginan lelaki itu.Di depan cermin toilet, Joya menatap bayangannya sendiri. Wajahnya pucat, matanya redup, tetapi ia tetap mencoba menguasai diri. Dengan tangan gemetar, Joya mengeluarkan kalung dari dalam tas, menggantungnya di leher, dan menyesuaikan posisinya di cermin."Sudah puas?" gumamnya lirih, seolah berbicara kepada seseorang yang tidak ada.Setelah merapi
Saat jarum jam di layar komputer menunjukkan pukul lima sore, Joya merapikan berkas-berkas di mejanya. Tangannya dengan lincah menyusun dokumen dan menutup laptop. Di sebelahnya, Livia memperhatikan aktivitas Joya yang seperti tergesa-gesa ingin pulang."Kau pulang duluan? Seharusnya menunggu CEO kita keluar dulu dari ruangannya," ujar Livia dengan nada datar, tetapi penuh sindiran.Joya menghela napas pelan sebelum menjawab, "Saya sudah meminta izin kepada Pak Alastar. Saya akan pulang tepat waktu hari ini."Livia mengangkat alisnya, lalu mengedikkan bahu. "Ya, terserah kalau begitu. Tapi, jangan sering-sering. Nanti aku yang disalahkan karena dianggap salah mendidikmu."Joya tersenyum tipis, mengiyakan dengan sopan, lalu buru-buru mengambil tasnya. Begitu keluar dari kantor, ia segera masuk ke taksi yang telah menunggunya.Di dalam taksi, Joya bersandar dan menarik napas panjang. Seketika pikirannya melayang ke ucapan Alastar bahwa ia harus pulang ke apartemen sebelum pukul sembilan