Joya tidak perlu mendengar dua kali. Ia langsung melangkah keluar secepat kilat, hampir seperti melarikan diri dari ruangan itu. Jantungnya masih berdegup kencang, dan pipinya terasa panas. Begitu tiba di luar, ia menghela napas panjang, merasa seperti baru saja terbebas dari cengkeraman buaya besar.Langkah Joya bergegas menuju lift. Ia menekan tombol untuk turun ke basement, berharap bisa menenangkan dirinya sejenak sebelum harus menghadapi Alastar lagi. Pikirannya terus bergulat dengan kejadian barusan. Mengapa dia harus menuruti keinginan Alastar? Namun, apa pilihan lain yang ia punya? Pintu lift terbuka, dan Joya melangkah masuk. Di dalam, ia merapatkan kemejanya, seolah-olah ingin menghapus jejak sentuhan Alastaryang masih terasa di kulitnya. Pria itu layaknya teka-teki yang sangat sulit dipecahkan.Begitu lift mencapai basement, Joya melangkah keluar dan mencari tempat untuk menunggu. Ia memilih berdiri di dekat tiang besar, mencoba menyembunyikan diri. Matanya segera menyapu
Setelah meninggalkan butik, Alastar menggiring Joya kembali ke lift. Kali ini, dia menekan tombol lantai yang lebih atas. Terpaksa, Joya mengikuti langkah Alastar tanpa berkata apa-apa. Ketika pintu lift terbuka, mereka tiba di lantai yang lebih eksklusif, dengan deretan toko-toko premium yang memamerkan barang mewah di etalase. Alastar menggandeng Joya berkeliling, hingga mereka berhenti di depan sebuah counter makeup dari merk luar negeri yang terkenal.Alastar melepaskan tangannya dari pinggang Joya dan menunjuk ke arah counter tersebut.“Masuklah. Konsultasikan apa yang kamu butuhkan dan pilih sendiri makeup yang cocok. Aku sebagai pria tidak mengerti soal itu,” katanya dengan nada santai. Dia mengeluarkan black card dari dompetnya dan menyerahkannya pada Joya. “Gunakan ini.”Joya menggeleng dengan cepat. “Tidak perlu, saya tidak butuh sebanyak itu,” katanya sambil mundur sedikit.Alastar mengangkat alis. “Kalau begitu, pakai saja uang seratus juta yang aku transfer ke rekeningmu
Joya meremas ponselnya, menahan perasaan yang bercampur aduk di dalam hati. Ia merasa miris, terluka, dan marah sekaligus. Bagaimana bisa Denis dengan mudah menyerahkan dirinya kepada pria lain? Bahkan tanpa sedikit pun keberatan?Sudah jelas bahwa Denis adalah seorang suami pengecut, yang hanya peduli pada uang dan kedudukan, bukan pada perasaannya. Lelaki itu menganggapnya bagaikan barang yang bisa dipindahtangankan dengan mudah.Alastar mengamati Joya dari seberang meja. Ia tahu wanita itu tengah bergulat dengan perasaannya, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Sebaliknya, ia malah memotong daging steak dengan santai.“Joya, aku tidak akan membiarkanmu kembali pada pria seperti itu. Mulai sekarang, kau hanya milikku.”Joya mendongak, matanya bertemu dengan tatapan tajam Alastar. Ia ingin membantah, ingin mengatakan bahwa ia bukan milik siapapun. Namun, kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya. Entah mengapa, ada sesuatu dalam cara Alastar berbicara yang membuatnya tidak bisa melaw
Setelah berbelanja di toko pakaian dalam, Joya berdiri dengan banyak tas belanjaan di tangannya. Namun, siapa sangka Alastar, seorang CEO yang biasanya hanya memerintah, justru dengan santai mengambil sebagian tas dari tangannya. Dengan satu tangan memegang tas belanjaan, tangan lainnya dengan tegas menggandeng Joya.“Saatya kita pulang,” ujar Alastar singkat, memimpin langkah mereka. Joya tak tahu harus merasa lega atau risih dengan kedekatan ini. Beberapa pengunjung menoleh melihat mereka, mungkin tak percaya seorang pria gagah seperti Alastar mau membantu membawa tas belanjaan. Joya hanya bisa menunduk, berusaha menghindari tatapan itu.Setibanya di basement, sopir Alastar segera menghampiri. Pria itu membukakan pintu bagasi, lalu mengambil alih tas-tas belanjaan yang mereka bawa. Alastar, tanpa membuang waktu, membantu Joya masuk ke dalam mobil. Gerakannya halus tetapi otoritatif, membuat Joya tak bisa menolak.Alastar duduk di sebelah Joya, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan
Langkah Alastar terhenti di depan sebuah pintu apartemen. Joya melirik sekilas saat Alastar memasukkan kombinasi angka pada keypad pintu. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka otomatis. Alastar menggiring Joya masuk, tangannya masih erat di pinggang Joya seolah takut wanita itu akan melarikan diri. Joya menelan ludah, hatinya berdebar kencang saat ia melangkah ke dalam apartemen, yang seolah berada di dunia lain. Ruang tamu langsung menyambut mereka dengan sofa biru tua berbahan kulit, diapit meja kaca berdesain minimalis. Dinding apartemen itu didominasi warna putih bersih, kontras dengan aksen hitam pada beberapa rak gantung dan bingkai foto. Lampu gantung dengan cahaya keemasan memancarkan nuansa elegan. Di sisi yang lebih dalam, terdapat sebuah ruang keluarga dengan karpet berbulu lembut, serta sebuah televisi layar lebar yang terpasang di dinding. Pantry terletak di sudut ruangan, dan dilengkapi dengan peralatan dapur berkualitas tinggi.Sementara itu, di bagian lain terdapat
Dengan tangan gemetar, Joya melangkah ke sudut kamar dan mengambil lipstik berwarna merah muda dari dalam tas kerjanya. Ia mengoleskan lipstik itu ke bibirnya yang pucat, mencoba memberikan sedikit warna pada parasnya yang tak bernyawa. Joya lalu mematikan lampu utama kamar, menyisakan hanya lampu tidur yang redup. Dengan perlahan, ia melepas piyama kimononya, membiarkan kain satin itu terjatuh ke lantai. Tubuhnya kini hanya diselimuti oleh cahaya redup lampu, kulitnya terasa dingin terkena hembusan AC.Perempuan itu berdiri menghadap jendela kamar yang sudah tertutup tirai tebal, menunggu Alastar dengan hati yang penuh keraguan.Pintu kamar terbuka dengan suara lembut. Alastar masuk, mengenakan piyama pria berwarna hitam dengan garis putih di tepinya. Piyama elegan itu mencerminkan sosoknya yang selalu tampil sempurna. Langkah Alastar terhenti ketika ia menyadari suasana kamar yang berubah remang-remang. Ia berpikir Joya mungkin sudah tidur dan mengganti suasana kamar menjadi lebih
Joya terbangun dengan tiba-tiba. Suara teriakan yang mengusik ketenangan di pagi buta, membuat matanya terbuka lebar dalam sekejap.Awalnya hanya lirih, seakan berasal dari suara yang tersedak dalam kegelapan. Namun semakin lama semakin lantang, menggema dalam kamar yang masih remang. Hati Joya pun berdebar tatkala ia menyadari dari mana sumber suara itu. Alastar.Joya menoleh dengan cepat. Sekilas, ia mengira pria itu sudah bangun dan sedang berbicara dengan seseorang. Namun, betapa terkejutnya ia ketika mendapati kelopak mata Alastar masih terpejam erat. Kening pria itu berkerut, titik-titik keringat tampak bermunculan di dahinya. Napasnya memburu, tidak beraturan, bibirnya bergerak-gerak, menggumamkan kata-kata yang sulit dimengerti. "Pergi... lepaskan aku..."Suara serak dan berat itu membuat Joya menegang. Alis tebal Alastar berkerut tajam, garis rahangnya mengeras, seolah-olah ia sedang berjuang melawan sesuatu yang menyeramkan. Sungguh, Joya tak menyangka sosok Alastar yang
Tak ingin membuang waktu, Joya buru-buru melangkah menuju pantry di apartemen Alastar, dengan membawa ponselnya di genggaman. Napasnya sedikit terengah, bukan karena lelah, melainkan karena kegelisahan yang memenuhi dada. Begitu sampai, mata Joya membelalak melihat deretan peralatan masak modern yang tertata rapi di dapur tersebut. Untuk seorang bujangan seperti Alastar, memiliki dapur secanggih ini sungguh di luar dugaan. Joya menghembuskan napas panjang, berusaha menenangkan diri. Pikirannya berputar, mencari ide sarapan yang cocok untuk Alastar. Seketika, ia teringat perkataan Livia kemarin bahwa Alastar menyukai cokelat hangat dan makanan sehat yang tidak mengandung gula. Joya mengangkat wajah, matanya menyapu rak dapur, lalu menemukan satu toples berisi serbuk cokelat. Dengan cepat, ia mengambilnya dan menaruhnya di meja.Kemudian, Joya melangkah menuju kulkas, membuka pintunya dengan perlahan. Pandangannya menyusuri isinya dengan cermat. Di dalamnya, terdapat berbagai bahan m
Pagi itu, kamar Joya dipenuhi wangi bunga melati yang ditata rapi dalam vas, memberikan suasana yang menenangkan. Joya duduk di hadapan cermin besar berbingkai emas, tatapan matanya terpusat pada bayangan dirinya yang tampak berbeda dari biasanya.Gaun putih panjang yang membalut tubuhnya, tampak sempurna dengan perpaduan kalung dan anting yang memancarkan kilau indah.Bu Dewi berdiri di belakang, dengan hati-hati merapikan sanggul rambut Joya. Perempuan paruh baya itu juga menyematkan beberapa helai bunga kecil, untuk mempermanis penampilan sang calon mempelai."Kau benar-benar cantik, Nak. Ibu yakin, Alastar akan terpesona begitu melihatmu," pujinya penuh kekaguman.Joya hanya bisa menggigit bibirnya, menahan gelombang kegugupan yang terus melanda. Jemarinya saling bertaut erat, menandakan bahwa emosinya tengah bergejolak hebat. Rasa gugup, was-was, dan bahagia berbaur menjadi satu di dalam hatinya.Pandangan Joya kemudian beral
Joya tidak mampu menahan cairan bening yang perlahan menggenang di sudut matanya. Ucapan itu begitu berarti baginya. Bayinya telah diakui sebagai bagian dari keluarga besar Diwanggana. Ia tak pernah menyangka Tuan Narendra akan menerima Arion dengan hati yang lapang seperti ini.Tuan Narendra berbalik, menatap Joya dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan."Jangan khawatir, Joya. Jika cucuku yang nakal itu sudah berani menghamilimu, maka ia pasti segera kembali untuk menikahimu. Tunggu saja, itu akan terjadi sebentar lagi."Joya tersentak. Matanya membesar dalam keterkejutan, sekaligus kebahagiaan yang membuncah. Harapannya yang sempat pudar perlahan menyala kembali, memenuhi hatinya dengan kehangatan yang hampir ia lupakan.Dada Joya berdegup begitu cepat, hingga ia merasa jantungnya berdentum di dalam telinganya sendiri. Seakan tak percaya dengan ucapan Tuan Narendra, bibirnya yang semula gemetar kini mencoba mengucapkan sesuatu, walau suaranya nyaris tertelan napasnya sendiri.“Be-
Hampir satu tahun telah berlalu sejak Alastar pergi ke luar negeri untuk menjalani pengobatan. Waktu terasa begitu lambat bagi Joya, setiap detik dipenuhi dengan kerinduan yang menyakitkan. Hanya dua kali Alena mengabari bahwa kondisi Alastar telah membaik, tetapi belum cukup kuat untuk kembali. Berita itu, meski melegakan, tetap menyisakan kehampaan dalam hati Joya. Kini, kehidupannya dipenuhi dengan kesibukan yang tiada henti. Bayinya yang baru berusia dua bulan menjadi pusat dunianya. Si kecil yang lahir dari buah cintanya dengan Alastar, hadir sebagai penguat dalam hari-hari panjang penuh penantian. Selain mengurus bayinya, Joya juga memegang tanggung jawab besar di kantor. Sejak kepergian sang kekasih, ia ditunjuk sebagai penggantinya melalui surat resmi yang dibuat oleh pengacara Alastar. Dengan bantuan Arman, ia menjalankan tugasnya dengan penuh dedikasi, memastikan perusahaan tetap berjalan dengan baik.Kilas balik peristiwa itu kembali melintas dalam benak Joya. Selang sat
Di ruang Instalasi Gawat Darurat, Joya masih duduk di sisi tempat tidur Alastar, menatap wajah pucat pria yang dicintainya dengan sorot mata penuh duka. Tangannya masih menggenggam jemari Alastar yang dingin, seakan berusaha menyalurkan sedikit kekuatan.Namun, kebersamaan singkat itu terganggu oleh kehadiran beberapa perawat yang mendekat. Salah satu dari mereka memeriksa kembali monitor yang masih menunjukkan detak jantung Alastar, sedangkan yang lain mulai melepas satu per satu alat medis yang melekat di tubuh pria itu. Selang infus yang menyalurkan cairan ke dalam tubuhnya dicabut dengan hati-hati, diikuti oleh elektrode yang menempel di dadanya. Satu perawat lainnya membebaskan Alastar dari alat bantu oksigen yang sejak awal menopang pernapasannya, sedangkan seorang lagi sudah bersiap dengan brankar khusus yang akan membawa tubuh lemah itu ke dalam ambulans.Joya menatap semua itu dengan pandangan kosong, perasaan tidak rela merayapi dirinya. Hatinya menjerit melihat pria yang d
Joya berjalan mondar-mandir di depan ruang Instalasi Gawat Darurat, langkahnya tak beraturan, seiring dengan debar jantung yang tak menentu. Matanya yang sejak tadi berkaca-kaca semakin terasa perih. Telapak tangannya terasa dingin dan basah oleh keringat yang tak henti mengalir. Kecemasan menguasai hatinya, menyelimuti setiap tarikan napasnya dengan kekhawatiran yang sulit terjelaskan. Sudah beberapa waktu berlalu, tetapi belum ada satu pun dokter yang keluar untuk memberi kabar tentang kondisi Alastar.Saat Joya hampir kehilangan kesabaran, terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa menghampirinya. Ia menoleh dan melihat Arman, asisten setia Alastar, datang bersama seorang wanita cantik yang mengenakan pakaian elegan. Sekilas, ada garis wajah yang mengingatkan Joya pada Alastar. Dugaan Joya benar. Wanita itu adalah Alena, kakak Alastar.Alena segera menghampiri Joya dengan ekspresi tegang. “Kau Joya, bukan? Aku Alena, kakak Alastar. Apa yang terjadi? Kenapa Alastar bisa pingsa
Usai prosesi pemakaman yang berlangsung khidmat, Joya masih bersimpuh di sisi makam Siena. Tanah merah yang baru saja ditaburkan bunga itu masih lembap, seakan belum sepenuhnya menyadari bahwa kini seorang jiwa telah terbaring abadi di bawahnya. Di sekelilingnya, para pelayat sudah mulai meninggalkan tempat peristirahatan terakhir itu. Hanya menyisakan kesunyian dan desir angin, yang menyapu dedaunan pohon kamboja di sudut pemakaman.Alastar yang berdiri tak jauh dari Joya akhirnya ikut berjongkok. Dengan gerakan lembut, ia menyentuh bahu wanita itu, memberikan sedikit kehangatan di tengah dinginnya udara senja. "Baby, langit sudah mendung," suaranya terdengar lembut. "Kita harus kembali sekarang. Bukankah kau ingin melihat kondisi Bu Dewi di rumah sakit?"Joya mengangkat wajahnya yang sudah basah oleh air mata. Matanya merah dan sembab, tetapi kesedihan yang mendalam masih terpancar jelas dari sana. Ia menoleh ke arah makam Siena sekali lagi, seakan ingin mengukir sosok sang adik d
Mobil melaju dengan tenang di sepanjang jalan yang basah oleh embun pagi, tetapi suasana di dalamnya begitu kelam. Joya bersandar di bahu Alastar, membiarkan kehangatan lelaki itu meresap ke dalam kulitnya yang terasa dingin. Sejak menerima kabar duka, bibir Joya terkunci rapat. Kata-kata seolah tertahan di kerongkongan, dadanya sesak oleh kesedihan yang tak tertahankan. Alastar, yang duduk di samping Joya, tak banyak bicara. Ia hanya mengeratkan pelukan di bahu sang kekasih, sesekali mengecup pucuk kepalanya dengan penuh kasih. Ia tahu, saat ini, tak ada kata-kata yang bisa mengurangi kepedihan yang dirasakan Joya. Di tengah kesunyian, Alastar merasakan kepalanya mulai berdenyut. Pandangannya sempat berkunang, tetapi ia mengerjapkan mata cepat-cepat, berusaha mengabaikan rasa pusing yang kian menguasai kepala. Ini bukan saatnya untuk jatuh sakit. Joya lebih membutuhkan dukungannya sekarang dibanding kapan pun. Alastar pun menggenggam tangan Joya, meremasnya lembut seakan ingin me
Joya terbangun lebih dulu dari Alastar, merasakan kehangatan tubuh pria itu yang masih terlelap di sisinya. Dengan hati-hati, ia menyingkirkan tangan Alastar yang melingkar erat di pinggangnya. Setelah berhasil melepaskan diri, ia turun perlahan dari ranjang, membiarkan kakinya menyentuh lantai dingin.Dengan langkah ringan, Joya menuju meja di mana ponselnya tergeletak. Begitu ia menyalakannya, layar yang redup segera terang, menampilkan sebelas panggilan tak terjawab dari dua nomor berbeda.Kening Joya berkerut, hatinya bertanya-tanya ada urusan penting apa sehingga ia dihubungi terus-menerus. Belum sempat berpikir lebih jauh, matanya tertuju pada dua pesan masuk dari nomor tak dikenal. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat saat ia membuka pesan pertama.{Selamat pagi. Ini dari Kepolisian. Kami meminta Ibu Joya segera datang ke Rumah Sakit Cendana. Adik Anda, Bu Siena, dan suami Anda, Pak Denis Kusuma, mengalami kecelakaan dan saat ini dalam kondisi kritis.]Darah Joya seolah membek
Benturan logam yang dahsyat menggema, tatkala mobil Denis menghantam tiang listrik. Kaca depan retak, bagian kap mobil penyok, dan kepulan asap mulai muncul dari mesin yang ringsek. Suara klakson panjang meraung di udara, seakan menjadi tanda bahaya bagi siapa saja yang berada di sekitar.Siena terkulai di kursi penumpang dengan darah merembes dari dahinya yang terbentur dashboard. Napasnya tersengal, kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya tertutup rapat. Tangannya yang tadi mencengkeram kemudi dengan emosi kini terkulai lemah di pangkuannya. Tubuh gadis itu penuh luka, tetapi yang paling mengkhawatirkan adalah darah yang mengalir deras dari kedua kakinya, membasahi jok mobil dengan warna merah pekat yang mencengangkan.Di sisi lain, Denis tak sadarkan diri dengan luka yang tak kalah parah. Kepala pria itu terantuk keras pada kemudi, menyebabkan robekan di pelipisnya.Kedua kakinya terjepit di antara dashboard dan kursi, membuatnya tak bisa bergerak. Sementara tangan kanan Denis t