Joya meremas ponselnya, menahan perasaan yang bercampur aduk di dalam hati. Ia merasa miris, terluka, dan marah sekaligus. Bagaimana bisa Denis dengan mudah menyerahkan dirinya kepada pria lain? Bahkan tanpa sedikit pun keberatan?Sudah jelas bahwa Denis adalah seorang suami pengecut, yang hanya peduli pada uang dan kedudukan, bukan pada perasaannya. Lelaki itu menganggapnya bagaikan barang yang bisa dipindahtangankan dengan mudah.Alastar mengamati Joya dari seberang meja. Ia tahu wanita itu tengah bergulat dengan perasaannya, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Sebaliknya, ia malah memotong daging steak dengan santai.“Joya, aku tidak akan membiarkanmu kembali pada pria seperti itu. Mulai sekarang, kau hanya milikku.”Joya mendongak, matanya bertemu dengan tatapan tajam Alastar. Ia ingin membantah, ingin mengatakan bahwa ia bukan milik siapapun. Namun, kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya. Entah mengapa, ada sesuatu dalam cara Alastar berbicara yang membuatnya tidak bisa melaw
Setelah berbelanja di toko pakaian dalam, Joya berdiri dengan banyak tas belanjaan di tangannya. Namun, siapa sangka Alastar, seorang CEO yang biasanya hanya memerintah, justru dengan santai mengambil sebagian tas dari tangannya. Dengan satu tangan memegang tas belanjaan, tangan lainnya dengan tegas menggandeng Joya.“Saatya kita pulang,” ujar Alastar singkat, memimpin langkah mereka. Joya tak tahu harus merasa lega atau risih dengan kedekatan ini. Beberapa pengunjung menoleh melihat mereka, mungkin tak percaya seorang pria gagah seperti Alastar mau membantu membawa tas belanjaan. Joya hanya bisa menunduk, berusaha menghindari tatapan itu.Setibanya di basement, sopir Alastar segera menghampiri. Pria itu membukakan pintu bagasi, lalu mengambil alih tas-tas belanjaan yang mereka bawa. Alastar, tanpa membuang waktu, membantu Joya masuk ke dalam mobil. Gerakannya halus tetapi otoritatif, membuat Joya tak bisa menolak.Alastar duduk di sebelah Joya, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan
Langkah Alastar terhenti di depan sebuah pintu apartemen. Joya melirik sekilas saat Alastar memasukkan kombinasi angka pada keypad pintu. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka otomatis. Alastar menggiring Joya masuk, tangannya masih erat di pinggang Joya seolah takut wanita itu akan melarikan diri. Joya menelan ludah, hatinya berdebar kencang saat ia melangkah ke dalam apartemen, yang seolah berada di dunia lain. Ruang tamu langsung menyambut mereka dengan sofa biru tua berbahan kulit, diapit meja kaca berdesain minimalis. Dinding apartemen itu didominasi warna putih bersih, kontras dengan aksen hitam pada beberapa rak gantung dan bingkai foto. Lampu gantung dengan cahaya keemasan memancarkan nuansa elegan. Di sisi yang lebih dalam, terdapat sebuah ruang keluarga dengan karpet berbulu lembut, serta sebuah televisi layar lebar yang terpasang di dinding. Pantry terletak di sudut ruangan, dan dilengkapi dengan peralatan dapur berkualitas tinggi.Sementara itu, di bagian lain terdapat
Dengan tangan gemetar, Joya melangkah ke sudut kamar dan mengambil lipstik berwarna merah muda dari dalam tas kerjanya. Ia mengoleskan lipstik itu ke bibirnya yang pucat, mencoba memberikan sedikit warna pada parasnya yang tak bernyawa. Joya lalu mematikan lampu utama kamar, menyisakan hanya lampu tidur yang redup. Dengan perlahan, ia melepas piyama kimononya, membiarkan kain satin itu terjatuh ke lantai. Tubuhnya kini hanya diselimuti oleh cahaya redup lampu, kulitnya terasa dingin terkena hembusan AC.Perempuan itu berdiri menghadap jendela kamar yang sudah tertutup tirai tebal, menunggu Alastar dengan hati yang penuh keraguan.Pintu kamar terbuka dengan suara lembut. Alastar masuk, mengenakan piyama pria berwarna hitam dengan garis putih di tepinya. Piyama elegan itu mencerminkan sosoknya yang selalu tampil sempurna. Langkah Alastar terhenti ketika ia menyadari suasana kamar yang berubah remang-remang. Ia berpikir Joya mungkin sudah tidur dan mengganti suasana kamar menjadi lebih
Joya terbangun dengan tiba-tiba. Suara teriakan yang mengusik ketenangan di pagi buta, membuat matanya terbuka lebar dalam sekejap.Awalnya hanya lirih, seakan berasal dari suara yang tersedak dalam kegelapan. Namun semakin lama semakin lantang, menggema dalam kamar yang masih remang. Hati Joya pun berdebar tatkala ia menyadari dari mana sumber suara itu. Alastar.Joya menoleh dengan cepat. Sekilas, ia mengira pria itu sudah bangun dan sedang berbicara dengan seseorang. Namun, betapa terkejutnya ia ketika mendapati kelopak mata Alastar masih terpejam erat. Kening pria itu berkerut, titik-titik keringat tampak bermunculan di dahinya. Napasnya memburu, tidak beraturan, bibirnya bergerak-gerak, menggumamkan kata-kata yang sulit dimengerti. "Pergi... lepaskan aku..."Suara serak dan berat itu membuat Joya menegang. Alis tebal Alastar berkerut tajam, garis rahangnya mengeras, seolah-olah ia sedang berjuang melawan sesuatu yang menyeramkan. Sungguh, Joya tak menyangka sosok Alastar yang
Tak ingin membuang waktu, Joya buru-buru melangkah menuju pantry di apartemen Alastar, dengan membawa ponselnya di genggaman. Napasnya sedikit terengah, bukan karena lelah, melainkan karena kegelisahan yang memenuhi dada. Begitu sampai, mata Joya membelalak melihat deretan peralatan masak modern yang tertata rapi di dapur tersebut. Untuk seorang bujangan seperti Alastar, memiliki dapur secanggih ini sungguh di luar dugaan. Joya menghembuskan napas panjang, berusaha menenangkan diri. Pikirannya berputar, mencari ide sarapan yang cocok untuk Alastar. Seketika, ia teringat perkataan Livia kemarin bahwa Alastar menyukai cokelat hangat dan makanan sehat yang tidak mengandung gula. Joya mengangkat wajah, matanya menyapu rak dapur, lalu menemukan satu toples berisi serbuk cokelat. Dengan cepat, ia mengambilnya dan menaruhnya di meja.Kemudian, Joya melangkah menuju kulkas, membuka pintunya dengan perlahan. Pandangannya menyusuri isinya dengan cermat. Di dalamnya, terdapat berbagai bahan m
Dalam kondisi terjepit, Joya memutuskan untuk bicara tentang pekerjaan barunya kepada sang ibu mertua.“Maaf, Bu. Saya baru bisa datang sekitar jam enam malam. Saya mulai bekerja hari ini.”“Bekerja?” Nada suara ibu mertuanya terdengar terkejut. “Apa kamu menjadi guru lagi, Joya?”Jantung Joya berdetak lebih cepat. Ia bisa merasakan tatapan Alastar yang kini tertuju padanya, seolah menunggu bagaimana ia akan menjawab pertanyaan itu. Opsi untuk sepenuhnya jujur tentu saja mustahil dilakukan. “Saya dapat pekerjaan sebagai staf administrasi di PT. Golden Nutri, kantornya Denis, Bu.”Mata Alastar menyipit sedikit, tampak tertarik dengan jawaban spontan yang diberikan Joya.Di ujung telepon, ibu mertuanya terdiam sejenak. Entah perempuan paruh baya itu merasa senang atau sedih dengan kabar yang diterimanya. “Baguslah kalau kalian bekerja satu kantor,” jawab Bu Dewi akhirnya. “Kalau begitu, jangan terlalu lelah, Joya. Ibu tunggu nanti malam.”“Iya, Bu. Sampai nanti malam,” ucap Joya lega.
Setibanya di kantor, Joya menghela napas lega. Jantungnya masih berdegup kencang setelah terburu-buru meninggalkan apartemen Alastar, apalagi ia nyaris kehabisan napas di dalam lift. Namun, begitu menginjakkan kaki di lobi, Joya merasa sedikit lebih tenang.Suasana kantor masih sepi. Hanya beberapa karyawan yang lalu-lalang, serta petugas kebersihan yang tengah menyelesaikan tugasnya. Pertanda bahwa ia datang lebih awal dari kemarin. Dua orang cleaning service pria tampak tersenyum dan menyapanya dengan kagum. Joya membalas dengan senyuman kecil, meski ia sedikit canggung.Sekarang, ia menyadari bahwa penampilan rupanya berpengaruh besar di lingkungan kantor. Pantas saja, Alastar sampai memaksanya untuk pergi berbelanja semalam. Tanpa berlama-lama, Joya segera menuju lift dan naik ke lantai sembilan, tempat ruang CEO berada. Livia belum datang, jadi Joya duduk sendiri di meja kerjanya. Sekilas, netranya sempat melirik ke ruang kerja Alastar yang tengah dibersihkan oleh seorang clean
Mata Siena membelalak seketika. Rahangnya sedikit mengendur, dan ia tampak kesulitan menyembunyikan keterkejutannya."Bukankah itu mobilnya Pak Alastar?"Joya mengangguk, seolah itu bukan hal yang luar biasa. "Iya, tapi sekarang sudah menjadi fasilitasku. Sebagai sekretaris CEO, aku mendapat mobil operasional."Dada Siena tampak naik turun. Ada sesuatu di matanya yang berkedip cepat—seperti perasaan tidak percaya yang bercampur dengan sesuatu yang lebih gelap. Joya bisa melihat bagaimana pikiran adiknya bekerja, bagaimana Siena mulai mencerna informasi itu. Namun, Joya tidak ingin memberinya waktu untuk berpikir terlalu lama.Ia meraih pergelangan tangan Siena dengan lembut, menggenggamnya seolah tak ingin membiarkan adiknya melarikan diri. "Ayo, kita pergi sekarang. Aku sudah lapar." Joya melangkah ringan menuju pintu mobil, tetapi ekor matanya menangkap ekspresi Siena yang masih memandangi kendaraan mewah itu seolah tak percaya. Seiring mereka berjalan, Joya bisa merasakan getara
Setelah berkata demikian, Joya melangkah menuju pintu. Ia mengerti bahwa Alastar memiliki urusan keluarga yang mendesak, tetapi tetap saja ada sedikit kekecewaan yang menyelinap di hatinya.Baru saja ia mengulurkan tangan untuk membuka pintu, tiba-tiba sentuhan hangat menyergap pergelangan tangannya. Dalam sekejap, ia ditarik ke dalam dekapan yang begitu erat dan menenangkan."Aku benar-benar ingin menemanimu, tapi keadaan tidak memungkinkan. Aku ingin kau berhati-hati, Baby,” suara Alastar terdengar dalam keheningan ruangan, penuh dengan ketulusan."Siena ... dia sudah membuktikan kalau dia bisa melakukan hal di luar nalar hanya untuk menyakitimu. Jika kau membongkar semua kebohongannya, siapa tahu apa yang akan dia lakukan selanjutnya?"Dada Joya naik turun perlahan. Ia tidak menyangka Alastar akan sekhawatir ini. Jemari tangannya terangkat, membalas pelukan pria itu."Jangan cemas. Aku sudah menjadi kakaknya selama dua puluh sa
Setelah jam makan siang berlalu, Joya kembali ke meja kerjanya. Livia sudah lebih dahulu tiba dan kini menatapnya dengan sorot mata tajam, seakan memastikan bahwa Joya sudah siap kembali bekerja. Tanpa banyak bicara, Joya segera mengalihkan perhatiannya ke berkas-berkas di atas meja. Sementara itu, Arman kembali memasuki ruangan Alastar dengan membawa beberapa dokumen tambahan. Alastar masih duduk di kursinya, tenggelam dalam lautan laporan yang seolah tiada habisnya. Tangannya bergerak lincah menelusuri angka dan grafik, matanya tajam mengamati setiap detail. Wajahnya masih serius, tetapi samar-samar terlihat gurat kelelahan di sana. Hingga tiba-tiba, ponselnya yang tergeletak di atas meja bergetar dan berdering, menarik perhatiannya dari tumpukan dokumen.Alastar melirik layar ponselnya, dan alisnya sedikit berkerut saat melihat nama yang tertera di sana. Alena. Kakak perempuannya yang masih berada di luar negeri untuk mengikuti pagelaran fashion show. Tidak biasanya Alena menel
Makanan yang dipesan oleh Joya akhirnya tiba, membuat mereka berhenti bekerja. Joya segera bangkit dari kursinya, menerima tas makanan dari kurir lalu kembali ke ruangan Alastar.Aroma makanan sehat yang menggugah selera, menyebar di seluruh sudut ruangan. Joya mulai menyusun makanan di atas meja dengan telaten, membuka kemasan satu per satu dan menyajikannya dengan rapi.Alastar menatap makanan itu sejenak. Bukannya langsung mengambil sendok, pria itu justru menyandarkan punggungnya pada kursi. Ia menatap Joya dengan mata tajam yang menyiratkan sesuatu."Aku tidak mau makan sendirian," ujarnya, nada suaranya terdengar lembut tetapi tak terbantahkan.Joya sempat ragu, matanya melirik jam di dinding. Waktu makan siang mereka tidak banyak, dan ia masih memiliki banyak tugas yang harus diselesaikan. Namun, melihat ekspresi Alastar yang seolah menunggu, ia akhirnya menghela napas kecil dan mengangguk. "Baiklah, aku akan menemanimu makan," katanya, menarik kursi agar lebih dekat.Alastar
Usai menandatangani surat cerai, Joya berusaha fokus lagi dengan pekerjaannya. Ini adalah kesempatan terakhirnya belajar dari Livia, dan ia harus mempelajari semua yang diperlukan. Namun, pikirannya terus-menerus melayang kepada reaksi sang ibu mertua. Entah apa yang terjadi, bila perempuan paruh baya itu mengetahui perceraiannya dengan Denis."Joya, pesan hotel yang ini saja untuk Pak Alastar," suara Livia membuyarkan lamunannya.Joya mengerjapkan mata sebelum buru-buru mengangguk. "Baik."Namun, saat ia hendak melakukan pemesanan, sebuah pikiran melintas di benaknya. “Bu Livia, apakah Pak Alastar harus pergi? Akhir-akhir ini, saya melihat Pak Alastar kurang sehat."Livia menghela napas. "Ini permintaan Beliau sendiri sebelum kau datang. Pak Alastar harus memberikan sambutan dan melakukan pemotongan pita untuk grand opening outlet baru. Selain itu, ada pertemuan penting dengan para pengusaha di sana."Joya menggigit bibirnya, merasa sedikit khawatir. Ia tahu bahwa kesehatan Alastar
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Joya akhirnya menggerakkan pena itu, menuliskan namanya di bagian tanda tangan. Begitu tanda tangan itu terukir, rasanya seperti sebuah beban besar terangkat dari pundaknya—meski sekaligus meninggalkan luka yang tak kasat mata.Usai memberikan persetujuan, Joya menutup map itu dan menyerahkannya kepada Tuan Erlangga. "Sudah, Tuan," ucapnya lirih.Tuan Erlangga menerima dokumen tersebut dengan anggukan kecil. "Baik. Saya akan segera memprosesnya."Joya menunduk, hatinya mendadak diliputi rasa bersalah. Membayangkan kesedihan yang akan dirasakan sang ibu mertua, membuat dada Joya terasa sesak.Ia tahu bahwa setelah ini, ibu mertuanya pasti akan sangat kecewa padanya. Wanita itu telah begitu baik, memperlakukannya seperti anak sendiri. Namun, cepat atau lambat ia memang harus mengambil keputusan.Tak ayal, mata Joya sedikit berkaca-kaca saat ia mengalihkan pandangan kepada Alastar. "Boleh saya keluar? Saya ingin melanjutkan pekerjaan,” pintanya mengg
Dengan langkah lebar, Joya menuju lobi dengan hati yang masih berdebar. Sejak turun dari mobil Alastar, ia merasa was-was jika ada seseorang yang melihat mereka datang bersama. Ternyata, ia berhasil sampai di lobi tanpa ada tatapan curiga dari siapapun.Joya menarik napas, ia berhasil lolos. Tak ada yang mengetahui bahwa pagi ini ia berangkat bersama bosnya, Alastar.Tanpa membuang waktu, Joya bergegas menuju lift. Namun, sebelum pintu lift tertutup, suara familiar menghentikan langkahnya."Joya!"Mendengar suara yang memanggilnya, Joya menoleh. Ia bertemu pandang dengan Livia yang berdiri tak jauh darinya. "Aku sengaja datang pagi," kata Livia sambil tersenyum tipis. "Ini hari terakhirku bekerja di sini, dan aku ingin memberikan pelajaran maksimal untukmu."Joya menelan ludah dan mengangguk. "Baik, Bu Livia."Mereka berdua masuk ke lift, dan suasana di dalam terasa hening. Livia memang selalu tegas dan perfeksionis, tetapi hari ini ada sesuatu yang berbeda dalam sorot matanya. Joya
Denis mendongak, menatap langit yang mulai memutih, tanda matahari sudah mulai merangkak naik. Siena sudah pergi, meninggalkan jejak perasaan yang berkecamuk di hatinya. Ia mengembuskan napas berat sekali lagi, sebelum melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Matanya langsung menangkap sosok sang ibu yang sedang berdiri di dapur, mencuci piring dengan perlahan. Seharusnya ibunya sedang beristirahat, bukan malah beraktivitas seperti ini."Bu, sudah, jangan. Biar aku saja yang mencuci piringnya." Denis melangkah cepat, mendekati Bu Dewi dan mengulurkan tangan, bermaksud mengambil piring dari pegangan ibunya. Namun, Bu Dewi menggeleng pelan sambil tersenyum kecil. "Ibu hanya mencuci sedikit, nggak akan membuat Ibu lelah." Denis masih ingin membujuk, tetapi melihat bagaimana sang ibu tetap melanjutkan pekerjaannya dengan hati-hati, ia mundur selangkah. Tangannya terlipat di depan dada, memperhatikan gerak-gerik ibunya dengan seksama. Beberapa detik berlalu dalam keheningan sebelum B
Denis tidak punya pilihan selain membiarkan Siena masuk ke dalam rumah. Meskipun kedatangannya yang mendadak ini membuatnya merasa canggung, ia tidak mungkin menolaknya begitu saja, terutama saat Siena telah berdiri di depan pintu dengan wajah penuh semangat. Dengan langkah ringan dan senyum lebar, Siena melangkah masuk. Gadis itu bersikap seolah-olah tidak merasakan ketegangan yang merayapi Denis sejak pertama kali melihatnya di depan rumah.Dari dalam kamar, Bu Dewi baru saja keluar, mengenakan daster berwarna lembut dan menyisir rambutnya yang mulai memutih. Saat pandangannya bertemu dengan sosok Siena yang berdiri di ruang tamu, alisnya sedikit berkerut karena terkejut. Ia tak menyangka Siena akan datang sepagi ini. “Siena? Pagi-pagi begini sudah ada di sini?” tanyanya dengan nada heran.Siena segera tersenyum manis, seakan telah menyiapkan kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. “Selamat pagi, Bu Dewi.” Suaranya lembut dan penuh keceriaan. “Saya datang membawa sarapan