Joya mencoba menjauh, tetapi tubuhnya terasa lemas. Dengan susah payah, dia mendorong Alastar hingga pria itu mundur selangkah. Namun, rasa panas di tubuhnya semakin menjadi.
Tangan Joya mulai bergerak ke arah gaun merah yang melekat di tubuhnya.
“Panas sekali … aku nggak tahan,” katanya, suaranya bergetar.
Secara refleks, Joya melepaskan gaunnya dengan tangan gemetar, tubuhnya terasa seperti dikuasai oleh sesuatu yang tak bisa ia lawan. Alastar hanya tersenyum tipis, tatapan matanya penuh misteri. Ia mengamati setiap gerakan Joya dengan tenang.
Ketika gaun itu terjatuh ke lantai, Alastar segera bergerak mendekati Joya. Di sisa kesadarannya, Joya mencoba menolak, tetapi tubuhnya terlalu lemah. Pria itu menyentuh wajahnya dengan lembut, lalu mengecup bibirnya penuh damba.
Ingin rasanya Joya berteriak dan melawan, tetapi tubuhnya tidak merespons. Di dalam hati, Joya hanya bisa menangis saat Alastar menggendongnya menuju ranjang dan meletakkannya di sana. Joya terbaring pasrah, tubuhnya terasa lunglai kala Alastar mulai bergerak di atasnya.
Awalnya, rasa marah dan kecewa menguasai pikiran Joya, tetapi lambat laun semua itu seperti ditelan oleh sensasi aneh yang ia rasakan. Sikap Alastar begitu lembut, bukan kasar atau memaksa. Setiap sentuhan yang diberikan lelaki itu justru membuatnya merasa dipuja dan dimanjakan. Jauh berbeda dari Denis, yang lebih sering mementingkan diri sendiri. Bahkan, sudah tiga bulan terakhir Denis tak pernah menyentuhnya dengan alasan lelah sepulang bekerja.
Tanpa sadar, Joya terbuai dalam permainan cinta yang ditawarkan oleh Alastar. Ia mencengkeram erat seprai, menahan perasaan yang bercampur aduk. Pikiran Joya berkelana tanpa arah hingga tubuhnya menyerah pada kelelahan. Pelan-pelan, kesadarannya memudar hingga ia tertidur dalam pelukan Alastar.
***
Sinar matahari yang menyelinap dari celah tirai kamar membangunkan Joya. Matanya perlahan terbuka, dan ia merasakan tubuhnya terasa remuk, setiap otot seolah berteriak meminta istirahat. Tenggorokannya kering, dan kepala sedikit berdenyut.
Joya mengerutkan kening saat mendengar suara gemericik air dari arah kamar mandi. Sebelum ia sempat bereaksi lebih jauh, pintu kamar mandi terbuka, dan di sana berdiri Alastar dengan bathrobe putih yang longgar. Wajah pria itu terlihat segar dengan rambut sedikit basah.
“Kamu sudah bangun,” katanya sambil tersenyum. “Aku sudah memesan sarapan pagi. Akan segera diantar.”
Joya segera memalingkan wajah, pipinya memerah. Ia merasa malu melihat pria itu begitu santai setelah semua yang terjadi antara mereka semalam. Mungkin, ia hanyalah satu dari puluhan wanita yang sudah pernah menghangatkan ranjang Alastar.
Berusaha mengabaikan keberadaan pria itu, Joya mencoba turun dari tempat tidur. Pandangannya tertuju pada gaunnya yang tergeletak di lantai, berniat untuk segera memakainya kembali. Namun baru beberapa langkah, Joya merintih pelan. Nyeri di bagian bawah tubuhnya membuat setiap gerakan terasa sulit.
Melihat Joya hampir limbung, Alastar mendekat dengan langkah panjang dan ringan. Dengan gerakan sigap, ia menopang tubuh Joya menggunakan kedua lengannya.
“Kamu bahkan tidak bisa berdiri dengan benar,” ujarnya dengan nada tenang.
Selang beberapa detik, Joya terkejut saat ia tiba-tiba diangkat dan digendong oleh Alastar.
“Apa yang kamu lakukan?!” protesnya sambil mencoba berontak.
Alastar tidak menjawab. Dengan tenang, ia membawa Joya ke kamar mandi lalu menurunkannya perlahan ke dalam bathtub yang telah diisi air hangat. Uap dari air itu mengepul tipis, menyelimuti Joya dengan kehangatan.
Joya memandang Alastar dengan tatapan bingung dan marah. “Apa maumu? Apa kamu belum puas menyiksaku?”
Alastar hanya tersenyum kecil. “Seingatku kamu tidak tersiksa sama sekali, justru kamu sangat menikmatinya. Sekarang, tubuhmu pasti lengket dan tidak nyaman. Kamu harus mandi dan membersihkan diri.”
Wajah Joya memerah seketika. Buru-buru, ia menyembunyikan diri dengan tenggelam lebih dalam ke dalam air, mencoba menutupi tubuh polosnya dari pandangan Alastar.
“Kenapa kamu masih di sini? Pergi!” usir Joya dengan nada parau, suaranya masih terdengar lemah.
Melihat reaksi Joya, Alastar bersedekap sembari menyunggingkan seringai tipis. “Untuk apa malu? Aku sudah melihat semuanya, Joya. Lagi pula aku di sini untuk menawarkan bantuan.”
Joya menatap Alastar dengan tajam, meski wajahnya masih merah padam. “Aku bisa mandi sendiri. Cepat pergi dari sini!”
Alastar mengangkat tangannya, tanda menyerah. “Baiklah, aku akan pergi. Tapi, jika kamu berubah pikiran dan butuh bantuanku, kamu bisa memanggilku.”
Pria itu berbalik menuju pintu kamar mandi, tetapi sebelum melangkah keluar, ia menoleh sebentar. “Jangan terlalu lama. Sarapan akan segera datang.”
Joya hanya mendengus pelan, lalu menunggu sampai pintu benar-benar tertutup. Tubuhnya yang lemah bersandar pada dinding bathtub, air hangat perlahan-lahan meredakan rasa pegal di tubuhnya.
Namun, pikiran dan hatinya serasa penuh dengan berbagai emosi—kemarahan, kebingungan, dan juga rasa malu yang tak kunjung reda. Ini adalah awal dari sebuah hubungan yang tidak pernah ia bayangkan, dan Joya tidak tahu bagaimana ia akan melewatinya selama enam bulan ke depan.
Merasa frustasi, Joya memilih keluar dari bathtub dan berdiri di bawah kucuran air shower. Dengan perlahan, ia mengusap seluruh bagian tubuhnya. Namun, gerakan tangannya terhenti ketika matanya menangkap dua tanda merah di kulitnya yang putih.
Tanda itu tercetak jelas, berada di area yang tersembunyi. Wajah Joya seketika memanas, bukan karena malu, tetapi marah. Ia menggosok tanda itu dengan keras, berharap bekasnya akan hilang dengan segera.
“Dasar pria brengsek!” umpatnya dengan geram, membayangkan wajah Alastar.
Ia yakin pria itu adalah seorang maniak, tak tahu malu, dan benar-benar keji. Bagaimana mungkin ia tega meniduri istri orang dengan cara licik seperti ini? Bukankah Alastar bisa mendapatkan wanita lajang mana pun yang ia inginkan?
Di sela-sela kemarahannya, pikiran Joya melayang kepada Denis, suaminya. Ya, orang yang seharusnya melindunginya, malah menjualnya kepada pria seperti Alastar. Joya pun menggigit bibirnya, menahan air mata yang nyaris mengalir.
“Aku sangat membencimu, Denis,” gumam Joya mengepalkan tangan.
Selesai membersihkan diri, Joya keluar dari bathtub dan mendapati dirinya dihadapkan pada masalah baru. Tidak ada pakaian di kamar mandi, bahkan bathrobe pun tidak tersedia. Joya menggigit bibir, mencoba mencari solusi. Dengan terpaksa, ia melilitkan handuk ke tubuhnya, menutupi sebagian besar kulitnya, meski ia tahu ini tidak ideal. Dengan rambut yang masih basah, Joya membuka pintu kamar mandi perlahan. Ia berjalan mengendap-endap, berharap bisa menemukan sesuatu untuk dikenakan tanpa menarik perhatian Alastar. Namun, langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok pria itu sedang berdiri di dekat jendela, berbicara di telepon. Suara rendah Alastar terdengar tegas meski ia berbicara dengan nada santai. Ketika Joya melangkah masuk ke ruangan, Alastar langsung mengakhiri panggilannya, seolah menyadari kehadirannya. Ia menoleh, matanya segera tertuju pada tubuh Joya yang hanya dibalut handuk. Senyum kecil menghiasi wajahnya, membuat darah Joya mendidih seketika.“Kenapa hanya
Sementara Joya sibuk dengan pikirannya, Alastar mengambil nasi goreng bagiannya dan duduk di sofa. Ia menyilangkan kaki, menyuap makanan sambil berkirim pesan di ponsel. Aura otoriter yang biasa menyelimuti pria itu sedikit mereda, tetapi Joya tetap merasa waspada. Rasanya, Joya ingin melempar nasi goreng di tangannya ke wajah Alastar. Namun, ia menahan diri untuk tidak melakukan hal itu. Tujuannya saat ini hanya satu, yaitu keluar dari kamar hotel dengan selamat.Setelah makan dengan asal menelan, Joya meletakkan sendoknya dengan keras. “Saya sudah selesai. Saya akan pergi sekarang.”Alastar mengangkat alis tanpa berkata apa-apa. Ia hanya memberi isyarat dengan tangan, seolah mengizinkan Joya pergi. Namun, saat Joya berbalik menuju pintu ia tiba-tiba berkata dengan suara datar.“Ingat, Joya. Kalau aku menghubungimu lagi, kau harus datang.” Joya mendengus, merasa kesal. “Terserah Bapak,” jawabnya pendek sebelum cepat-cepat keluar dari kamar, berharap bisa melupakan pengalaman pahi
Nada suara Denis yang memelas itu membuat Joya merasa muak. Denis tidak pernah berbicara selembut ini sebelumnya, apalagi meminta sesuatu dengan nada penuh kerendahan hati. Pastilah ini hanya kebohongan lain yang keluar dari mulut pria yang telah mengkhianatinya. “Aku tidak peduli, Denis,” jawab Joya dingin, lalu tanpa ragu memutuskan panggilan. Dengan berat hati, Joya meletakkan kopernya kembali ke sudut kamar. Ia memandang benda itu, seakan menyesali keputusannya untuk menunda kepergiannya sementara waktu. Namun kali ini, ia tidak punya pilihan. “Ibu lebih penting,” bisiknya kepada diri sendiri. Sambil menghela napas beberapa kali, Joya merapikan diri, lalu keluar dari kamar untuk memesan taksi. Ia berdiri di ruang tamu yang sepi, menunggu kedatangan kendaraan yang akan membawanya ke rumah sakit. Di luar, langit nampak mendung dengan awan kelabu yang mulai berarak. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Joya terdiam, pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. Haruskah ia tetap
Mendengar Joya akan memberinya kesempatan, Denis akhirnya berdiri, wajahnya penuh kelegaan. Lelaki itu bahkan mencoba meraih tangan Joya, tetapi Joya dengan cepat mundur selangkah. “Jangan sentuh aku,” ujar Joya dingin, matanya menatap tajam ke arah Denis. “Nanti kita bicara di rumah. Sekarang, lebih baik kamu kembali ke kantor.” Denis terdiam sejenak, seperti ingin membantah, tetapi akhirnya ia mengangguk patuh. “Baik. Aku akan menunggumu di rumah setelah pulang kantor.” Joya tidak menjawab. Ia berbalik dan bergegas kembali ke lift, meninggalkan Denis yang berdiri diam di lorong, di tengah kerumunan orang yang masih memandang mereka dengan penasaran. Setibanya di kamar rawat, Joya mencoba menenangkan diri. Ia mengatur napas sebelum masuk, memasang senyum kecil untuk ibu mertuanya yang menatapnya dengan penuh kasih sayang. “Sudah makan, Nak?” tanya sang ibu. Joya mengangguk, mengambil posisi duduk di samping ranjang. “Sudah, Bu. Sekarang saya di sini untuk menjaga Ibu.”
Sore hari di rumah sakit terasa begitu panjang bagi Joya. Ia masih duduk di kursi plastik di samping brankar ibu mertuanya, matanya sesekali melirik ke arah monitor yang menunjukkan detak jantung. Ia berusaha mengusir kantuk dengan browsing lowongan pekerjaan di ponsel, meskipun pikirannya melayang ke banyak hal yang lebih berat.Telepon dari Alastar tadi masih terngiang-ngiang di telinganya. Alastar, lelaki yang tak pernah ia sangka akan masuk dalam hidupnya, kini menjadi bayang-bayang yang sulit ia hindari. Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir pikiran tentang pria gila itu.Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka pelan, dan seorang lelaki paruh baya masuk. Wajahnya penuh kekhawatiran, tetapi senyum ramah muncul ketika ia melihat Joya. “Joya, maaf, Om baru bisa datang. Warung makan tadi cukup ramai,” ucapnya seraya mendekat ke arah brankar.“Tidak apa-apa, Om Wildan,” jawab Joya tersenyum tipis. Ia mencoba menyembunyikan kelelahan yang tergurat di wajahnya. “Bagaimana k
Setelah taksi yang mengantarnya melaju pergi, Joya berdiri sejenak di depan pagar rumah Denis. Hatinya bimbang. Langkah kakinya terasa berat, tetapi janji yang sudah ia buat tak memberinya pilihan. Ia harus berbicara dengan Denis, menyelesaikan persoalan pelik yang tertahan di antara mereka.Rumah tampak sepi saat Joya membuka pintu depan dengan kunci cadangan yang selalu ia bawa. Joya menghela napas panjang dan duduk di sofa ruang tamu. Pikirannya melayang-layang antara masa lalu dan masa kini. Tidak ada yang bisa mengubah apa yang sudah terjadi, tetapi ia berharap waktu bisa mengurangi rasa sakit yang kini menggelayuti hatinya.Sejenak, Joya membiarkan keheningan menyelimuti, hingga ponselnya bergetar di atas meja. Nama Mutia -- sahabat satu-satunya yang ia miliki -- muncul di layar. Joya segera menjawab telepon itu tanpa berpikir dua kali.“Halo, Mutia?”“Joya? Kau baik-baik saja? Aku terkejut saat kau bilang mau mencari pekerjaan,” tanya Mutia dengan nada heran.Joya tahu Mutia pa
Setelah percakapan dingin itu berakhir, Joya masuk ke kamarnya tanpa menoleh lagi pada Denis. Ia menutup pintu dengan perlahan, seolah berharap ketenangan akan datang bersama gerakannya yang hati-hati. Kamar itu sunyi, hanya suara dengung kipas angin yang menemani. Joya menjatuhkan dirinya di atas kasur, memejamkan mata walau tidur terasa jauh dari jangkauan. Besok adalah hari besar—operasi bypass jantung yang akan menjadi penentuan kesembuhan sang ibu mertua. Apa pun yang terjadi, ia harus ada di sana. Di balik hubungan pernikahannya dengan Denis yang kini terasa seperti racun, Joya tetap memiliki rasa hormat dan kasih terhadap ibu mertuanya. Di kamar yang bersebelahan, Denis duduk di atas tempat tidur dengan ponsel di tangan. Wajahnya tidak menunjukkan penyesalan sama sekali. Sebaliknya, ada kilatan kesibukan di matanya. Jemarinya lincah mengetik pesan, membalas seseorang dengan tergesa. Tidak butuh waktu lama, ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk muncul di layar.Denis me
Mata Joya masih menatap Siena yang sedang memeriksa ponsel baru di tangannya. Bibirnya hampir saja melontarkan tanya, tetapi ia mengurungkan niat tersebut. Bagaimanapun, ia tak ingin menyinggung perasaan adiknya, apalagi merusak kebahagiannya hanya karena rasa ingin tahu.“Aku pergi dulu, Kak Joya,” ujar Siena sambil melangkah ke teras rumah. Ia merapikan tas kecilnya, bersiap untuk pergi ke supermarket.Joya hanya mengangguk. “Hati-hati di jalan,” pesannya sambil mengikuti Siena sampai ke teras. Ia menghela napas, sedikit lega karena tak perlu memulai percakapan yang rumit dengan sang adik.Di sana, Denis masih duduk di kursi kayu sambil menyantap sarapan pagi. Saat Siena hendak menaiki motornya, ia sempat menyapa Denis“Mas Denis, maaf saya tidak bisa ikut ke rumah sakit. Saya doakan Bu Dewi lekas sembuh,” kata Siena sopan, menatap Denis dengan tatapan penuh simpati.Denis mengangguk sambil menelan suapan terakhirnya. “Terima kasih, Siena,” balasnya singkat.Tanpa berkata lebih bany
Pagi itu, kamar Joya dipenuhi wangi bunga melati yang ditata rapi dalam vas, memberikan suasana yang menenangkan. Joya duduk di hadapan cermin besar berbingkai emas, tatapan matanya terpusat pada bayangan dirinya yang tampak berbeda dari biasanya.Gaun putih panjang yang membalut tubuhnya, tampak sempurna dengan perpaduan kalung dan anting yang memancarkan kilau indah.Bu Dewi berdiri di belakang, dengan hati-hati merapikan sanggul rambut Joya. Perempuan paruh baya itu juga menyematkan beberapa helai bunga kecil, untuk mempermanis penampilan sang calon mempelai."Kau benar-benar cantik, Nak. Ibu yakin, Alastar akan terpesona begitu melihatmu," pujinya penuh kekaguman.Joya hanya bisa menggigit bibirnya, menahan gelombang kegugupan yang terus melanda. Jemarinya saling bertaut erat, menandakan bahwa emosinya tengah bergejolak hebat. Rasa gugup, was-was, dan bahagia berbaur menjadi satu di dalam hatinya.Pandangan Joya kemudian beral
Joya tidak mampu menahan cairan bening yang perlahan menggenang di sudut matanya. Ucapan itu begitu berarti baginya. Bayinya telah diakui sebagai bagian dari keluarga besar Diwanggana. Ia tak pernah menyangka Tuan Narendra akan menerima Arion dengan hati yang lapang seperti ini.Tuan Narendra berbalik, menatap Joya dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan."Jangan khawatir, Joya. Jika cucuku yang nakal itu sudah berani menghamilimu, maka ia pasti segera kembali untuk menikahimu. Tunggu saja, itu akan terjadi sebentar lagi."Joya tersentak. Matanya membesar dalam keterkejutan, sekaligus kebahagiaan yang membuncah. Harapannya yang sempat pudar perlahan menyala kembali, memenuhi hatinya dengan kehangatan yang hampir ia lupakan.Dada Joya berdegup begitu cepat, hingga ia merasa jantungnya berdentum di dalam telinganya sendiri. Seakan tak percaya dengan ucapan Tuan Narendra, bibirnya yang semula gemetar kini mencoba mengucapkan sesuatu, walau suaranya nyaris tertelan napasnya sendiri.“Be-
Hampir satu tahun telah berlalu sejak Alastar pergi ke luar negeri untuk menjalani pengobatan. Waktu terasa begitu lambat bagi Joya, setiap detik dipenuhi dengan kerinduan yang menyakitkan. Hanya dua kali Alena mengabari bahwa kondisi Alastar telah membaik, tetapi belum cukup kuat untuk kembali. Berita itu, meski melegakan, tetap menyisakan kehampaan dalam hati Joya. Kini, kehidupannya dipenuhi dengan kesibukan yang tiada henti. Bayinya yang baru berusia dua bulan menjadi pusat dunianya. Si kecil yang lahir dari buah cintanya dengan Alastar, hadir sebagai penguat dalam hari-hari panjang penuh penantian. Selain mengurus bayinya, Joya juga memegang tanggung jawab besar di kantor. Sejak kepergian sang kekasih, ia ditunjuk sebagai penggantinya melalui surat resmi yang dibuat oleh pengacara Alastar. Dengan bantuan Arman, ia menjalankan tugasnya dengan penuh dedikasi, memastikan perusahaan tetap berjalan dengan baik.Kilas balik peristiwa itu kembali melintas dalam benak Joya. Selang sat
Di ruang Instalasi Gawat Darurat, Joya masih duduk di sisi tempat tidur Alastar, menatap wajah pucat pria yang dicintainya dengan sorot mata penuh duka. Tangannya masih menggenggam jemari Alastar yang dingin, seakan berusaha menyalurkan sedikit kekuatan.Namun, kebersamaan singkat itu terganggu oleh kehadiran beberapa perawat yang mendekat. Salah satu dari mereka memeriksa kembali monitor yang masih menunjukkan detak jantung Alastar, sedangkan yang lain mulai melepas satu per satu alat medis yang melekat di tubuh pria itu. Selang infus yang menyalurkan cairan ke dalam tubuhnya dicabut dengan hati-hati, diikuti oleh elektrode yang menempel di dadanya. Satu perawat lainnya membebaskan Alastar dari alat bantu oksigen yang sejak awal menopang pernapasannya, sedangkan seorang lagi sudah bersiap dengan brankar khusus yang akan membawa tubuh lemah itu ke dalam ambulans.Joya menatap semua itu dengan pandangan kosong, perasaan tidak rela merayapi dirinya. Hatinya menjerit melihat pria yang d
Joya berjalan mondar-mandir di depan ruang Instalasi Gawat Darurat, langkahnya tak beraturan, seiring dengan debar jantung yang tak menentu. Matanya yang sejak tadi berkaca-kaca semakin terasa perih. Telapak tangannya terasa dingin dan basah oleh keringat yang tak henti mengalir. Kecemasan menguasai hatinya, menyelimuti setiap tarikan napasnya dengan kekhawatiran yang sulit terjelaskan. Sudah beberapa waktu berlalu, tetapi belum ada satu pun dokter yang keluar untuk memberi kabar tentang kondisi Alastar.Saat Joya hampir kehilangan kesabaran, terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa menghampirinya. Ia menoleh dan melihat Arman, asisten setia Alastar, datang bersama seorang wanita cantik yang mengenakan pakaian elegan. Sekilas, ada garis wajah yang mengingatkan Joya pada Alastar. Dugaan Joya benar. Wanita itu adalah Alena, kakak Alastar.Alena segera menghampiri Joya dengan ekspresi tegang. “Kau Joya, bukan? Aku Alena, kakak Alastar. Apa yang terjadi? Kenapa Alastar bisa pingsa
Usai prosesi pemakaman yang berlangsung khidmat, Joya masih bersimpuh di sisi makam Siena. Tanah merah yang baru saja ditaburkan bunga itu masih lembap, seakan belum sepenuhnya menyadari bahwa kini seorang jiwa telah terbaring abadi di bawahnya. Di sekelilingnya, para pelayat sudah mulai meninggalkan tempat peristirahatan terakhir itu. Hanya menyisakan kesunyian dan desir angin, yang menyapu dedaunan pohon kamboja di sudut pemakaman.Alastar yang berdiri tak jauh dari Joya akhirnya ikut berjongkok. Dengan gerakan lembut, ia menyentuh bahu wanita itu, memberikan sedikit kehangatan di tengah dinginnya udara senja. "Baby, langit sudah mendung," suaranya terdengar lembut. "Kita harus kembali sekarang. Bukankah kau ingin melihat kondisi Bu Dewi di rumah sakit?"Joya mengangkat wajahnya yang sudah basah oleh air mata. Matanya merah dan sembab, tetapi kesedihan yang mendalam masih terpancar jelas dari sana. Ia menoleh ke arah makam Siena sekali lagi, seakan ingin mengukir sosok sang adik d
Mobil melaju dengan tenang di sepanjang jalan yang basah oleh embun pagi, tetapi suasana di dalamnya begitu kelam. Joya bersandar di bahu Alastar, membiarkan kehangatan lelaki itu meresap ke dalam kulitnya yang terasa dingin. Sejak menerima kabar duka, bibir Joya terkunci rapat. Kata-kata seolah tertahan di kerongkongan, dadanya sesak oleh kesedihan yang tak tertahankan. Alastar, yang duduk di samping Joya, tak banyak bicara. Ia hanya mengeratkan pelukan di bahu sang kekasih, sesekali mengecup pucuk kepalanya dengan penuh kasih. Ia tahu, saat ini, tak ada kata-kata yang bisa mengurangi kepedihan yang dirasakan Joya. Di tengah kesunyian, Alastar merasakan kepalanya mulai berdenyut. Pandangannya sempat berkunang, tetapi ia mengerjapkan mata cepat-cepat, berusaha mengabaikan rasa pusing yang kian menguasai kepala. Ini bukan saatnya untuk jatuh sakit. Joya lebih membutuhkan dukungannya sekarang dibanding kapan pun. Alastar pun menggenggam tangan Joya, meremasnya lembut seakan ingin me
Joya terbangun lebih dulu dari Alastar, merasakan kehangatan tubuh pria itu yang masih terlelap di sisinya. Dengan hati-hati, ia menyingkirkan tangan Alastar yang melingkar erat di pinggangnya. Setelah berhasil melepaskan diri, ia turun perlahan dari ranjang, membiarkan kakinya menyentuh lantai dingin.Dengan langkah ringan, Joya menuju meja di mana ponselnya tergeletak. Begitu ia menyalakannya, layar yang redup segera terang, menampilkan sebelas panggilan tak terjawab dari dua nomor berbeda.Kening Joya berkerut, hatinya bertanya-tanya ada urusan penting apa sehingga ia dihubungi terus-menerus. Belum sempat berpikir lebih jauh, matanya tertuju pada dua pesan masuk dari nomor tak dikenal. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat saat ia membuka pesan pertama.{Selamat pagi. Ini dari Kepolisian. Kami meminta Ibu Joya segera datang ke Rumah Sakit Cendana. Adik Anda, Bu Siena, dan suami Anda, Pak Denis Kusuma, mengalami kecelakaan dan saat ini dalam kondisi kritis.]Darah Joya seolah membek
Benturan logam yang dahsyat menggema, tatkala mobil Denis menghantam tiang listrik. Kaca depan retak, bagian kap mobil penyok, dan kepulan asap mulai muncul dari mesin yang ringsek. Suara klakson panjang meraung di udara, seakan menjadi tanda bahaya bagi siapa saja yang berada di sekitar.Siena terkulai di kursi penumpang dengan darah merembes dari dahinya yang terbentur dashboard. Napasnya tersengal, kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya tertutup rapat. Tangannya yang tadi mencengkeram kemudi dengan emosi kini terkulai lemah di pangkuannya. Tubuh gadis itu penuh luka, tetapi yang paling mengkhawatirkan adalah darah yang mengalir deras dari kedua kakinya, membasahi jok mobil dengan warna merah pekat yang mencengangkan.Di sisi lain, Denis tak sadarkan diri dengan luka yang tak kalah parah. Kepala pria itu terantuk keras pada kemudi, menyebabkan robekan di pelipisnya.Kedua kakinya terjepit di antara dashboard dan kursi, membuatnya tak bisa bergerak. Sementara tangan kanan Denis t