Selesai membersihkan diri, Joya keluar dari bathtub dan mendapati dirinya dihadapkan pada masalah baru. Tidak ada pakaian di kamar mandi, bahkan bathrobe pun tidak tersedia.
Joya menggigit bibir, mencoba mencari solusi. Dengan terpaksa, ia melilitkan handuk ke tubuhnya, menutupi sebagian besar kulitnya, meski ia tahu ini tidak ideal. Dengan rambut yang masih basah, Joya membuka pintu kamar mandi perlahan. Ia berjalan mengendap-endap, berharap bisa menemukan sesuatu untuk dikenakan tanpa menarik perhatian Alastar. Namun, langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok pria itu sedang berdiri di dekat jendela, berbicara di telepon. Suara rendah Alastar terdengar tegas meski ia berbicara dengan nada santai. Ketika Joya melangkah masuk ke ruangan, Alastar langsung mengakhiri panggilannya, seolah menyadari kehadirannya. Ia menoleh, matanya segera tertuju pada tubuh Joya yang hanya dibalut handuk. Senyum kecil menghiasi wajahnya, membuat darah Joya mendidih seketika. “Kenapa hanya memakai handuk?” tanyanya santai, tapi nada suaranya terdengar menggoda. “Apa semalam belum cukup bagimu?” Tangan Joya mengepal di sisi tubuhnya, gemetar menahan amarah. Ia semakin yakin bahwa Alastar adalah pria mesum tanpa hati. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Alastar sudah berjalan menuju lemari di sudut ruangan. Ia membuka pintu lemari, mengambil sebuah paper bag, dan membawanya ke arah Joya. “Di sini ada pakaian yang sudah kusiapkan untukmu,” katanya sambil menyerahkan paper bag itu. Joya mendengus pelan, tidak mengambil paper bag tersebut. “Aku tidak perlu pakaian darimu,” jawabnya dengan nada dingin. “Aku akan memakai gaun yang semalam.” Mendengar itu, ekspresi Alastar berubah. Ia melangkah mendekat, mengabaikan penolakan Joya, lalu menariknya perlahan. Wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Joya, membuat wanita itu menegang. “Aku tidak mau wanitaku memakai gaun terbuka di hadapan orang lain,” katanya dengan suara rendah. “Kau harus memakai pakaian yang kuberikan.” Mata Joya membelalak. “Aku bukan wanitamu! Aku wanita bersuami!” sanggah Joya, nada suaranya tajam penuh ketegasan. Alastar tidak segera menjawab. Sebaliknya, ia semakin mendekat, membuat Joya refleks memejamkan mata. Ia berpikir Alastar akan mencium bibirnya, tetapi pria itu hanya berbisik pelan. “Kau milikku sekarang, Joya,” kata Alastar dengan nada dingin. “Selama enam bulan ke depan, sesuai perjanjian dengan suamimu. Tidak ada jalan keluar lain.” Tubuh Joya bergetar. Bukan hanya karena ancaman itu, tetapi juga karena nada suara Alastar yang terasa begitu yakin dan dominan. Ketika ia membuka mata, Alastar sudah mundur selangkah, memberinya ruang untuk bernapas. “Aku bukan pria seperti yang ada di pikiranmu,” lanjut Alastar dengan tenang. “Menjadi kekasihku bukan berarti kau akan selalu berakhir di atas ranjang. Aku akan memanggilmu ketika aku membutuhkanmu.” Joya hanya bisa menatapnya dengan bingung dan marah. Kata-kata itu tidak masuk akal baginya. “Setelah ini,” kata Alastar lagi, “aku akan mengizinkanmu pulang, tapi ada satu syarat.” Joya mengerutkan kening, waspada terhadap apa pun yang akan diucapkan pria itu. “Kau tidak boleh bersentuhan dengan Denis. Aku tidak suka berbagi milikku dengan pria lain," ujar Alastar, matanya menatap tajam. Joya tercengang mendengar kata-kata itu. Ia memandang Alastar dengan tatapan tidak percaya, seolah-olah pria itu adalah seorang suami yang posesif, padahal hubungan mereka hanya berdasarkan perjanjian yang dipaksakan. Namun, yang membuatnya semakin bingung adalah ketenangan Alastar. Ia tidak menunjukkan tanda-tanda emosi, hanya keyakinan penuh bahwa apa yang ia katakan adalah kebenaran yang tidak bisa diganggu gugat. “Pakai bajumu sekarang, sebelum aku berubah pikiran,” lanjut Alastar sambil menekan nomor kontak seseorang di ponselnya. Joya menelan ludah, mencoba mengendalikan emosinya yang bercampur aduk. Ia tahu, ia harus bermain dengan cerdik jika ingin keluar dari situasi ini tanpa kehilangan segalanya. Namun di dalam hati, ia berjanji—suatu saat, ia akan membalikkan keadaan dan membalas dua pria keji yang sudah menginjak-injak harga dirinya. Tanpa banyak bicara, Joya kembali ke kamar mandi untuk mengenakan baju yang diberikan Alastar. Ia sengaja berlama-lama di kamar mandi, berharap lelaki dingin itu sudah pergi. Namun, saat ia membuka pintu, Alastar masih berdiri di sana, memunggungi Joya sambil menelepon seseorang. Lelaki itu sudah melepas bathrobe dan hanya mengenakan celana pendek. Bagian atas tubuhnya dibiarkan terbuka, seolah ingin memamerkan otot-ototnya yang terpahat sempurna. Joya melangkah pelan menuju pintu, berusaha untuk segera kabur. Namun, suara berat Alastar menghentikannya. “Mau ke mana buru-buru seperti itu?” Langkah Joya terhenti. Alastar menutup telepon dan memutar tubuh, menghadang pintu dengan bahunya yang lebar. Pandangannya tajam, seperti selalu tahu apa yang dipikirkan oleh Joya. Joya menarik napas dalam. “Bukankah Bapak sudah mengizinkan saya pulang? Suami saya pasti menunggu di rumah,” ujarnya pura-pura tegas. Ia kembali menggunakan bahasa yang formal untuk bicara pada Alastar. Alastar menyeringai, sudut bibirnya melengkung ke atas. “Suamimu? Kau pikir dia benar-benar menunggumu?” Kata-katanya menghantam Joya seperti pukulan. Ia menatap Alastar dengan bingung sekaligus kesal. “Apa maksud Bapak? Apa ini cara Bapak mengejek saya?” Alastar tidak menjawab. Sebaliknya, ia melipat tangan di depan dada dan menatap Joya dengan pandangan yang sulit ditebak. Setelah beberapa detik, tangan lelaki itu menunjuk ke arah meja kecil di sudut kamar, di mana nampan berisi sarapan masih utuh. “Kamu boleh pulang setelah sarapan. Aku tidak suka membuang uang untuk makanan yang tidak dimakan.” Nada suaranya datar, tetapi ada sesuatu di balik kata-kata itu yang membuat Joya waspada. “Saya tidak lapar,” balas Joya, mencoba terdengar tegas. Alastar mendekat, jemarinya menyentuh dagu Joya dengan santai. Tatapan mata lelaki itu membuat lutut Joya terasa goyah. “Kalau menolak makan,” katanya perlahan, “aku akan memintamu melakukan hal lain.” Joya membelalak, paham apa yang dimaksud pria itu. “Baik, saya makan!” jawabnya cepat, nyaris berteriak. Anehnya, pandangan Joya justru tertuju pada bahu kanan Alastar yang terbuka, menampilkan sebuah tato berbentuk huruf 'J'. Tato itu sederhana, tetapi memancarkan daya tarik yang tak bisa diabaikan. Lekukan hurufnya tegas, menonjolkan kesan maskulin yang kuat. Alastar menangkap arah pandangan Joya. Ia menyeringai lagi. “Kenapa? Kamu menginginkan sesuatu dariku?” tanyanya dengan nada menggoda. Wajah Joya memerah seketika. Ia menggeleng cepat, tetapi Alastar sudah mendekat lagi, membuat jarak di antara mereka semakin tipis. Tanpa aba-aba, pria itu menyentuh bibirnya sekilas dengan ujung jari. Joya langsung menelan ludah, merasa dipermainkan. “Saya mau makan sekarang. Bisa menyingkir?” ucapnya tajam, mencoba menutupi rasa malunya. Alastar tersenyum tipis, tetapi akhirnya mundur. “Aku suka kalau kau patuh,” ujarnya santai, lalu membiarkan Joya berjalan ke arah meja. Joya duduk dan mulai menyantap nasi goreng dengan sembarangan. Ia tidak peduli rasa makanannya, yang penting ia bisa segera keluar dari tempat ini. Namun, fokusnya terganggu ketika Alastar dengan santainya mulai berganti pakaian di hadapannya tanpa sedikit pun rasa malu. Joya cepat-cepat membuang muka, tetapi jantungnya berdebar cepat. Entah mengapa, pikirannya kembali pada tato di bahu Alastar. Huruf ‘J’ itu ... apakah mungkin inisial namanya? Tidak, itu konyol. Mereka baru saja bertemu. Pasti huruf itu mewakili nama seseorang yang penting bagi Alastar, mungkin kekasih atau calon istrinya.Sementara Joya sibuk dengan pikirannya, Alastar mengambil nasi goreng bagiannya dan duduk di sofa. Ia menyilangkan kaki, menyuap makanan sambil berkirim pesan di ponsel. Aura otoriter yang biasa menyelimuti pria itu sedikit mereda, tetapi Joya tetap merasa waspada. Rasanya, Joya ingin melempar nasi goreng di tangannya ke wajah Alastar. Namun, ia menahan diri untuk tidak melakukan hal itu. Tujuannya saat ini hanya satu, yaitu keluar dari kamar hotel dengan selamat.Setelah makan dengan asal menelan, Joya meletakkan sendoknya dengan keras. “Saya sudah selesai. Saya akan pergi sekarang.”Alastar mengangkat alis tanpa berkata apa-apa. Ia hanya memberi isyarat dengan tangan, seolah mengizinkan Joya pergi. Namun, saat Joya berbalik menuju pintu ia tiba-tiba berkata dengan suara datar.“Ingat, Joya. Kalau aku menghubungimu lagi, kau harus datang.” Joya mendengus, merasa kesal. “Terserah Bapak,” jawabnya pendek sebelum cepat-cepat keluar dari kamar, berharap bisa melupakan pengalaman pahi
Nada suara Denis yang memelas itu membuat Joya merasa muak. Denis tidak pernah berbicara selembut ini sebelumnya, apalagi meminta sesuatu dengan nada penuh kerendahan hati. Pastilah ini hanya kebohongan lain yang keluar dari mulut pria yang telah mengkhianatinya. “Aku tidak peduli, Denis,” jawab Joya dingin, lalu tanpa ragu memutuskan panggilan. Dengan berat hati, Joya meletakkan kopernya kembali ke sudut kamar. Ia memandang benda itu, seakan menyesali keputusannya untuk menunda kepergiannya sementara waktu. Namun kali ini, ia tidak punya pilihan. “Ibu lebih penting,” bisiknya kepada diri sendiri. Sambil menghela napas beberapa kali, Joya merapikan diri, lalu keluar dari kamar untuk memesan taksi. Ia berdiri di ruang tamu yang sepi, menunggu kedatangan kendaraan yang akan membawanya ke rumah sakit. Di luar, langit nampak mendung dengan awan kelabu yang mulai berarak. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Joya terdiam, pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. Haruskah ia tetap
Mendengar Joya akan memberinya kesempatan, Denis akhirnya berdiri, wajahnya penuh kelegaan. Lelaki itu bahkan mencoba meraih tangan Joya, tetapi Joya dengan cepat mundur selangkah. “Jangan sentuh aku,” ujar Joya dingin, matanya menatap tajam ke arah Denis. “Nanti kita bicara di rumah. Sekarang, lebih baik kamu kembali ke kantor.” Denis terdiam sejenak, seperti ingin membantah, tetapi akhirnya ia mengangguk patuh. “Baik. Aku akan menunggumu di rumah setelah pulang kantor.” Joya tidak menjawab. Ia berbalik dan bergegas kembali ke lift, meninggalkan Denis yang berdiri diam di lorong, di tengah kerumunan orang yang masih memandang mereka dengan penasaran. Setibanya di kamar rawat, Joya mencoba menenangkan diri. Ia mengatur napas sebelum masuk, memasang senyum kecil untuk ibu mertuanya yang menatapnya dengan penuh kasih sayang. “Sudah makan, Nak?” tanya sang ibu. Joya mengangguk, mengambil posisi duduk di samping ranjang. “Sudah, Bu. Sekarang saya di sini untuk menjaga Ibu.”
Sore hari di rumah sakit terasa begitu panjang bagi Joya. Ia masih duduk di kursi plastik di samping brankar ibu mertuanya, matanya sesekali melirik ke arah monitor yang menunjukkan detak jantung. Ia berusaha mengusir kantuk dengan browsing lowongan pekerjaan di ponsel, meskipun pikirannya melayang ke banyak hal yang lebih berat.Telepon dari Alastar tadi masih terngiang-ngiang di telinganya. Alastar, lelaki yang tak pernah ia sangka akan masuk dalam hidupnya, kini menjadi bayang-bayang yang sulit ia hindari. Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir pikiran tentang pria gila itu.Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka pelan, dan seorang lelaki paruh baya masuk. Wajahnya penuh kekhawatiran, tetapi senyum ramah muncul ketika ia melihat Joya. “Joya, maaf, Om baru bisa datang. Warung makan tadi cukup ramai,” ucapnya seraya mendekat ke arah brankar.“Tidak apa-apa, Om Wildan,” jawab Joya tersenyum tipis. Ia mencoba menyembunyikan kelelahan yang tergurat di wajahnya. “Bagaimana k
Setelah taksi yang mengantarnya melaju pergi, Joya berdiri sejenak di depan pagar rumah Denis. Hatinya bimbang. Langkah kakinya terasa berat, tetapi janji yang sudah ia buat tak memberinya pilihan. Ia harus berbicara dengan Denis, menyelesaikan persoalan pelik yang tertahan di antara mereka.Rumah tampak sepi saat Joya membuka pintu depan dengan kunci cadangan yang selalu ia bawa. Joya menghela napas panjang dan duduk di sofa ruang tamu. Pikirannya melayang-layang antara masa lalu dan masa kini. Tidak ada yang bisa mengubah apa yang sudah terjadi, tetapi ia berharap waktu bisa mengurangi rasa sakit yang kini menggelayuti hatinya.Sejenak, Joya membiarkan keheningan menyelimuti, hingga ponselnya bergetar di atas meja. Nama Mutia -- sahabat satu-satunya yang ia miliki -- muncul di layar. Joya segera menjawab telepon itu tanpa berpikir dua kali.“Halo, Mutia?”“Joya? Kau baik-baik saja? Aku terkejut saat kau bilang mau mencari pekerjaan,” tanya Mutia dengan nada heran.Joya tahu Mutia pa
Setelah percakapan dingin itu berakhir, Joya masuk ke kamarnya tanpa menoleh lagi pada Denis. Ia menutup pintu dengan perlahan, seolah berharap ketenangan akan datang bersama gerakannya yang hati-hati. Kamar itu sunyi, hanya suara dengung kipas angin yang menemani. Joya menjatuhkan dirinya di atas kasur, memejamkan mata walau tidur terasa jauh dari jangkauan. Besok adalah hari besar—operasi bypass jantung yang akan menjadi penentuan kesembuhan sang ibu mertua. Apa pun yang terjadi, ia harus ada di sana. Di balik hubungan pernikahannya dengan Denis yang kini terasa seperti racun, Joya tetap memiliki rasa hormat dan kasih terhadap ibu mertuanya. Di kamar yang bersebelahan, Denis duduk di atas tempat tidur dengan ponsel di tangan. Wajahnya tidak menunjukkan penyesalan sama sekali. Sebaliknya, ada kilatan kesibukan di matanya. Jemarinya lincah mengetik pesan, membalas seseorang dengan tergesa. Tidak butuh waktu lama, ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk muncul di layar.Denis me
Mata Joya masih menatap Siena yang sedang memeriksa ponsel baru di tangannya. Bibirnya hampir saja melontarkan tanya, tetapi ia mengurungkan niat tersebut. Bagaimanapun, ia tak ingin menyinggung perasaan adiknya, apalagi merusak kebahagiannya hanya karena rasa ingin tahu.“Aku pergi dulu, Kak Joya,” ujar Siena sambil melangkah ke teras rumah. Ia merapikan tas kecilnya, bersiap untuk pergi ke supermarket.Joya hanya mengangguk. “Hati-hati di jalan,” pesannya sambil mengikuti Siena sampai ke teras. Ia menghela napas, sedikit lega karena tak perlu memulai percakapan yang rumit dengan sang adik.Di sana, Denis masih duduk di kursi kayu sambil menyantap sarapan pagi. Saat Siena hendak menaiki motornya, ia sempat menyapa Denis“Mas Denis, maaf saya tidak bisa ikut ke rumah sakit. Saya doakan Bu Dewi lekas sembuh,” kata Siena sopan, menatap Denis dengan tatapan penuh simpati.Denis mengangguk sambil menelan suapan terakhirnya. “Terima kasih, Siena,” balasnya singkat.Tanpa berkata lebih bany
Denis yang berdiri di sisi ruangan nampak terkejut melihat asisten Alastar memberikan perhatian lebih kepada Joya. Wajahnya berubah tegang, dan ada kilatan ketidaksukaan yang jelas di matanya. “Pak Arman, kenapa Pak Alastar sampai mengirimkan makanan untuk istri saya?” tanyanya mencoba santai.Pak Arman menoleh ke arah Denis, senyumnya tidak luntur. “Pak Alastar hanya ingin memastikan Bu Joya baik-baik saja, terutama di situasi seperti ini.”Joya menelan ludah. Kata-kata itu terdengar manis, tetapi baginya ibarat racun yang membuat hatinya semakin pahit. Ia mengangkat kepala, menatap asisten Alastar itu dengan mata memincing.“Katakan kepada Pak Alastar bahwa saya bisa mengurus diri sendiri,” pungkas Joya, suaranya bergetar meski ia mencoba terdengar tegas.Pak Arman hanya tersenyum. “Anda bisa menyampaikan secara langsung kepada Pak Alastar. Saya hanya menjalankan tugas.” Dengan sangat terpaksa, Joya menerima tas yang diberikan Pak Arman meski hatinya menolak. Ia pun mengangguk kec
Pagi itu, kamar Joya dipenuhi wangi bunga melati yang ditata rapi dalam vas, memberikan suasana yang menenangkan. Joya duduk di hadapan cermin besar berbingkai emas, tatapan matanya terpusat pada bayangan dirinya yang tampak berbeda dari biasanya.Gaun putih panjang yang membalut tubuhnya, tampak sempurna dengan perpaduan kalung dan anting yang memancarkan kilau indah.Bu Dewi berdiri di belakang, dengan hati-hati merapikan sanggul rambut Joya. Perempuan paruh baya itu juga menyematkan beberapa helai bunga kecil, untuk mempermanis penampilan sang calon mempelai."Kau benar-benar cantik, Nak. Ibu yakin, Alastar akan terpesona begitu melihatmu," pujinya penuh kekaguman.Joya hanya bisa menggigit bibirnya, menahan gelombang kegugupan yang terus melanda. Jemarinya saling bertaut erat, menandakan bahwa emosinya tengah bergejolak hebat. Rasa gugup, was-was, dan bahagia berbaur menjadi satu di dalam hatinya.Pandangan Joya kemudian beral
Joya tidak mampu menahan cairan bening yang perlahan menggenang di sudut matanya. Ucapan itu begitu berarti baginya. Bayinya telah diakui sebagai bagian dari keluarga besar Diwanggana. Ia tak pernah menyangka Tuan Narendra akan menerima Arion dengan hati yang lapang seperti ini.Tuan Narendra berbalik, menatap Joya dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan."Jangan khawatir, Joya. Jika cucuku yang nakal itu sudah berani menghamilimu, maka ia pasti segera kembali untuk menikahimu. Tunggu saja, itu akan terjadi sebentar lagi."Joya tersentak. Matanya membesar dalam keterkejutan, sekaligus kebahagiaan yang membuncah. Harapannya yang sempat pudar perlahan menyala kembali, memenuhi hatinya dengan kehangatan yang hampir ia lupakan.Dada Joya berdegup begitu cepat, hingga ia merasa jantungnya berdentum di dalam telinganya sendiri. Seakan tak percaya dengan ucapan Tuan Narendra, bibirnya yang semula gemetar kini mencoba mengucapkan sesuatu, walau suaranya nyaris tertelan napasnya sendiri.“Be-
Hampir satu tahun telah berlalu sejak Alastar pergi ke luar negeri untuk menjalani pengobatan. Waktu terasa begitu lambat bagi Joya, setiap detik dipenuhi dengan kerinduan yang menyakitkan. Hanya dua kali Alena mengabari bahwa kondisi Alastar telah membaik, tetapi belum cukup kuat untuk kembali. Berita itu, meski melegakan, tetap menyisakan kehampaan dalam hati Joya. Kini, kehidupannya dipenuhi dengan kesibukan yang tiada henti. Bayinya yang baru berusia dua bulan menjadi pusat dunianya. Si kecil yang lahir dari buah cintanya dengan Alastar, hadir sebagai penguat dalam hari-hari panjang penuh penantian. Selain mengurus bayinya, Joya juga memegang tanggung jawab besar di kantor. Sejak kepergian sang kekasih, ia ditunjuk sebagai penggantinya melalui surat resmi yang dibuat oleh pengacara Alastar. Dengan bantuan Arman, ia menjalankan tugasnya dengan penuh dedikasi, memastikan perusahaan tetap berjalan dengan baik.Kilas balik peristiwa itu kembali melintas dalam benak Joya. Selang sat
Di ruang Instalasi Gawat Darurat, Joya masih duduk di sisi tempat tidur Alastar, menatap wajah pucat pria yang dicintainya dengan sorot mata penuh duka. Tangannya masih menggenggam jemari Alastar yang dingin, seakan berusaha menyalurkan sedikit kekuatan.Namun, kebersamaan singkat itu terganggu oleh kehadiran beberapa perawat yang mendekat. Salah satu dari mereka memeriksa kembali monitor yang masih menunjukkan detak jantung Alastar, sedangkan yang lain mulai melepas satu per satu alat medis yang melekat di tubuh pria itu. Selang infus yang menyalurkan cairan ke dalam tubuhnya dicabut dengan hati-hati, diikuti oleh elektrode yang menempel di dadanya. Satu perawat lainnya membebaskan Alastar dari alat bantu oksigen yang sejak awal menopang pernapasannya, sedangkan seorang lagi sudah bersiap dengan brankar khusus yang akan membawa tubuh lemah itu ke dalam ambulans.Joya menatap semua itu dengan pandangan kosong, perasaan tidak rela merayapi dirinya. Hatinya menjerit melihat pria yang d
Joya berjalan mondar-mandir di depan ruang Instalasi Gawat Darurat, langkahnya tak beraturan, seiring dengan debar jantung yang tak menentu. Matanya yang sejak tadi berkaca-kaca semakin terasa perih. Telapak tangannya terasa dingin dan basah oleh keringat yang tak henti mengalir. Kecemasan menguasai hatinya, menyelimuti setiap tarikan napasnya dengan kekhawatiran yang sulit terjelaskan. Sudah beberapa waktu berlalu, tetapi belum ada satu pun dokter yang keluar untuk memberi kabar tentang kondisi Alastar.Saat Joya hampir kehilangan kesabaran, terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa menghampirinya. Ia menoleh dan melihat Arman, asisten setia Alastar, datang bersama seorang wanita cantik yang mengenakan pakaian elegan. Sekilas, ada garis wajah yang mengingatkan Joya pada Alastar. Dugaan Joya benar. Wanita itu adalah Alena, kakak Alastar.Alena segera menghampiri Joya dengan ekspresi tegang. “Kau Joya, bukan? Aku Alena, kakak Alastar. Apa yang terjadi? Kenapa Alastar bisa pingsa
Usai prosesi pemakaman yang berlangsung khidmat, Joya masih bersimpuh di sisi makam Siena. Tanah merah yang baru saja ditaburkan bunga itu masih lembap, seakan belum sepenuhnya menyadari bahwa kini seorang jiwa telah terbaring abadi di bawahnya. Di sekelilingnya, para pelayat sudah mulai meninggalkan tempat peristirahatan terakhir itu. Hanya menyisakan kesunyian dan desir angin, yang menyapu dedaunan pohon kamboja di sudut pemakaman.Alastar yang berdiri tak jauh dari Joya akhirnya ikut berjongkok. Dengan gerakan lembut, ia menyentuh bahu wanita itu, memberikan sedikit kehangatan di tengah dinginnya udara senja. "Baby, langit sudah mendung," suaranya terdengar lembut. "Kita harus kembali sekarang. Bukankah kau ingin melihat kondisi Bu Dewi di rumah sakit?"Joya mengangkat wajahnya yang sudah basah oleh air mata. Matanya merah dan sembab, tetapi kesedihan yang mendalam masih terpancar jelas dari sana. Ia menoleh ke arah makam Siena sekali lagi, seakan ingin mengukir sosok sang adik d
Mobil melaju dengan tenang di sepanjang jalan yang basah oleh embun pagi, tetapi suasana di dalamnya begitu kelam. Joya bersandar di bahu Alastar, membiarkan kehangatan lelaki itu meresap ke dalam kulitnya yang terasa dingin. Sejak menerima kabar duka, bibir Joya terkunci rapat. Kata-kata seolah tertahan di kerongkongan, dadanya sesak oleh kesedihan yang tak tertahankan. Alastar, yang duduk di samping Joya, tak banyak bicara. Ia hanya mengeratkan pelukan di bahu sang kekasih, sesekali mengecup pucuk kepalanya dengan penuh kasih. Ia tahu, saat ini, tak ada kata-kata yang bisa mengurangi kepedihan yang dirasakan Joya. Di tengah kesunyian, Alastar merasakan kepalanya mulai berdenyut. Pandangannya sempat berkunang, tetapi ia mengerjapkan mata cepat-cepat, berusaha mengabaikan rasa pusing yang kian menguasai kepala. Ini bukan saatnya untuk jatuh sakit. Joya lebih membutuhkan dukungannya sekarang dibanding kapan pun. Alastar pun menggenggam tangan Joya, meremasnya lembut seakan ingin me
Joya terbangun lebih dulu dari Alastar, merasakan kehangatan tubuh pria itu yang masih terlelap di sisinya. Dengan hati-hati, ia menyingkirkan tangan Alastar yang melingkar erat di pinggangnya. Setelah berhasil melepaskan diri, ia turun perlahan dari ranjang, membiarkan kakinya menyentuh lantai dingin.Dengan langkah ringan, Joya menuju meja di mana ponselnya tergeletak. Begitu ia menyalakannya, layar yang redup segera terang, menampilkan sebelas panggilan tak terjawab dari dua nomor berbeda.Kening Joya berkerut, hatinya bertanya-tanya ada urusan penting apa sehingga ia dihubungi terus-menerus. Belum sempat berpikir lebih jauh, matanya tertuju pada dua pesan masuk dari nomor tak dikenal. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat saat ia membuka pesan pertama.{Selamat pagi. Ini dari Kepolisian. Kami meminta Ibu Joya segera datang ke Rumah Sakit Cendana. Adik Anda, Bu Siena, dan suami Anda, Pak Denis Kusuma, mengalami kecelakaan dan saat ini dalam kondisi kritis.]Darah Joya seolah membek
Benturan logam yang dahsyat menggema, tatkala mobil Denis menghantam tiang listrik. Kaca depan retak, bagian kap mobil penyok, dan kepulan asap mulai muncul dari mesin yang ringsek. Suara klakson panjang meraung di udara, seakan menjadi tanda bahaya bagi siapa saja yang berada di sekitar.Siena terkulai di kursi penumpang dengan darah merembes dari dahinya yang terbentur dashboard. Napasnya tersengal, kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya tertutup rapat. Tangannya yang tadi mencengkeram kemudi dengan emosi kini terkulai lemah di pangkuannya. Tubuh gadis itu penuh luka, tetapi yang paling mengkhawatirkan adalah darah yang mengalir deras dari kedua kakinya, membasahi jok mobil dengan warna merah pekat yang mencengangkan.Di sisi lain, Denis tak sadarkan diri dengan luka yang tak kalah parah. Kepala pria itu terantuk keras pada kemudi, menyebabkan robekan di pelipisnya.Kedua kakinya terjepit di antara dashboard dan kursi, membuatnya tak bisa bergerak. Sementara tangan kanan Denis t